• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA KRISTEN STT SETIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETIKA KRISTEN STT SETIA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA KRISTEN

STT SETIA

Mei 2014

Dr Jan Boersema

(2)

Daftar isi

1. Etika umum dan etika Kristen

6

2. Utilisme atau deontologi? Atau etika kebajikan?

11

3. Kitab Suci sebagai sumber Etika.

15

4. Kasih sebagai inti Hukum. 19

5. Kesepuluh hukum (hukum 1-4). 23

6. Kesepuluh hukum (hukum 5,6). Etika medis. 27

7. Kesepuluh hukum (hukum 7)

32

8. Kesepuluh hukum (hukum 8-10). Etika lingkungan.

37

(3)

1. Moral dan etika.

Prakata

Dalam setiap budaya dan agama manusia membahas ‘moral’ dan ‘etika’. Kata-kata itu menunjukkan kelakuan yang baik. Kedua kata sering ditukar, namun lebih baik kalau kedua istilah tersebut dibedakan, yaitu bahwa ‘moral’ merupakan deskripsi kelakuan itu dan etika merupakan ilmu atau pertimbangan-pertimbangan tentang moral.

Ditemukan pula kata-kata sifat seperti yang sesuai kedua kata benda tersebut, yaitu ‘moril’ dan ‘etis’.

Filsafat Barat dan juga teologia Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan Romawi, dan disitu dikembangkan pertimbangan-pertimbangan etis yang berperan sampai sekarang. Kedua kata tersebut berasal dari dunia Yunani/Romawi: moral datang dari kata bah. Latin ‘mos’, dan etika dari kata bah. Yunani ‘ethos’. Dalam kedua bahasa klasik itu kata-kata ini mempunyai arti yang sama, yakni ‘kebiasaan’ ‘perilakuan’, ‘adat’.

Sebuah kamus Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) membedakan etika dan moral sbb: etika : ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral); moral : (ajaran tt) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak).

Sebuah istilah lain adalah kesusilaan, yang terdiri dari katakata Sanskerta ‘sila’, norma kehidupan, dan ‘su’: baik. Dewasa ini kesusilaan sering dipakai dengan arti sopan santun, tetapi pada akarnya artinya sama dengan etika (Brownlee).

Buku-buku agama Kristen tidak selalu memisahkan ajaran dan etika. Dalam karangan Yoh. Calvin ‘Institutio’ (ajaran tentang agama Kristen), etika tercakup. Begitu dalam Karl Barth ‘Kirchliche Dogmatik’. Terdapat juga banyak buku etika kristen yang tidak bercampur dengan pembahasan ajaran, akan tetapi pemisahan itu dibuat dengan dasar praktis saja, bukan karena alasan prinsipiil.

Diktat ini bersandar dengan khusus pada karangan-karangan J. Douma, yang berjudul

Christelijke ethiek (Etika Kristen), dari tahun-tahun terakhir abad yang ke-XX. Di Indonesia

terkenal karangan-karangan Joh. Verkuyl, Etika Kristen. Dan walaupun terdapat pembedaan waktu yang cukup terasa antara tahun-tahun Joh. Verkuyl (tahun 50-an dan 60-an abad XX), dan tahun-tahun J.Douma (tahun 90-an abad XX, tahun 10-an abad XXI), dasar dan alur pikiran Verkuyl dan Douma tidak berbeda.

(4)

Kami menggunakan juga Malcolm Brownlee, ‘Pengambilan keputusan etis, dan faktor-faktor

di dalamnya’, dari tahun 1981. Brownlee berkata bahwa buku Verkuyl sangat berguna, dan

bukunya sendiri bukan pengganti dari karangan Verkuyl. Kami sendiri juga menganggap karangan Verkuyl tetap berharga. Verkuyl menerangkan dengan khusus kesepuluh hukum sedangkan Brownlee lebih mengarahkan perhatiannya kepada Alkitab sebagai keseluruhan dan menganggap bahwa perintah-perintah yang terdapat di dalamnya tidak langsung berlaku sebagai perintah bagi kita.

Etika Dietrich Bonhoeffer, yang dikarangnya selama Perang dunia II, dan sebagian bahkan dari dalam penjara, telah membentuk juga banyak orang Kristen di negeri-negeri Barat. Akhir-akhir ini teolog-teolog dan filsof-filsof yang berbahasa Inggeris berpengaruh. Saya menyebut Alisdair Mc Intyre, Oliver O’Donovan, Stanley Hauerwas, dan tak lupa juga karangan-karangan Tim Keller, yang buku-bukunya sering mempunyai makna etis. Pengganti Douma sebagai mahaguru di STT Kampen adalah A. L. Th. De Bruijne, yang dalam 2006 menerbitkan disertasinya tentang Oliver O’Donovan, yang berjudul: ‘Levend in Leviathan’ (Hidup di dalam Leviathan). Leviathan adalah nama Ibrani untuk ular naga, yang dalam Abad Pertengahan sering dilukiskan sebagai lambang neraka, dan kadang-kadang juga sebagai pemerintah yang jahat, sesuai Wahyu 13. Berhubung dengan itu perlu dicantumkan filsof Inggeris Thomas Hobbes, yang dalam abad ke 17 mengarang ‘Leviathan’, tentang kuasa pemerintah dari sudut pandang humanistis. Kami akan membahasnya dalam bab 1.

Kami mencantumkan lagi sebuah pedoman etis yang terkenal: Christopher J. Wright: ‘Old Testament Ethics for the people of God’, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Hidup

Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, BPK 2007. Bagian umum buku ini tentang

‘segitiga etika’ akan kami bahas dalam pelajaran 4. Yaitu : Allah, tanah dan bangsa.

Definisi

Moril (sebagai kata sifat; kata benda adalah: moral).

Etika menganalisa dan menimbang hal-hal moril.Tetapi, apakah yang menentukan arti moril? Sesudah berusaha memberikan beberapa jawaban, akhirnya Douma berkesimpulan bahwa tidak mungkin kita memberi suatu definisi tentang moril yang terdiri dari satu ciri khas saja, yang berlaku bagi semua kenyataan moril. Definisi yang diusahakannya adalah sebuah perumusan yang menyebut banyak aspek.

Dalam definisi yang disarankan Douma terdapat 7 aspek yang menggarisi dan menentukan arti ‘moril’:

Definisi ‘moril’:

(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue) (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

‘Moril’ adalah sebuah kata sifat, yang harus dikaitkan dengan kata benda ‘kelakuan’ , dan kata itu (kelakuan) menjadi kata dasar dalam definisi etika (ilmu tentang moral), sekalipun kita

(5)

akan membicarakan pula motivasi yang mendorong, dan kebajikan-kebajikan yang dibutuhkan dan yang menjaminkan kontinuitas dalam kelakuan.

Definisi ‘etika’:

Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan sebagai kelakuan yang

(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue), (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

Perbedaan etika dengan dogmatika bagus diterangkan Verkuyl sbb : Dogmatik bertolak dari keyakinan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh. 4 :19), sedangkan etika berfokus pada perintah bahwa manusia harus mengasihi Allah (dan sesamanya) (Mat. 22 :37-40). Keterkaitannya dengan tepat dilukiskan oleh Tim Keller dalam ‘Generous justice. How God’s

grace makes us just’ (Keadilan yang murah hati. Bagaimana kasih karunia Allah menjadikan

kita orang yang adil). Jika seorang manusia sungguh-sungguh merasakan kasih karunia Allah terhadap dia, orang berdosa, maka ia akan mengejar keadilan. Keller berhasil menghindar dari dogmatisme, yang hanya mengutamakan ajaran murni dan keselamatan jiwa, maupun dari ‘Social Gospel’ yang menekankan pergerakan di bidang sosial dan tidak mengkhotbahkan Kristus yang mati untuk menebus dosa. Keller malah mengkaitkan ajaran yang murni dengan kelakuan baik orang Kristen. Bukan saja Allah yang adil dalam menebus dosa karena jasa Kristus, tetapi seharusnya manusia yang diselamatkan juga adil terhadap sesamanya. Keller mengutip seorang filsof, A. Leff, yang membuktikan bahwa baik rasio maupun kasih mesra tidak berhasil untuk menjadikan kita manusia yang baik. Mujizat itu dikerjakan oleh Allah saja, dalam Yesus Kristus, dengan Roh-Nya.

Kalau kita mau menolong sesama kita, kata Keller, pertolongan itu harus diberikan pada tiga tingkat: 1. Sumbangan (kepada orang yang melarat), 2. Pendidikan (kepada orang yang sudah ditolong itu), 3. Pengembangan masyarakat (agar lebih aman, lebih stabil, lebih makmur). Brownlee menekankan bahwa ciri khas sebuah keputusan etis adalah bahwa keputusan itu tidak bisa dielakkan dan harus diambil. Pertimbangan-pertimbangan harus menuju tindakan. Dalam hal itu harus kita beresiko bahwa mungkin keputusan kita salah, tetapi jika kita tidak mengambilnya kita lebih salah lagi. Kalau pengambilan disertai dengan doa dan penyerahan diri kepada Tuhan, kita tidak usah kuatir. Tuhan akan menolong. Dan kalau kita ternyata salah, Tuhan akan mengampuni. Kita seperti seorang yang mengemudi kendaraan pada waktu malam. Sinar lampu hanya bercahaya sampai beberapa puluhan meter ke depan, bukan seluruh jarak disinari. Bukan seluruh jalan, hanya sampai tikungan berikut. Tetapi sementara kita maju, kita selalu diterangi terus-menerus.

Seorang filsof bernama Herman Dooyeweerd (abad yang ke-20, dalam gereja Reformed di Belanda) memelopori mazhab filsafat kristen yang dikenal sebagai ‘Filsafat tentang lingkungan hukum’. Ia meneruskan pandangan yang dikembangkan oleh Abraham Kuyper bahwa terdapat beberapa

lingkungan hidup yang tidak boleh dicampurbaurkan (mis. rumah tangga, gereja, negara, universitas). Dietrich Bonhoeffer berbicara tentang 4 mandat yang diberikan Allah kepada manusia : gereja, keluarga/pendidikan, pekerjaan/budaya, pemerintah. Perhatikan bahwa Bonhoeffer tidak berbicara tentang negara. Ia telah melihat betapa besar bahayanya kalau satu negara atau satu bangsa dijunjung tinggi, bahkan diperilahi. Sebab hal itu terjadi dalam negara yang dipimpin oleh rezim Nazi di Jerman pada waktu itu (Hitler), dan Bonhoeffer merasa terpanggil untuk melawan rezim itu.


(6)

S. Hauerwas, O’Donovan (dan De Bruijne).

De Bruijne menerangkan teologi O’Donovan di Inggeris, yang bertolak dari kritik terhadap Hauerwas. Hauerwas, di Amerika, berpendapat bahwa gereja selalu harus bergerak dari posisi minoritas. O’Donovan, berbeda dengan Hauerwas, tidak berkeberatan untuk menciptakan masyarakat Kristen, namun ia tidak setuju dengan menciptakan teokrasi. Posisi Israel dahulu unik adanya dan tidak bisa diulangi (dalam pandangan itu O’Donovan sependapat dengan Calvin).

O’Donovan : bahkan dalam Leviatan (masyarakat politik yang modern) manusia dapat hidup. Terkait teorinya tentang kekristenan, yaitu bahwa kekristenan adalah etika kristen konkrit sebagai jawaban atas konsep-konsep politik yang terdapat dalam wahyu Allah. Walaupun otoritas politik termasuk dunia yang berlalu, namun dicoraki oleh pemerintah Kristus dan terkait dengan gereja yang adalah persekutuan yang eskatologis dan sekaligus berkembang sekarang juga. O’Donovan menolak partai-partai politik Kristen dan klem-klem Kristen yang absolut atas masyarakat, ia berfokus kepada pembentukan teori Kristen dan kesaksian nabiah.

O’Donovan dipengaruhi a.l. oleh Augustinus, Barth dalam pandangannya terhadap politik, sedangkan secara teologis ia berfokus kepada kristologi yang eskatologis. Ia tekankan

pemeliharaan Allah, yang dengannya Allah menegakkan aturan penciptaan sampai kesudahan. Kekristenan adalah hasil sementara yang timbul serentak dari keberadaan dunia (saeculum) dan eskaton. Gereja adalah satu-satunya realitas politik yang syah. Alangkah baiknya politik internasional tetap plural, sampai eskaton, seperti sekarang dalam negara-negara yang muncul dari kekristenan dan yang sama-sama mengakui hak yang lebih tinggi, yaitu hak Allah. Warisan kekristenan bisa hidup bahkan dalam Leviatan (masyarakat politik yang modern) dan semoga konsep-konsep Alkitabiah semakin hidup juga dalam Leviatan.

Pengaruh Augustinus adalah ajaran tentang kedua kerajaan, yang keduanya di bawah pemerintahan Allah, pengaruh Barth adalah prioritas Injil dalam etika.

Demokrasi menurut O’Donovan termasuk ‘common goods’, karunia umum. Sekaligus O’Donovan mengajarkan bahwa setiap masyarakat dan negara membutuhkan salah satu kepala, atau otoritas, dalam bentuk apapun juga. Dulu Grotius menganut pandangan itu dan dalam hal itu Grotius dipengaruhi oleh kekristenan dan tidak semata-mata oleh ‘modernitas’, sebagaimana diklem oleh orang humanis dan rasionalis.

O’Donovan sangat mengenal tulisan-tulisan Augustinus dan mengikutinya. Bagi mereka berdua kasih kepada Allah adalah konstitutif dan dengan sendirinya menghasilkan kasih kepada sesama maupun kepada diri sendiri. Jikalau obyek kasih manusia bukanlah Allah, maka kasih semu itu akan menyebabkan kehancuran : Augustinus melihatnya di runtuhnya kota Roma, O’Donovan melihatnya dalam jalan buntu modernitas. Hanya gereja saja yang tinggal tetap, sebab di sana kasih kepada Allah adalah obyek kasih bersama.

Augustinus bersifat eskatologis dalam pikirannya : damai kota Allah baru tercapai di eskaton tetapi sudah bisa mulai di gereja dan dari sana mempengaruhi negara. Walaupun kota duniawi bersifat antikristen, Allah menggunakannya dalam pemeliharaanNya. Otoritas politik dapat menolong pada jalan ke eskaton, dengan memberikan disiplin ala Moses.

Augustinus, dan begitu kemudian O’Donovan, menghargai masyarakat kekristenan tetapi tidak dengan sorak-sorai. Era Kristen, yang pada waktu Augustinus adalah zaman pasca Konstantinus Agung, tidak akan menjadi bentuk kerajaan Allah, sebab selalu berada di sisi

(7)

duniawi dari eskaton. Mungkin O’Donovan agak lebih positif terhadap kota duniawi daripada Augustinus.

Kalau Thomas Hobbes melihat perang sebagai keadaan semula, sebelum muncul ordo politik, maka Grotius bertentangan dengan itu melihat perang sebagai sesuatu yang mungkin sekali-sekali perlu demi keadilan, tetapi bukan penggerak sejarah, seperti dikatakan Hobbes. Perang seharusnya terikat oleh hukum. Jadi, mungkin ada perang yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai adil, dan O’Donovan menyetujuinya.

O’Donovan melihat relasi antara tradisi Kristen dan modernitas seperti Yunus dalam perut ikan besar. Namanya dalam karya O’Donovan adalah Leviathan, yang juga adalah nama karya besar Thomas Hobbes, pendiri teori politik yang modern. Menurut O’Donovan khususnya pada Hobbes terjadi retakan antara Kekristenan, dan pemikiran modern.

Nama Leviathan sering dihubungkan dengan binatang dari dalam laut, Wahyu 13, yaitu kuasa politk yang jahat. Menurut O’Donovan bukan saja negara, tetapi seluruh modernitas adalah Leviathan, yang mau menelan tradisi kristen. Akan tetapi, seperti ikan paus menelan Yunus dan Yunus tetap hidup, begitu modernitas tidak bisa menghancurkan kekristenan secara total.

2. Etika umum dan Etika Kristen.

Etika menganalisa dan menimbang hal-hal moril.Tetapi, apakah yang menentukan arti moril? Terdapat beberapa jawaban, sesuai pembahasan dalam buku Douma.

1. ‘Universalizability’ : perilakuan yang berlaku bagi setiap orang. Ahli filsafat Kant memesan: Berlaku demikian sehingga apa yang kauhendaki bagi dirimu sendiri dapat menjadi prinsip yang berlaku pula bagi setiap orang. Berarti: jangan memilih untuk dirimu sebuah gaya hidup yang tidak mungkin akan menjadi gaya hidup semua orang. Band. perkataan Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 7:12.

Namun, unsur universalizability tidak dapat menjadi penentu mutlak untuk ‘moril’. Sebab terdapat banyak hal yang umum berlaku, namun tidak termasuk bidang moril. Mis. dalam teknik pelukisan biasanya warna kelam ditaruh sebelum warna-warna cerah. Atau kendaraan dalam lalu lintas ikut jalur kiri (di Indonesia).

Dan juga, pahlawan-pahlawan perang mengorbankan diri dengan berani. Apakah sikap itu harus menjadi kelakuan umum?

2. ‘Prescriptivity’: preskript adalah persyaratan. Memang, ‘ought to’ (wajib untuk) adalah sebuah ciri untuk kelakuan moril, tetapi bukan ciri yang satu-satunya. Apakah hanya persyaratan, yang harus diperhatikan, dan apakah keadaan kongkrit tidak perlu dipertimbangkan? Seorang yang memesan bahwa seorang manusia harus berlaku ‘X’, sewajarnya ia sendiri juga berkommitmen untuk berlaku ‘ X’. Kesungguhan sangat perlu. Mungkin kita memesandengan sangat serius bahwa manusia tidak boleh mencuri, padahal kita sendiri mencuri karena keadaan yang kritis. Bukankah kita berlaku ‘amoril’, kalau begitu?

3. ‘Overriding’: melampaui/melebihi. Menurut definisi ini perbuatan-perbuatan moril melampaui dan melebihi perbuatan lain. Contoh: Seorang ingin sekali menyelesaikan sebuah pekerjaan, tetapi pada saat itu isterinya jatuh sakit dan membutuhkan

(8)

adalah ‘overriding’ dan keputusan itu untuk menolong isterinya adalah keputusan yang moril.

Cuma, keputusan untuk menentukan apa yang merupakan unsur ‘overriding’ terhadap yang lain, selalu subyektif adanya. Pandangan-pandangan terhadap hal-hal yang dianggap penting tidak selalu sama. Seorang kapitalis (kapital=modal) beranggapan bahwa tujuan utama perusahaannya adalah laba. Seorang environmentalist

(environment=lingkungan) beranggapan bahwa pertama-tama lingkungan alamiah yang harus dipelihara dan dilestarikan.

Seorang Kristen akan mengatakan bahwa Allah patut ditaati, lebih daripada manusia (Kis. 5 :29). Di sini kami melihat pentingnya ‘filsafat tentang lingkungan hidup’, yang diterangkan dalam fasal 1.

4. Ciri : ‘takut hukuman’ dan ‘rasa malu’.

Menurut pandangan ini mereka yang melanggar peraturan-peraturan yang bersifat moril dengan sendirinya takut dihukum, merasa bersalah, bahkan merasa malu. Akan tetapi : bisa juga kita merasa malu apabila kita diolokkan, bila kita agak kaku dalam pergaulan sosial. Tetapi itu bukan hal yang moril.

5. Ciri khas moril tergantung dari beratnya perkara.

Sebagai contoh : apakah dapat disimpulkan bahwa sebuah kelakuan moril berfokus kepada kebaikan orang lain ? Memang, jika kita membandingkan hal-hal moril dengan perkara lainnya, jelas perkara-perkara yang bersifat moril selalu penting adanya. Tetapi, juga perkara-perkara juridis bahkan perkara-perkara estetis (menyangkut keindahan, kesenian) terarah kepada kebaikan orang lain. Sulit juga untuk menyebut ke-10 hukum sebagai ciri khas, sebab hukum 1-4 lebih berfokus kepada relasi dengan Allah (jadi: agama) baru 5-10 pada relasi dengan sesama (moril).

6. Kasih sebagai ciri khas.

Bahkan solusi ini tidak memadai. Sebab dapat dipersoalkan apakah aspek ‘kasih’ saja yang menentukan kelakuan etis, dan apakah bukan ‘keadilan’ termasuk juga

(walaupun nanti satu paragraf seluruhnya dikhususkan kepada ‘kasih’ karena penting sekali). Etika meneliti pula hal-hal seperti perang, hukuman mati, hak-azasi manusia, persoalan-persoalan medis, yang nampaknya tidak dicoraki oleh kasih.

Kesimpulannya bahwa sulit sekali untuk menentukan pengertian ‘moril’. Rupanya terdapat beberapa unsur yang sama-sama penting. Kita telah menemukannya dalam definisi tentang etika yang sudah disebut dalam bab 1. Di bawah ini definisi diulangi dan diperinci.

Definisi ‘etika’:

Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan sebagai kelakuan yang

(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue), (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

1.Kelakuan manusiawi.

Jika berbicara tentang binatang, dan mengatakan ‘anjing yang setia’, atau ‘semut yang rajin’, kita menggunakan sebuah metafor (perbandingan). Binatang-binatang bergerak berdasarkan

(9)

naluri, bukan karena moral tinggi. Memang, binatang dapat dilatih, sehingga mirip dengan manusia dalam pergerakannya, tapi itu bukan kelakuan moril.

Dalam kelakuannya manusia harus berlaku moril terhadap binatang, tetapi binatang tidak dapat berlaku moril atau amoril terhadap manusia. Walaupun mungkin kelihatan lebih setia daripada manusia

Jika berbicara tentang malaekat, mereka sekarang tidak mengenal keduaan dan kelemahan seperti manusia, jadi bagi mereka (sekarang) tidak ada perjuangan moril, sekalipun pada mulanya memang ada. Dan sebagian dari malaekat memang jatuh dalam pencobaan pada waktu itu.

Jika berbicara tentang Allah sendiri: bagi Allah tidak ada hukum atau norma yang di atas-Nya. Allah menciptakannya dan tidak dapat dikatakan bahwa Allah mempunyai tindakan yang etis atau kurang-etis. Allah semata-mata ilahi dalam perbuatan-Nya dan tidak boleh diukur oleh manusia.

2. Kelakuan yang bernorma.

Bukan setiap kelakuan manusia adalah bernorma. Terkadang juga kita bertindak instinktif atau dengan terpaksa. Itulah kelakuan yang bersikap ‘must’, (bah. Inggeris: harus, dalam arti non-etis) seperti menguap, bermimpi, makan dan minum jika merasa lapar atau haus. Moral berkaitan dengan ‘ought’, (bah. Inggeris, harus, dalam arti ‘etis’), kelakuan yang harus dipertanggungjawabkan.

Tanpa pilihan, tanpa kebebasan, tidak ada moral. Tetapi, dari dahulu dibedakan antara

determinisme, yang mengatakan bahwa seluruh kelakuan manusia telah ditentukan, dan di sisi lain indeterminisme yang mengatakan bahwa semuanya masih terbuka dan bebas. Kedua aliran itu, bila diterapkan mutlak, tidak dapat disesuaikan dengan moral.

Setiap manusia ditentukan oleh sikon dan sejarah, tetapi setiap orang mengembangkan pula pola kelakuan sendiri. Jadi, keterikatan dan kebebasan saling memperlengkapi.

Ahli filsafat Kant berkesimpulan bahwa seharusnya kita harus menerima tiga postulat (= tuntutan logis), yaitu kebebasan, ketidakfanaan jiwa dan keberadaan Allah. Ketiga ini dengan sendirinya mengiringi moral. Siapa yang mengakui manusia sebagai makhluk yang bermoral, harus menerima juga ketiga postulat itu.

3. Kelakuan yang dipandang dari aspek ‘baik-buruk’.

Dalam pemandangan moril bukan aspek ‘benar-salah’ yang menentukan. Sebuah soal ujian, yang diisi salah, tidak berkaitan dengan moral.

Begitu juga bukan aspek ‘trampil-tidak trampil’. Seorang tukang yang tidak trampil, sehingga hasil kerjanya tidak kuat, bukan seorang yang amoril.

‘Indah-jelek’ juga tidak, bahkan ‘legal-illegal’ tidak. Sebuah tindakan yang menurut keputusan hakim illegal, tidak dengan sendirinya buruk dalam arti moril. Jadi, aspek baik-buruk melebihi aspek legal-illegal : yang terakhir cocok untuk lingkungan juridis, tetapi dalam lingkungan moril, yang (menurut filsafat Dooyeweerd) lebih tinggi itu, kita memperhatikan baik-buruk.

4. Kelakuan yang bermotivasi.

Hal yang bersifat legal lain daripada yang bersifat moril. Legal mungkin disertai

(10)

yang baik. Band. orang Farisi yang memberi zedekah, berdoa dan berpuasa, tetapi khususnya agar mereka dilihat orang. Pentinglah motif yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. 5. Kelakuan yang disertai emosi.

Bukan saja kehendak yang turut menentukan, tetapi juga perasaan. Dalam hal ini harus kita mengeritik Kant yang tidak mau tahu tentang emosi. Perlu kita turut merasakan kesakitan dan penderitaan orang yang kita tolong. Menghilangkan emosi tidak baik. Etika yang bertujuan untuk memutuskan sesuatu mutlak obyektif dan tidak mau menunjuk rasa hati, tidak sesuai dengan kehidupan manusia, di mana hubungan yang emosional sangat vital.

6. Kelakuan didasarkan atas kebajikan ( virtue).

Kebajikan menunjukkan sesuatu yang kontinu: mis. ketulusan terus menerus, keadilan terus menerus. Kebajikan adalah sebagian dari akhlak manusia. Menurut Aristoteles kita harus melatih diri dalam kebajikan, supaya kita menjadi manusia yang betul. Aristoteles menekankan: penting bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang kita mau menjadi. Terdapat sebuah aliran etika yang dapat disebut etika kebajikan (mis. Plato, Aritstoteles). Kami lebih cenderung untuk mengganggap kebajikan sebagai salah sata faktor, bukan yang satu-satunya.

7. Kelakuan yang ditujukan kepada nilai tertinggi.

Kelakuan yang moril bertujuan kepada nilai-nilai tertentu, sedangkan nilai-nilai itu sendiri tidak selalu bersifat moril. Misalnya nilai-nilai seperti kesehatan, keindahan, kemerdekaan, demokrasi, kesejahteraan, pengabdian kepada Tuhan.

Perbedaan antara beberapa sistem etika

Pada umumnya diakui bahwa ada beberapa sistem etika. J. de Graaf membedakan: a. Etika deskriptif (yang menguraikan, tanpa langsung menilai, a.l. etika kebajikan,

seperti diajar Aristoteles: pentinglah manusia menjadi apa, dan bukan apa yang

dilakukan manusia)

b. Etika normatif (yang mengarahkan dan mengendalikan; biasanya dibedakan normatif secara teleologis : pentinglah tujuan yang mau dicapai, dan normatif secara

deontologis: pentinglah hukum yang merupakan titik tolak (lihat bab 4)

c. Etika khusus : mis. kasuistik, etika situasi, etika medis.

d. Meta-etika: filsafat tentang etika dan tentang pertimbangan-pertimbangan etis. Biasanya dalam etika yang matang unsur-unsur dari semua sistem dapat ditemukan, tetapi tidak secara mutlak. Begitu juga dalam etika yang diajar Douma dan yang kami sarankan dalam diktat ini. Etika itu dapat disebut etika tanggungjawab, di mana manusia mendengar akan perintah-perintah yang disampaikan dan sekaligus memperhatikan situasi yang ada dan akibat-akibat yang akan terjadi.

Etika Kristen

Sampai kira-kira 1960 di dunia Barat dilihat dengan jelas bahwa moral orang Kristen adalah moral khusus. Dari dahulu orang Kristen juga dikenal sebagai orang yang berbeda daripada yang lain, mis. dalam hal kasih. Orang Kristen setia kepada isteri, tidak mengutuki mereka

(11)

yang menganiaya mereka, orang Kristen membantu orang yang sakit, menguburkan orang yang tidak mempunyai keluarga.

Sayang sekali sekarang banyak orang teolog menganut pandangan Kant bahwa moral adalah otonom. Sekarang banyak orang mengatakan bahwa Etika Kristen tidak mempunyai sesuatu yang khas. Atau mereka berpendirian bahwa orang Kristen boleh saja mempunyai moral Kristen dalam hal-hal yang luarbiasa : seperti mis. yang disebut dalam 1 Kor. 10 :24 (jangan mencari keuntunganmu sendiri saja) dan Mat. 5 :41,44 (kasihilah musuhmu). Solusi ini mirip dengan pembedaan RK antara kodrati dan adikodrati. Keadilan, kesetiaan adalah sama untuk semua orang, tetapi iman dan kasih, mencari penebusan dan mengikut Kristus adalah bagian orang-orang Kristen saja, menurut pandangan ini.

Tetap kami berpandangan bahwa moral Kristen mempunyai pretensi universal. Tidak ada pemisahan antara yang adikodrati dan kodrati. Allah adalah Pencipta dan Pemelihara dunia ini, jadi tentu hukum-hukum-Nya berlaku bagi setiap orang, dan kepada Yesus Kristus diberikan segala kuasa baik di bumi maupun di surga.

Syukurlah, bahwa sering terdapat kemiripan antara kelakuan orang Kristen dan orang lain. Kenyataan itu tidak mengherankan, jika kita merenungkan bahwa hukum Allah adalah

‘pakaian yang cocok’ untuk seluruh ciptaan, (K.Schilder), sebab seluruh dunia ini adalah hasil kerja tangan Tuhan. Akhir-akhir ini pandangan seperti itu juga disampaikan oleh O. O’

Donovan (judulnya: Resurrection and the moral order).

Sayangnya moral Kristen kadang-kadang juga membuahkan hal-hal yang jelek: perbudakan, perang saudara, apartheid, penjajahan. Tetapi dalam membahas moral Kristen dan etika Kristen kita berurusan dengan hal yang normatif, bukan saja deskriptif.

Definisi Etika Kristen: Pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, dari sudut pandang yang disediakan dalam Kitab Suci.

Catatan:

• Etika Kristen tidak dengan khusus membahas pokok agamiah atau liturgis, tetapi membatasi diri pada pokok-pokok moril.

• Dalam perumusan di atas dikatakan ‘Kitab Suci’ oleh karena Alkitab adalah kesatuan, band. Yoh. 10:35; 17:12, 1 Tim. 5:18.

• Nama ‘Etika Kristen’ lebih tepat daripada ‘Moral Alkitabiah’. Nas-nas Alkitab seperti mengenai poligami, perbudakan dan perang suci dapat disalahgunakan jika langsung diterapkan tanpa memikirkan sejarah penyataan Allah.

• Nama ‘Etika Teologis’ tidak memuaskan, sebab jika dibanding dengan mis. etika medis, yang membahas pokok menyangkun bantuan medis, apakah etika teologis membahas pokok-pokok menyangkut teologi? Jelas tidak.

3.Utilisme atau deontologi ? Atau etika kebajikan ?

Sekarang kita membicarakan dua aliran dalam etika yang merupakan kedua ujung yang di antaranya terdapat banyak tipe etika, sedangkan juga pendekatan etis yang menurut kami

(12)

(utilis=lat. : berguna), di ujung lain deontologi menanyakan keharusan/kewajiban (deon, Yun., berarti : kewajiban). Saya menambahkan hasilnya nanti dengan unsur etika kebajikan.

Dalam pertimbangan yang utilistis ditanyakan apakah effek dan guna dari kelakuan tertentu, dan kemudian atas dasar itu ditarik beberapa kesimpulan. Deontologi menanyakan prinsip-prinsip, terlepas daripada efeknya : apakah kita setia pada prinsip atau tidak ?

Akan menjadi nyata bahwa Etika Kristen tidak sama dengan satu dari kedua ini, tetapi tidak terlepas juga dari unsur-unsur yang didalamnya. Dari keduanya dapat diambil sesuatu yang baik dan harus ditolak juga sesuatu atau yang buruk. Bandingkan definisi etika yang dipersiapkan dalam bab 2, di dalamnya tertera a.l. norma dan tujuan yang tertinggi.

Brownlee membedakan tiga jalan yang disebutnya ‘etika akibat’ (±utilisme), ‘etika kewajiban’ (deontologi) dan ‘etika tanggungjawab’ (pilihan dari Brownlee sendiri, dan dari kami juga sebenarnya). Nama utilisme tidak muncul dalam karangan Brownlee, ia menyebutnya etika teleologis (teleos,Yun. =tujuan).

Dalam etika tanggungjawab kita berusaha untuk memberi jawaban kepada Tuhan dalam kelakuan kita, dengan membuat apa yang (menurut kita) diminta Allah daripada kita. Tetapi tak dapat disangkal bahwa si jahat juga berperan dan dapat mengacaukan pikiran kita. Untuk bertindak dengan bertanggungjawab haruslah kita memikirkan baik efeknya maupun perintah Tuhan. Brownlee memberikan banyak contoh Alkitabiah tentang ketiga cara itu dan membuktikan dengan itu bahwa cara berpikir yang satu tidak bisa terlepas daripada yang lain.

Utilisme bertolak dari konsekwensi suatu kelakuan dan bertujuan kepada kesenangan terbesar

atau manfaat terbesar untuk orang terbanyak : ‘the greatest happiness of the greatest number’. Pelopor-pelopornya adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill (abad ke-18, 19). Istilahnya dalam bahasa Inggeris adalah utilitarianism.

Utilisme membutuhkan pertimbangan: kesakitan dan kesenangan, celaka dan untung, semuanya harus ditimbang. Bentham menyebut 7 buah alat pengukur (calculus hedonistis) antara lain intensitas, lamanya, keterjaminan dan kemurnian dari kesenangan. Karena itu menurut Bentham mis. minum mabuk, jika diukur etis, sangat jelek.

Dalam hal itu Mill menilai bahwa sebuah makhluk yang terbatas kapasitasnya (mis. seekor kambing) lebih mudah menjadi fully satisfied (sangat puas), daripada seorang manusia yang sulit dipuaskan.

Kami mengikuti Douma yang berkata bahwa mempertimbangkan manfaat sebuah kelakuan memang amat penting, tetapi berbeda dengan utilisme.

Sebab yang terakhir berarti bahwa ‘utilis’ selalu menjadi kepentingan yang satu-satunya. Utilisme perlu dikeritik dan tidak dapat dipertahankan. Sebab:

1. Apa kesenangan yang terbesar: siapa yang mengukurnya? Terkandung sebuah maksimilisasi, dan belum dipikirkan distribusi yang adil.

2. Apa kesenangan yang terbesar? Seorang yang ketagihan narkoba mungkin merasa puas (satisfied) tetapi tidak senang (happy). Siapa yang mengukur kesenangan, mis. makan/minum dibanding dengan mendengar musik atau seks?

Kesenangan bukan sesuatu yang empiris, tapi evaluatif: band. Khotbah di Bukit: mereka yang sekarang dianiaya akhirnya akan dikenyangkan dengan kesenangan.

(13)

3. Bagaimana kita mengukur the greatest number? Apakah generasi-generasi yang akan datang harus diperhitungkan juga? Apakah hanyalah manusia, yang harus ditinjau, bukan binatang atau lingkungan?

Mungkin kita beranggapan bahwa dengan sendirinya manusia mencari juga

kesenangan orang lain, sehingga terjadi kesenangan sosial, tetapi ternyata manusia seringkali sangat egoistis.

Apalagi: mempertimbangkan baik-buruk harus dilihat secara historis: apa yang terbaik untuk hari ini mungkin besok ternyata sangat buruk: orang tua si Hitler amat senang waktu ia lahir, tetapi kemudian para penduduk dunia menderita karena ia menjadi diktator.

Deontologi

Kant adalah seorang deontolog. Bonhoeffer sering menyebutnya sebagai contoh yang tidak boleh diikuti, sebab Kant berbangga bahwa ia selalu akan membicarakan kebenaran, juga mis. jikalau dengan itu ia menyerahkan seorang pengungsi kepada rezim kejam yang mencarinya. Deontologi berbentuk banyak. Dapat berdasarkan penyataan Allah, atau seperti gereja RK berdasarkan hukum naturalis. Sedangkan dalam deontologi Kant intensi manusia adalah intinya, kemauannya. Prinsip Kant adalah: berlaku demikian bahwa peraturan yang engkau kehendaki selalu dapat menjadi prinsip hukum-hukum umum. Cuma, Kant menyampaikan saja etika yang formil. Bukan materiil. Ketika ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kasus konkrit (menyembunyikan pengungsi, dan tidak melaporkannya) ia kalah. Bonhoeffer selalu mengatakan bahwa etika tidak boleh dilepaskan daripada keadaan konkrit, dan bahwa keadaan konkrit itu adalah dunia yang diciptakan Kristus bagi manusia dan didalamnya Kristus menuntut jawaban yang bertanggungjawab dan penuh kasih.

Terkait dengan deontologi sering diceriterakan dilema Eutrypho (dari sebuah dialog filsof Socrates): Apakah sesuatu adalah baik, karena para dewa menghendakinya, atau para dewa menghendaki sesuatu karena itu baik adanya?

Menurut ceritera, Eutrypho melaporkan ayahnya kepada kehakiman, karena ia membunuh seorang tetangga. Hanya saja, ayahnya membunuh orang itu dengan terpaksa, sebab ia melakukan kekerasan (pembunuhan) terhadap orang lain. Eutrypho takut murka dewa jika ia tidak melaporkan, sedangkan Socrates tidak menyetujui bahwa Eutrypho harus melaporkan ayahnya. Sebab bagi ayah Eutrypho tidak ada jalan lain daripada membunuh orang jahat itu. Namun Eutrypho berkata bahwa kelakuan ayahnya pada dasarnya jahat, sehingga ia harus memberitahukan itu.

Dilema itu mungkin dirasakan mereka yang menyembah kepada dewa-dewi Yunani. Tetapi dilema Eutrypho tidak kena Allah kita. Siapa yang menerima Allah sebagai yang berkuasa dalam pokok-pokok etis, akan menerima-Nya dalam kasih-Nya dan menyangkal bahwa Allah adalah seorang despot yang bengis.

(14)

Etika kewajiban sudah dibahas sebagai perlawanan dari utilisme (etika akibat). Tetapi etika kewajiban sering dipertentang juga dengan etika kebajikan. Sekarang kita membahasnya dari sudut pandang itu.

Di atas kami bersama dengan Brownlee telah memilih etika tanggungjawab, sebagai jalan tengah antara etika akibat dan etika kewajiban. Etika kebajikan tidak sama dengan etika tanggungjawab, tetapi dalam pandangan kami dapat dilihat sebagai bagian daripadanya. Bukan saja kelakuan manusia yang harus diteliti, tetapi juga sifatnya. Kelakuan etis

membutuhkan kontinuitas, dan kebajikan manusia dapat menjaminkannya itu. Alasdair Mc

Intyre adalah seorang filsof yang bukunya berjudul ‘After virtue’ (1981) sangat berpengaruh.

Sebelumnya, selama beberapa abad, topik virtue hampir tidak dibahas. Douma misalnya, dalam buku-bukunya yang pertama, tidak menyebutnya juga. Baru pada akhir abad XX virtue, kebajikan, ditemukan kembali.

McIntyre dilihat pula sebagai penganut aliran komunitarisme, jadi ia menekan ‘community’, bukan ‘individuality’: setiap orang dibentuk oleh komunitas, masyarakat, yang di sekelilingya maupun yang sebelumnya. Sebab kita lahir dalam sebuah komunitas dan menjadi besar di dalamnya dan hidup di dalamnya. Menarik sekali, bahwa seorang filsof hendak menolak individualisme dan liberalisme yang begitu merusakkan masyarakat Barat.

Kebajikan-kebajikan manusia dibentuk didalam masyarakat itu, katanya. Kata Macintyre : Virtue adalah hasil dari praktek-praktek sosial, yaitu ketetapan-ketetapan bersama yang mengejar hal-hal yang baik. Tugas-tugas kita sebagai orangtua, dosen, pemimpin dll, semuanya mengandung praktek-praktek tertentu.

Hidup manusia adalah sesuatu yang naratif: seorang tidak mulai dari nol, tetapi cerita

hidupnya bersumber pada berbagai-bagai tradisi. Di dalam ceritera itu kebajikan dan karakter seorang manusia dibentuk.

Teolog Stanley Hauerwas mempromosikan gereja sebagai lingkungan di mana kita tumbuh dan di mana kebajikan-kebajikan kita berkembang. Manusia harus memposisikan dirinya dalam naratio (ceritera) dari Yesus Kristus dan gereja. Tetapi di sini juga patut ditanya apakah norma-norma tidak perlu ? Menurut pandangan Reformed tetap perlu. Apalagi, gereja

beranekaragam : ada yang ortodoks, ada yang liberal, ada yang kharismatik. Tentu perbedaan itu mempengaruhi juga perkembangan anggotanya. Apakah semuanya itu sama saja ?

Menurut kami tidak.

Hauerwas menentang etika modern yang ahistoris: bukan kita yang membentuk moralitas kita, tetapi moralitas membentuk kita. Dan hidup Yesus Kristus adalah sumber kebebasan kita: sejauh kita mengamini ceritera tentang Yesus yang dikabarkan di gereja, kebebasan kita dibentuk.

MacIntyre dan Hauerwas ingin tahu dari mana timbulnya moral. Datangnya dari kehendak individual, atau dari persekutuan yang bersejarah dan di dalamnya kita juga telah berada? Mereka memilih yang terakhir, tetapi mereka terlalu optimistis dan idealistis tentang manusia. Sebab manusia tidak baik adanya, dan masyarakat bahkan gereja sangat pluriform.

Hauerwas sendiri berada dalam tradisi pasifisme, dari orang Baptis. Sayang sekali bahwa bagi Hauerwas Alkitab tidak bisa menjadi ‘iudex controversiarum’, yaitu untuk menjadi hakim dalam pertentangan-pertentangan. Menurutnya Alkitab dapat ditafsir dengan bermacam-macam cara.

(15)

Etika jemaat.

Hauerwas dapat dianggap sebagai penganut etika jemaat. Apa yang dimaksud dengan itu ? Satu pengertian yang salah adalah bahwa tidak ada petunjuk dari luar, tetapi bahwa jemaat sendiri menentukan apa yang perlu dan wajar dalam keadaan konkrit. Tentu pandangan itu salah, sebab Firman Tuhan yang merupakan lampu bagi kaki kita. Tetapi benar adalah bahwa kita dalam memikirkan tanggungjawab Kristen harus membagi hikmat dengan jemaat dan belajar dari jemaat dan sebagai jemaat harus tumbuh bersama-sama. Dalam arti yang kedua itu Hauerwas dapat digolongkan pada aliran etika jemaat itu.

Virtue (kebajikan)

Etika kebajiikan, dari manakah itu? Plato dan Aristoteles, filsof-filsof Yunani, telah memeloporinya. Plato menyebut sebagai ke-empat kebajikan utama: hikmat, keberanian, penguasaan diri, dan keadilan (sofia, andreia, sofrosune dan dikaiosune).

Sesuai dengan itu dalam psikhologinya Plato membedakan dalam jiwa manusia tiga bagian: akal budi (nous), semangat (thumos), dan keinginan atau hawa nafsu (epithumia), yang harus dikendalikan oleh penguasaan diri. Hal itulah juga sesuai ajaran Plato tentang negara: ada para pemimpin, yang memikirkan, ada para pegawai dan serdadu yang mengatur dan

melindungi negara, ada para petani dan buruh, yang bekerja untuk memenuhi keingingan dan hawa nafsu dalam makan dan minum. Keadilan adalah kebaikan yang mengkoordinir yang lain.

Menurut Aristoteles, manusia mempunyai tujuan dalam dirinya, yakni eudaimonia

(kesenangan, happiness). Demi eudaimonia maka ‘hidup dengan baik’ dan ‘berlaku dengan baik’ adalah sama. Aristoteles hanya saja memikirkan hidup di dunia ini: di sinilah manusia harus mencapai tujuannya, di sini ia harus menjadi manusia yang baik.

Manusia harus melatih diri dalam kecapan moril. Hendaklah ia memiliki kebaikan, arete, virtus, demikian rupa hingga kebaikan itu menjadi ‘habitus’ (milik pribadinya, sifatnya). Menurut Aristoteles ‘virtue’ adalah selalu di tengah (he mesotes), antara dua ujung, dua kutub. Jika berolah raga terlalu kurang, itu tidak baik, jika terlalu fanatik, tidak baik juga. Jika makan sedikit sekali, tidak baik, jika makan terlalu banyak, tidak juga.

Aristoteles membedakan kebajikan yang dianoetis: intellektual, yakni hikmat (sofia), pengertian (sunesis) dan kebijaksaan (fronesis) dan kebajikan-kebajikan etis.

Kebajikan-kebajikan dianoetis adalah yang terpenting: eudaimonia yang tertinggi adalah

theoria: pantauan rohani, khususnya bagi orang filsof. Sebab, untuk para dewa juga theooria adalah kegiatan utama: sebab mereka tidak mempunyai kegiatan-kegiatan seperti manusia. Manusia harus menjadi autark, bebas, swasembada , dan itu baru akan dicapainya jika ia terlepas daripada orang lain dapat menyerahkan diri kepada theooria.

Kebajikan-kebajikan etis memungkinkan kita untuk bergaul dengan orang lain. Menurut

Aristoteles jumlah kebaikan etis lebih daripada sepuluh.

Kata etika sebenarnya datang dari ‘etike tekhne’: teknik atau kecakapan untuk berlaku baik, jadi sangat praktis.

Baik Plato maupun Aristoteles bermaksud untuk mendidik manusia agar ia menjadi manusia yang baik dalam polis (kota/negara) Atena. Jadi, jauh sebelum McIntyre dan Hauerwas

(16)

Augustinus membedakan hikmat (prudentia), iustitia (keadilan), temperantia (penguasaan diri), fortitudo (keberanian). Dan semuanya itu adalah aspek-aspek dari kasih.

Tomas Aquinas (Abad Pertengahan, tokoh gereja RK) menguraikan ajaran tentang kebajikan yang sangat terperinci. Tetapi ia tidak berfokus kepada komunitas melainkan kepada individu. Ia menambahi keempat kebajikan klasik dengan ketiga kebajikan Kristen: iman, harapan dan kasih. Roh Kudus mencurahkan kebaikan-kebaikan Kristen itu, berarti manusia tidak

membutuhkan sesamanya, atau komunitas, untuk mengembangkannya. Ia mendapatnya langsung daripada Roh Kudus.

Tujuan utama menurut Tomas adalah beatitudo (‘happiness’), yakni sama dengan eudaimonia untuk Aristoteles. Tetapi Aristoteles mencarinya di bumi dan Tomas di surga. Teoria Dei (memandang Allah) baru tercapai jika iman, harapan dan kasih dicurahkan oleh Roh Kudus. Juga bagi Tomas virtue berada di tengah. Dan itu tidak benar, menurut kami : bagaimana mungkin seorang manusia harus menjaga diri agar iman dan harapan dan kasih tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, tetapi justru di antara itu ? Kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, begitu sesama manusia !

Bagi para Reformator ajaran tentang kebajikan tidak perlu mendapat tekanan. Tentu mereka juga ingin supaya kita mempunyai kebajikan-kebajikan, dan supaya manusia maju dalam hal itu. Bagi mereka pentingnya kebajikan sama sekali tidak merupakan bahan diskusi, sebab Alkitab juga sering membicarakan bagaimana seharusnya sifat dan sikap seorang yang percaya kepada Allah. Tetapi manusia akan dibenarkan oleh iman kepada Yesus Kristus dan itulah fokus Reformasi.

Pada zaman sesudah era Reformasi ternyata tidak ada perkembangan ajaran etika mengenai kebajikan. Tekanan lebih pada kesepuluh hukum.

Menurut kami kewajiban dan kebajikan harus berjalan sama dalam satu etika. Virtue, atau kebaikan, menurut difinisi Douma, adalah

kemampuan untuk berlaku moril dengan baik, berdasarkan pengertian yang diperoleh oleh pembawaan dan pembinaan, pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat.

Menyangkut relasi antara kebajikan dan norma dapat disimpulkan bahwa kebajikan-kebajikan menolong untuk menerapkan norma-norma yang konkrit.

Kewajiban yang bertabrakan

Sering ditemukan situasi yang disebut ‘kewajiban yang bertabrakan’ (collisio officiorum), band. dilema Eutryphos. Contoh: haruskah dokter mengatakan kebenaran kepada orang yang sakit berat? Haruskah seorang anak menjawab sesuai kebenaran jika guru dengan kasar bertanya apakah ayahnya tadi malam pulang ke rumah dengan mabuk seperti biasa? Contoh terakhir itu dari Bonhoeffer. Untuk bereaksi dalam keadaan-keadaan yang sulit itu tentu dibutuhkah hikmat.

Jika saya mengerti solusi Douma dengan baik ia berkata bahwa sebenarnya tidak ada penabrakan, sebab tidak mungkin Allah memaksa kita memilih dari dua kemungkinan yang sama-sama ditawarkan oleh Allah dan yang sama-sama sesuai kehendak-Nya. Seorang yang berhikmat dan yang bertindak dalam kasih tentu akan tahu apa yang harus dilakukannya.

(17)

Tetapi menurut kami pandangannya bahwa pada dasarnya tidak ada collisio, penabrakan, tidak memuaskan, dan tetap harus dikatakan bahwa ada kewajiban yang bertabrakan. Lebih baik mengaku kepada Tuhan bahwa kita terpaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai perumusan hukum Taurat, karena ada kewajiban lain yang harus kita lakukan juga (misalnya dalam keadaan perang menipu tentara musuh yang sedang mencari guerilyawan, band. Yos. 2, band. Yak. 2:25, band. juga Kel.1:15 dst). Hati nurani kita tidak akan terbeban kalau begitu.

4. Kitab Suci sebagai sumber Etika.

Kitab Suci (Alkitab) adalah sumber utama untuk Etika Kristen. Banyak orang

menyangkalnya, juga banyak teolog, atas dasar bahwa waktu dan tempat terlalu berbeda. Tetapi kami yakin bahwa Roh Kudus yang telah mengilhamkan Kitab Suci untuk menjadi Firman Tuhan bagi segala zaman, sanggup untuk membuat Alkitab menjadi sumber bagi setiap orang yang hendak menimba daripadanya.

Dalam Kitab Perjanjian Baru sering ditemukan orang-orang suci yang mendasarkan pandangan mereka atas kitab Perjanjian Lama, mis. Ul 32:35 dalam Roma 12:19. 2 Kor.8:15, 9:9 mengutip Kel. 16:18 dan Mazm 112:9 tentang hal memberi. 1 Kor. 10 menyebut sejarah Israel di padang gurun sebagai pengajaran bagi kita. ‘Sebab ada tertulis’ merupakan alasan kuat. Luk. 10:26, Mat. 22:29, Yoh. 10:35.

Begitu juga pandangan dalam sejarah gereja. Augustinus, Tomas dari Aquino, Luter dan Calvin bersumber pada otoritas Alkitab.

Kedudukan Alkitab berubah total ketika para penafsir, berdasarkan ilmu yang disebut

penelitian historis-kritis, tidak menerima lagi kesatuan Alkitab dan menganggap Alkitab

sebagai kesaksian-kesaksian manusiawi yang bertentangan satu dengan yang lain. Sejak itu selalu diterbitkan buku-buku tentang mis. etika Yesus yang eskatologis, etika jemaat-jemaat pertama, etika Paulus yang kristologis dll. Judul-judul seperti itu menurut kami tidak tepat sebab mengesankan bahwa terdapat bermacam-macam etika dalam Alkitab.

Dalam abad XX, di bawah pengaruh filsafat eksistensialisme, disangkal bahwa terdapat kebenaran-kebenaran yang tetap berlaku. Katanya: tidak mungkin untuk menempatkan buku Alkitab dalam sebuah aku-anda relasi, yaitu relasi Allah dan manusia, atau manusia dengan manusia. Teologi K. Barth dicoraki oleh filsafat tersebut. Dan menurut filsafat tersebut, setiap kebenaran, baru terwujud dalam sebuah relasi.

Terdapat teolog-teolog yang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sebagai sumber untuk etika, tetapi menerima saja beberapa model dari Alkitab, yang menurut mereka memiliki wibawa dari Allah. Pertanyaan kami ialah mengapa beberapa model saja diterima sebagai berwibawa dan Alkitab sendiri tidak. Dan juga: model-model apa yang layak diterima dan apa tidak? Contoh: Exodus motif, sebagai dasar untuk teologi Pembebasan, atau motif Khotbah di bukit. Atau motif kasih.

Berbeda sekali dengan pola tadi adalah ‘biblisisme’, yaitu bahwa nas-nas Alkitab diterima terlepas daripada konteks. Perbedaan waktu dan tempat tidak dihiraukan. Mis. kutuk atas Ham (Kej. 9:29) menjadi dasar untuk mempertahankan perbudakan orang negro, atau Yoh. 9:4a sebagai dasar untuk bekerja seminimal 9 jam sehari, atau enam hari seminggu (Kel. 20:9).

(18)

Alkitab adalah Firman Tuhan yang oleh pekerjaan Roh Kudus merupakan pedang yang bermata dua (Ibr. 4 :12). Tetapi selalu harus kita memeriksa diri apakah kita menggunakan Alkitab dengan murni dan tidak biblisistis. Mereka yang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Tuhan seringkali mengatakan bahwa orang Kristen yang menerima Alkitab sebagai sumber Etika adalah orang yang biblisistis. Tuduhan itu tidak tepat bila pembaca Alkitab yang menerima wibawa Alkitab memperhatikan juga konteks setiap nas.

Menurut Douma dapat dibedakan antara empat penggunaan Alkitab:

1. Apabila digunakan secara langsung, Alkitab adalah seperti pemandu. Dalam keadaan konkrit terdapat petunjuk Alkitab yang konkrit.

2. Alkitab adalah tetap seperti penjaga, yang tidak menunjuk jalan yang benar tetapi memberikan aba-aba untuk tidak ikut jalan yang salah. Dalam keadaan konkrit Alkitab memberikan peringatan untuk tidak melakukan sesuatu yang salah itu.

3. Alkitab digunakan juga sebagai penunjuk arah, yang dalam lalu lintas menunjuk tujuan kepada pengemudi-pengemudi. Sebab Alkitab memberikan faktor-faktor yang tetap, dan yang direktif bagi kita.

4. Di samping itu Alkitab memberikan banyak contoh, mis. dari Yesus Kristus sendiri: contoh-contoh seperti itu sering tidak mengajar kelakuan konkrit melainkan etos Kristen secara umum.

Catatan: Menyangkut Alkitab sebagai penjaga dapat ditambahkan umpamanya bahwa

perkembangan-perkembangan historis seperti pembubaran perbudakan, penghentian poligami, penjajahan, memang tidak langsung diperintah dalam Alkitab tetapi benar-benar adalah sesuai ajaran Alkitab dan juga sesuai perkembangan sejarah.

Menyangkut Alkitab sebagai penunjuk arah: terdapat masalah-masalah etis yang jawabannya tidak ada dalam Alkitab, oleh karena pada waktu itu masalah-masalah tersebut belum bisa ada: mis. bayi tabung, penyelidikan DNA. Tetapi karena Tuhan menetapkan faktor-faktor yang tetap berlaku maka Alkitab berguna dalam permasalahan itu juga, misalnya melalui unsur-unsur seperti ‘jangan membunuh’, ‘manusia adalah gambar Allah’ dll.

Christopher J.H. Wright: Segitiga etika

Wright adalah seorang Inggeris yang pernah mengajar di Indiah. Ia ahli etika dan ahli

Perjanjian Lama. Dalam karyanya yang terkenal: ‘Old Testament ethics for the people of God’ ia meletakkan sebuah dasar yang kuat dengan mengintrodusir pengertian ‘the ethical

triangle’ (segitiga etika). Ia menekankan bahwa etika Israel dibangun atas ‘worldview Israel’ (pandangan umum orang Israel). Dalam pandangan itu orang Israel berfokus kepada Tuhan, Allah Israel (sudut teologis), bangsa Israel, sebagai bangsa yang dipilih dan yang mempunyai hubungan unik dengan Allah (sudut sosial) dan tanah Israel, yang menurut keyakinan orang Israel adalah tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka (sudut ekonomis). Ketiga sudut tersebut membentuk sebuah segitiga, yaitu segitiga etika.

Wright menekankan bahwa dalam seluruh P.L. etika bersifat teologis: pokok-pokok etis terkait dengan Tuhan Allah: sifat Allah, kehendak Allah, tindakan-tindakan Allah, tujuan Allah. Ditekankan juga bahwa Allah dikenal dari sejarah, dari tindakan-Nya, bukan saja dari perkataan-Nya. Ditekankan pula bahwa dalam sejarah itu Allah selalu berprakarsa: Allah mencari manusia, Allah memilih Abraham dan bangsa Israel, Allah mendirikan perjanjian. Dalam hal itu inti kitab-kitab Perjanjian Baru persis sama, band. Yoh. 15:12, 1 Yoh.4:19,

(19)

Roma 12:1. Dan karena itu etika Kristen sekarang seharusnya bertolak dari pembebasan manusia oleh Allah berdasarkan anugerah-Nya itu.

Wright dengan sangat tepat memilih nas-nas Alkitab untuk menjelaskan keseluruhan maksudnya: mis. Kej. 50:20 sebagai pernyataan yang sangat indah tentang kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia (Yusuf dan saudara-saudaranya) atau Kej. 18:19, yang menerangkan keterjalinan peran Israel yang etis dan yang misioner: Abraham dipilih Allah agar ia membimbing rumahtangganya dan keturunannya berjalan di jalan Tuhan, dengan melakukan keadilan dan kebenaran supaya Allah akan menghasilkan untuk Abraham apa yang telah dijanjikan-Nya, yaitu bahwa dalam Abraham seluruh dunia akan beroleh berkat.

Sedangkan konteks perkataan itu adalah hukuman Allah terhadap Sodom.

Diselidiki ciri khas kehidupan sosial Israel dibanding dengan bangsa-bangsa sekelilingnya. Tentulah perbedaan yang paling nampak adalah teologis. Dan berhubung dengan itu Israel tidak mengikuti pola sosial bangsa-bangsa Kanaan, yang bersifat feodal, di mana raja memiliki seluruh penduduk seluruh tanah, karena raja juga dilihat sebagai anak dewa. Di Israel seluruh tanah dimiliki oleh keluarga-keluarga, setiap orang Israel adalah bebas, pemerintah dilakukan oleh penatua-penatua kota. Ketika bangsa Israel mengingini seorang raja, Samuel memberi peringatan keras. Hanya pada masa Daud dan Salomon kerajaan bermakmur, tetapi kemerosotan telah dimulai pada zaman Salomon. Cerita Ahab dan Nabot menjelaskan bahwa kejahatan religius dan ekonomis berjalan sama: penyembahan berhala oleh Ahab akhirnya menyebabkan ia mencuri tanah Nabot, dan Nabot dituduh Ahab dengan palsu sebagai pemfitnah Allah sehingga Nabot dihukumkan mati.

Wright berkata bahwa Israel adalah paradigma (contoh, pengajaran) Allah: bukan saja Firman Allah kepada Israel tetapi seluruh keberadaan Israel sebagai bangsa Allah yang dipimpin Allah dalam semua aspek kehidupan. Paradigma tidak berarti bahwa hukum-hukum Perjanjian Lama langsung dapat diterapkan. Israel sebagai paradigma berarti bahwa

keseluruhan sejarahnya menjadi paradigma, dan dalam hal itu perlu direnungkan pula bahwa Israel adalah jalan Tuhan kepada dunia ini untuk mendatangkan Juruselamat dunia.

Penggenapan hukum dalam Kristus:

Menggenapi, pleroo, (Mat. 5: 17) berarti melengkapi, bukan saja mengesyahkan: arti hukum bagi kita berbeda dengan artinya bagi Israel, menurut Douma. Sedangkan menurut J.van Bruggen menggenapi harus ditafsirkan sebagai melengkapi segaligus mendiktekan.

Memang bagi kita hukum mosaica tidak lagi menjadi pemandu: persembahan-persembahan tidak dituntut lagi, dan juga hukum-hukum perdata berbeda: dalam hukum Musa ditemukan 20 pelanggaran yang menuntut hukuman mati pada waktu itu, tetapi bukan pada waktu kita. Dalam kasus hukum yang ke-4 penggenapan berarti bahwa sabat israelitica ditemukan kembali dalam perayaan hari minggu. Hukum yang ke-4 itu tidak termasuk peraturan-peraturan seremoniil atau peraturan-peraturan kenegaraan, tetapi termasuk undang-undang dasar yang diperintahkan Allah sendiri di gunung Sinai.

Menurut Calvin hukum-hukum negara yang berbeda dengan hukum Musa kadang-kadang bahkan lebih cocok daripada hukum Musa. Oleh sebab itu menurut Calvin tidak dapat dikatakan bahwa negara bersangkutan telah meniadakan hukum Musa, karena sebenarnya hukum Musa tidak pernah diberikan kepada bangsa itu sebagai undang-undang negara. Tomas Aquinas membedakan antara hukum moril, seremoniil, dan sipil, begitu juga sebuah kompendium ajaran Reformed di Belanda dari abad yang ke-16, yang berjudul Synopsis

(20)

Berbeda sekali adalah pandangan orang-orang tertentu di Amerika Serikat, a.l. R.J. Rushdoony, yang disebut Christian Reconstruction. Mereka mau menghidupkan seluruh hukum Musa dengan pengertian bahwa penyembahan berhala, mengutuki orang,

homoseksualitas, pemberontakan perlu dihukum mati. Menurut Rushdoony pandangan Calvin mengenai bangsa-bangsa yang mengembangkan hukumnya sendiri adalah pandangan bidah. Pandangan Christian Reconstruction itu berkaitan dengan postmilennialisme: masyarakat kini akan hancur dan sesudah itu manusia akan hidup bila ia kembali ke hukum-hukum Alkitab. Hanya hukum-hukum seremoniil merupakan pengecualian baginya. Pandangan ini juga disebut teonomisme.

Untuk bersumber pada Alkitab dengan cara yang bertanggungjawab kita membutuhkan

pertolongan Roh Kudus.

Dibanding dengan Israel, gereja PB sudah akalbalig. Dipimpin oleh Roh Kudus ia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Apakah Roh Kudus memberikan pula pengetahuan tambahan, di samping pengetahuan dari Alkitab? Pertanyaan itu tidak langsung dapat dijawab.Tetapi seorang yang berkata bahwa ia memiliki pengetahuan yang datang langsung daripada Roh Kudus, harus memberikan legitimasinya melalui Firman Tuhan. Seorang yang tampil sebagai seorang yang dipimpin oleh Roh Kudus, harus dinilai dengan analogia fidei (kesamaan iman, isi iman) (Roma 12 :3, 1 Kor. 14 :29).

Calvin telah berkata : kita membutuhkan coniunctio atau consonans dari dua suara : Firman dan Roh.

Mengikut Kristus

Untuk merenungkan arti mengikut Kristus bukan saja kita membahas beberapa nas yang menyebutnya hurufiah, mis Mt 8:22, 9:9, 19:21. Lebih penting lagi kata Paulus dalam 1 Kor. 11:1, dan secara khusus seluruh pola hidup Kristus sendiri dan pemikiran-Nya. Band Fil.2:7. Mengikut Yesus bukan menjiplak-Nya atau mengimitasi-Nya. Yang dimaksudkan adalah melayani dan mentaati, band. 1 Raja-Raja 18:21: Mengikut allah lain sama dengan mengabdi kepadanya. Begitu dengan mengikut Allah: Ul. 13:4.

Kitab-kitab Perjanjian Baru lebih jelas lagi: bukan saja mentaati, bukan juga mengimitasi jalan hidup Tuhan Yesus, tetapi mewujudkan pola hidup-Nya.

‘Akolouthein’, kata Tuhan Yesus, ‘mimeisthai’, kata Paulus. Tidak perlu keduanya dipisahkan atau dibedakan.

Dahulu sangat terkenal buku Thomas a Kempis, ‘De imitatione Christi’ (tentang mengikut Kristus). Thomas berbicara tentang ‘mengikut Kristus’ (sequi) tetapi langsung

menggantikannya dengan ‘menjadi serupa dengan Kristus’ (imitare). Bukunya adalah pedoman untuk spiritualitas Kristen, dengan tekanan atas doa, renungan, latihan rohani. Mengikut Yesus berarti:

1. mengindahkan panggilan dari Bapak, dalam setiap pelaksanaan tugas, sama seperti Yesus selalu melakukan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 4:34). 2. Kristus berusaha demi sesama-Nya. Kristus mencuci kaki saudara-saudara-Nya. Karena kasih untuk sesama-Nya ia meninggal dunia. Lalu kasih itulah merupakan tujuan dari mengikut Kristus : 2 Kor. 5 :14, 1 Kor. 13:4.

(21)

3. Mengikut Kristus berarti pula: menyangkal diri, rela menerima penderitaan dalam mengikut Yesus: Mat. 16:24. Bahkan Paulus pernah berkata: ia memperlengapi penderitaan Kristus (Kol. 1:24): mutatis mutandis penderitaan Kristus kena juga orang Kristen.

Bukan setiap orang harus meninggalkan keluarga dan pekerjaan seperti murid-murid pertama, atau harus meninggalkan biara (Luther), tetapi untuk setiap orang berlaku: Manusia lama harus mati, dan hal itu berarti penderitaan. Kata Bonhoeffer juga bahwa mengampuni sesamanya dapat terasa pula sebagai penderitaan, namun perjuangan itu sangat perlu,

berdasarkan Gal. 6:2 (saling memikul beban, beban dalam arti: dosa, band. ay. 1). Pada akhir hidupnya Bonhoeffer telah membuktikan itu dengan sungguh-sungguh, ketika ia dihukum mati (digantung) oleh rezim Nazi dan mati syahid.

5.Kasih sebagai inti Hukum.

Bonhoeffer mengutamakan dua unsur dalam kelakuan etis: tanggungjawab dan kasih. Pada dasarnya Douma memilih yang sama.

Kasih mencakup segala perintah, sebagai ‘ikatan kesempurnaan’ (Kol. 3:14).

Alkitab menyebut kasih dalam berbagai-bagai bentuk. Kasih Allah kepada dunia (Yoh.3:16), kasih Allah kepada bangsa-bangsa (Ul. 33:3), kepada manusia (Titus 3:4) dan khususnya kepada bangsa-Nya sendiri (Ul. 4:37, Yoh. 17:3, Ef.2:4) yaitu bangsa Israel dulu dan kemudian semua orang yang berada dalam Kristus.

Tersebut juga kasih Kristus, 2 Kor. 5:14, 1 Joh. 3:16, dan kasih Roh Kudus, dan juga kasih antara Bapak, Anak dan Roh.

Manusia dipanggil untuk mengasihi Allah, dan juga sesama manusia. Dalam kasih yang terakhir itu dapat dibedakan kasih antara suami dan isteri, orangtua dan anak, antara sahabat, antara kekasih, antara orang seiman, tetapi juga terhadap orang asing.

Perlu dicatat juga kasih manusia kepada dirinya sendiri.

Bisa juga kita mengasihi hal-hal seperti hikmat, perintah Allah dll.

Sayangnya kasih dapat diarahkan pula kepada hal-hal yang tidak baik, mis. dunia. Untuk membedakan beberapa bentuk kasih, dapat diperhatikan kata-kata Yunani seperti ‘eroos’ dan ‘agape’, yang diterangkan dengan baik oleh C.S. Lewis: ‘need-love’ dan ‘gift-love’. Keduanya pada dasarnya baik, tetapi mempunyai ciri khas yang berbeda. Di samping itu terdapat pula dalam bahasa Yunani kata ‘storge’ (kasih yang nyata dalam mengasuh, memelihara) dan ‘filia’ (dengan banyak arti: terkenal ‘filadelfia’: kasih persaudaraan)

Sekalipun pembedaan eroos-agape itu penting adanya, namun bukan semuanya dapat dicakup didalamnya itu. Sebab kasih dapat berhugungan juga dengan unsur mengagumi, mis terhadap perintah-perintah Allah atau Bait Suci.

H. van Oyen memperhatikan tiga bentuk kasih: ‘eroos’, ‘agape’ dan ‘filia’. Douma mengikut pembahagian itu dan menerangkan: ‘Eroos’, itulah ketertarikan , keinginan, baik kepada Allah maupun kepada sesamanya. Termasuk kasih seksuil. Jika ‘agape’, itulah kasih yang tidak menerima melainkan memberikan. Kadang-kadang dengan menyangkal diri. Terakhir ‘filia’: kasih terhadap struktur-struktur hidup, sebagaimana ditentukan oleh Allah.

Katabenda ‘eroos’ dan ‘filia’ tidak ditemukan dalam PB, hanya ‘agape’. Sedangkan katakerja yang ada hanya ‘filein’ dan ‘agapein’.

(22)

Kasih kepada Allah tidak terbatas pada saat-saat tertentu, di mana iman kita memuncak dalam hubungan mistik dengan Allah. Dan dalam kasih kepada Allah tentu juga tidak ada tempat bagi seksualitas, seperti pada ritual-ritual orang Kanaan (ilah seperti Baal dan Astarte).

Adiafora

Kasih kepada Allah total adanya. Tinggal pertanyaan apakah ada adiafora (hal-hal yang netral, tidak penting). Secara praktis memang ada, namun istilah itu tidak tepat.

Jelas bahwa Alkitab dalam sekian banyak kasus tidak memberikan peraturan langsung. Tetapi tidak benar bahwa terdapat zone netral di mana manusia dapat menentukan semau-maunya saja. Untuk setiap keputusan ada situasi tertentu, akibat tertentu, mungkin juga emosi tertentu. Mungkin tidak ada perintah tertentu, namun setiap keputusan harus diambil secara

bertanggungjawab.

Pilihan orang Kristen yang satu dengan yang lain dapat berbeda, tetapi bisa saja dua-dua bertanggungjawab. Dalam Fil. 1:9 tidak dibicarakan tentang adiafora, tetapi justru dikatakan bahwa kita harus menentukan sikap kita tentang ‘diaferonta’ (hal-hal yang harus dibedakan), yaitu memilih yang penting dan mengambil keputusan baik tentang itu.

Siapa sesamaku?

Tidak sulit bagi seorang untuk menjawab siapa sesamanya (ho plesios). Band. Luk 10 dan Mat. 22. Dalam situasi konkrit harus ditentukan siapa yang telah menjadi sesama bagi kita: setiap orang dapat menjadinya, tetapi bukan setiap orang adalah sesama kita. Dalam kasih kepada sesama terdapat juga urutan. Sebab terdapat orang yang lebih dekat dengan kita daripada yang lain.

Tidak tepat jika kasih terhadap sesama selalu merupakan ‘gift love’ dan tidak pernah ‘need-love’. Misalnya dalam hubungan cinta keduanya perlu.

Tuntutan mengasihi tidak selalu berat adanya. Apakah dalam kasih kepada anak sendiri, dan antara suami-isteri tidak banyak juga yang kita terima? Tetapi akan timbul masalah, jika eroos dan agape diceraikan dan hanya kasih kepada seorang dilihat sebagai tuntutan dari Allah dan kasih daripada seorang tidak.

Kasih kepada Allah dan sesama telah dituntut dalam PL juga, yaitu Im. 19:18, dibanding dengan Ul. 6:5. Tetapi unsur yang baru dalam PB adalah bahwa Yesus menunjuk kepada diri-Nya: ‘Sama seperti Aku mengasihi kamu’ (Yoh. 13:34). Jadi, ‘filadelphia’ (kasih

persaudaraan) adalah bentuk khusus daripada kasih kepada sesama.

Kata ‘seperti dirimu sendiri’ menunjukkan intensitas kasih. Kasih kepada diri sendiri tidak boleh menjadi ‘mementingkan diri’, ‘filautos’, band 2 Tim. 3:2.

‘Mengasihi musuhmu’ Mat. 5 :47.

Salah satu alasan untuk mengasihi musuh, adalah bahwa Allah sendiri mahamurah (Rom. 12 : 1). Yoh. 3 :16 adalah dasar kasih kepada musuh. PL juga melarang untuk bersifat benci: Im 19:17, Amsal 24:17, 29.

Kata Yesus bahwa menurut tradisi para musuh harus dibenci, Mat. 5 :43, bukan berarti bahwa menurut hukum kita harus membencinya, tetapi menurut penafsir-penafsir. Tetapi Yesus Kristus mengajarkan yang lebih mendalam, yaitu lebih radikal, sebab Kristus sendiri mati untuk orang berdosa.

Atas dasar perintah untuk mengasihi sesama janganlah disimpulkan bahwa setiap argumentasi berdasarkan lex talionis (hukum pembalasan) harus ditolak. Bila Yesus menolak itu, Mat. 5 :

(23)

38, itulah karena Ia berbicara kepada pengikut-pengikut-Nya secara perseorangan. Sebab memang, seorang diri tidak boleh membalas dendam, dan Allah yang mempunyai

pembalasan. Tetapi Allah menginstruksikan kepada pemerintah-pemerintah untuk melaksanakan hukuman (Roma 12, 13).

Mengasihi musuhnya adalah perintah untuk semua orang Kristen, tidak seperti ajaran RK bahwa hanya perfecti (orang sempurna) saja bisa memenuhi consilia itu.

‘Peraturan emas’

Terkenal sebuah nas yang dinamakan ‘peraturan emas’ (Mat. 7: 12): ‘segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi’.

Secara singkat: menunjukkan kepada sesamamu kasih yang diharapkan olehmu. Peraturan seperti itu telah ditemukan pada Thales dari Milete, 600 seb M., dan pada

Konfucius, 500 seb. M. Seringkali rumusan tersebut ditemukan dalam bentuk yang negatif: ‘yang engkau tidak kehendaki dll’. Akan tetapi perbedaan antara perumusan yang positif dan yang negatif tidak terlalu besar.

Konteks bagi penggunaan secara Kristen adalah hukum dan para nabi.

Kant mengeritik peraturan itu tapi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan imperatif yang kategoris sebagaimana dikalimatkan Kant sendiri: Berbuat demikian supaya apa yang engkau terima sebagai prinsip, dapat menjadi juga prinsip bagi semua orang.

Terdapat pula tafsiran yang utilistis dari nas tersebut: ‘do ut des’ : ‘aku berikan supaya engkau akan berikan’.

Mengasihi diri

Menurut Augustinus, Bernard de Clairveau, Thomas Aquinas, maka kita wajar mengasihi diri, sedangkan menurut Calvin dan Barth dll tidak boleh. Tetapi semua teolog tersebut yakin bahwa memang terdapat bentuk kasih diri yang jelek.

Augustinus membela kasih diri sebagai kekuatan yang mendorong manusia memandang ke atas sampai kasih itu memuncak dalam kasih kepada Allah.

Bagus juga Tomas : seorang yang mengasihi Allah akan mengasihi juga kepunyaan Allah, yaitu diri sendiri.

Tetapi berhubungan dengan ini Augustinus maupun Tomas mengajar juga sesuatu yang aneh, yaitu : kita harus mengasihi sesama karena hal yang baik didalamnya, yaitu kita mengasihi natura manusia pada umumnya. Jadi kita mengasihi musuh karena ia tetap manusia. Tetapi dengan demikian kita membuat manusia konkrit menjadi abstrahan. Dan pada akhirnya kita tidak mengasihi orang tertentu, sedangkan justru itulah yang dikehendaki Allah.

Jangan menempatkan kasih diri di atas kasih kepada sesama, sebab terdapat hanya dua

perintah dalam Mat. 22. Kristus tidak berkata: dan mengasihi dirimu. Kasih diri adalah sebuah kenyataan yang menjadi pengukur dan dorongan untuk kasih yang lain.

Kasih dan keadilan. Etika situasi

Terdapat sebuah perkataan Augustinus yang tidak boleh menjadi patokan absolut: ‘dilige et quod vis, fac’. ‘Kasihilah, dan apa saja yang engkau mau, perbuatlah itu’. Augustinus mau menekankan kemerdekaan kristiani, bahwa seorang Kristen tidak terikat kepada banyak peraturan seperti dahulu dipraktekkan oleh orang Farisi.

(24)

Hanya saja, kalimat itu telah menjadi patokan mutlak dalam aliran etika yang dinamakan: ‘etika situasi’, yaitu di mana tindakan moril semata-mata ditentukan oleh keadaan aktual. Begitu J. Fletcher dalam ‘Situation Ethics’ (1966). Hanya perintah kasih yang

dipertahankannya, sebagai perintah intrinsik. Semua perintah lain tergantung dari keadaan, katanya.

Tidak mungkin kita dapat menilai semua keadaan melalui hanya satu axioma saja, yaitu kasih. Sebab keadaan masyarakat cukup rumit. Sangat melelahkan juga jika dalam setiap situasi kita harus memikirkan dari permulaan lagi apa yang baik. Terakhir: dalam Alkitab perintah kasih tidak terlepas dari perintah lain: kasih bukan pengganti hukum, tetapi penggenapan hukum, band juga Yoh. 15:10.

Ikatan antara kasih dan keadilan kuat sekali, khususnya jika kita memandang kepada salib Kristus. Di sana Allah menunjukkan kasih-Nya dan juga keadilan-Nya.

Kasuistik

Kasuistik (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab, fsl 14) adalah ilmu tentang

kasus-kasus, yang mengajar bagaimana menerapkan peraturan umum untuk kasus-kasus khusus. Seorang dapat menolong sesamanya dalam hal itu.

Kasuistik sering dibenci, ingat orang Farisi dengan 613 perintah dan larangan. Ingat juga buku-buku pedoman pada pengakuan dosa dari gereja Katolik Roma dalam Abad

Pertengahan. Kasuistik dapat menjadi seperti terlukis dalam Yes. 28:10. Dan juga dapat memberi kelonggaran untuk menyebut baik apa yang jahat, band. Mat. 23:23.

Barth menolaknya, dengan mengatakan bahwa, kalau begitu, manusia mengambil tempat di takhta Allah. Tetapi Bonhoeffer mengintroduksikan dalam seminari teologia yang

dipimpinnya ‘pengakuan dosa’, walaupun tidak sama seperti di gereja Katolik Roma. Ia mau supaya seorang Kristen secara pastoral ikut memikirkan beban saudaranya dan akan

mengatakan apakah sesuatu baik atau tidak dan akan mendoakan saudaranya.

Menurut Douma tidak bisa kita menolak kasuistik semata-mata. Ternyata dalam praktek sehari-hari setiap orang melakukannya. Kita tidak menolong orang yang menggumuli sebuah masalah dengan mengatakan kepadanya : saudara memutuskan sendiri saja sesuai seleramu apa yang baik. Jika kita berbelas kasihan maka kita akan memberi pandangan, dan sedikit-dikitnya kita membutuhkan kasuistik.

Dalam Alkitab terdapat kasuistik juga, sebab setelah kesepuluh hukum diumumkan dalam Kel. 20 dan Ul .5 dinyatakan juga banyak peraturan yang diawali dengan : jika terjadi yang ini atau yang itu (ki, im), dan itulah peraturan kasuistis. Peraturan itu berbeda dengan peraturan apodiktis, seperti kesepuluh hukum, yang diawali dengan : jangan (lo).

Pada ukuran tertentu kita membutuhkan etika jemaat dan kasuistik. Terlebih dalam ‘secular age’.

Kasuistik yang baik tidak membahas sedetailnya tetapi menyebut tipe-tipe situasi yang agak umum. Jangan kita terperangkap dalam kesalahan-kesalahan kasuistik yang buruk, dengan mau mengatur semuanya.

Jika kita menggunakan etika jemaat, dan membentuk sebuah pola hidup didalam mengikut Yesus, dan jika kita tidak mempertentangkan kebebasan sendiri dan hukum Allah, makanya kita akan menggunakan kasuistik untuk memperoleh uluran tangan etis. Bersama-sama dengan orang seiman harus kita mencapai kedewasaan rohani : Ef. 4 :12.

(25)

Spiritualitas (kehidupan rohani, kerohanian) (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab fsl 15)

Etika membutuhkan spiritualitas: nampak dalam doa dan penelitian Alkitab, renungan, ibadah, liturgia, waktu yang teduh.

Spiritualitas adalah hidup bertujuan kepada Allah Tritunggal. Istilahnya lebih cocok daripada askesis, yang berarti latihan, dan yang sering ditafsir negatif.

Kompromis.

Kenyataan kompromis terdapat dalam Alkitab. Band. Ul. 24:1. Tetapi kompromis tidak boleh disalahgunakan. Douma: Kompromis adalah akseptasi (penerimaan) sesuatu yang kurang

daripada yang semestinya dan harus diusahakan berdasarkan perintah Allah.

Terkadang perceraian merupakan kompromis, begitulah perpecahan gereja. Setiap kali kita berkompromis kita menderita, karena maksimum tidak bisa dicapai.

Dalam Kis. 5 :29 dinyatakan sebuah batas yang tidak boleh dilewati : kita harus mentaati Allah lebih daripada manusia.

6.Kesepuluh hukum (hukum 1-4).

Dalam Alkitab kesepuluh hukum dicantumkan dua kali, Kel. 20 dan Ul. 5. Tuhan Allah sendiri mengumumkan hukum-Nya dari atas gunung Sinai. Kesepuluh hukum ini, dalam bah. Yunani: Dekalog, adalah hukum dasar yang telah diumumkan sebelum Tuhan memberikan perintah-perintah lain melalui Musa.

Kel. 20 menceriterakan pengumuman Dekalog, sedangkan Ul. 5 merupakan sebagian dari khotbah Musa yang diucapkan pada saat bangsa Israel mau masuk Kanaan. Musa

mengingatkan sejarah yang sudah terjadi. Dalam ceritera itu diulanginya Dekalog, dengan beberapa perbedaan, dibanding dengan Kel. 20. Sebab Musa bermaksud untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada bangsa yang telah tiba di ambang pintu Kanaan, dan keadaannya berubah sejak mereka berangkat dari gunung Sinai.

Tuhan Allah sendiri menuliskan Dekalog atas dua loh batu (Kel. 31:18), yang disimpan dalam tabut perjanjian (Ul. 10).

Dekalog sering dikutip, baik dalam kitab-kitab P.L. maupun P.B. Lih. Yer. 7:9; Hos. 4:2, Mat. 19:18, Roma 13:9, 1 Tim. 1:9, Ef. 6:2, Yak. 2.

Hukum yang pertama

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku

Perlu diamati hubungan antara kata-kata pendahuluan dan hukum yang pertama. Allah

memperkenalkan diri sebagai Tuhan, Allah mereka, yang telah melepaskan mereka dari Mesir. Nama Tuhan adalah indonesianisasi dari kata Yahwe, ‘Aku adalah Aku’ (Kel. 3:14).

Pengertian nama itu bukan bahwa Tuhan berdiam diri dan tidak bergerak, melainkan bahwa Tuhan tetap sama dan tetap setia untuk mengingat akan perjanjian-Nya (band. Kel. 3:16). Justru karena Tuhan tetap setia makanya Ia membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. Dan Tuhan, Pelepas itu, menuntut supaya mereka tidak akan menyembah kepada allah lain.

Referensi

Dokumen terkait

Firman Tuhan yang melandasi semua cita-cita anak remaja Kristen diambil dari Mazmur 1:1-3. Dalam kitab Mazmur 1:3b dikatakan bahwa “…apapun yang dikerjakan berhasil. 

Pelajaran 1 sampai 4 membahas mengenai pokok iman Kristen yang amat penting yaitu mengenai Dosa, perto- batan serta Allah mengampuni dan menyelamatkan manusia melalui

Dalam hal ini, pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan secara Kristen yaitu pendidikan yang cara khusus membahas mengenai nilai-nilai kekristenan, dimana

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tindakan yuridis sakramental yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik di atas hendak menyatakan bahwa pengakuan dosa tidak

Perspektif Etika Moral Kristen Terhadap Kasus Hamil dan Melahirkan Bayi di Luar Pernikahan TUHAN Allah mencipta keluarga sebagai tempat yang tepat dan tetap bagi kehadiran anak-

Menimbulkan pertanyaan, “di manakah peran agama secara khusus agama Kristen yang memahami bahwa Allah peduli dengan lingkungan, orang miskin dan juga kehidupan

Firman Tuhan yang melandasi semua cita-cita anak remaja Kristen diambil dari Mazmur 1:1-3. Dalam kitab Mazmur 1:3b dikatakan bahwa “…apa saja yang diperbuatnya berhasil”. 

Dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan juga bahwa dalam etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada