• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT YANG DICEMAR

5.2.3 Pencemaran embrio dengan E.coli K99

Embrio mencit tahap delapan sel atau morula sebanyak 69 embrio dibagi kedalam tiga kelompok perlakuan. Sebelum dibagi dalam kelompok embrio tersebut dicemari dengan bakteri E.coli K99 dalam mPBS yang mengandung bakteri 103 CFU/ml dan kemudian diinkubasi selama satu jam dalam inkubator 370C. Setelah dicemari dengan bakteri, kelompok I yang terdiri dari 23 embrio, dibasuh dengan cara memindahkan embrio yang ditempatkan dalam tetesan

(drop) mPBS pertama ke enam tetes mPBS yang lain dan selanjutnya ke tiga tetes KSOM, dalam satu cawan petri plastik (35 mm) yang steril. Larutan mPBS yang dipakai tidak mengandung antibiotik. Embrio tersebut dipindahkan dari tetesan mPBS (50µl) ke tetesan lainnya menggunakan mikropipet steril. Embrio kelompok II (perlakuan dengan tripsin), setelah dicemari dengan bakteri E.coli

K99, dimasukan ke dalam tetesan (50µl) medium mPBS yang mengandung tripsin 0,1% (Trypsin, Sigma, St.Louis), dan ditempatkan dalam tetesan tersebut selama 90 detik. Selanjutnya embrio tersebut dicuci dengan memindahkannya dalam tetesan-tetesan medium mPBS tanpa antibiotik, sebanyak enam kali dan empat kali pada tetesan-tetesan KSOM (kalium simplex optimized medium). Embrio kelompok III (perlakuan dengan pronase), setelah dicemari dengan bakteri langsung dimasukan kedalam tetes mPBS (50µl) yang mengandung pronase 0,25% (Protease, Sigma, St.Louis). Embrio-embrio tersebut berada dalam larutan pronase selama sekitar 60 detik yang sebelumnya dihangatkan hingga ±370C (Vanroose 1999) dan sambil diamati di bawah mikroskop binokuler, untuk memantau agar jangan sampai zona pelusida meluruh secara keseluruhan akibat kerja enzim pronase yang berlebih-lebihan. Setelah itu dibasuh dalam mPBS sebanyak enam kali dan pada tetesan KSOM sebanyak empat kali.

Seluruh embrio perlakuan yang telah dicuci tersebut selanjutnya dipidahbiakkan dalam medium (KSOM) tanpa antibiotik. Ke dalam setiap tetesan medium (13µl) dimasukan paling banyak lima embrio perlakuan. Tetesan- tetesan medium KSOM disiapkan dalam petri plasltik 35 mm steril, kemudian ditutupi dengan mineral oil. Embrio ini dimasukan kedalam inkubator CO2 5%

pada suhu 370C, selama 48 jam.

5.2.4 Rancangan percobaan

Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap pola split in time. Perlakuan yang diberikan terhadap embrio tercemar E.coli K99 adalah pembasuhan dengan mPBS, perlakuan dengan mPBS yang mengandung tripsin atau pronase. Pengamatan dilakukan setiap enam jam selama 48 jam. Setiap perlakuan terdiri dari sekitar 23 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu embrio. Pencemar bakteri E.coli K99 yang diberikan ke seluruh embrio adalah 103 CFU/ml dalam mPBS. Parameter yang dievaluasi adalah tingkat perkembangan embrio. Perkembangan embrio yang diamati adalah mulai dari tingkat delapan sel, morula, kompak morula, (Hogan et al. 1994), blastosis dan

blastosis ekspan (Gilbert 1988). Tingkat perkembangan embrio dihitung dari jumlah embrio yang berkembang ke tahap lebih lanjut per jumlah embrio yang dikultur.

5.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh cemaran E.coli K99 terhadap persentase perkembangan in vitro

embrio mencit setelah dilakukan pembasuhan dengan pronase, tripsin, atau mPBS ditampilkan pada Tabel 5.1. Tingkat perkembangan embrio sesaat setelah embrio dicemari dan diinkubasi selama satu jam dalam inkubator 370C, tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tabel 5.1; Lampiran 5).

Pada pengamatan jam ke-6 dan ke-12 setelah embrio dikultur dalam medium KSOM dalam inkubator CO2 5%, 370C, tingkat perkembangan ketiga

kelompok embrio tidak menunjukkan perbedaan nyata. Pada jam ke-18 setelah kultur, tampak mulai adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan embrio antar perlakuan. Pengamatan pada jam ke-18 menunjukkan bahwa embrio yang mendapatkan perlakuan pronase berkembang lebih lambat dibandingkan embrio yang dibasuh dengan mPBS dan perlakuan tripsin yang ditunjukkan dari persentase embrio yang berkembang ke blastosis (Lampiran 5).

Namun pada inkubasi lebih lanjut, pada jam ke-24 perkembangan embrio kelompok perlakuan dengan pronase mengalami perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin. Tetapi, pada jam ke-30, justru perkembangan embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin lebih baik dibandingkan embrio yang mendapatkan perlakuan lainnya. Selanjutnya pada pengamatan jam ke-36, ke-42, dan jam ke-48 tingkat perkembangan embrio yang mendapatkan perlakuan pronase lebih baik dibandingkan dengan embrio yang dicuci dengan mPBS atau yang mendapatkan perlakuan tripsin (Tabel 5.1; Lampiran 6;). Hal ini ditunjukkan oleh embrio yang berkembang mencapai tahap hatching dan hatched lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan lainnya (Gambar 5.1; Tabel 5.1). Pronase menyebabkan zona pelusida mencit meluruh (zonalysin) sehingga memudahkan proses hatching dan

Tabel 5.1. Perkembangan embrio delapan sel yang dicemari E.coli K99, kemudian dibasuh dengan pronase, tripsin, atau mPBS

Perkembangan embrio (%) setelah inkubasi (jam) Perla- kuan Tahap perkem bangan 1 6 12 18 24 30 36 42 48 Pronase 8 Sel 92 0 0 0 0 0 0 0 0 Morula 8 88 0 0 0 0 0 0 0 K.morula 0 12 100 52 12 4 4 4 4 Blastosis 0 0 0 48 44 8 8 4 0 Blas eksp 0 0 0 0 44 40 40 40 20 Hatching 0 0 0 0 0 48 48 28 40 Hatched 0 0 0 0 0 0 0 24 36 Tripsin 8 Sel 92 0 0 0 0 0 0 0 0 Morula 8 88 0 0 0 0 0 0 0 K.morula 0 12 100 36 8 4 0 0 0 Blastosis 0 0 0 64 52 20 8 8 8 Blas eksp 0 0 0 0 40 64 60 48 28 Hatching 0 0 0 0 0 12 32 36 44 Hatched 0 0 0 0 0 0 0 8 20 mPBS 8 Sel 92 17 0 0 0 0 0 0 0 Morula 8 61 4 0 0 0 0 0 0 K.morula 0 22 87 48 22 4 0 0 0 Blastosis 0 0 9 39 35 26 13 4 0 Blas eksp 0 0 0 13 43 70 74 48 48 Hatching 0 0 0 0 0 0 13 48 35 Hatched 0 0 0 0 0 0 0 0 17

Embrio yang mendapatkan perlakuan pencemaran E.coli K99 kemudian dicuci dengan mPBS, tripsin, atau pronase, semuanya berkembang dengan baik selama 48 jam masa pengamatan. Pada semua perlakuan ada embrio-embrio yang setelah dikultur dalam KSOM mampu berkembang sampai ke tingkat

hatching bahkan hatched. Namun demikian dari ke tiga perlakuan tersebut, yang dapat mencapai tahapan hatching atau hatched paling besar adalah kelompok embrio yang dicuci dengan pronase (Tabel 5.2).

Pengamatan embrio yang mendapat perlakuan pencemaran E.coli K99 dan dikultur selama satu jam, kemudian dibasuh dengan pronase dapat dilihat seperti pada Gambar 5.2. Gambar 5.2A, terlihat jumlah sel embrio perlakuan jumlahnya lebih dari delapan sel, namun sebenarnya secara keseluruhan rataan jumlah sel embrio pada awal perlakuan jumlah selnya tidak berbeda nyata (Lampiran 5).

0 20 40 60 80 100 120

Blastosis Blas ekspan Hatching Hatched

Tahap Perkem bangan

P e rk e m ba nga n ( % ) Pronase Tripsin mPBS

Gambar 5.1. Tahapan perkembangan embrio setelah dicemari E.coli K99 dan dikultur in vitro selama 48 jam kultur.

Tabel 5.2. Tingkat perkembangan embrio yang dicemari E.coli K9 pasca perlakuan pembasuhan, pada saat 48 jam inkubasi

Tahap perkembangan embrio / n(%) Perlakuan Jumlah

embrio Blastosis Blastosis Ekspan Hatching Hatched Total

Pronase 25 0 5(20%) 10(40%) 9(36%) 24(96%) Tripsin 25 0 7(28%) 11(44%) 5(20%) 23(92%) mPBS 23 0 16(68%) 3(15%) 4(17%) 23(100%)

Gambar 5.2B. merupakan hasil pengamatan perkembangan embrio pada 24 jam pasca inkubasi, menunjukkan pertumbuhan yang mencapai tahap blastosis ekspan, setelah dibasuh dengan pronase, perkembangan yang mirip juga dicapai oleh embrio yang dibasuh dengan tripsin dan mPBS. Tingkat perkembangan embrio yang dicuci dengan mPBS selama inkubasi 24 jam, tidak berbeda nyata dengan pronase, akan tetapi lebih baik dibandingkan dengan embrio yang dicuci dengan tripsin.

Hasil pengamatan embrio 42 jam pasca inkubasi memperlihatkan bahwa embrio tercemar yang dibasuh pronase, mampu berkembang hingga mencapai tahap hatching (Gambar 5.2C), begitu pula yang dibasuh mPBS. Sedangkan pada perlakuan tripsin perkembangan embrio mencapai tahap blastosis ekspan,

atau rongga blastosul dalam embrio terlihat sangat meluas. Pada pengamatan 42 jam pascainkubasi tersebut, tingkat perkembangan embrio yang dicuci dengan pronase, berkembang lebih lanjut dibandingkan yang dicuci dengan mPBS dan tripsin (Lampiran 5).

Berbagai jenis mikroorganisma seperti virus, bakteri, mikoplasma, dan parasit, mampu mencemari embrio. Untuk menekan pengaruh mikroorganisma tersebut terhadap embrio, lembaga The International Embryo Transfer Society

(IETS) telah mengeluarkan petunjuk baku, yakni dengan pencucian berulang dan memberikan perlakuan tripsin terhadap embrio (Stringfellow & Seidel 1990). Pencucian berulangkali seperti yang disyaratkan oleh IETS tidak sepenuhnya efektif untuk membebaskan embrio dari mikroorganisma, seperti bovine viral diarrhea virus (BVDV), namun pencucian ini mampu menurunkan jumlah virus kontaminan pada embrio (Bielanski & Jordan 1996). Hal itu diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Trachte et al. (1998), bahwa perlakuan pencucian dengan mPBS mau pun dengan perlakuan tripsin tidak dapat menghilangkan virus BVD dari permukaan zona pelusida utuh pada embrio sapi. Dari hasil penelitian ini, perlakuan pencucian dengan tripsin, maupun pronase terhadap embrio yang dicemari dengan bakteri E.coli K99 mampu menekan keberadaan bakteri tersebut. Hal ini terbukti dari minimnya akibat yang ditimbulkan pada perkembangan embrio yang telah dicemari bakteri dan kemudian mendapat perlakuan tripsin atau pronase.

Bakteri E.coli biasanya dengan mudah dapat diisolasi pada vagina sapi dara dan dapat menyebabkan penurunan tingkat keberhasilan kebuntingan, setelah dilakukan embrio transfer nirbedah (non surgical). Adanya bakteri patogen maupun bakteri komensal di dalam saluran reproduksi sangat berpeluang mencemari embrio, sehingga mempengaruhi perkembangannya (Cottel et al. 1996). Infeksi pada saluran reproduksi hewan betina dapat terjadi karena mendapat limpahan bakteri dari saluran pencernaan yang ada di atasnya.

D

C

B

A

Gambar 5.2 Morfologi embrio tercemar E.coli K99 setelah dibasuh pronase. (A) Embrio tahap morula non kompak, yang telah dicemari E.coli K99 selama 1 jam dan dibasuh dengan pronase. (B) Embrio tahap morula, dicemari E.coli K99, setelah dibasuh pronase. Berkembang ke tahap blastosis ekspan dalam 24 jam. (C) Embrio tahap morula, dicemari E.coli K99, setelah dibasuh pronase. Berkembang ke tahap hatching dalam 42 jam. (D) Embrio tahap morula, dicemari E.coli K99, setelah dibasuh pronase. Berkembang ke tahap hatched dalam 48 jam. Bar=20µm.

Embrio dapat mengalami pencemaran atau infeksi oleh mikroorganisma pada saat masih berbentuk ovum karena berkontak dengan jaringan atau cairan folikel ovarium yang mengalami infeksi. Infeksi dapat juga terjadi setelah ovulasi karena dibuahi oleh spermatozoa yang tercemari atau oviduknya mengalami infeksi (Bielanski & Jordan 1996). Untuk mengatasi cemaran pada embrio, maka terhadap embrio itu dilakukan pemrosesan berupa pembasuhan atau perlakuan dengan tripsin. Aplikasi perlakuan pembasuhan dalam pemrosesan mudah dilakukan dalam rangkaian produksi embrio, untuk menghilangkan berbagai cemaran patogen secara in vitro, baik yang berasal dari induk berpenyakit mau pun embrio yang tercemar (Stringfellow & Givens 2000). Pada penelitian pencemaran embrio yang dilakukan oleh Otoi et al. (1992; 1993), menunjukkan

bahwa embrio sapi yang dicemari dengan E.coli sebanyak 109 CFU/ml selama satu jam ternyata tidak dapat dihilangkan dengan pembasuhan dengan tripsin, demikian halnya pencemaran dengan jumlah bakteri 105 CFU/ml selama 18 jam. Dalam penelitian ini, embrio mencit yang dicemari dengan bakteri E.coli K99 sebanyak 103 CFU/ml dan diinkubasi selama satu jam mampu disingkirkan dengan perlakuan tripsin dan pronase. Dilaporkan sebelumnya bahwa tripsin dapat dipakai secara efektif menyingkirkan atau menginaktivasi patogen-patogen tertentu yang melekat ke permukaan zona pelusida (Stringfellow & Siedel 1990). Tetapi kurang efektif untuk pencucian cemaran E.coli K99, mungkin disebabkan oleh konsentrasi E.coli K99 yang terlalu tinggi. Tripsin merusak reaksi perlekatan mikroorganisma pada zona pelusida (Otoi et al. 1993). Perlekatan E.coli K99 ke permukaan sel epitel difasilitasi oleh fimbriae (Vazquez et al.1996), dan perlekatan bakteri tersebut ke permukaan zona pelusida embrio bersifat spesifik (Batan et al. 2006). Reseptor E.coli berdasarkan bobotnya, 19% mengandung asam amino dan 81% karbohidrat. Unsur karbohidratnya terdiri dari glukosa, manosa, galaktosa dan fukosa (Dean & Isaacson 1985). Sedangkan unsur protein pada reseptor E.coli K99 berdasarkan beratnya terdiri dari tiga unsur, yang memiliki bobot 17 kDa, 29,3 kDa, dan 30,9 kDa (Vazquez et al. 1996). Adanya unsur protein dan karbohidrat inilah yang membuat ikatan terjadi antara bakteri dan reseptor pada zona pelusida. Pengaruh pembasuhan dengan tripsin atau pronase dapat mempengaruhi ikatan tersebut.

Dalam penelitian pencemaran E.coli K99 ke embrio mencit, dilakukan untuk mencari model agen infeksius seperti bakteri E.coli K99 yang melekat pada permukaan zona pelusida dan dapatkah agen-agen tersebut dieliminasi dengan pembasuhan. Dengan melakukan pencemaran E.coli K99 sebanyak 103 CFU/ml, menunjukkan bahwa embrio tetap bertahan hidup secara in vitro dalam medium yang dicemari bakteri tersebut selama tiga hari (Batan et al, data tidak dipublikasikan).

Pada saat pembuahan oosit oleh spermatozoa, embrio yang terbentuk melintas dalam saluran oviduk menuju uterus. Selama perlintasan tersebut pada permukaan zona pelusida dan ruang perivitelin tertumpuk glikoprotein seperti musin yang berasal dari oviduk (Buhi 2002). Embrio yang melintasi oviduk tersebut mengalami pengerasan (hardening) zona pelusida. Kejadian tersebut membuat zona pelusida lebih resisten terhadap reaksi kimia dan enzimatik. Namun, perubahan resistensi proteolitik zona pelusida tidak mempengaruhi

perlekatan patogen ke permukaannya (Bielanski et al. 2003; Buhi 2002). Penelitian-penelitian mendalam yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zona pelusida merupakan barier yang efektif guna menahan penetrasi beberapa patogen hewan, dan ada bakteri mau pun virus yang mampu melekat erat ke permukaan zona pelusida (Bielanski 1997).

Tingkat perkembangan embrio tercemar E.coli K99 setelah 30 jam diinkubasi menunjukkan tingkat perkembangan lebih lambat dibandingkan dengan embrio yang diberi perlakuan tripsin atau pun pronase. Selanjutnya tingkat perkembangan embrio yang mendapatkan perlakuan tripsin, tingkat perkembangannya tidak berbeda nyata, tetapi bila dibandingkan dengan embrio yang mendapat perlakuan pronase lebih lambat. Tingkat perkembangan embrio setelah 48 jam diinkubasi menunjukkan bahwa embrio yang mendapat perlakuan pronase skor perkembangannya paling tinggi dibandingkan kelompok embrio yang mendapat perlakuan tripsin, atau mPBS (Lampiran 6). Enzim pronase dilaporkan lebih efektif mencerna zona pelusida dibandingkan dengan tripsin. Dalam melakukan pencernaan tersebut enzim pronase menghidrolisis protein ZP1 dan ZP2 dari zona pelusida (Kolbe & Holtz 2005). Proses pencernaan oleh enzim pronase yang lebih efektif membuat bakteri yang melekat pada permukaan zona pelusida lebih banyak pula yang disingkirkan.

Embrio yang mengalami hatching dan hatched pada perlakuan pronase menunjukkan persentase yang paling tinggi, yakni 76% dan 36% pada perlakuan tripsin menunjukkan 64% dan 20%, sedangkan pada mPBS adalah 52,15% dan 17,4%, (Ganbar 5.1). Menurut Gilbert (1988), embrio pada stadium blastosis ekspan menghasilkan stripsin suatu bahan sejenis tripsin pada sel-sel trofoblas yang bersinggungan dengan zona pelusida. Adanya perlakuan tripsin dari luar embrio pada pembasuhan embrio menyebabkan zona pelusida lebih mudah ditembus oleh embrio yang ukurannya terus membesar. Begitu pula dengan enzim pronase, selain menginaktivasi reseptor E.coli (987P) dengan merusak ikatan bagian asam amino dan karbohidratnya (Dean & Isaacson 1985), enzim pronase bekerja mengikis permukaan zona pelusida beserta bakteri E.coli yang melekat padanya, juga mencerna zona pelusida sehingga membuat zona pelusida menipis disamping merapuh. Embrio yang terus berkembang dan meluas akan lebih mudah mendesak zona pelusida, membuat embrio yang mendapat perlakuan pronase paling banyak mengalami hatching dan hatched.

5.4 SIMPULAN

Pencucian embrio menggunakan mPBS, tripsin, atau pronase dapat mengeliminasi cemaran bakteri E.coli K99 103 CFU/ml dan tidak mengakibatkan kematian embrio. Pembasuhan dengan pronase 0,25% dalam mPBS merupakan larutan paling efektif untuk menghilangkan bakteri dari permukaan embrio.

5.5 SARAN

Perlu dilakukan penelitian terhadap embrio tercemar yang dibekukan, karena mungkin saja sebelum dibekukan, embrio tercemar tidak terbebas dari agen penyakit walau pun telah dibasuh. Agen yang tidak tercuci kemungkinan tetap mencemari embrio sampai pada saat embrio tersebut akan dibekukan.

6. VITRIFIKASI BLASTOSIS MENCIT DiCEMARI ESCHERICHIA

COLI K99 DENGAN METODE KRIOLUP

6.1 PENDAHULUAN

Pemanfaatan kultur blastosis dan transfer embrio tahap blastosis sebagai keperluan rutin pada klinik in vitro fertilization semakin meningkat (Lane et al. 1999). Pada tahun 2002, sekitar 270.000 embrio sapi dikriopreservasi untuk tujuan komersial. (Thibier 2003). Blastosis umumnya dikriopreservasi dengan teknik slow-freezing, menggunakan krioprotektan berkonsentrasi rendah dan laju pendinginan yang rendah, yakni 0,1-0,30C per menit guna memperlambat dehidrasi sel selama pembekuan dan mencegah terbentuknya kristalisasi intrasel. Kristal es menyebabkan kerusakan pada membran dan organel-organel sel sehingga menurunkan daya tahan hidup embrio yang dibekukan (Rall 1987). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengeluaran cairan yang seimbang dari dalam sel, jika terlalu banyak cairan yang dikeluarkan akan meningkatkan konsentrasi bahan terlarut dalam sel, dan keadaan ini bersifat toksik. Teknik pembekuan

slow-freezing, harus dilaksanaan secara hati-hati, untuk menghindari

terbentuknya kristal es. Terbentuknya kristal es dan kepekaan sel-sel tersebut terhadap pembekuan dapat mengakibatkan kematian embrio (Martino et al. 1996). Sebagai pengganti metode pembekuan slow-freezing, kini umum dilakukan dengan metode pembekuan sangat cepat atau vitrification (vitrifikasi).

Vitrifikasi pada awalnya merupakan proses cryoprotection (krioproteksi) pada beberapa tanaman yang bertahan hidup dalam suhu sangat dingin di kutub utara (Hirsh 1987). Pada dasarnya vitrifikasi merupakan pemadatan larutan pada suhu rendah tanpa disertai pembentukan kristal es, dengan cara meningkatkan viskositas larutan dan mempercepat laju pembekuan, yakni 15.000-24.0000C per menit (Vajta et al. 1997). Konsentrasi krioprotektan yang tinggi jika dibekukan dengan cepat menghasilkan substansi seperti jeli, sedangkan laju pendinginan yang cepat mencegah kerusakan akibat pembekuan (Vajta et al. 1998). Embrio yang dikriopreservasi dengan teknik vitrifikasi cepat, lebih baik dibandingkan dengan slow freezing (Mahmoudzadeh et al. 1994). Kriopreservasi dengan metode vitrifikasi, menjadi metode pilihan yang menjanjikan dalam mengawetkan oosit dan embrio mamalia di masa depan. Pelaksanaan metode ini lebih mudah, cepat, dan lebih murah, dibandingkan

dengan cara pembekuan lainnya (Cseh et al. 1999). Untuk mencapai proses pembekuan yang cepat pada proses vitrifikasi, perlu mempertimbangkan penggunaan volume larutan vitrifikasi sekecil mungkin, seperti pada electron microscopy grid, kapiler kaca, open-pulled plastic straw, dan cryoloop. Embrio yang ditempatkan dalam alat carrier tersebut dapat langsung dibekukan dengan cara dicelupkan kedalam larutan nitrogen cair (Begin et al. 2003).

Metode kriopreservasi semen untuk keperluan inseminasi buatan yang umum diterapkan pada spesies mamalia dan nonmamalia dilaporkan dapat terinfeksi silang oleh Escherichia coli, Staphylococcus aureus lewat nitrogen cair (Piasecka-Serafin 1972 yang disitir Rall 2003). Hal serupa dilakukan oleh Bielanski (2003). Rall (2003) melaporkan bahwa bakteri patogen dan virus mampu bertahan hidup lama jika dibenamkan dalam nitrogen cair. Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji daya tahan (viabilitas) blastosis yang dicemari E.coli

K99 setelah vitrifikasi, dan menguji efektifitas metode vitrifikasi kriolup.

6.2. MATERI DAN METODE

6.2.1. Superovulasi dan koleksi embrio

Superovulasi dan pemanenan embrio dilakukan sama dengan yang telah dikemukakan pada subbab 4.2.1.

6.2.2. Pembuatan kriolup(cryoloop)

Kriolup yang digunakan untuk melakukan vitrifikasi berupa jerat (loop) dari bahan filamen kawat tembaga, dengan ketebalan filamen 100µm, dan garis tengah jerat 1250µm (Gambar 6.1). Bagian kawat tembaga yang tidak membentuk jerat dipilin sehingga membentuk tangkai jerat yang dapat dimanfaatkan sebagai pegangan saat melakukan pemuatan embrio dalam proses vitrifikasi. Kriolup sebagai wadah (carrier) blastosis tersebut merupakan modifikasi kriolup nilon seperti yang dipakai oleh Lane et al. (1999) dan Mukaida

et al. (2001).

Dokumen terkait