• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM

B. Pendaftaran Merek

Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mengatakan modus pelanggaran merek dagang kini semakin canggih dan sulit untuk dilakukan upaya penegakan hukumnya. Undang-undang Merek yang berlaku saat ini tidak mengenal dan tidak menyediakan sarana untuk dapat melakukan tindakan atas perbuatan pelanggaran merek dengan modus baru tersebut. Modus baru pelanggaran itu, cenderung lebih banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha yang cukup kredibel dan bukan dari golongan pengusaha kelas rumahan atau UKM.

Menurut pengamatan MIAP, ada tiga modus pelanggaran merek. Pertama, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang sama dengan merek milik pihak lain yang terdaftar. Kedua, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang mirip dengan merek pihak lain yang telah terdaftar. Kasus seperti ini dikenal dengan istilah passing off.85

Tindakan passing off, ujarnya, bukanlah bentuk pelanggaran merek biasa dan bahkan sering dianggap tidak ada pelanggaran terhadap merek yang

84

Ibid.

85

sudah terdaftar. Pelaku memproduksi suatu produk yang memakai merek yang berbeda, akan tetapi menggunakan elemen atau bagian bagian tertentu sehingga penampilannya menyerupai tampilan produk milik pihak lain yang sudah terkenal dan terdaftar.

Konsumen cenderung lebih melihat pada tampilan fisik dan tidak terlalu teliti dalam melihat merek. Tindakan ini merugikan konsumen karena mereka tidak mendapatkan produk yang sesuai dengan yang mereka cari.

Ketiga, penggunaan secara tidak sah suatu merek yang sama dan atau mirip dengan merek milik orang lain yang telah terdaftar. Akan tetapi, untuk jenis produk berbeda. MIAP mendorong lembaga pemerintah tekait dengan supaya mengakomodasi modus-modus baru pelangaran merek itu, sehingga bisa memberikan kepastian hukum.

Kemajuan teknologi saat ini membuat arus informasi menjadi sangat mudah didapat apalagi dengan keberadaan internet. Selain membawa kemudahan dalam mengakses informasi ternyata internet juga membawa masalah dalam perlindungan para pihak yang menggunakan teknologi ini.86 Namun, arah perkembangan Putusan MA berkaitan dengan merek dalam dekade terakhir ini menegaskan bahwa Republik Indonesia telah melakukan kewajibannya sesuai dengan hukum Internasional.87

86

Ibid.

87

Prof. Dr. O. C. Kaligis, SH, MH, Teori & Praktik Hukum Merek Indonesia, Bandung: Alumni, 2008., hal. 192.

Identitas di dalam internet sering disebut dengan nama domain (domain name) sesuai dengan nama yang didaftarkan pemilik situs. Permasalahan terjadi bila nama domain yang didaftarkan ternyata nama yang telah didaftarkan pada daftar merek di suatu negara. Menyikapi hal ini perlu dibedakan dengan jelas adanya perbedaan antara merek dan nama domain bahwa setiap nama domain belum tentu merek dari suatu produk tetapi keduanya sama-sama merupakan jati diri dari suatu produk barang atau jasa. Nama domain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan merek, tetapi perlu ditegaskan bahwa nama domain tidak identik dengan merek karena meskipun keduanya sama-sama merupakan jati diri suatu produk barang atau jasa, atau suatu nama perusahaan atau badan hukum lainnya.

Ini berarti terdapat kemungkinan penggunaan nama tertentu yang merupakan merek dari suatu produk. barang atau jasa. Memang terdapat perbedaan mengenai cara perolehan merek dan nama domain, pada merek berlaku prinsip first to file yang mengatur perlindungan bagi pemegang hak atas merek terdaftar dalam daftar merek nasional sedangkan nama domain didapatkan dengan system first come first serve, seseorang yang mendaftarkan terlebih dahulu itulah yang diakui.

Sengketa nama domain yang merupakan merek suatu barang atau jasa ini menjadi masalah yang penting mengingat kerugian bagi pemilik nama merek yang ternyata digunakan nama domain dan timbul kesesatan pada konsumen (user) saat browsing nama domain palsu.

Forum internasional memang telah menyediakan institusi internasional yang didirikan WIPO dan ICANN disebut WIPO Mediation and Arbitration Center. Institusi ini menggunakan Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP) sebagai dasar hukum menetapkan suatu perbuatan sebagai pelanggaran nama domain atau tidak (policy).

Keberadaan institusi ini memang sangat berperan penting dalam memutuskan sengketa nama domain yang termasuk merek, mengingat internet memiliki jaringan yang luas dan tidak terbatas pada suatu teritorial Negara. Namun perlu diketahui batas kewenangan institusi ini hanyalah sebatas memutuskan apakah terjadi penyalahgunaan nama domain suatu produk dengan itikad buruk atau tidak, seperti yang terdapat dalam ketentuan dibawah ini:

Pertama, nama domain tersebut sama atau memiliki kemiripan yang membingungkan dengan merek terdaftar atau logo yang dimiliki oleh pihak ketiga. Kedua, Pihak pemegang nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun hak atas penggunaan nama domain tersebut. Ketiga, Nama domain yang didaftarkan telah digunakan dengan itikad buruk.

Setelah suatu nama domain terbukti secara administratif oleh penggugat maka ICANN segera me-register ulang kepemilikan nama domain yang tidak sah itu. Ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan sebenarnya pihak yang dirugikan (pemegang nama merek yang terbukti dilanggar nama domain-nya)

dapat melakukan upaya hukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan bukan secara perdata saja tetapi secara pidana.88

Dasar hukum yang bisa digunakan Pasal 90-94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dalam Bab Ketentuan Pidana bagi pelanggar merek. UU Nomor 15 Tahun 2001 mengatur 2 (dua) macam sanksi yang bisa dijatuhkan secara kumulatif ataupun fakultatif (dan/atau) yaitu pidana penjara dan/atau denda. Penuntutan ini menjadi penting dipahami mengingat ketentuan pidana dalam Undang-undang ini termasuk ke dalam delik aduan89 (klacht delict) sehingga orang yang merasa dirugikan harus mengajukan laporan atau aduan kepada pihak yang berwenang.

Yang dapat mengajukan pendaftaran merek adalah:90 1. Orang (persoon);

2. Badan hukum (recht persoon);

3. Beberapa orang atau badan hukum (pemilikan bersama/merek kolektif).

Sedangkan fungsi pendaftaran merek adalah:91

1. Sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan;

88

Ibid.

89

Hwian Christianto SH, Dikutip dari http://gagasanhukum.wordpress.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

90

V. Damayanti, Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

91

2. Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenis;

3. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenis.

Penuntasan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia masih dihantui persoalan lama. Salah satunya, trade mark trafficker. Pelaku aksi ini mendaftarkan merek yang bukan miliknya dengan berharap imbalan dari pemilik asli. Merek-merek yang diincar kebanyakan dari luar negeri.

Modusnya sederhana. Pertama, pelaku trade mark trafficker jalan-jalan keliling dunia. Targetnya satu, yakni memantau merek-merek terkenal yang diasumsikan belum masuk Indonesia. Setelah semua merek terpegang, mereka buru-buru pulang. Setiba di Indonesia, mereka langsung mendaftarkan merek- merek itu ke Ditjen HKI Departemen Hukum dan Undang-Undang.

Untuk urusan daftar-mendaftar merek, mereka memang selangkah lebih cepat dari pemilik asli. Ketika pemilik merek dari luar negeri ingin memasarkan produknya ke Indonesia langsung berhadapan dengan trade mark trafficker.

Pentingnya merek dalam suatu negara, termasuk Indonesia, diatur dalam UU Merek. Begitu pentingnya, sampai-sampai Pasal 3 UU No 15/2001 menegaskan, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Dalam praktik sehari-hari, sesuai pasal 1 (2), hak eksklusif tersebut menjadi pembeda terhadap barang-barang sejenis lainnya. Selain itu, hak eksklusif juga memberi perlindungan hukum terhadap barang dimaksud.

Tidak hanya dalam negeri, negara juga memberi hak tersebut kepada barang dari luar negeri. Asal, pendaftar berdomisili di Indonesia. Ketentuan domisili ini sangat penting. Pasal 10 (1) menyatakan, permohonan yang diajukan pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Indonesia, wajib diajukan melalui kuasanya di Indonesia. Ayat (2) menambahkan, pemohon wajib menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasa sebagai domisili hukum di Indonesia. Ini berarti, domisili atau alamat di Indonesia menjadi faktor penting dalam pendaftaran merek.

Menurut konsultan HKI, Dwi Arnita Daruherdani, karena ada pembatasan wilayah hukum merek itulah yang digunakan para trade mark trafficker. Praktik semacam ini bukan hanya muncul pada tahun-tahun terakhir. Sepanjang amatannya, kasus serupa sudah ada sejak lama, tapi hingga kini belum bisa diberantas. 92

92

Dwi Anita Daruherdani, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

Pelaku trade mark trafficker mengincar semua jenis barang yang terkenal. Yang penting booming dan belum masuk ke Indonesia. Orang-orang ini mempunyai itikad buruk saat mendaftarkan merek. Dari dulu sampai sekarang, kerjaannya mendaftarkan merek dari luar negeri, yang belum masuk ke Indonesia.

Salah satu merek terkenal yang pernah tersandung trade mark trafficker adalah Pierre Cardin. Kemeja terkenal asal Prancis ini sempat kesulitan masuk ke Indonesia karena hak atas merek sudah didaftarkan dan dipegang orang lain. Pada waktu yang asli (Pierre Cardin) masuk, pemilik sah berdasarkan hukum di Indonesia adalah orang Indonesia yang sudah mendaftarkan. Pemilik asli malah tidak bisa mendaftar.

Itikad buruk yang ia maksud adalah kesengajaan mendaftarkan merek yang bukan miliknya. Itikad ini bakal menghasilkan uang setelah pemilik merek asli datang ke Indonesia. Saat mengembangkan bisnis di Indonesia, pemilik asli itu kesulitan mendapat legalitas karena merek yang dipegang sudah didaftarkan pihak lain. Biasanya, jika tidak menggugat melalui jalur hukum, penyelesain yang ditempuh adalah buying out. Penyelesaian kedua ini lah yang diharapkan oleh pelaku trade mark traficcker. Akan ada negosiasi pengalihan kepemilikan sertifikat dari pendaftar ke pemilik asli. Soal harganya, tergantung kesepakatan.93

93

Selama ini, pelaku trade mark trafficker tersebar di beberapa wilayah. Selain Jakarta, mereka juga menjalankan aksi di wilayah lain. Di Sumatera, misalnya, ada pelaku yang fokus ke merek-merek rokok dan parfum terkenal. Modusnya tetap, menawarkan negosiasi kepada pemilik asli.

Satu merek, sepanjang amatan Dwi, merek bisa dijual antara Rp.50 juta sampai Rp.70 juta. Nilainya bisa mencapai ratusan juta jika menyangkut merek-merek kuat. Bahkan, nilainya bisa tinggi. Kalau memang produknya dirasa menguntungkan atau laku keras, bisa saja sampai miliaran rupiah.

Dibandingkan dengan biaya pendaftaran, keuntungan yang didapat memang jauh lebih tinggi. Biaya pendaftaran merek hanya Rp. 450 ribu per permintaan. Artinya, dari negosiasi kepada pemilik asli, pelaku trade mark trafficker memperoleh keuntungan puluhan kali lipat. Keuntungan akan semakin membumbung karena mereka tidak bermain pada satu-dua merek. Yang mereka pegang sangat banyak, bukan hanya satu.94

Bagi pemilik asli, negosiasi merupakan pilihan sulit, namun tak mungkin dihindari. Apalagi, di antara produk-produk HKI, merek dagang merupakan pintu utama mengenalkan barang kepada konsumen. Selain itu, oleh pebisnis, merek dagang juga berfungsi sebagai identitas produk atau jasa layanan. Merek dagang meliputi nama produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau layanan tersebut. Obyek pantauan HKI untuk merek, meliputi tanda huruf, logo, dan kata, atau kombinasinya.

94

Sebuah merek, sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ek tidak dapat didaftarkan, salah satunya, jika tidak memiliki daya pembeda. Disebut tidak memiliki daya beda karena mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhan dengan merek pihak lain yang sudah didaftarkan terlebih dulu.

Pasal itulah yang beberapa tahun lalu, meresahkan sebuah perusahaan bumbu masak terkenal yang hendak mengembangkan bisnis di Indonesia. Pengelola perusahaan terkejut ketika mengetahui merek miliknya sudah didaftarkan pihak lain. Sadar mereknya telah dimainkan oleh trade mark trafficker, perusahaan segera menggugat ke pengadilan.

Untuk membuktikan merek yang dipegang pemilik asli adalah merek terkenal, Dwi meminta kesaksian beberapa pengelola restoran dan hotel yang menggunakan merek tersebut. Dari kesaksian itu, akhirnya hakim memenangkan Dwi dan kliennya, sekaligus memerintahkan pembatalan merek yang sudah didaftarkan pihak lain. Tindakan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU Merek, yang mengatur upaya pembatalan merek.

Hanya saja, dalam pasal lain, UU juga membenarkan tindakan pengalihan kepemilikan merek. Pasal 40, ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatakan bahwa hak atas merek bisa dialihkan karena beberapa alasan. Yakni, pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian, serta sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Bersandar pada pasal tersebut, negosiasi tersebut adalah upaya untuk mempermudah peralihan hak. Itu adalah kesepakatan kedua pihak, pemegang merek dan pihak yang ingin memiliki merek. 95

Persoalannya, kerap kali para trade mark trafficker tidak melakukan upaya investasi dan produksi dari merek yang dipegang. Kalau pun ada, hanya sekali-dua kali. Mereka tidak memiliki modal cukup, atau sengaja menunggu pihak lain menggunakan merek serupa. Begitu terjadi, mereka langsung menawarkan negosiasi. Mereka memang sengaja menunggu.

Praktik tersebut sebenarnya kurang sejalan dengan ketentuan undang- undang. UU Merek, mempersyaratkan, merek yang terdaftar dipakai dalam waktu tiga tahun berturut-turut. Misalnya, didaftarkan 1 November 2006, kalau tidak pakai sampai 1 November 2009, pihak ketiga bisa mengajukan gugatan penghapusan.96

Namun demikian, pihak Ditjen HKI, Departemen Hukum dan Undang- undang membantah terjadinya praktik trade mark trafficker terhadap merek- merek terkenal. Apalagi, Ditjen HKI memiliki data base merek-merek terkenal. Untuk merek internasional yang sudah well known brand, tidak akan diluluskan bila ada pemohon yang ingin mendaftarkan. Di loket pendaftaran, memang tetap diterima, namun akhirnya tetap ditolak.

95

Ibid.

96

Pada akhir tahun 2004, Dirjen HKI menerima pendaftaran merek asing sebanyak 13.685. Jumlah ini menurun pada 2005 yang hanya mencapai 10.082 merek. Sedangkan pada 2006, naik lagi menjadi 13.859 merek asing. Sementara itu, untuk pendaftaran hak paten merek barang-barang produksi luar negeri, pada periode 1991-2005 terdapat 34.676 hak paten merek asing.

Khusus selama semester I 2006, tercatat 2.369 hak paten merek asing. Dari jumlah itu, pendaftar terbanyak datang dari Amerika Serikat (554 permohonan), Jepang (378 permohonan), Jerman (224 permohonan), dan Swiss (104 permohonan).

Adakalanya suatu kata yang bersifat umum dapat menjadi merek juga yaitu dalam hal pemakaian yang sangat lama, kata tersebut oleh khalayak ramai sudah dianggap sebagai berasal dari pabrik tertentu (herkomst aanduiding) dan diakui sebagai merek.97

Sejatinya, pemilik merek asli lebih menguntungkan menempuh jalur hukum. Pasalnya, para trade mark trafficker kesulitan bermain di pengadilan, karena tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat. Kalau pun memakai argumen kerugian, darimana menghitungnya, dia nggak pernah memakai merek yang didaftarkan. Itulah alasannya, pelaku trade mark trafficker cenderung ‘menggiring’ pemilik asli ke negosiasi buying out. 98

97

Saidin, S.H., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 315

98

Dwi Anita Daruherdani, Artikel Koran Republika, Dikutip dari www.republika.co.id, Op. Cit.

Sejauh ini pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berjumlah 450 orang. Dibandingkan dengan yang ada di beberapa negara yang telah maju. Direktorat Jendral HKI merupakan institusi yang relatif masih muda/baru. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi seandainya dalam pelaksanaan tugasnya, masih dijumpai berbagai macam kendala. Walaupun demikian, melalui berbagai program pelatihan yang intensif telah ada beberapa staf yang memiliki pengetahuan yang cukup memadai guna mendukung peningkatan sistem hak kekayaan intelektual sebagaimana diharapkan.

Perlu pula kiranya dikemukakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, sejak Januari 2000, pengajuan permohonan Hak Kekayaan Intelektual dapat dilakukan di Kantor- kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktorat Jenderal HKI untuk diproses lebih lanjut.

Di samping itu, pada saat ini, dengan bantuan World Bank sedang dilaksanakan penyempurnaan sistem administrasi pendaftaran merek di Direktorat Jenderal HKI yang diharapkan dapat lebih menunjang proses administrasi dimaksud.99

99

Dokumen terkait