• Tidak ada hasil yang ditemukan

10.Penciptaan, dosa, pelepasan

Dalam dokumen ETIKA KRISTEN STT SETIA (Halaman 45-51)

Terdapat tata tertib alam kejadian? (terj. Verkuyl dari ‘Schöpfungsordnungen’, ordo

creationis).

Khususnya Emil Brunner, Das Gebot und die Ordnungen, membahas etika tata tertib alam kejadian. Brunner adalah seorang teman Karl Barth, tetapi dalam penghargaan terhadap tata tertib tersebut mereka berbeda pendapat. Brunner, seperti Barth, memang mengatakan bahwa manusia menerima perintah Allah hanya pada saat tertentu saja, bila Allah memanggilnya,

gaya eksistensialistis. Tetapi menurutnya harus dibedaken antara ‘Gebot’, perintah, dan ‘Ordnungen’, ketentuan-ketentuan. ‘Gebot’ merupakan panggilan Allah pada saat kita

bertemu Tuhan secara eksistensial, ‘Ordnung’, atau ‘Gesetz’, terdiri dari Alkitab, dan juga hati nurani, maupun hukum-hukum alam, bahkan kebiasaan-kebiasaan sosial. Barth mengeritik Brunner, dan menurut Douma dengan benar, sebab tidak mungkin realita-realita di sekeliling kita bisa bersuara, seperti dikatakan Brunner.

Manusia selalu sibuk untuk membentuk struktur dalam lingkungan hidupnya, sesuai struktur yang telah ditemukan secara alamiah, sosial dan bersejarah, tetapi ia merusakkannya juga. Berbahaya jika ‘struktur’ menjadi sumber tersendiri bagi kita.

Tentu struktur-struktur penting adanya, dan diletakkan Allah Pencipta dalam dunia ini. Apalagi, manusia yang baru akan diperbaharui sesuai gambar Penciptanya (Kol. 3:10). Struktur yang diletakkan Penciptanya dalam dunia ini harus dihargai. Tetapi manusia tidak dapat tahu persis bagaimana adanya struktur dunia pada saat diciptakan Allah, yaitu sebelum ada dosa, dan juga ‘schema’ (=struktur) dunia ini sedang berlalu (1 Kor. 7:31).

Struktur-struktur itu tidak boleh diabadikan. Tetapi J. Douma membahas struktur sebagai salah satu dari kelima relasi yang penting bagi manusia, lih. fasal 12.

Lex naturalis (hukum alamiah)

Ordo creationis adalah struktur yang ditemukan dalam ciptaan-ciptaan, sedangkan lex naturalis –kata orang- adalah hukum yang telah tertulis dalam hati setiap manusia, sekalipun ia tidak menyadarinya.

Sesuai pandangan Reformed tidak mungkin untuk menyusun sebuah etika atas dasar lex naturalis, seperti diusahakan gereja RK.

Memang menurut Roma 2:14 bangsa-bangsa melakukan hukum Allah dari dirinya sendiri (natura) . Benarlah juga, bahwa terdapat moral di dunia, di luar gereja pula. Tetapi hukum yang dimaksudkan dalam Roma 2 :14 adalah hukum Musa, bukan semacam hukum dalam hati manusia yang dimilikinya sesuai dengan sifatnya sebagai manusia. Kata Paulus ialah bahwa bangsa-bangsa sekalipun tidak mengenal hukum Allah tetap melakukan ‘pekerjaan hukum’. Bukan inti hukum Allah yang diraih oleh bangsa-bangsa itu, tetapi yang dilakukan mereka adalah hasil dari pengaruh hukum.

Jangan kita berargumentasi bertolak pada sebuah hukum alamiah sepertinya diciptakan Allah sebagai sesuatu yang bekerja sendiri. Lebih baik kita mendasarkan pikiran pada kelebihan kuasa penyataan Allah.

Apalagi, tujuan Roma 1 adalah menggambarkan manusia sebagai oknum yang tidak bisa berdalih, dan mendakwanya. Tujuannya bukan mengajarkan suatu teori tentang tata tertib alam kejadian.

Inti dosa

Dosa sangat berkuasa dalam diri manusia, dan karena itu bukan saja manusia menderita, tetapi bumi juga. Hubungan manusia dengan Allah akan diperbaharui hanya oleh Yesus Kristus, dengan penderitaan-Nya dan kematian-Nya.

Menurut Alkitab dosa adalah pelanggaran, ketidaktaatan, pemberontakan, kesombongan, permusuhan dengan Allah, anomia. Satu kata tidak cukup, sebab dosa mempunyai banyak aspek.

Bapak-bapak gereja seperti Augustinus berkata dosa adalah ‘privatio boni’; dan untuk lebih tepat : ‘actuosa privatio boni’. Dosa berarti bahwa yang baik (bonum) telah dirampas

(privatio). Dan menyangkut actuosa : dosa adalah satu kekuatan yang aktif bekerja, justru karena yang baik telah dirampas daripadanya. Dosa adalah seperti tumbuhan benalu, yang mengisap daya hidup dari tumbuhan lain sedangkan ia sendiri tidak mempunyai perakaran di tanah.

Dosa turunan

Sekalipun manusia telah menjadi hamba dosa, ia tetap bertanggungjawab atas dosanya. Sekarang keadaannya : non posse non peccare (tidak mungkin tidak berbuat dosa : Augustinus).

Terdapat peccatum originale, dosa turunan, yang menyatakan : 1. dosa sudah ada sebelum kita ada

2. karena ketentuan Allah dosa Adam telah menjadi sumber segala dosa. 3. dosa total adanya, bukan saja mengenai hawa nafsu, seksualitas

4. dosa universal adanya, kena seluruh umat manusia dan telah berkembang menjadi bermacam-macam kuasa jahat, yang menaklukkan berjuta-juta orang.

5. dosa membangkitkan segala macam keinginan.

Augustinus : bahkan kebajikan manusia yang terbaik adalah splendida vitia : dosa yang gemilang. Sekalipun dalam dunia ditemukan banyak hal yang menggembirakan.

Kejahatan harus dicari dalam hati manusia yang berdosa, bukan dalam hubungan-hubungan sosial (Marx), dan bukan juga dalam pertentangan antara hawa nafsu dan kenyataan (Freud) atau agresi manusia yang belum dikendalikan (Lorenz).

Kebebasan

Manusia mempunyai kehendak bebas, sehingga ia sendiri bertanggungjawab atas dosanya. Tetapi bukan bebas dalam arti bahwa ia sendiri dapat luput dari perhambaan dosa.

Secara antropologis memang manusia mempunyai kehendak bebas, jadi bebas dari paksaan. Tetapi secara religius tidak, sebab tidak mungkin ia sendiri dapat memilih mengikuti Tuhan. Manusa bebas dalam arti religius jika ia dibebaskan oleh Kristus dan diperbaharui oleh Roh. Bagi orang Kristen pengertian ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’ berbeda dengan pandangan humanis.

Mulai dari aliran Stoa di Yunani kuno kebebasan dilihat sebagai bagian dari ataraxia: kemampuan untuk tidak terpengaruh dan tidak tergerak. Dan sekaligus: mampu untuk berkuasa atas nasib yang menentukan kehidupan. Bagi orang Yunani seorang merdeka berbeda dengan seorang budak. Seorang budak harus menaati tuannya, dan seorang merdeka memang bebas terhadap orang lain. Namun, seorang merdeka tetap taat kepada perintah-perintah negara dan menyadari tanggungjawabnya.

Seorang Kristen tidak akan memilih antara determinisme atau indeterminisme, yakni antara keterikatan dan kebebasan. Bagi seorang Kristen kebebasan tidak berarti boleh mengatur dirinya sendiri, tetapi bahwa ia terikat kepada Tuhan Allah, dan justru itulah kemerdekaannya.

Kebebasan Kristiani

Kalau kita membicarakan kebebasan Kristiani, harus kita membedakannya dari kebebasan secara filsafat yang menunjukkan otonomi yang mutlak. Kebebasan adalah sebuah kata Alkitabiah tentang pergaulan dengan Allah tanpa halangan, di dalam Kristus, sebagai jalan

kebenaran. ‘Bebas’ berarti: berada dalam lingkungan asal, bersama dengan Allah. Pada saat manusia mau memperluas lingkungannya ia mirip seekor ikan yang melompat dari dalam air dan mati di atas darat. Pembebasan adalah bahwa ikan dikembalikan kedalam air.

Kebebasan Alkitabiah itu tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan. Kita boleh bergaul dengan Allah dan menikmati segala yang diberikan-Nya. Band. Gal. 3,4,5.

Kebebasan dan hukum : kita telah dibebaskan dari kutuk dan kuk hukum. Tetapi hukum

sendiri itulah baik, dan adil, dan benar. Hukum mosaica telah menjadi hukum Kristus, sedangkang interpretasi orang Farisi yang mendangkalkannya ditolak oleh Kristus sendiri dalam Khotbah di bukit..

Seorang yang mendalami hukum Kristus mendalami hukum kemerdekaan yang sempurna (Yak. 1).

Pada waktu Perjanjian Lama orang beriman tidak merasakan hukum sebagai penyiksaan atau beban, Mazm. 119, Mazm 92. Jadi, jangan memisahkan Hukum dan Injil, seperti sering dilakukan oleh teolog-teolog Luteran. Kata Roma 10:4 tentang Kristus yang adalah telos (tujuan, penggenapan) dari hukum Taurat bagi mereka yang percaya, harus diartikan sbb: bagi orang beriman hukum bukan jalan keselamatan, sekalipun pada waktu Perjanjian Lama memang sering ditafsir demikian, apalagi oleh orang Yahudi pada zaman rasuli. Tetapi orang yang percaya dengan sungguh-sungguh tidak pernah melihat hukum seperti itu, bahkan pada masa Perjanjian Lama pun tidak. Allah yang menyelamatkan.

Berbeda sekali dengan orang Luteran itu adalah pandangan Barth yang mengatakan bahwa hukum adalah sebuah bentuk Injil. Pandangan itu tak dapat disetujui sebab menghilangkan rasa bersalah.

Fungsi hukum yang bertujuan tiga (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab, 64-70).

Jemaat Kristen telah menerima hukum mosaica dari tangan Kristus dan sebagai hukum Kristus, dan bagi jemaat itu fungsi hukum dapat dibagi tiga:

Usus legis primus: usus politicus atau civilis: bermanfaat bagi kehidupan politik. Usus legis secundus: usus pedagogicus atau elenchticus, untuk menunjukkan dosa.

Usus legis tertius: usus didacticus atau normativus, untuk menjadi pedoman bagi pengucapan syukur.

Usus primus mengekang kejahatan, tetapi tidak mengalahkannya. Melalui hukum itu Allah mengatur bahwa kehidupan di bumi tetap mungkin. Hukum Allah adalah pakaian yang satu-satunya yang cocok untuk dunia. Usus primus itu juga adalah alat dalam tangan Kristus, sebab Dialah yang mempunyai kuasa baik di surga maupun di bumi.

Usus secundus sering dikaitkan dengan Gal.3: 24, dari situ juga kata pedagogicus. Cuma, tidak terlalu tepat sebab menurut nas tersebut hukum adalah pedagogos sampai Kristus, jadi sekarang tidak lagi. Dalam sejarah keselamatan fungsi tersebut telah berlalu.

Namun, hukum tetap berlaku sebagai cermin untuk mengenal dosa, sebab dalam diri kita adalah perjuangan antara roh dan daging (Roma 7:13 dst). Tetapi Injil mendahului Hukum, band. pendahuluan hukum Taurat.

Mengenai kata pedagogis: dulu seorang pedagogos tidak selalu disenangi: ia bukan saja pendidik, tetapi juga penjaga.

Usus tertius berlaku dalam dan untuk pengudusan hidup. Dalam tangan Kristus hukum berlaku sebagai pedoman.

Sering dikatakan bahwa untuk Calvin usus yang ke-3 itu telah menjadi nr 1. Verkuyl menerangkan bahwa usus elechticus menjadi nr 1 untuk Calvin, baru normativus, baru politicus. Menurut Douma para Reformator sebenarnya tidak berselisih pendapat, tetapi para penganut Luter memang kurang menghargai usus normativus dan berfokus pada politicus dan khusus elenchticus.

Perfeksionisme.

Seorang perfeksionis beranggapan bahwa kesempurnaan sudah bisa dicapai dalam kehidupan ini, dan ia melupakan perjuangan seperti dalam Roma 7 :14. Mereka menafsir Roma 7 secara lain : yaitu bahwa Paulus berbicara tentang hidupnya sebelum bertobat. Semboyan Reformasi ‘simul iustus dan peccator’ dilupakan.

Kehendak manusia memang tidak bebas lagi, dan harus dibebaskan, namun belum sampai sempurna.

1 Joh 3:9 harus dikaitkan dengan 1 Joh. 1:10, dan 1 Joh. 2:1. Seandainya sudah sempurna, mengapa doa ‘Bapak kami’ mengatakan ‘jangan membawa kami kedalam pencobaan? Perlu disadari Fil. 3 :12.

Seorang perfeksionis menyangka bahwa seorang beriman bukan saja bebas dari utang dosa tetapi juga dari kuasa dosa. Mis. John Wesley berpikir bahwa sesudah pembenaran oleh iman, dosa manusia dapat dimenangkan secara riil, melalui tindakan Allah yang khusus, yaitu ‘second blessing’, Wesley ditentang oleh Ludwig von Zinzendorf, pelopor Pietisme dari Jerman.

Zinzendorf benar, sebab ‘tamim’ (Ibr) dan ‘teleios’ (Yun) tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi hidup yang ditujukan kepada Allah dengan baik.

1 Joh 3:9 tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi harus dilihat dalam pertentangan dengan orang gnostik yang mengatakan bahwa mereka yang mengenal Allah tidak melakukan dosa lagi. Dosa itu tidak kena diri mereka, hanya tubuh saja. Karena itu Yohannes mau

menyatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar mengenal Allah, sebab kalau begitu benih Allah ada didalamnya, dan juga Kristus presens (hadir) (4:4). ‘Tidak bisa berdosa’ bukan kenyataan, tetapi norma yang jelas dan masuk akal: tidak bisa seorang Kristen melakukan yang demikian.

Sikap lain, bertentangan dengan perfeksionisme, adalah sikap orang yang senang-senang saja, mudah puas, sembrono, lalai. Mereka tidak berjuang lagi, tidak mencita-citakan pengudusan (Ibr. 12:14).

Perjanjian Baru tidak mengizinkan untuk menyangkal kesungguhan dosa, sekalipun dalam iman dapat dikatakan bahwa kita telah mati bagi dosa dan hidup bagi Kristus..

Manusia mempunyai suara hati.

Pada Abad Pertengahan sering dipikirkan bahwa suara hati pada dasarnya tidak bisa keliru. Dibedakan antara ‘synterese’ (±pemeliharaan) dan ‘conscientia’ (‘suneidesis’, ± mengetahui bersama). Synterese adalah kapasitas natural untuk melakukan apa yang baik dan perlu dipertahankan terhadap yang jahat. Di samping itu adalah conscientia, yang bisa keliru. Dalam pandangan RK maka gereja membantu manusia, sebab imam dalam acara pengakuan dosa dapat menunjukkan sikap yang pasti dan menolong anggota gereja yang mengaku dosanya.

Para reformator melihat suara hati sebagai penuduh. Memang para reformator tetap menganggap adanya terang kodrati, tetapi itu ditindas dengan kelaliman (band. Rom.1,2). Calvin menggambarkan conscientia sebagai ‘mengetahui bersama dengan Allah’. Menurut Calvin suara hati berada di tengah Allah dan manusia.

Tetapi pada abad 19 dan 20 F. Nietsche dan S. Freud menjelekkan suara hati, sebab adalah fenomena yang menyakiti manusia. Menurut Freud essensi manusia tidak-personal: Es, id. Libido. Tetapi Ich, ego harus menyesuaikan diri. Emanasi (munculnya) libido (hawa nafsu) dikekang oleh perintah dan larangan, khususnya dari orangtua. Kemudian terjadi identifikasi antara Ich dan instansi dari luar, khususnya ayah, sehingga terbentuk Uber-Ich dan dengan itu moral. Jadi Ich diserang oleh Es dan oleh Uber-Ich.

Menurut Nietsche orang yang terbaik adalah dia yang berani berlagak ego-istis: itulah kebebasan mutlak. Sebab kalau tidak ego-istis, maka kita mengikat diri kepada orang lain. Dan suara hati tidak boleh menghalangi manusia dalam kemauannya yang keras itu. Menurut Douma suara hati adalah lembaga dalam diri manusia yang mengkonfrontirnya

dengan segala keputusannya, lalu menilai itu.

Juga orang yang bukan Kristen mempunyai sedikit pengenalan akan Allah bahkan suara hati: Roma 2:14.

Bahasa Ibrani tidak mengenal kata untuk ‘suara hati’. Mungkin ‘leb’ ‘hati’ bisa dianggap sebagainya. NT mengenal kata ‘suneidesis’.

Berhubungan dengan itu De Kruijf bersama Van Oyen menunjukkan bahwa dalam khotbah – Nya Tuhan Yesus tidak pernah berkata tentang suara hati, dan juga tidak tentang kesusilaan dan kebajikan. Sebab Tuhan Yesus tidak bertolak dari kesusilaan atau moral umum , tetapi menekankan relasi pribadi antara Allah dan manusia. Tuhan Yesus menuntut kesetiaan kepada firman-Nya sendiri: “Tetapi Aku berkata...”. Baru dalam surat-surat rasuli menjadi jelas bahwa seorang yang bertemu dengan Tuhan Yesus akan dilepaskan dari ketakutan dan ketegangan dan mendapat hati nurani yang baik dan murni (1 Tim.3:4, 1 Petrus 3:16). J.I. Packer : suara hati agak otonom, tetapi kita dapat menindasnya. Jika suara hati dibentuk oleh Firman dan jika ditaati, maka ia menjadi ‘Gods deputy and viceregent within us, Gods spy in our bosoms, Gods sergeant, which He employs to arrest the sinner’.

Dalam pandangan Augustinus dan pandangan Reformed maka kehendak dan juga suara hati harus diperbaharui oleh Roh Kudus, jadi kita teringat akan pandangan Verkuyl, yang sudah disebut dalam fasal yang pertama.

Suara hati yang baik merasa diri bebas di depan Allah. Tetapi suara hati yang baik tidak bisa dibentuk di luar anugerah Allah.

Kepustakaan

Craig L.Blomberg, Tidak miskin, tetapi juga tidak kaya, Jakarta 2011. R.P. Borrong, Etika bumi baru.

David K. Clark, Robert V. Rakestraw (eds), Readings in Christian Ethics, Vol. 1: Theory and Methods, ed.7, 2006; Vol. 2: Issues and applications, ed.9, 2005.

Jochem Douma, ‘Christelijke Ethiek’ I, Grondslagen, (‘Etika Kristen’, I, Dasar-dasar), 1999; kemudian diterbitkan jilid VI tentang etika medis.

Jochem Douma, ‘Kelakuan yang bertanggungjawab’, 1993

Jochem Douma, ‘The Ten Commandments. Manual for the Christian life’, 1996. Norman L.Geisler, Etika Kristen.

Joh. C. Graafland, Rentmeesterschap bij Calvijn: Leefregels bij de kredietcrisis (Calvin

tentang menjadi bendahara: peraturan-peraturan hidup dalam krisis kredit). In: Radix, 2008.

Carolyn Holderread Heggen, Pelecehan seksual dalam keluarga Kristen dan gereja, Jakarta 2008.

Timothy Keller, Generous justice. How God’s grace makes us just’, 2010. Henk ten Napel, ‘Jalan yang lebih utama lagi. Etika Perjanjian Baru’, 1997. Larry L. Rasmussen, Komunitas bumi baru (Jakarta 2010).

Joh.J. Verkuyl, Etika Kristen (umum, sosial-ekonomi, etika seksuil, ras, bangsa, gereja, negara, etika politika, etika dan kebudayaan, kapita selekta), 1956 (dan tahun-tahun berikut). Christopher J.H. Wright, Old Testament Ethics for the people of God, 2004.

Dalam dokumen ETIKA KRISTEN STT SETIA (Halaman 45-51)

Dokumen terkait