• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Globalisasi yang melanda dunia menyebabkan perubahan yang sangat mendasar dalam setiap ruas kehidupan manusia. Dunia menjadi lebih transparan dan terbuka karena sikap interdependensi antar negara semakin besar. Kejadian disuatu negara baik yang positif maupun negatif dengan cepat dapat diterima dan dengan serta merta akan membias pada setiap kehidupan manusia. Dalam transformasi nilai yang sangat cepat dan pelik tersebut, pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak untuk meluruskan bias dan efek dari nilai-nilai transformatif kepada anak didik sebagai generasi penerus bangsa (Rosyadi, 2004).

Pendidikan merupakan pilar kehidupan bangsa. Masa depan bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa atau negara dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. DalamUU RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas Pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tujuan pendidikan

nasional tersebut menunjukkan bahwa peran pendidikan menjadi sangat penting sebagai prasyarat bagi terciptanya peningkatan sumber daya manusia dimasa yang akan datang. Dalam rangka perwujudan fungsi idealnya untuk meningkatkan kualitas SDM, sistem pendidikan di Indonesia harus senantiasa mempersiapkan diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai konsekwensi logis dari perubahan (Rini, 2012).

Pendidikan yang berkualitas akan dapat dicapai dengan adanya guru yang memiliki dedikasi dan komitmen. Adanya komitmen pada guru akan berpengaruh terhadap masa depan siswa dan sekolah (Mark, 2013). Park (dalam Razak dkk, 2010) menjelaskan 2 alasan pentingnya komitmen pada guru. Pertama, komitmen merupakan kekuatan internal yang muncul dari dalam diri guru yang memiliki tanggung jawab dan merasa tertantang dalam bekerja. Kedua, ada kekuatan eksternal yang berasal dari usaha reformasi pendidikan yang menetapkan standar yang lebih tinggi dan akuntabilitas yang lebih besar sehingga menuntut guru agar memiliki upaya yang berkelanjutan dan komitmen terhadap siswa, sekolah dan pekerjaan mereka sebagai guru. Menurut Reyes (dalam Razak, 2010) guru yang memiliki komitmen akan menunjukkan ciri-ciri : a). jarang terlambat, giat bekerja, dan jarang meninggalkan kelas/sekolah, b). menyediakan waktu untuk aktifitas ekstra kurikuler sesuai dengan tujuan sekolah, c) menampilkan hasil kerja yang lebih baik, d). mampu mempengaruhi prestasi siswa, e). memiliki keyakinan dan bekerja sesuai dengan tujuan

sekolah, f). bekerja melebihi kepentingan pribadinya, g). memiliki keinginan untuk tetap menjadi bagian dari sekolah.

Ebmeier (dalam Chan dkk, 2008) menyebutkan ada 2 komitmen yang dimiliki oleh guru, yaitu komitmen profesi atau komitmen guru terhadap profesi mengajar, dan komitmen organisasi atau komitmen guru terhadap sekolah. Ditambahkan oleh Somech dan Bogler (dalam Chan dkk, 2008) bahwa komitmen profesi guru menunjukkan perilaku kewargaan organisasi (Organizational Citizenship Behavior, OCB) terhadap siswa, sedangkan komitmen organisasi menunjukkan perilaku kewargaan organisasi (Organizational Citizenship Behavior, OCB) terhadap organisasi.

Selanjutnya Chan (2008) mendefinisikan ciri-ciri guru yang memiliki komitmen profesi adalah guru yang menerima profesi guru secara afektif maupun kognitif, mempunyai keinginan berbuat sesuai dengan tuntutan profesi sebagai guru dan mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi guru yang professional. Sedangkan guru yang memiliki komitmen organisasi adalah guru yang menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya, dan mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan organisasinya. Hasil penelitian Somech dan Bogler (dalam Chan dkk, 2008) menyimpulkan bahwa guru yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah guru yang juga memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesi.

Allen dan Meyer (1997), menjelaskan ada 3 komponen komitmen organisasi yaitu : komitmen afektif, kontinuen dan normatif. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi karena setuju dengan tujuan organisasi dan adanya keinginan untuk melakukan hal tersebut (want to do so). Karyawan yang mempunyai komitmen kontinuen (berkesinambungan) akan tetap bekerja karena ia menganggap rugi bila meninggalkan organisasi dan karena adanya kebutuhan melakukan hal tersebut (need to do so). Sedangkan kayawan yang memilik komitmen normatif akan tetap bekerja dalam organisasi karena adanya nilai-nilai dan norma-norma yang telah terinternalisasi dalam dirinya yang mengharuskannya melakukan hal tersebut (ought to do so).

Ketiga komponen tersebut berkembang dari sebagai hasil pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya seorang karyawan dapat secara bersamaan merasa terikat dengan organisasi sekaligus merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi sehingga ia berusaha untuk memberikan kontribusi maksimal bagi organisasi. Sementara itu ada pula karyawan yang bertahan karena ia sadar bahwa lebih baik berada dalam organsasi karena situasi ekonomi, namun tidak merasakan adanya ikatan emosional dengan organisasi. Karyawan tersebut tidak dapat diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap organisasi.

Guru yang memiliki komitmen organisasi akan berusaha bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah demi kemajuan sekolah tersebut (Hutapea, 2012). Beberapa penelitian membuktikan bahwa banyak hal yang mempengaruhi komitmen organisasi pada guru. Hasil penelitian oleh Sezgin (2010) dan Balay (2010) menunjukkan budaya organisasi sekolah dan penerimaan terhadap lingkungan organisasi sekolah merupakan hal yang penting dalam membangun persepsi guru tentang komitmen organisasi. Lebih lanjut Balay (2010) juga menyimpulkan pengalaman mengajar dan status perkawinan mempengaruhi persepsi guru terhadap komitmen organisasi. Penelitian oleh Sutarno dan Nurhadi (2006) pada guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan, masa kerja dan gaji terhadap komitmen organisasi guru.

Beberapa penelitian lainnya menfokuskan hanya pada guru yang bekerja di sekolah swasta yang cenderung menghadapi lebih banyak tuntutan pekerjaan namun mereka harus menerima ketidakpastian dalam hal pendapatan. Penelitian pada guru sekolah swasta di Organisasi Pendidikan Islam X di Jakarta Barat yang dilakukan oleh Buraidah (2010) menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan dari kompensasi dan motivasi kerja terhadap komitmen organisasi guru. Penelitian mengenai komitmen guru pria di sekolah swasta oleh Hutapea (2012) menyimpulkan bahwa sifat kepribadian dan dukungan organisasi merupakan prediktor terhadap komitmen organisasi guru terhadap sekolah.

Sekolah swasta adalah sekolah yang dikelola oleh masyarakat/kelompok masyarakat. Sekolah swasta didirikan atas motivasi yang kompleks dalam rangka membantu pemerintah memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat. Dalam hal ini pemerintah dipandang belum mampu untuk mencukupi kebutuhan akan satuan pendidikan yang diminta untuk diadakan bagi warga negaranya. Dalam pelaksanaannya standar pendidikan yang harus ada dan berlangsung pada sekolah swasta sama dengan standar yang ada pada sekolah negeri, sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan tentang Standar Nasional Pendidikan, dan ketentuan organik yang mengikutinya (Sinaga, 2012).

Sekolah swasta menghadapi tantangan yang lebih berat daripada sekolah negeri terutama dalam hal memberikan warna yang indah pada satuan pendidikan agar terlihat oleh masyarakat sehingga mereka memilih sekolah tersebut sebagai tempat pendidikan bagi putra-putrinya. Hal ini penting diperhatikan karena bagi sekolah swasta siswa adalah nafas hidup dan nafas keberlangsungan kehidupan sekolah. Untuk itu sekolah swasta juga perlu memiliki berbagai fasilitas pendukung seperti harus memiliki tanah sendiri, membangun gedung sendiri, melengkapi sarana prasarana sendiri, mengadakan pendanaan usaha sendiri serta kemampuan sumber daya manusia yang di dalamnya (Sinaga, 2012).

Salah satu bentuk sekolah swasta di Indonesia adalah Sekolah Islam Terpadu. Sekolah ini berusaha memadukan pendidikan umum dan agama, yaitu kurikulum pendidikan umum yang ada di Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), seperti pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain-lain, serta kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di Kementrian Agama (Kemenag), ditambah dengan kurikulum hasil kajian Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT). Selain itu, sekolah ini juga memadukan metode pembelajaran yang memaksimalkan ranah kognitif, afektif dan konatif dengan menciptakan proses belajar mengajar yang variatif dan menggunakan media serta sumber pembelajaran dari lingkungan sekitarnya. Besarnya tuntutan pembelajaran pada sekolah ini menuntut komitmen guru yang lebih tinggi, sehingga proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan optimal (Kuswandi (2012), Tim JSIT (2006).

SDIT X merupakan salah satu Sekolah Islam Terpadu yang ada di Kota Medan. Sekolah ini berdiri sejak tahun 2004. Pada tahun 2007 kegiatan belajar mengajar di SDIT X sudah dilakukan di gedung milik sekolah yang terletak di kecamatan Medan Tuntungan. Saat ini tercatat ada 16 orang guru yang bekerja pada sekolah tersebut. Guru-guru tersebut terdiri atas 12 orang guru kelas dan 4 orang guru bidang studi (2 diantaranya merangkap sebagai Wakil Kepala Sekolah). Selain guru, sekolah juga memiliki 1 orang staf adminsitrasi dan 1 orang OB.

Sejak berdiri hingga saat ini SDIT X mengalami permasalahan yang berhubungan dengan turnover guru termasuk pada guru kelas. Berikut data turnover guru SDIT X sejak tahun 2004 :

Tabel 1

Jumlah Guru yang Keluar Masuk SDIT X per Tahun

Tahun Jumlah guru keluar (orang) Jumlah guru tetap (orang) Jumlah guru masuk (orang) Jumlah (orang) 2004 - - 15 15 2005 2 13 1 14 2006 1 13 2 15 2007 1 14 - 14 2008 1 13 2 15 2009 2 13 2 15 2010 1 14 2 16 2011 1 15 1 16 2012 6 10 6 16

Sumber : wawancara dengan Kepala Sekolah dan dokumen laporan bulanan SDIT X bulan September 2013

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa SDIT X mengalami turnover

1 s/d 2 orang guru setiap tahun dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 ada 6 orang guru yang keluar, sehingga membutuhkan 6 orang guru pengganti. Adanya guru yang keluar dari sekolah mengindikasikan bahwa ada permasalahan berkaitan dengan komitmen organisasi. Menurut Allen dan Meyer (1997), turnover merupakan akibat (konsekuensi) dari rendahnya komitmen karyawan terhadap organisasi.

Berdasarkan keterangan Kepala Sekolah, alasan guru keluar atau mengundurkan diri setiap tahun (termasuk kejadian turnover 6 orang guru pada tahun 2012) disebabkan karena mereka sudah berkeluarga, ingin mengasuh anak, lulus tes PNS, pindah ke daerah lain atau dipecat oleh

sekolah. Berikut kutipan wawancara dengan Kepala Sekolah pada Kamis, 31 Oktober 2013.

“iya, biasanya mereka ada yang keluar alasannya karena menikah,

punya anak, atau lulus PNS. Ada juga karena terpaksa di pecat. Tahun ini kami baru memecat 1 orang guru. Sebenarnya sudah beberapa kali kita toleransi sikapnya, tapi setelah dipertimbangkan oleh yayasan, akhirnya beliau dipecat. Ada juga karena alasan pindah domisili. Kalau guru yang pindah ini, saya merasa kehilangan karena beliau itu sangat potensial. Istilahnya kalau sama guru lain ga selesai, sama beliau ini selesai” (wawancara dengan Kepala Sekolah, Kamis, 31 Oktober 2013)

“Biasanya setiap tahun itu ada 1 atau 2 orang guru yang keluar. Yang kemarin yang tahun 2012 memang ada 6 orang yang keluar, tapi bulannya berbeda-beda” (wawancara dengan Kepala Sekolah, Kamis, 18 April 2013)

Bila ada guru yang keluar, pihak sekolah harus segera mencari guru pengganti untuk menyempurnakan pekerjaan yang ditinggalkan oleh guru yang sudah keluar. Keadaan menjadi sulit bila sekolah mulai memasuki masa akhir tahun ajaran, karena guru pengganti memiliki beban yang lebih berat, yaitu ikut menentukan nilai siswa yang baru dikenalnya. Disamping itu, adanya pergantian guru mengharuskan siswa beradaptasi kembali dengan guru baru.

“Sebenarnya peraturan disini mewajibkan guru yang keluar agar mencari pengganti. Tapi realitanya kan ga seperti itu. Besok mau keluar, hari ini baru dikasi tau. Jadi bagaimanapun kita kan ga bisa diam. Kalo ada guru yang mau keluar, semua guru berusaha mencari pengganti. Kadang kosong juga sampai satu atau dua minggu. Tapi kita coba atasi lah.”(wawancara dengan Kepala Sekolah, Kamis, 18 April 2013)

“Kadang sulitnya itu kalau sudah mendekati akhir tahun, anak-anak mau ujian, terpaksa lah guru baru yang ngerjain masalah nilai anak. Kadang ada juga orang tua yang complain, kalau sama guru lama nilainya bagus, kalo dengan guru ini nilainya jelek-jelek. Yah, bagaimanapun kalau ada guru baru, pasti anak-anak harus beradaptasi lagi. Mungkin disitu masalahnya.” (wawancara dengan Kepala Sekolah, Kamis, 18 April 2013).

Turnover dalam organisasi biasanya diawali dengan adanya intensi

turnover, yaitu adanya keinginan yang mengarahkan karyawan untuk meninggalkan organisasi dimasa yang akan datang (Mobley dkk dalam Sinuhaji, 2005) Hasil wawancara dengan 2 orang guru SDIT X menunjukkan adanya intensi turnover pada guru SDIT X. Menurut pengakuan 2 orang guru tersebut, mereka memiliki rencana suatu saat akan keluar dari sekolah dengan alasan menikah atau berkeluarga, atau memilih pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan minat mereka.

“Prediksi saya ke depan, ya tergantung, kalo nanti saya berkeluarga ya gimana nanti izin suami. Kalo diizinkan ya udah,

tapi kalo tidak diizinkan yaa… mungkin saya tidak bisa lah

selamanya disini” (wawancara dengan guru A, Rabu, 24 April

2013)

“Kalo saya sebenarnya ada keinginan lain. Saya pingin buka usaha. Mungkin ke depannya ga ingin disini lagi. saya dulu kan tamatan SMK. Saya ingin buka usaha jahit menjahit gitu bu. Bagi saya kalo saya punya usaha, waktu kita kan tidak banyak diluar. Kalo mengajar gini, apalagi sekolah SD kan sampe sore bu.”

(wawancara dengan guru B, Rabu, 24 April 2013)

Intensi turnover guru yang terjadi di SDIT X berhubungan dengan komitmen organisasi guru, yaitu keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Guru yang tidak memiliki komitmen organisasi akan cenderung menunjukkan kurangnya tanggung jawab terhadap sekolah dan memiliki keinginan untuk tidak mempertahankan keanggotaan di sekolah tempat ia bekerja (Kardiman dan Indriana, 2012). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beberapa guru SDIT X memiliki komitmen organisasi yang rendah karena memiliki keinginan

untuk keluar dari SDIT X bila ada alternatif pekerjaan lain atau karena alasan lainnya.

Komitmen organisasi juga terkait dengan penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Mowday & Steers, 1979). Dari hasil wawancara dengan kepala sekolah SDIT X dan beberapa guru kelas, serta hasil observasi selama preliminary research, membuktikan bahwa ada beberapa guru kelas di SDIT X yang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan tujuan sekolah. Namun ada juga guru yang menerima nilai dan tujuan sekolah dengan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan nilai dan tujuan sekolah.

Tujuan SDIT X yang telah dirumuskan dalam visi sekolah yaitu : “Membentuk generasi berkualitas” yaitu yang memiliki karakter seorang muslim dengan ciri-ciri : akidah yang lurus, ibadah yang benar dan berakhlak yang mulia. Menurut Kepala Sekolah, untuk mewujudkan tujuan tersebut, guru kelas SDIT X dituntut mampu memberikan keteladanan sehingga dapat menjadi contoh nyata bagi seluruh siswa dalam membentuk karakter siswa sebagai seorang muslim sesuai dengan visi sekolah.

Tujuan sekolah ini membentuk generasi berkualitas, maksudnya sekolah ini ingin mewujudkan siswa-siswa yang memiliki karakter, atau akhlak. Karena kita ingin membentuk karakter, maka peran guru itu menjadi sangat penting. Untuk membentuk karakter anak, mereka kan harus melihat contoh langsung. Prilaku yang kita tampilkan sehari-hari itu menjadi contoh bagi mereka. Jadi, kita mendidik agar siswa memiliki karakter, kita sebagai guru juga harus punya karakter. Keteladanan prilaku yang bisa dicontoh

oleh siswa”. (wawancara dengan Kepala Sekolah, Kamis, 18 April

Pentingnya keteladanan guru dalam membentuk karakter siswa ditunjukkan melalui perilaku guru terhadap siswa yang menampilkan prilaku berakhlak mulia, yaitu santun, kasih sayang, peduli, suka menolong, jujur, menunaikan amanah dan qanaah. Perilaku yang menunjukkan akhlak mulia tersebut tidak dikotori oleh perilaku berakhlak buruk seperti pemarah, kasar, kikir, hasad dan dengki, fitnah, curang, dusta, prasangka, khianat dan sebagainya (Tim JSIT, 2006). Hasil observasi selama penelitian awal, terlihat bahwa mayoritas guru sudah menunjukkan contoh prilaku berakhlak mulia. Mereka memperlakukan siswa dengan penuh kasih sayang seperti mendengarkan perkataan/pertanyaan siswa dengan penuh perhatian, bahkan sambil mengusap kepala, merangkul atau bahkan memeluk siswa.

Meskipun demikian ada juga guru kelas tertentu yang tidak menunjukkan prilaku berakhlak mulia seperti memukul siswa bila mereka melakukan kesalahan. Berdasarkan pengalaman guru tersebut, menghukum siswa dengan cara memukul merupakan cara yang efektif untuk merubah perilaku siswa. Menurut kepala sekolah hal tersebut terjadi disebabkan karena kurangnya kesabaran guru terhadap perilaku siswa dan pemahaman mereka mengenai cara mendidik siswa masih sangat minim. Sebaliknya, SDIT X tidak membenarkan mendidik siswa dengan cara kekerasan dalam bentuk apapun.

“saya pernah menghadapi guru yang menendang siswa,katanya

karena siswa sulit diatur ketika shalat. Awalnya saya panggil, dia bilang gini : saya dulu juga dididik begitu bu, disekolah lama juga seperti itu. Terus saya bilang : bapak ngajar disini, jangan bawa-bawa gaya bapak atau sekolah lama bapak. Kalau ngajar disini,

ikuti aturan disini. Saya gitukan”.(wawancara dengan Kepala Sekolah, Rabu, 31 Oktober 2013)

“Kemarin itu baru aja kejadian, guru memukul siswa. Cuma

karena masalah galon air. Kalau udah gitu saya panggil guru itu. Bagi saya itu masalah penting. Kita disini dapat amanah dari orang tua siswa mendidik anak-anaknya. Itu kepercayaan. Disini ga bisa anak dididik dengan cara begitu. Kenapa anak-anak manjat pagar, liat saya dari jauh langsung turun. Tapi ibu liat sendiri kan, anak keluar masuk ruangan saya itu biasa aja. Nanya

ini itu. Bebas”.(wawancara dengan Kepala Sekolah, 6 Maret 2013).

“Anak-anak itu cuma butuh ketegasan, diberikan aturan yang konsisten. Pasti berubah. Namanya juga anak-anak. Orang besar juga kalau diingatkan ga langsung bisa berubah. Apalagi anak-anak. Pernah juga dia buat perjanjian si anakakan dimaafkan, asal berperilaku baik selama 2 minggu. Itu kejadiannya pagi, siangnya si anak udah ngelempar sepatu ke atap sekolah. Itu kan anak-anak. Ga bisa sekali diingatkan. Kenapa mereka tidak tertib ?? karna itu lah makanya mereka disekolahkan. Biar jadi tertib. Iya kan ??Yang penting tegas dan konsisten aja anak dah ngerti, ga perlu dibuat takut. (wawancara dengan Kepala Sekolah, 6 Maret 2013)

Disamping menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan sekolah, beberapa guru kelas tertentu juga menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sekolah. Menurut Kepala Sekolah ada beberapa nilai penting yang harus dimiliki setiap guru SDIT X, yaitu patuh terhadap aturan sekolah (seperti : menjaga kehadiran disekolah, mengikuti setiap kegiatan wajib sekolah seperti rapat guru setiap hari Selasa, PKG setiap hari Sabtu), bertanggungjawab terhadap pekerjaan (menyelesaikan

Lesson plan, mengawasi siswa), dan mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan aturan sekolah. Selama ini ada beberapa guru kelas yang tidak patuh terhadap aturan sekolah (sering terlambat, sering tidak hadir sekolah atau kegiatan wajib sekolah lainnya), kurang bertanggung

jawab terhadap pekerjaannya (tidak menyelesaikan lesson plan), dan sulit beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi disekolah.

Salah satu peraturan bagi guru kelas di SDIT X adalah hadir disekolah pukul 7.30 Wib setiap hari. Data kartu checklock pada bulan Juli s/d Desember 2013 menunjukkan gambaran kehadiran guru kelas di sekolah, sebagaimana terlihat pada tabel 1 dibawah ini :

Tabel 2

Rekapitulasi Keterlambatan Guru Kelas Bulan Juli s/d Desember 2013

Guru Jul Agust Sept Okt Nov Des Jlh

Rata-rata Keterlambatan Guru/Bulan 1 4x 6x 8x 7x 7x 4x 36x 6x 6x 2 - - - 1x - - 1x 0,17x 0 3 8x 7x 5x 6x 4x 5x 35x 5,83x 6x 4 10x 9x 8x 7x 7x 8x 49x 8,17x 8x 5 3x 3x 5x 4x 4x 3x 22x 3,67x 4x 6 8x 12x 12x 13x 10x 12x 67x 11,17 11x 7 6x 4x 3x 4x 5x 4x 36x 6x 6x 8 5x 2x 4x 3x 5x 3x 22x 3,67x 4x 9 1x - - 1 - - 2x 0,33x 0 10 2x 4x 7x 4x 3x 6x 26x 4,33x 4x 11 4x 7x 4x 5x 6x 6x 32x 5,33x 5x 12 3x 1x 9x 3x 6x 4x 26x 4,33x 4x

Sumber : Kartu checkclock guru SDIT X Bulan Juli s/d Desember 2013

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar guru kelas SDIT X pernah terlambat hadir disekolah. Dari 12 orang guru kelas terdapat 2 orang guru kelas yang jumlah keterlambatannya paling banyak yaitu mencapai 8 kali dan 11 kali perbulan, sedangkan 8 orang guru kelas lainnya bervariasi antara 4 hingga 6 kali keterlambatan perbulan. Hanya 2 orang guru kelas yang jumlah keterlambatannya hanya 1 atau 2 kali selama 6 bulan. Menurut kepala sekolah keterlambatan guru kelas bukan saja disebabkan oleh jarak rumah dan sekolah yang jauh. Beberapa guru yang

berdomisili disekitar sekolah justru sering terlambat. Kondisi ini sangat disayangkan oleh Kepala Sekolah karena kehadiran guru disekolah tepat waktu merupakan bagian dari pendidikan kedisiplinan bagi siswa. Beberapa kali Kepala Sekolah mendapatkan keluhan dari wali murid mengenai hal ini.

“Sebenarnya jarak rumah dan sekolah itu bukan alasan ya bu. Memang ada guru-guru yang tinggal di daerah Pancing, Tembung, Johor. Tapi justru mereka adalah guru-guru yang konsisten datang tepat waktu setiap hari. Sedangkan guru yang tinggal didekat sini

malah sering terlambat”(wawancara dengan Kepala Sekolah, 6

Maret 2013)

“Konsekuensinya bagi sekolah kan imej orang tua murid untuk

sekolah jadi jelek kan. Saya beberapa kali pernah dapat komplain dari orang tua “Gimana anak mau disuru datang cepat. Sampe disekolah gurunya belum datang”. Ini sebenarnya yang terjadi.

Walaupun beberapa kali diingatkan, dipanggil, diberikan teguran. Masih saja seperti ini kejadiannya. Padahal kehadiran guru tepat waktu itu sebenarnya jadi contoh bagi siswa. Mereka kan setiap hari memantau apa yang dilakukan oleh gurunya””(wawancara dengan Kepala Sekolah, 6 Maret 2013)

Selain diwajibkan hadir tepat waktu, guru kelas di SDIT X juga diwajibkan untuk menjaga kehadirannya disekolah selama 6 hari setiap minggu. Kegiatan belajar mengajar di SDIT X dilakukan 5 hari seminggu, yaitu hari Senin hingga Jumat sejak pukul 7.30 s/d 14.30 Wib, sedangkan hari Sabtu diadakan kegiatan PKG (Peningkatan Kompetensi Guru) yang juga wajib dihadiri oleh seluruh guru SDIT X. Tabel 2 di bawah ini merupakan rekapitulasi absensi kehadiran guru kelas selama 9 bulan, sejak bulan Juli 2012 sampai Maret 2013. Terlihat bahwa ada beberapa guru kelas yang tidak hadir ke sekolah karena alasan izin, sakit dan alpa (tanpa

Dokumen terkait