• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subjek Hukum Pelanggaran Merek

BAB II : BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK MEREK DALAM

C. Subjek Hukum Pelanggaran Merek

Dengan lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955), di samping perorangan, badan hukum atau koperasi dapat juga melakukan tindak pidana ekonomi dan dapat dijatuhi hukuman pidana.53

Di dalam hukum Pidana (KUHP) pada prinsipnya hanya mengenal orang sebagai subyek hukum. Hal ini sesuai dengan hampir setiap kalimat yang terdapat pada setiap pasal dalam KUHP dimulai dengan kalimat “barang siapa”. Kata “barang siapa” menunjuk kepada orang, misalnya dalam Pasal 342 KUHP yang dimulai dengan kalimat “seorang ibu”, Pasal 413 mulai dengan “panglima tentara”, Pasal 414, 415, 418 dan 419 mulai dengan “pegawai negeri”, Pasal 420 mulai dengan “hakim yang menerima hadiah………dan seterusnya”. Seorang ibu, panglima tentara, pegawai negeri dan hakim, menunjukkan orang. Hanya orang/manusia merupakan subyek hukum dalam

52

Sudargo Gautama, dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002., hal. 61.

53

H. A. K. Moch. Anwar, Segi-Segi Hukum Masalah Penyelundupan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 35.

KUHP yang dapat dituntut dan dihukum. Sedangkan badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum dalam KUHP.

Hal ini sesuai dengan Pasal 59 KUHP yang berbunyi:

Dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.

Sedangkan dalam Tidak Pidana Ekonomi (TPE), badan hukum seperti perseroan, perserikatan orang atau yayasan, dianggap dapat melakukan tindak pidana ekonomi; badan-badan tersebut dapat juga dipertanggungjawabkan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan-badan tersebut in de sfeer van een rechtsperson).54 Hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUTPE yang menyatakan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dapat dijatuhkan, baik terhadap badan hukum dan lain-lain itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan delik ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun keduanya.

Salah satu perbedaan yang menonjol antara KUHP dengan Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi ini (dalam hal ini Pelanggaran Merek) ialah bahwa dalam KUHP Pasal 54 dan Pasal 60 ditetapkan “percobaan pelanggaran

54

tidak dihukum”; sedangkan dalam Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 Pasal 4 berbunyi “Jika dalam Undang-Undang Darurat ini disebut Tindak Pidana Ekonomi pada umumnya atau Tindak Pindana khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan atau untuk melakukan Tindak Pidana itu dan percobaan untuk melakukan Tindak Pidana itu, sekedar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya. Dan oleh karena dalam Rechten Pasal 4 Undang- Undang drt. No. 7 Tahun 1955 tersebut.55

Yang menjadi obyek dalam pelanggaran merek ialah semua “nama/ merek barang-barang” seperti yang termasuk dalam pengertian Pelanggaran Merek.

D. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pelanggaran Merek di Dalam KUHP

Antara KUHP dengan Tindak Pidana lainnya di luar KUHP terdapat titik pertalian. Pertalian ini terletak pada aturan Buku I KUHP, yang dalam Pasal 103-nya berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII, buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”

Hal ini berarti, bahwa ketentuan dalam 8 bab Buku I KUHP berlaku juga bagi Tindak Pidana yang diatur di luar KUHP, kecuali jika undang-

55

Baharudin Lopa, Tindak Pidana Ekonomi(Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan), (Jakarta:Pradnya Paramita, 1992), hal. 179.

undang menentukan lain. Artinya undang-undang yang bersangkutan itu sendiri menentukan aturan-aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (8 bab KUHP tersebut) atas dasar “lex specialis derogate lex generalis” (aturan- aturan khusus dapat mengenyampingkan aturan-aturan yang umum).56

Adanya dasar pemikiran peraturan perundang-undangan pidana khusus yang diatur di luar KUHP adalah sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan akan kebutuhan dan perkembangan akan kebutuhan hukum masyarakat, mengingat betapapun tuntas dan sempurnanya perundang- undangan dikodifikasi, namun suatu saat pasti tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan hukum dalam menghadapi perkembangan masyarakat.

Oleh karena itu, maka antara perundang-undangan pidana khusus (yang berada di luar KUHP) dengan KUHP dapat digambarkan sebagai berikut: “bahwa KUHP merupakan induk peraturan perundang-undangan pidana, karenanya ia merupakan kedudukan sentral, sebab di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP yang berlaku juga bagi perundang-undangan pidana khusus yang diatur di luar KUHP, kecuali jika perundang-undangan khusus tersebut menentukan lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP yang menyebutkan:

56 Soufnir Chibro, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 46.

Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dimana pasal tersebut memiliki sifat-sifat khusus, dan karena kekhususannya itu memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan (eksepsional), baik dari bagian umum maupun bagian khusus KUHP, yang mana hal ini dapat juga terjadi terhadap beberapa hal-hal yang menyangkut masalah-masalah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Sepanjang penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak akan melampaui batas kewenangan yang diperbolehkan oleh undang-undang.

Apabila dihubungkan dengan berlakunya KUHAP, yaitu dengan adanya ketentuan peralihan Pasal 284 ayat 2 maka hal-hal yang merupakan penyimpangan-penyimpangan tersebut masih tetap berlaku pada perundang- undangan pidana khusus, sepanjang belum diubah atau dicabut. Untuk memperjelas uraian ini dapat kita perhatikan ketentuan materi Pasal 25 Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 yang berbunyi:

Terhadap pengusutan Tindak Pidana Ekonomi selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam “Het Herzine Indonesische Reglement” (baca: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karena HIR telah digantikan KUHAP), kecuali jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain.

Adanya kalimat “kecuali” jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain”, menyimpulkan adanya penyimpangan dalam Undang-Undang Darurat

tersebut, baik dari segi hukum pidana materilnya maupun hukum acaranya/ formalnya, dan hal inilah yang merupakan tetap melekat pada undang-undang yang bersangkutan dan tetap berlaku sekalipun sifatnya sementara, sepanjang belum diubah atau dicabut.

Selanjutnya, selain dari yang disebutkan di atas apabila diteliti secara lebih cermat, masih terdapat beberapa penyimpangan yang merupakan kekhususan dari Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini dalam hukum acaranya antara lain:

1. Adanya wewenang yang sangat luas dari petugas/ pegawai pengusut dalam Tindak Pidana Ekonomi. Luasnya wewenang ini atas dasar pertimbangan, agar petugas pengusut dapat menindak secara cepat pelanggaran bidang ekonomi pada umumnya dan Tindak Pidana Pelanggaran Merek khususnya. Hal ini misalnya terdapat dalam Pasal 18 UUTPE yang memberikan wewenang kepada petugas pengusut untuk menyita setiap barang yang dapat digunakan dalam rangka berhasilnya penyelidikan. Masih banyak lagi wewenang pegawai/penyidik yang apabila diperhatikan sangat luas, melampaui wewenang penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP.

2. Banyaknya tindakan tata tertib sementara yang tidak terdapat dalam KUHAP.

3. Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi.

4. Seorang Hakim, Jaksa dan Panitera Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi.

E. Pengaturan tentang Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Perusahaan (Korporasi) pada Sumber-sumber Hukum Pidana Di Luar KUHP

Selain KUHP pengaturan mengenai hukum pidana, juga terdapat di dalam peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 7/ Drt/ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan lain sebagainya yang mungkin tidak secara khusus mengatur masalah pidana, tetapi dalam salah satu pasalnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran merek.

Peraturan perundang-undangan Merek di luar KUHP telah ada yaitu Undang-Undang No. l5 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam era pembangunan yang sejalan dengan konvensi-konvensi internasional, bahwa peranan merek jadi sangat penting dalam menjaga persaingan usaha dan harus disesuaikan dengan peraturan merek. Dalam Undang-Undang merek No. l5 Tahun 2001 tentang Merek, juga disebut pertimbangan bahwa hukum merek harus disesuaikan dengan perjanjian Trade Related Aspect of lntelectual Property

Right dan UU No. 7 Tahun 1974 tentang pengesahan Agreement World Trade

Organization.57

Dalam hal ini merek sebagai salah satu wujud karya intelektual, juga memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia. Merek juga merupakan "Suatu alat yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal-usul barang (Indication of Origin)". Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap pemegang hak merek barang terdaftar dari perbuatan melawan hukum.

Dalam prakteknya pernah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaftar sebagai usaha persaingan yang tidak jujur seperti peniruan, pemalsuan, atau pemakaian merek tanpa hak terhadap merek-merek tertentu. Keadaan seperti ini tentu saja tidak hanya akan merugikan pemilik merek, tetapi juga akan merugikan para konsumen.

Pengaturan hukum yang terkait dengan keberadaan merek di Indonesia. dimana Hukum Merek di Indonesia adalah merupakan hasil penerapan dari hukum Merek di negara Perancis dan Inggris yang dibawa dan diterapkan di Indonesia pada jaman kolonial Belanda. Indonesia menerapkan peraturan yang

57

Dina Yenny M. Sitepu, Dikutip dari http://library.usu.ac.id/, Diakses tanggal 11 Desember 2008.

mengatur Merek sendiri adalah sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. 58

Masa berlaku Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 adalah selama tiga puluh satu tahun dan berakhir pada tahun 1992 sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Sejak tahun 1992 hingga tahun 2001 Indonesia mengalami beberapa perubahan perundangan tentang Merek, hal ini disebabkan oleh karena Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian tentang hak atas kekayaan intelektual yang telah diakui dan diberlakukan di Indonesia. Beberapa perubahan perundangan tersebut antara lain Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek dan yang terakhir berlaku hingga sekarang adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.59

Sebuah Merek dapat diakui keberadaannya jika telah didaftarkan legalitasnya di Direktorat Jenderal Merek, tentunya Merek tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Hak atas merek melekat jika merek tersebut secara yuridis telah didaftar dan mendapat hak tertulis atas penggunaan dari merek tersebut. Perlindungan hak merek semata-mata karena adanya kreasi daya cipta manusia (faktor

58

Ibid.

59

Poernomo Agustinus Dani Mega, Dikutip dari www.adln.lib.unair.ac.id, Diakses tanggal 12 Desember 2008.

manusia) yang berada di lingkungan perdagangan dan jasa, sehingga jelas apabila hak merek tersebut melekat pada orang yang menciptanya.

Konsekuensi hukum pasti akan timbul, jika terjadi sengketa merek di Indonesia. Sengketa merek yang terjadi di Indonesia berdasar yang telah banyak terjadi dewasa ini dikarenakan beberapa faktor penyebab di antaranya:60

a. Faktor ekonomis, yang merupakan penyebab terbanyak dari kasus sengketa Merek di Indonesia di antaranya kasus pemakaian Merek oleh yang tidak berhak, meniru bentuk tulisan Merek terkenal, meniru design dan pola Merek yang sah dan tentunya semua itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atas barang atau jasa yang ditirukan.

b. Faktor efisiensi waktu, faktor ini sebenarnya masih ada hubungannya dengan faktor ekonomis karena pada hakekatnya peniru Merek melakukan peniruan tersebut dikarenakan untuk mendapatkan keuntungan secara cepat dari barang atau jasa yang dibuatnya tanpa melalui proses yang sebagaimana mestinya dan menghemat biaya promosi yang cukup mahal.

Kasus atau sengketa Merek dapat diajukan ke Pengadilan Niaga jika telah terbukti sebelumnya salah satu pihak telah mempunyai bukti pendaftaran Merek dari Direktorat Jenderal Merek.

60

Setelah perkara tersebut diproses dan keluar putusan maka pihak yang bersalah dan terbukti melakukan pelanggaran Merek haruslah membayar sejumlah ganti rugi atau menerima semua keputusan pengadilan yang dikeluarkan.61

Dalam pelanggaran merek tersebut, undang-undang dapat membatasi pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa hak pembatasan pelanggaran merek yang diberikan oleh undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pemilik hak atas kekayaan intelektualnya khususnya hak atas merek sehingga secara ekonomi maupun moral terasa terlindungi.62

Merek tidak dapat didaftarkan karena merek tersebut : a. Didaftarkan oleh pemohon yang beritikad tidak baik;

b. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum;

c. Tidak memiliki daya pembeda; d. Telah menjadi milik umum; atau

e. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. (Hal ini sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek).

Permohonan suatu merek ditolak apabila merek tersebut :

61

Ibid.

62

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

d. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal;

e. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

f. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

g. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas

persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. (Sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Syarat pengajuan permohonan pendaftaran merek, antara lain:63

a. Mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangkap 4 yang diketik dalam bahasa Indonesia pada blangko formulir permohonan yang telah disediakan dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, yang berisi:

1) Tanggal, bulan dan tahun permohonan;

2) Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;

3) Nama lengkap dan alamat kuasa, apabila pemohon diajukan melalui kuasa;

4) Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna;

5) Nama negara dan tanggal permintaan pendaftaran merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. b. Surat permohonan pendaftaran merek perlu dilampiri dengan:

1) Foto copy KTP yang dilegalisir. Bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus memilih

63

V. Damayanti, Dikutip dari http://vdamayanti.multiply.com/journal/, Diakses tanggal 13 Desember 2008.

tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya;

2) Foto copy akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum;

3) Foto copy peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang (merek kolektif);

4) Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan; 5) Tanda pembayaran biaya permohonan;

6) 20 helai etiket merek (ukuran max 9x9 cm, min 2x2 cm);

7) Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya. (Sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan. Atas permohonan pemilik merek jangka waktu perlindungan merek terdaftar dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama. (Sesuai dengan Pasal 21 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Permohonan perpanjangan pendaftaran merek dapat diajukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya secepat-cepatnya 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar

tersebut sampai dengan hari terakhir masa berlakunya perlindungan hukum terhadap pendaftaran tersebut. (Sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU Merek)

Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan dengan cara: (Sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

a. Pewarisan; b. Wasiat; c. Hibah;

d. Perjanjian; atau

e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan.

Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Ditjen HKI dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. (Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

Merek terdaftar dapat dihapuskan karena empat kemungkinan yaitu: (Sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 63 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

a. Atas prakarsa Ditjen HKI;

b. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan; c. Atas putusan pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan; d. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya.

Yang menjadi alasan penghapusan merek terdaftar yaitu: (Sesuai dengan Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek)

a. Merek terdaftar tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/ atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Ditjen. HKI, seperti: larangan impor, larangan yang berkaitan dengan ijin bagi peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara, atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

b. Merek digunakan untuk jenis barang/ atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang dan/ atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan pendaftarannya.

Merek terdaftar dapat dibatalkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan pihak yang berkepentingan dengan alasan berdasarkan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15

Tahun 2001 tentang Merek. Kewenangan mengadili gugatan penghapusan maupun gugatan pembatalan merek terdaftar adalah Pengadilan Niaga. Yang berwenang melakukan penyidikan di bidang merek adalah Pejabat Kepolisian Negara R.I. (POLRI) maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Ditjen HKI sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

PPNS dalam melakukan penyidikan di bidang merek berwenang: (Sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU No.15 tahun 2001 tentang Merek)

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;

c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya dan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek.

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana merek.

Peraturan lain yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi ini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama sejak Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 yang kembali menyebutkan korporasi/ perusahaan/ badan usaha/ badan hukum sebagai subjek hukum pidana. Hal ini tertuang pada bunyi Bab IX Pasal 46 angka (1) dan angka (2), yang berbunyi: 64

(1)Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin didalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

(2)Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang- orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama ...

64

Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 46.

Secara sepintas terlihat bahwa baik Undang-undang Darurat Nomor 7/Drt/1955 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 melakukan penyimpangan dari KUHP sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia. Akan tetapi kita telaah lagi pada KUHP khususnya pada Pasal 103 yang menyatakan:65

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga

Dokumen terkait