• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini penulis menguraikan tentang apa yang dimaksud pencucian uang dan penjelasan pencucian uang menurut Undang Undang No.8 Tahun 2010 dan penjelasan serta pembahasan mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menurut Undang Undang No . 8 Tahun 2010.

BAB III: PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS DAN PEMBANTU DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan dan penjelasan mengenai kedudukannya serta menjelaskan peranan dan wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

BAB IV: ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK (STUDI PUTSAN NOMOR: 857/PID.SUS/2017/PN.JKT.SEL)

Dalam bab ini menjelaskan mengenai analisa kasus terhadap putusan hakim dalam perkara No.857/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Sel, tentang hal hal yang terjadi dipersidangan.

Baik kronologis kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan hakim, putusan. Hal-hal tersebut diatas akan dianalisis oleh penulis untuk mendapatkan data yang valid mengenai putusan yang tepat dalam perkara ini.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran saran atas bagaimana seharusnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dan dikembangkan dan juga pertimbangan hakim dalam memutus kasus pencucian uang. Bab ini juga berisi saran yang disampaikan oleh penulis mengenai hal-hal tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimana kesimpulan dan saran saran itu melihat dari uraian yang ada pada bab-bab sebelumnya.

27

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 ada frasa

“Pencucian Uang”, namun mengenai apa yang dimaksud dengan Pencucian Uang sampai saat ini tidak ada belum terdapat definisi atau pengertian yang universal dan komperhensif28. Demikian juga dalam Undang Undang No. 8 Tahun 2010 tidak terdapat definisi atau pengertian apa yang dimaksud dengan Pencucian Uang, karena Pasal 1 angka 1 hanya menyebut: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur–unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terdapat uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal–usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan tindak pidana, dengan memasukan uang tersebut kedalam sistem keuangan (financial system), sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.29 Jika diperhatikan bahwa dalam Pasal 1 angka 1 terdapat adanya frasa “memenuhi unsur–unsur tindak pidana” maka kiranya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya

28 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme (Jakarta: Pusaka Utama Grafitri, 2004), hal 1.

29 Ibid, hal 5.

yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 1 adalah “Tindak Pidana Pencucian Uang” dan bukan “Pencucian Uang”.

A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010

Dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 menjelaskan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang adalah : “Setiap orang yang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, mengibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagai mana dimaksud pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

Tindakan pidana sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 tersebut, oleh pasal 3 sudah diberi kualifikasi sebagai tindak Pidana Pencucian Uang.30

Kualifikasinya ialah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakaan, membayarkan, mengibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta

30 R.Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),hal 54.

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan.

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif, yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). hal ini tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun dikecualikan bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

3. Dalam pasal 4 UU No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.31

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angka 9, yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam pasal 3 adalah:

a. Orang perseorangan; atau b. Korporasi

31 Philips Darwin,Op.Cit,hal 76-77.

Jadi sebenarnya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, disamping dapat dilakukan oleh orang perseorangan (Natuurlijk persoon), juga dapat dilakukan oleh korporasi. Hanya saja korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang tersebut tidak dijatuhkan pidana denda yang disebutkan dalam pasal 3, melainkan pidana dengan yang disebutkan dalam pasal 7 ayat (1).

Untuk tindak pidana Pencucian Uang yang dilakukan oleh korporasi terdapat dalam Pasal 6.

Yang dimaksud dengan “harta kekayaan” dalam pasal 3 tersebut adalah hanya terbatas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sampai hufuf z saja. Hasil tindak pidana yang merupakan harta kekayaan adalah: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d.

psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g.

dibidang perbankan; h. dibidang pasar modal; i. dibidang perasuransian; j.

kepabeaan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n.

terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. dibidang perpajakan; w. dibidang kehutanan; x.

dibidang lingkungan hidup; y. dibidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Dengan demikian misalnya harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana sebagai dimaksud oleh pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP tidak merupakan harta kekayaan yang dapat menjadi objek Pencucian Uang.

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angka 13, yang dimaksud dengan harta kekayaan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 dapat terdiri dari semua benda:

a. Yang bergerak atau tidak bergerak;

b. Yang berwujud atau tidak berwujud.

Yang semua benda tersebut diperoleh baik langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 ayat (1).32

Lalu unsur subjektif berupa “yang diketahuinya” dalam pasal 3 menunjuk adanya bentuk kesalahan yang serupa “sengaja” atau “dolus”, sedangkan unsur subjektif berupa “patut diduganya” dalam pasal 3 menunjuk adanya bentuk kesalahan berupa “tidak sengaja” atau “alpa”.

Dari Memorie van Tulichting disebutkan bahwa “sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “dikehendaki dan diketahui” (willens en wettens)33.

Oleh Satochid Kartanegara dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “willens en wettens” adalah seorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi, mengerti (witten) akan ajubat dari perbuatan itu34.

Sedang yang dimaksud “tidak sengaja” atau “alpa”, oleh van Hamel dikemukakan bahwa kealpaan itu mengandung syarat, yaitu:

1. tidak mengadakan penduga–duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

32 R.Wiyono,Op.Cit,. hal 56 - 57.

33 E. Utrech, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pusaka Tirta Mas, 1987), hal 301.

34 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian I (Balai Lektur Mahasiswa), hal 291.

2. tidak mengadakan penghati–hati sebagaimana diharuskan pleh hukum.35 Untuk kata “Menempatkan” dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan bahwa kata “Menempatkan” pada huruf a tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Inggris to place. Ketentutan ini lebih atau terutama terkait dengan atau ditujukan kepada perbuatan menempatkan uang tunai pada bank. Sepanjang menyangkut bank, pengertian “menempatkan” disini sama dengan pengertian menyimpan atau to deposite uang tunai. Sesuai dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah ditambah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dana yang telah ditempatkan atau disimpan pada bank disebut “simpanan”. Simpanan menurut UU tersebut dapat berupa dana yang disimpan di bank dalam betuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dana tau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.36

Dengan mengikuti penjelasan dari Sutan Remy Sjahdeini seperti tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

a. yang dimaksud dengan “menempatkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)” dalam pasal 3 adala menyimpan harta kekayaan yang berupa uang tunai yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) di bank sebagai simpanan.

b. simpanan bank tersebut dapat berupa giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.37

35 Mulyatno, Azas – Azas Hukum Pidana

36 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,. hal 187.

37 R.Wiyono,Op.Cit, hal 58-59.

Mengengai apa yang dimaksud dengan “mentransfer”, Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan “… sedangakan kata “mentransfer” adalah istilah perbankan dan selalu terikat dengan dana atau fund. Untuk dapat mentransfer dana, maka dana itu harus terlebih dahulu telah berada sebagai simpanan di bank yang akan

“mentransfer” (melakukan transfer) dana tersebut. Artinya telah disimpan dalam suatu rekening (account) pada bank tersebut … dst”38

Dengan mengikuti penjelasan dari Sutan Remy Sjahdeini seperti diatas, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “mentransfer atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pindana sebagaimana pasal 2 ayat (1)” dalam pasal 3 tersebut adalah pemindahan dana sebagai simpanan yang ada di bank.39

Untuk kata “Mengalihkan” berasal dari kata dasar “alih”, yang artinya adalah pindah, ganti, tukar atau ubah.40

Dengan demikian “mengalihkan” artinya adalah memindahkan, menganti, menukar atau mengubah.

Sehubungan dengan arti “mengalihkan” seperti tersebut diatas, maka tentunya yang dimaksud dengan “mengalihkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat(1)” dalam pasal 3 adalah memindahkan, mengganti, menukar atau mengubah

38 Sutan Remy Sjaheini, Op.Cit,. hal 188.

39 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 59.

40 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal 30.

harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) tersebut.41

Mengenai apa yang dimaksud “membelanjakan”, Sutan Remy Sjahdeini menjelasakn bahwa pengertian “membelanjakan adalah dalam rangaka membeli barang atau jasa, yang padanannya dalam Bahasa inggris adalah to spend.42

Oleh karena itu untuk membeli barang atau jasa harus dengan uang, maka dengan mengikuti pendapat dari Sutan Remy Sjahdeini seperti tersebut diatas, yang dimaksud dengan “membelanjakan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) “ dalam pasal 3 adalah membeli barang atau jasa dengan harta kekayaan yang berupa uang diketaui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)”.43

Dan yang dimaksud “membayarkan”, Sutan Remy Sjhadeini juga menjelaskan “... kata “membahayakan” dalam huruf c dari Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No.25 Tahun 2003) mengandung arti menggunakan harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana tersebut bukan hanya dalam rangka pembayaran harga barang dan jasa, tetapi juga dalam rangka membayar atau melunasi kewajiban, misalnya kewajiban membayar (melunasi) utang.... dengan demikian harta kekayaan (yang merupakan hasil tindak pidana) yang dipakai untuk membayar kewajiban tersebut tidak selalu harus berupa uang, tetapi dapat pula berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud selain uang.

41 R.Wiyono,Op.Cit,. hal 61.

42 Sutan Remy Sjahdeini,Op.Cit,. hal 189

43 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 61.

Misalnya berupa saham, obligasi, deposito, surat utang, bangunan, perhiasan dan lain lain … dst”.44

Dengan mengikuti penjelasan dari Sutan Remy Sjahdeini tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang membayarkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dalam pasal 3 adalah:

a. membayarkan harga barang atau jasa dengan harta kekayaan yang berupa uang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1.

b. membayar atau melunasi kewajiban dengan harta kekayaan yang tidak berupa uang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1.

Perlu diperhatikan bahwa pada waktu masih berlakunya UU No. 15 Tahun 2002jo. UU No. 25 Tahun 2003, ketentutan mengenai “membelanjakan” dan

“membayarkan” atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 terebut adalah dalam satu ketentutan, yaitu pasal 3 ayat 1 huruf c.45

Lalu mengenai apa yang dimaksud dengan “mengibahkan”, Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan “… kata “mengibahkan” dalam huruf d dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 2 Tahun 2003 mengandung pengertian

“memberikan harta kekayaan secara cuma cuma atau tanpa syarat”. harta kekayaan diberikan itu harus berupa apa yang dalam bahasa Inggris disebut

44 Sutan Remy Sjhadeini,Op.Cit,. hal 189.

45 R.Wiyono,Op.Cit,. hal 62.

“grant”. Kata mengibahkan tersebut dapat pula berarti hibah sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata … dst”.46

Yang dimaksud oleh Sutan Remy Sjhadeini dengan hibah sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata tersebut adalah hibah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1666 KUHPerdata, yaitu suatu persetujuaan dengan mana si pengibah di waktu hidupnya, dengan cuma cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Dengan mengikuti penjelasan Sutan Remy Sjhadeini seperti diatas dapat diketahui bahwa yang dimaksud “mengibahkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dalam pasal 3 adalah memberikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 secara cuma cuma atau tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali.47

Pasal 1694 KUHPerdata menyebutkan bahwa penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain, sengan syarat bahwa dia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.

Oleh Sutan Remy Sjahdeini kemudian dijelaskan, “… kata “menitipkan” sama dengan “to bail” dalam pengertian lembaga bailment dalam hukum perdata atau sama dengan to deposite. Cara menitipkan misalnya dengan menyewa safe deposit box dari bank dimana pelaku menitipkan barang perhiasan, surat utang

46 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,. hal 189 -190.

47 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 63.

negara (obligasi pemerintah), bahkan berupa uang tunai dalam safety deposit box tersebut … dst.”48

Dari pengertian mengenai penitipan yang diberikan oleh pasal 1649 KUHPerdata tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan menitipkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dalam pasal 3 adalah menyerahkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dengan syarat untuk disimpan dan dikembalikan dalam wujud asalnya.49

Pada waktu masih berlakunya UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, untuk kata “membawa” dalam hal ini membawa keluar negeri. Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan bahwa kata

“membawa” adalah membawa harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana secara fisik.50

Sedang yang diartikan dengna kata “membawa itu sendiri adalah angkut, memuat, memindahkan atau mengirimkan.51

Dengan mengikuti penjelasan dari Sutan Remy Sjahdeini seperti tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “membawa keluar negeri atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dalam pasal 3 adalah mengangkat, memuat, memindahkan atau mengirim harta kekayaan yang diketahui atau patut

48 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,. hal 190.

49 R.Wiyono, Op,Cit,. hal 64.

50 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,. hal 190.

51 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003 Edisi Ke III), hal 115.

diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 secara fisik keluar batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sudah tentu harta kekayaan yang dapat dibawa keluar negeri hanya benda bergerak dan yang berwujud.52

Yang diartikan dengan “mengubah” adalah menjadikan lain dari semula atau menukar bentuk (warna, rupa, dsb).53

Dengan demikian yang dimaksud dengan mengubah bentuk atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dalam pasal 2 adalah menjadikan lain dari semula atau menukar benntuk dari harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1.

Misalnya rumah yang merupakan hasil tindak pidana yang semula hasilnya berwarna biru muda dijadikan warna kuning atau rumah tersebut yang semula tidak bertingkat dijadikan bertingkat.54

Mengenai apa yang dimaksud dengan “menukarkan”, Sutan Remy Sjhadeini menjelaskan “… kata “menukarkan” sama dengan pengertian “to swap” dalam bahasa Inggris. Misalnya menukarkan sebuah rumah yang diperoleh oleh seorang pejabat negara sebagai suap atau imbalan atas pelayanan/fasilitas yang diberikan olehnya karena jabatan kepada seorang pengusaha dengan barang lain, misalnya dengan surat utang negara atau dengan perhiasan … dst”.55

52 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 64.

53 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,. hal 1234.

54 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 65.

55 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,. hal 190.

Sedangkan yang diartikan dengan kata menukarkan sendiri adalah memberikan sesuatu supaya diganti dengan yang lainnya.56

Dengan mengikuti penjelasan dan arti dari “menukarkan seperti tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “menukarkan” dengan mata uang atau surat berharga atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1” dalam pasal 3 adalah memberikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 kepada orang perseorangan atau korporasi untuk diganti dengan uang atau surat berharga.57

Yang dimaksud dengan “perbuatan lain” dalam pasal 3 adalah perbuatan selain perbuatan yang berupa “menempatkan”, “mentransfer”. “mengalihkan”,

“membelanjakan”, “mengibahkan”, “membayarkan”, “menitipkan”, “membawa keluar negeri”,”mengubah bentuk” atau “menukarkan dengan uang atau surat berharga”.

Adanya kata “perbuatan lain” dalam pasal tersebut asalah untuk menampung adanya Pencucian Uang dengan melakukan perbuatan selain perbuatan perbuatan seperti tersebut diatas.58

Yang diartikan dengan “menyembunyikan” dalam pasal 3 adalah menyimpan (menutup dan sebagainya) supaya jangan (tidak) terlihat atau sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan).59

56 Pusat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,. hal 1217.

57 R.Wiyono, Op.Cit,. hal 65.

58 Ibid, hal 66.

59 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal 1217.

Lalu yang diartikan dengan “menyamarkan” dalam pasal 3 adalah menjadikan (menyebabkan dan sebagainya) samar atau mengelirukan, menyesatkan.60

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana Pencucian Uang seperti yang terdapat dalam pasal 3 dapat disebutkan sebagai berikut:

a. untuk pelaku orang perseorangan

a.1. pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan

a.2. pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) b. untuk pelaku korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).

Dengan demikian pidana yang dijatuhkan kepada pelaku orang perseorangan adalah kumulatif, yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda, sedang kepada pelaku korporasi dalah pidana tunggal, yaitu berupa pidana denda.

B. Upaya Penecegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010

Tujuan dibuatnya Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mendeteksi dan menangkap pelaku kejahatan pada saat orang tersebut menyimpan uangnya di bank untuk menutupi jejak kejahatannya. Adapun unsur–unsur yang terkandung dalam tindak pidana pencucian uang adalah: (1) Pelaku; (2) Perbuatan (transaksi keuangan atau finansial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal)

60 Ibid, hal 987.

seolah–olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal); (3) Merupakan hasil tindak pidana.

Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: (1) Usur Objektif (actus reus) yang dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, mengibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan); (2) Unsur Subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Di Indonesia, kegiatan ini dimasukkan ke dalam kategori tindak pidana independen. Maksudnya, tindak pidana ini terpisah dari tindak pidana asalnya karena tindak pidana asal bisa terjadi dimana mana, yang dikenal dengan predicate crime. Predicate crime merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk tindak pidana asal, baik yang dikakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Tindak pidana asal ini digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa

Tindak pidana asal ini digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa

Dokumen terkait