SKRIPSI
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017 SKRIPSI
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017 SKRIPSI
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
TALENTA A PANGGABEAN NIM : 121000375
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
“KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK (IO) TUBERKULOSIS (TB) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK TAHUN 2013-2015” ini beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemungkinan ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak lain terhadap karya saya ini.
Medan, Januari 2017
Talenta A Panggabean
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%) . Untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) tuberkulosis (TB), dilakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain case series.
Populasi dan sampel penelitian berjumlah 150 orang pada tahun 2013-2015 yang tercatat di rekam medis rumah sakit. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisis dengan chi-square dan Kolmogorov-Smirnov.
Proporsi berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada umur 30-39 tahun tahun 53,3%, laki-laki 74,7%, SMA/Sederajat 64,0%, wiraswasta 14,0%, menikah 46,0%, dan bertempat tinggal di luar kota Medan 62,7%. Proporsi berdasarkan jenis TB terbesar pada TB paru 65,3%, berdasarkan jumlah CD4 terbesar <200 sel/mL 72,7%, berdasarkan stadium HIV terbesar pada stadium 3 66,0%, dan berdasarkan tahap pengobatan terbesar pada fase lanjutan 48,7%. Tidak ada perbedaan proporsi jumlah CD4 berdasarkan jenis TB (p=0,922). Ada perbedaan proporsi jenis TB berdasarkan stadium HIV (p=0,001).
Penderita HIV/AIDS diharapkan untuk melakukan pemeriksaan sputum dan fototoraks sehingga jika ditemukan bakteri M.Tuberculosis dapat diatasi secepat mungkin. Bagi pihak rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan untuk membuat rekam medis lebih spesifik dan rapi sehingga peneliti dapat menggunakannya dan follow up pasien lebih baik.
Kata Kunci: Karakteristik penderita, HIV/AIDS, TB, Koinfeksi HIV-TB
Syndrome (AIDS). HIV / AIDS pandemic in the world increase the problem of TB.
Co-infection with HIV increases the risk of TB incidence significantly. In addition, TB is the leading cause of death in people living with HIV (approximately 40- 50%). To determine the characteristics of people with HIV / AIDS with Opportunistic Infections (OI) tuberculosis (TB), conducted research in Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.
This study is descriptive study with case series design. Population and research sample was 150 people in 2013-2015 were recorded in the medical records hospital. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed by chi-square and Kolmogorov-Smirnov
Sociodemographic highest proportion based on the age of 30-39 years 53.3%, men 74.7%, SMA / equal 64.0%, 14.0% self-employed, 46.0% married 46,0 % and residing outside the city Medan 62.7%. The proportion by type of TB pulmonary TB 65.3%, based on the largest number of CD4 <200 cells / mL 72.7%, based on the stage of HIV largest at stage 3 66.0%, and based on the biggest stage in the continuation phase of treatment 48.7%. There was no significant difference between the number of CD4 with strains of TB (p = 0.922).
There was a significant difference between the type of TB with HIV stage (p = 0.001).
People with HIV / AIDS are expected to conduct sputum examination and fototoraks so if bacteria M. tuberculosis can be resolved as quickly as possible. For the medical records department of Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik for making medical records more specific and neat so that researchers can use and follow-up of patients better.
Keywords: Characteristics of patients, HIV / AIDS, TB, HIV-TB coinfection
Tempat/ Tanggal Lahir : Tarutung, 16 Juli 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Nama Ayah : Lamhot Natan Panggabean
Suku Bangsa Ayah : Batak Toba
Nama Ibu : Manginar Pangaribuan
Suku Bangsa Ibu : Batak Toba
Riwayat Pendidikan
SD/Tamat tahun : SD Negeri NO. 173105 Tarutung/2000 SMP/ Tamat tahun : SMP Negeri 3 Tarutung/2006
SMA/ Tamat tahun : SMA Budi Mulia Lourdes Pematang Siantar/2009 Akademi/ Tamat tahun : S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat USU/2017
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) Tuberkulosis (TB) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013-2015” yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi Universitas Sumatera Utara.
4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, PhD selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Sri Novita Lubis, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
7. Dr. Fazidah A. Siregar, M.Kes, PhD selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik.
9. Seluruh dosen dan staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Epidemiologi.
10. Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan dan seluruh staf khususnya bagian rekam medik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Orangtua terkasih Lamhot Natan Panggabean dan Manginar Pangaribuan, SH yang senantiasa berdoa, memberi kasih sayang, mendukung, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Kakak dan adik-adik tercinta, Sarma Doharma Panggabean, Amd , Helmud L Panggabean dan Mario Panggabean serta sepupu kembar (T.
Intan Pangaribuan dan T. Indah Pangaribuan) yang selalu menjadi inspirasi dan pemberi semangat.
13. Sahabat tumbuh bersama dalam kelompok kecil “HARUM” (Afriayu, Aruni, Fila, Maria S, Nathalia, Pestaria, Yulianti, dan kakak pembimbing Donna Purba, SPd) yang mengingatkan, memberikan semangat dan berbagi dalam menyelesaikan skripsi ini.
15. Pengurus UKM KMK USU khususnya koordinasi UKM POMK FKM Tahun 2016.
16. Teman-teman stambuk 2012, khususnya teman seperjuangan di peminatan Epidemiologi atas semangat, dukungan, dan kebersamaan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Tuhan memberkati.
Medan, Januari 2017
Talenta A Panggabean
HALAMAN PENGESAHAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan Penelitaian ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... 5
1.3.2 Tujuan Khusus... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7
2.1 HIV/AIDS... 7
2.1.1 Defenisi ... 7
2.1.2 Etiologi ... 7
2.1.3 Patogenesis ... 9
2.2 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS... 10
2.2.1 Menurut CDC... 11
2.2.2 Menurut WHO... 11
2.3 Ko-Infeksi HIV-TB ... 12
2.4 Epidemiologi Ko-Infeksi HIV-TB... 13
2.5 Pencegahan Ko-Infeksi HIV-TB ... 14
2.5.1 Pencegahan Primer ... 14
2.5.2 Pencegahan Sekunder... 15
2.5.3 Pencegahan Tersier ... 27
2.6 Kerangka Konsep... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
3.3 Populasi dan Sampel... 39
3.3.1 Populasi ... 39
3.3.2 Sampel... 39
3.4 Metode Pengumpulan Data... 40
3.5 Defenisi Operasional ... 40
3.6 Analisis Data... 43
3.6.1 Analisis Data Univariat... 44
3.6.2 Analisis Data Bivariat ... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN... 45
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45
4.1.1 Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.. 45
4.1.2 Visi dan Misi... 45
4.2 Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Sosiodemografi ... 47
4.3 Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Jenis TB ... 48
4.4 Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Jumlah CD4 ... 49
4.5 Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Stadium HIV... 50
4.6 Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Tahap Pengobatan... 50
4.7 Proporsi Jumlah CD4 Berdasrkan Jenis TB ... 51
4.8 Proporsi Jenis TB Berdasarkan Stadium HIV ... 53
4.9 Proporsi Jumlah CD4 Berdasrkan Tahap Pengobatan... 54
BAB V PEMBAHASAN ... 56
5.1 Sosiodemografi ... 56
5.1.1 Umur ... 56
5.1.2 Jenis Kelamin... 57
5.1.3 Tingkat Pendidikan ... 59
5.1.4 Pekerjaan... 61
5.1.5 Status Pernikahan... 62
5.1.6 Tempat Tinggal... 64
5.2 Jenis TB ... 66
5.3 Jumlah CD4 ... 67
5.8 Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Tahap Pengobatan ... 76
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 78
6.1 Kesimpulan ... 78
6.2 Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 80 DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 2.2 Klasifikasi HIV Berdasarkan Stadium ... 11 Tabel 2.3 Rekomendasi Dosis untuk Tiap Jenis Obat Berdasarkan
Berat Badan ... 30 Tabel 2.4 Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien Baru... 32 Tabel 2.5 Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien BTA Positif
Yang Telah Diobati Sebelumnya ... 33 Tabel 2.6 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Anak ... 34 Tabel 2.7 Panduan Pengobatan ARV pada Waktu TB Didiagnosa ... 37 Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Sosiodemografi di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 47 Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Jenis TB di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 49 Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Jumlah CD4 di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 49 Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Stadium HIV di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 50 Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik (IO) TB Berdasarkan Tahap Pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 51
Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Jenis TB Setelah Penggabungan Sel terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) di Rumah Sakit Umum
Pusat H.Adam Malik Tahun 2013-2015 ... 53 Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Jumlah TB Berdasarkan Stadium HIV
terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Tahun 2013-2015 ... 53 Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Jumlah CD4 Berdaasrkan Tahap
Pengobatan terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) di Rumah Sakit Umum Pusat
H.Adam Malik Tahun 2013-2015 ... 54
Gambar 2.2 Perjalanan Infeksi HIV ... 17 Gambar 2.3 Rontgen Dada Seorang Pasien Afrika Selatan dengan
Infeksi HIV dan Efusi Perikardial Tuberkulosis ... 19 Gambar 2.4 Alur Diagnosa TB Paru ... 21 Gambar 2.5 Alur Diagnosa TB Paru pada ODHA ... 23 Gambar 5.1 Diagram Batang Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Umur di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Tahun 2013-2015 ... 56 Gambar 5.2 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Oportunistik TB Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Tahun 2013-2015 ... 58 Gambar 5.3 Diagram Batang Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 60 Gambar 5.4 Diagram Batang Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 61 Gambar 5.5 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Status Pernikahan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 63 Gambar 5.6 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Tempat Tinggal di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 64 Gambar 5.7 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Jenis TB di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 66
Gambar 5.9 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Stadium HIV di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 70 Gambar 5.10 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS dengan
Infeksi Oportunistik TB Berdasarkan Tahap Pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Tahun 2013-2015... 71 Gambar 5.11 Diagram Batang Distribusi Proporsi Jumlah CD4
Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Tahun 1013-2015... 73 Gambar 5.12 Diagram Batang Distribusi Proporsi Stadium HIV
Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Tahun 1013-2015... 75 Gambar 5.13 Diagram Batang Distribusi Proporsi Jumlah CD4
Berdasarkan Tahap Pengobatan Terhadap Penderita
HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Tahun 1013-2015... 76
Lampiran 2. Output
Lampiran 3. Ethical Clearance Lampiran 4. Surat Izin Penelitian
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian (Rekam Medis) Lampiran 5. Surat Selesai Penelitian
1.1 Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan termasuk kelompok retrovirus. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. HIV/AIDS telah menjadi penyakit yang merajalela di seluruh dunia (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS, secara global pada tahun 2014 ada 36,9 juta orang hidup dengan HIV dengan jumlah infeksi baru HIV sebesar 2 juta kasus dengan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,2 juta kasus. Dimana tiga bagian negara dengan jumlah kasus terbesar yaitu: Sub-Sahara Afrika yaitu sebanyak 25,8 juta kasus HIV dengan 1,4 kasus baru, kemudian diikuti Asia-Pasifik dengan 5 juta kasus HIV dengan 340.000 kasus baru kemudian Amerika Latin dengan 1,7 juta kasus (UNAIDS, 2015). Pada kawasan Asia-Pasifik, Indonesia merupakan urutan ketiga dari 12 negara dengan kasus HIV terbesar dan kenaikan jumlah kasus baru infeksi HIV setelah India dan Cina (UNAIDS, 2013).
Menurut data Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, HIV /AIDS setiap tahun masih menjadi salah satu penyebab kematian di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2016, HIV-AIDS sudah tersebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara
kumulatif, sampai Maret 2016 ada sebanyak 198.219 kasus HIV dan diantaranya 78.292 kasus AIDS. Sumatera Utara menduduki urutan ketujuh dari sepuluh provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbesar setelah Jawa Timur, Papua, DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah dan Jawa Barat serta diikuti Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Kemenkes RI, 2016).
Data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sumatera Utara, jumlah penderita HIV dan AIDS untuk Provinsi Sumatera Utara sampai dengan Desember 2015 sebanyak 7.737 kasus. Jumlah HIV sebanyak 3.127 kasus dan AIDS sebanyak 4.610 kasus. Tahun 2015 ada 1.021 kasus baru HIV/AIDS atau dengan prevalensi 7,9 per 100.000 jumlah penduduk. Daerah dengan jumlah kasus tertinggi adalah Medan, yaitu 56% atau sebanyak 4.397 kasus dengan jumlah HIV sebanyak 1.756 kasus dan AIDS sebanyak 2.641 kasus (KPA Sumut, 2015).
Penyebab kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah penurunan sistem imunitas secara progresif sehingga infeksi oportunistik (IO) dapat muncul dan berakhir pada kematian (Depkes RI, 2006). Data menunjukkan bahwa ada berbagai macam IO yang dapat menyertai HIV/AIDS. Diantara berbagai penyakit infeksi tersebut, terdapat empat penyakit yang paling sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS, yaitu tuberkulosis, hepatitis, kandidiasis, dan pneumonia (WHO, 2013). Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi penyebab terjadinya kematian pada ODHA yang juga adalah salah satu penyakit menular yang penularannya melalui udara (airborne disesase) (WHO, 2015).
Tuberkulosis dan HIV merupakan dua ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang sedang berlangsung di dunia (Kemenkes, 2012). HIV secara signifikan meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami reaktivasi infeksi TB laten dan mengalami perkembangan penyakit TB yang aktif. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso pada tahun 2011 proporsi infeksi TB merupakan jenis infeksi opurtunistik terbanyak pada penderita HIV/AIDS yaitu sebesar 67,4% diikuti dengan toxo sebesar 22,8% dan kandidiasis sebesar 5,4% (Lubis, 2012). Sejalan juga dengan hasil kegiatan pelayanan POKJA HIV/AIDS RSPI Sulianti Saroso tahun 2008-2010, yang menunjukkan bahwa selama 3 tahun berturut-turut, TB merupakan jumlah IO terbesar pada pasien HIV/AIDS (RSPI, 2011).
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan IO terbanyak pada pasien HIV/AIDS dan penyebab utama kematian pada ODHA (Kemenkes RI, 2012).
Pada tahun 2014 ada sebanyak 9,6 juta kasus TB di dunia, 1,2 juta kasus diantarnya adalah orang dengan HIV positif dan dari 1,5 juta kematian akibat kasus TB di dunia ada 0,4 juta diantaranya orang dengan HIV positif. Secara global, 51% dari pasien TB memiliki riwayat hasil pemerikasaan HIV. Negara
Afrika sebagai daerah dengan ko-infeksi HIV-TB tertinggi, 79% dari pasien TB mengetahui status pemeriksaan HIV (WHO, 2015).
Menurut Kemenkes RI Ditjen PP&PL, Indonesia berada pada peringkat kelima dengan beban TB tertinggi di dunia serta percepatan peningkatan epidemik HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia (Kemenkes RI, 2012).
Walaupun secara nasional, Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) dengan prevalensi HIV masih tergolong rendah (<0,2%), tetapi di Papua prevalensi telah mencapai 2,4% dengan kondisi epidemi HIV yang meluas (KPAN,2010). Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna napza suntik (penasun), heteroseksual dan homoseksual (Wanita Pekerja Sex/WPS, Wanita-pria/waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%) (Kemenkes RI, 2012).
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik (RSUP HAM) merupakan salah satu rumah sakit yang melayani kasus HIV/AIDS dengan jumlah terbesar di Sumatera Utara dan menyediakan bagian pusat pelayanan khusus (PUSYANSUS) bagi penderita HIV/AIDS. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Maret 2016 di RSUP HAM jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2013 ada sebanyak 593 kasus, tahun 2014 sebanyak 616 kasus, dan pada tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 434 kasus.
1.2 Permasalahan Penelitian
Belum diketahuinya karakteristik penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik tahun 2013- 2015.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik tahun 2013-2015.
1.3.1 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui distribusi frekuensi penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan dan tempat tinggal).
b. Mengetahui distribusi frekuensi penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB berdasarkan jenis TB.
c. Mengetahui distribusi frekuensi penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB berdasarkan jumlah CD4.
d. Mengetahui distribusi frekuensi HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB berdasarkan stadium HIV.
e. Mengetahui distribusi frekuensi penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB berdasarkan tahap pengobatan.
f. Mengetahui distribusi proporsi jenis TB berdasarkan jumlah CD4 terhadap penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB.
g. Mengetahui distribusi proporsi stadium HIV berdasarkan jenis TB terhadap penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB.
h. Mengetahui distribusi proporsi jumlah CD4 berdasarkan tahap pengobatan terhadap penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Dengan penelitian ini maka akan didapatkan informasi mengenai faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian penderita HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB yang berguna bagi pengelola program pencegahan infeksi penyakit menular khususnya infeksi TB pada pasien HIV/AIDS.
b. Menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan dengan kejadian HIV/AIDS.
c. Sebagai bahan masukan peneliti lain yang ingin memperdalam penelitian lanjut mengenai HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik (IO) TB.
2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan singkatan Acquired artinya tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain, Immune artinya sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, Deficiency artinya berkurangnya kurang atau tidak cukup, dan Syndrome artinya kumpulan tanda dan gejala penyakit. Atau singkatnya, AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh (Kemenkes RI, 2012).
2.1.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh seorang ilmuwan dari Institute Pasteur Paris, Barre-Sinoussi yaitu Montagnier pada tahun 1983, yang mengisolasi virus ini dari seorang penderita dengan gejala
“lymphadenopathy syndrome”, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada tahun 1984, Popovic, Gallo dari Institute of Health, Amerika Serikat, menemukan virus lain yang disebut Human T Lymphotropic Virus Type III (HTLV-III) yang juga adalah penyebab AIDS (Nursalam dan Kurniawati, 2007; Murtiastutik, 2008).
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Toxonomy of Viruses tahun 1986, WHO memberikan nama resmi HIV. Tahun 1986 di Afrika ditemukan juga virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun maupun antigenik. HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat dianggap kurang patogen dibandingkan HIV-1 yang sering menyerang manusia (Murtiastutik, 2008).
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan untuk mengkode enzim khusus, reserve transcriptase (enzim transkriptase reversi), yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen-nya sendiri. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
Sumber: US National Institute of Health (http:/en.wikipedia.org)
Gambar 2.1 Virus HIV
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid), enzim reverse transkriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120).
Gp120 berhubungan dengan reseptor lymfosit (T4) yang rentan (Widoyono, 2008). Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
2.1.3 Patogenesis
HIV akan menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga terjadi fusi membrane HIV dengan sel induk. Lalu, inti HIV akan masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Setelah di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV melalui enzim polimerase. Kemudian, dengan bantuan enzim integrase, DNA HIV akan berintegrasi dengan DNA sel induk. DNA HIV yang selanjutnya dianggap sebagai DNA sel induk oleh tubuh akan membentuk mRNA dengan fasilitas dari sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi HIV baru. Akhirnya, HIV baru akan mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV. Hal ini akan mempengaruhi sistem imun karena terjadi penekanan sistem imun (imunosupresi) yang dapat menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit (Widoyono, 2008).
HIV cenderung menyerang jenis sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus ini juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerkans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satunya ialah tat, gen yang dapat mempercepat replikasi virus sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh dan kelumpuhan inilah yang mengakibatkan timbulnya penyakit opurtunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS (Duarsa, 2011).
2.2 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk remaja dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi CDC. Klasifikasi menurut WHO digunakan pada beberapa negara yang pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia.
2.2.1 Menurut CDC
Klasifikasi klinis HIV menurut CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi HIV Berdasarkan Gejala Klinis dan Jumlah CD4
CD4 Kategori Klinis
Total Persen (%) A (Asimtomatik, infeksi akut)
B
(Simptomatik) C (AIDS)
>500 sel/mL >29 A1 B1 C1
200-499 sel/mL 14-28 A2 B2 C2
<200 sel/mL <14 A2 B3 C3
Sumber : Depkes RI, 2006 2.2.2 Menurut WHO
Tabel 2.2 Klasifikasi HIV Berdasarkan Stadium
Berat Badan (BB) Gejala
Stadium 1 Tidak ada penurunan berat badan
Asimptomatik (tidak ada gejala)
Limfadenopati generalisata persisten Stadium 2 Penuruanan berat
badan <10%
Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren (berulang), keilitis angularis (lika di sekitar bibir)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas bagian atas (ISPA), seperti sinusitis bakterialis atau otitis Stadium 3 Penuruanan berat
badan >10%
Diare kronis yag berlangsung lebih dari satu bulan
Demam berkepanjangan >1 bulan
Kandidiasis orofaringeal
Oral hairy leukoplakia
TB paru dalam tahun terakhir
Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis
Stadium 4 Syndrome wasthing HIV
Pneumonia pneumocystys carinii
Toksoplasmosis otak
Diare kriptosporidiosis >1 bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonal
Retinitas virus sitomegalo
Herpes simpleks mukokotan >1 bulan
Leukoensefalopati multifocal progresif
Mikosis seminata seperti histoplamosis
Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan paru
Mikobakteriosis atipikal diseminata
Septisemia salmonelosis non tifois
Tuberkulosis diluar paru
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV Sumber : WHO, 2005
2.3 Ko-Infeksi HIV-TB
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%).
Kematian yang tinggi ditemukan terutama pada pasien TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
Sebagian orang yang tinggal dengan pasien yang terinfeksi bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak terinfeksi TB karena tubuhnya mempunyai sistem imunitas yang baik sehingga tidak menjadi sakit. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya. Sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi
HIV tentunya akan memiliki peran dalam peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat.
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.
2.4 Epidemiologi Ko-Infeksi HIV-TB
Infeksi HIV semakin umum pada populasi dengan prevalensi TB yang tinggi. Misalnya, Amerika Serikat, HIV sudah menjadi hal yang lazim bagi pengguna narkoba suntik dan populasi dengan tingkat kejadian TB yang juga tinggi. Data menunjukkan prevalensi HIV 80% pada pengguna narkoba suntik dengan TB di New York. Meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS memberikan kontribusi dalam peningkatan TB di Amerika Serikat secara signifikan.
Risiko TB di antara orang yang terinfeksi HIV tergantung pada prevalensi TB di masyarakat, menurunnya daya tahan tubuh (immunodeficiency), dan
aksesibilitas untuk pengobatan infeksi TB. Di negara-negara berkembang, dimana prevalensi infeksi TB pada orang dewasa dapat melebihi 50 persen, penyebaran HIV telah menyebabkan kenaikan angka kejadian TB. Peningkatan morbiditas TB terkait dengan infeksi HIV telah terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Analisis TB secara global memperkirakan bahwa sekitar sepersepuluh dari semua kasus TB di dunia disebabkan oleh HIV, mulai dari 1 persen di Pasifik Barat hingga sepertiga dari semua kasus di Afrika. Meskipun prevalensi keseluruhan TB rendah, seperempat dari kasus TB di Amerika Serikat disebabkan oleh HIV, hal ini dapat mencerminkan kerentanan sub-populasi tertentu terinfeksi HIV dan tuberkulosis.
Meningkatnya angka kejadian tuberkulosis karena epidemi HIV menimbulkan masalah lain yaitu, wabah TB pada orang yang terinfeksi HIV di rumah sakit atau daerah yang penduduknya padat, dan munculnya TB multi drug resistant.
(Fishman, 2008).
2.5 Pencegahan Ko-Infeksi HIV-TB 2.5.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan promosi kesehatan. Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta dikriminasi. Promosi kesehatan diberikan dalam bentuk advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi social budaya serta didukung kebijakan publik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih.
Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan maupun program promosi kesehatan lainnya. Dimana dalam hal ini diutamakan pada pelayanan tuberkulosis.
2.5.2 Pencegahan Sekunder 2.5.2.1 Diagnosa HIV
Pemeriksaan diagnosa HIV dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan melalui KTS atau TIPK dan harus dengan persetujuan pasien.
a. KTS (Konseling dan Tes Sukarela) dilakukan dengan langkah-langkah meliputi: konseling pra tes, tes HIV, dan konseling pasca tes.
b. TIPK (Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan) dilakukan dengan langkah-langkah meliputi: pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes, pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes, dan konseling.
Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/ atau teknisi laboratorium yang terlatih. Tes HIV dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay). Sedangkan, konseling wajib diberikan pada setiap orang yang telah melakukan tes HIV oleh konselor terlatih baik tenaga kesehatan maupun non kesehatan (Kemenkes, 2013)
a. Rapid Diagnostic Test (RDT) (Widoyono, 2008)
WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui.
Ada beberapa gejala dan tanda mayor, antara lain:
1. Kehilangan berat badan (BB) >10%
2. Diare Kronik >1 bulan 3. Demam >1 bulan
Sedangkan tanda minornya, antara lain:
1. Batuk menetap >1 bulan 2. Dermatitis pruritis (gatal) 3. Herpes Zoster berulang 4. Kandidiasis orofaring
5. Herpes simpleks yang meluas dan berat 6. Limfadenopati yang meluas
Tanda lain adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis kriptokokal.
Jika ada minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain.
b. Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)
Bahan yang diperikasa adalah serum atau cairan darah yang lain (cairan otak) yang diambil secara steril dan disimpan pada suhu 20°C tanpa diberi anti koagulan. Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi (Irianto, 2014).
Sumber : Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional, Informasi Dasar HIV- AIDS & IMS – Layanan Komprehensif Berkesinambungan
Gambar 2.2 Perjalanan Infeksi HIV
Selama fase permulaan penyakit, dalam darah penderita dapat ditemukan HIV/ partikel HIV dan penurunan CD4. Setelah bebrapa hari terkena infeksi HIV, IgM dapat dideteksi dan setelah 2 minggu IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya, HIV tidak dapat ditemukan lagi dalam peredaran darah dan jumlah sel T4 kembali normal.
Hasil pemeriksaan ELISA harus diintrepertasikan dengan hati-hati, karena tergantung pada fase penyakit.Sehingga ditemukannya antibodi HIV dengan pemeriksaan ELISA perlu dikonfirmasi dengan Western Immune Blot atau Western Blot yang sensitifitasnya lebih tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Namun, pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Irianto, 2014).
2.5.2.2 Diagnosis TB Paru pada ODHA (Kemenkes RI, 2013)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
a. Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA.
Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.
b. Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Umumnya gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks, tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada HIV lanjut.
Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier.
Sumber: Mpiko Ntsekhe, Cardiology, Department of Medicine, Groote Schuur Hospital, University of Cape Town
Gambar 2.3 Rontgen Dada Seorang Pasien Afrika Selatan dengan Infeksi HIV dan Efusi Perikardial Tuberkulosis
c. Pemeriksaan biakan dahak c.1 Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu- Pagi-Sewaktu (SPS), yaitu: S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB dating berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu):
dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.
c.2 Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
1) Pasien TB Ekstra Paru 2) Pasien TB Anak
3) Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.
c.3 Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA).
Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Gambar 2.4 Alur Diagnosa TB Paru
Keterangan:
1. Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.
2. Antibiotik non OAT : Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis
Sulitnya diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang merupakan baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB-MDR karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.
Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). Alur diagnosis yang dimaksud dapat dilihat pada gambar.
Sumber: Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV Gambar 2.5 Alur Diagnosa TB Paru pada ODHA
Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi
> 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
b. BTA Positif = sekurang- kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.
g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan adalah sebagai berikut:
a. Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.
b. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
c. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya
mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
d. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.
Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan:
a. Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 – 5 hari untuk mengatasi infeksi bakteri kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA).
b. Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif), mulailah pengobatan TB dengan pemberian OAT.
Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai.
c. Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 – 5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu.
Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai.
d. Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB.
2.5.2.2 Diagnosis TB Ekstra Paru pada ODHA
Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari lesi. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
2.5.3 Pencegahan Tersier 2.5.3.1 Pengobatan
A. HIV (Kemenkes RI, 2013)
Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV yang dilakukan secara bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV.
Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:
a. terapeutik, meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi oportunitis.
b. profilaksis, meliputi: pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis
c. penunjang, meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.
Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling, mempunyai pengingat minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap pengobatan seumur hidup dan harus diinkasi bagi:
a. penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;
b. ibu hamil dengan HIV, dan
c. penderita HIV dengan tuberkulosis.
B. Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2011)
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan memperhatikan riwayat pengobatan sebelumnya.
Sehingga penderita tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif b. Kasus yang sebelumnya diobati
b.1 Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b.2 Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
b.3 Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
c. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.
d. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti:
d.1 Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
d.2 Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, d.3 Kembali diobati dengan BTA negative.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Rekomendasi Dosis untuk Tiap Jenis Obat Berdasarkan Berat Badan
Drug Rekomendasi Dosis
Harian 3 Kali Seminggu
Dosis dan rentang (mg/kgBB)
Maksimum (mg)
Dosis dan
rentang (mg/kgBB)
Maksimum (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampicin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Ethambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
(WHO, 2009)
Khusus untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
c.1 Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Dan sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
c.2 Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu: pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ektra paru.
Tabel 2.4 Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien Baru Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu : pasien kambuh, pasien gagl atau pasien dengan setelah putus berobat (default).
Tabel 2.5 Paduan OAT yang Diberikan untuk Pasien BTA Positif yang Telah Diobati Sebelumnya
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28
hari
Selama 20 minggu 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tablet 4KDT
2 tablet 4KDT + 2 tab Etambutal 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT + 3 tab Etambutal 55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT + 4 tab Etambutal
71 kg 5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT + 5 tab Etambutal Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg).
3. Kategori Anak : 2HRZ/4HR
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjuan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 2.6 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Anak Berat Badan (Kg) 2 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)
4 bulan tiap hari RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.
4. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah sebagai berikut:
a. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
b. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (cross-resistance)
c. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
d. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
e. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
f. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.
g. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatmen dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yaitu :
Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z - Cs
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila :
a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.
b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
b.1 Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
b.2 Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.
b.3 Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.
b.4 Terjadi perburukan klinis.
C. Tuberkulosis pada ODHA
Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB.
Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
a. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.
b. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
c. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
Tabel 2.7 Paduan Pengobatan ARV pada Waktu TB Didiagnosis Obat ARV
lini pertama / lini kedua
Paduan pengobatan ARV pada waktu TB
didiagnosis
Pilihan obat ARV
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r Lini Kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan) paduan mengandung LPV/r
Keterangan :
*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin). Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk memberikan kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan leadin dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Alternatif lain, pada ibu hamil trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika CD4 tidak diketahui, berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP disertai pemantauan yang teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah sakit.
2.5.3.2 Rehabilitas (Kemenkes RI, 2013)
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama pekerja seks dengan cara pemberdayaan keterampilan kerja dan efikasi diri yang dapat dilakukan oleh sektor sosial, baik pemerintah maupun masyarakat dan
pengguna napza suntik dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca rawat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.. Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial.
Hal ini ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara ekonomi dan sosial.
2.6 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah:
Karakteristik infeksi TB pada penderita HIV/AIDS:
1. Sosiodemografi Umur
Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan
Status Pernikahan Tempat Tinggal 2. Jenis TB
3. Jumlah CD4 4. Stadium HIV 5. Tahap Pengobatan
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain case series yang bertujuan untuk melihat karakteristik penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik tahun 2013- 2015.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Pelayanan Khusus (PUSYANSUS) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan karena ketersediaan data dan belum pernah dilakukan penelitian ini sebelumnya.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April- Oktober 2016 (waktu penelitian terlampir).
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) TB yang tercatat di rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik tahun 2013-2015 yang berjumlah 150 orang.