• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya dan menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Dilihat dari keragaman floranya jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat cukup banyak berupa obat tradisional yang berasal dari tumbuhan (Hariana, 2007).

Pemanfaatan obat tradisional semakin disukai karena efek samping lebih kecil dari obat yang dibuat secara sintesis. Mahalnya obat sintesis membuat masyarakat beralih ke tumbuhan obat. Penggunaan tumbuhan obat di masyarakat terutama untuk mencegah penyakit, menjaga kesegaran tubuh maupun mengobati penyakit (Mursito, 2001).

Banyak tumbuhan rempah-rempah mengandung golongan senyawa kimia seperti flavonoid yang menunjukkan sifat antimikroba. Beberapa golongan fenol seperti flavonoid, tanin dan senyawa fenol lainnya berfungsi sebagai alat pertahanan bagi tumbuhan untuk melawan mikroorganisme patogen (Hayet, et al., 2008).

Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) adalah salah satu jenis tumbuhan rempah yang termasuk suku Zingiberaceae. Bunga kecombrang dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit termasuk campak, dan batang semu serta pelepah daun dapat dimanfaatkan sebagai sabun (Anonim, 2010), juga berkhasiat sebagai antimikroba pada mikroba patogen dan perusak pangan (Naufalin, 2005). Kecombrang

mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid dan polifenol yang dikenal sebagai deodoran alami yang dapat mengurangi bau badan bagi yang mengkonsumsinya. Bunga kecombrang mempunyai aktivitas antioksidan (Anonim, 2010).

Penelitian sebelumnya menyebutkan serbuk simplisia bunga kecombrang diperoleh kadar abu total 9,41%; kadar abu tidak larut dalam asam 0,36%; kadar sari yang larut dalam air 12,626%; kadar sari yang larut dalam etanol 12,055% dan kadar air 3,331% (Liska, 2011). Kandungan kimia dari buah kecombrang adalah alkaloid, glikosida, tanin, flavanoid dan triterpenoid/steroid (Meyti, 2011).

Minyak atsiri juga disebut minyak eteris merupakan minyak yang mudah menguap. Kegunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, khususnya dalam berbagai bidang industri, antara lain dalam kosmetik ( sabun, pasta gigi, shampoo, lotion, dan farfum) dalam industri makanan di gunakan sebagai bahan penyedap atau penambah cita rasa, dalam industri farmasi atau obat- obatan ( anti nyeri, anti infeksi, anti bakteri) ( Lutony dan Rahmayati, 2000).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri minyak atsiri dan ekstrak etanol dari bunga kecombrang dengan metode difusi agar menggunakan bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa yang menyebabkan penyakit pada kulit.

1.2Perumusan Masalah

1. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia dan ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)?

2. Apakah minyak atsiri dan ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia

speciosa Horan) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus

epidermidis, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa?

1.3Hipotesis

1. Serbuk simplisia dan ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) mengandung senyawa minyak atsiri, flavonoid, tanin, dan steroid/triterpenoid.

2. Minyak atsiri dan ekstrak etanol bunga kecombrang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa.

1.4Tujuan

1. Untuk mengetahui senyawa kimia yang terdapat dalam bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan).

2. Mengetahui adanya aktivitas antibakteri minyak atsiri dan ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa.

1.5Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek antibakteri dari minyak atsiri dan ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh

Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta batangnya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran.

2.1.2 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan kecombrang menurut (Depkes, 2000) adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Nicolaia

Jenis : Nicolaia speciosa Horan

2.1.3 Nama asing

Penyebaran kecombrang di Indonesia sangat luas, sehingga tumbuhan ini mempnyai banyak nama daerah misalnya : Kala (Gayo), Honje (Sunda), Kincung (Sumatera), petikala (Ternate), sikala (Bangka), bongkot (Bali) (Depkes, 2000).

2.1.4Morfologi tumbuhan

Bunga kecombrang berwarna kemerahan seperti jenis tanaman hias pisang-pisangan. Bunga dalam karangan berbentuk gasing, bertangkai panjang 0,5-2,5 m × 1,5-2,5 cm, dengan daun pelindung bentuk jorong, 7-18 cm × 1-7 cm, merah jambu hingga merah terang, berdaging, melengkung membalik jika mekar. Kelopak bentuk tabung, panjang 3-3,5 cm, bertaju 3, terbelah. Mahkota bentuk tabung, warna merah jambu, panjang 4 cm. Bentuk tanamannya mirip jahe, dengan tinggi mencapai 5 m. Batang-batang semu bentuk bulat, membesar di pangkalnya; tumbuh tegak dan banyak, berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang yang menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal, berwarna krem, kemerah-jambuan ketika masih muda. Daun 15-30 helai tersusun dalam dua baris, berseling di batang semu, helaian daun jorong lonjong, 20-90 cm × 10-20 cm (Anonim, 2010).

2.1.5Kandunga kimia

Bunga kecombrang mengandung senyawa minyak atsiri, flavonoid, tanin, dan steroid/triterpenoid (Depkes, 1995).

2.1.6 Penggunaan tumbuhan

Bunga kecombrang berkhasiat sebagai deodorant alami, antimikroba, antioksidan dan sebagai bahan tambahan pada masakan. Kelopak bunga kecombrang dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal di Jawa Barat. Di Tanah Karo, buah kecombrang muda disebut asam cekala. Kuncup bunga serta buahnya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo juga menjadi peredam bau amis sewaktu memasak ikan. Masakan Batak populer, arsik ikan mas, juga menggunakan asam cekala ini (Anonim, 2010).

2.2 Kandungan Kimia

2.2.1 Minyak atsiri

Pada minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid. Zat inilah penyebab wangi, harum, atau bau yang khas pada minyak tumbuhan. Secara ekonomi senyawa tersebut penting sebagai dasar wewangian alam dan juga untuk rempah-rempah serta sebagai senyawa cita-rasa di dalam industri makanan (Harbone, 1897).

2.2.2 Flavonoida

Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar luas pada tumbuhan hijau dan mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988).

Flavonoida terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae yang mencakup banyak jenis pigmen yang umum dan mempunyai peranan penting dalam tumbuhan, misalnya pada bunga sebagai pigmen yang berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk. Selain itu ada beberapa senyawa flavonoida yang menyerap sinar ultraviolet yang juga berperan dalam mengarahkan serangga (Robinson, 1995).

2.2.3 Tanin

Tanin adalah senyawa fenol yang tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh, biasanya terdapat pada daun, buah, kulit kayu atau batang. Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti penting bagi tumbuhan

yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Tanin terkondensasi terdapat pada paku-pakuan, gimnospermae, dan angiospermae, sedangkan tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Beberapa tanin terbukti mempunyai antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Harborne, 1987).

2.2.4 Steroida dan Triterpenoida

Steroida merupakan suatu senyawa golongan triterpenoida yang mengandung inti siklopentanoperhidrofenantren yaitu terdiri dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana (Harborne, 1987).

Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoida kebanyakan berupa alkohol, aldehid, asam karboksilat dan umumnya berupa senyawa tanwarna, berbentuk kristal, mempunyai titik leleh tinggi, dan bersifat optik aktif. Triterpenoida dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu triterpenoida sebenarnya, steroida, saponin, dan glikosida jantung. Uji yang banyak digunakan untuk mendeteksi senyawa ini adalah reaksi Lieberman-Burchard (Harborne, 1987).

Senyawa triterpenoida mempunyai berbagai macam aktifitas fisiologi yaitu untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria (Robinson, 1995).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menngunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara yang tepat (DitJen POM, 2000).

Pembagian metode ekstraksi menurut DiJen POM (2000) adalah :

A. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) yang terus menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap pengembangan bahan dan maserasi antara dilakukan dengan maserasi serbuk menggunakan cairan penyari

sekurang-kurangnya 3 jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan yang mudah mengembang.

B. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relativ konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relativ konstan dengan adanya pendingin balik.

3. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperature 40-50oC.

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (+ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.4 Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1987).

2.4.1 Klasifikasi bakteri

Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat dibagi atas tiga golongan (Dwidjoseputro, 1987), ysitu :

a. Golongan Basil

Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil.

b. Bentuk kokus

Golongan kokus merupakan bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang bergandeng-gandengan panjang berupa rantai, disebut streptokokus, ada yang berbergandeng-gandengan dua-dua, disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat, disebut tetrakokus, kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.

c. Golongan Spiril

Golongan spiril merupakan bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok berupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.

Jenis bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcuc aureus dan Pseudomonas aeruginosa.

a. Staphylococcus epidermidis

Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis menurut (Breed, et al, 1957) adalah sebagai berikut :

Devisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerob fakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 - 1,0 µm tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37oC. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna putih porselen sehingga Staphylococcus epidermidis disebut Staphylococcus albus, koagulasi-negatif dan tidak meragi manitol (Jawetz et al, 2001).

b. Staphylococcus aureus

Sistematika bakteri Staphylococcus aureus menurut Bergey edisi ke-7 (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut :

Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales

Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerob fakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 µm, tidak membentuk spora dan tifak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-250C. koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001).

c. Pseudomonas aeruginosa

Sistematika bakteri Pseudomonas aeruginosa menurut (Breed, et al, 1957) adalah sebagai berikut :

Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Pseudomonadales Suku : Pseudomonodaceae Marga : Pseudomonas

Jenis : Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif aerob obligat berbentuk batang, bergerak, berukuran sekitar diameter 0,5-1,0 x 3,0-4,0 µm, terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan kadang – kadang membentuk rantai

yang pendek. Pseudomonas aeruginosa membentuk koloni halus bulat dengan fluoresensi kehijauan. Bakteri ini menghasilkan piosianin suatu pigmen kebiru – biruan yang tak berfluoresensi, yang berdifusi kedalam agar. Fluorensi dapat dihasilkan bila biakan diinkubasi pada suhu 20 - 30o C dari pada yang diinkubasi pada suhu 35 - 37o C (Jawetz et al, 2001).

Pseudomonas aeruginosa tersebar luas di alam biasanya terdapat di lingkungan yang lembab. Bakteri ini menyebabkan penyakit bila pertahanan tubuh inang abnormal. Dalam jumlah kecil, bakteri ini sering terdapat pada flora usus normal dan kulit manusia. Bakteri ini ini menimbulkan infeksi pada luka bakar, infeksi saluran kemih dan infeksi mata (Jawetz et al, 2001).

Bila suatu mikroorganisme ditanam pada media yang sesuai dalam waktu tertentu akan tumbuh memperbanyak diri, maka dapat dilihat suatu grafik pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase menurut (Pratiwi, 2008; Dwidjoseputro, 1994) yaitu:

1. Fase penyesuaian diri (lag phase)

Fase pertama ini mikroorganisme mengalami penyesuaian pada lingkungan baru setelah pemindahan. Pada fase ini tidak terjadi perkembangbiakan sel, yang ada hanya peningkatan ukuran sel dan aktivitas metabolisme.

2. Fase pembelahan (log phase)

Fase kedua ini mikroorganisme berkembang dengan cepat yang jumlahnya meningkat secara eksponensial. Fase ini berlangsung selama 18-24 jam.

Fase ketiga terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Hal ini terjadi karena akumulasi hasil metabolisme yang toksis.

4. Fase kematian

Fase dimana jumlah sel yang mati meningkat dikarenakan keadaan lingkungan seperti ketidaksediaan nutrisi dan akumulasi hasil metabolisme yang toksik.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat meliputi temperatur, pH, tekanan osmotik, oksigen dan nutrisi dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

1. Temperatur

Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap mikroorganisme mempunyai temperatur optimum yaitu temperatur di mana terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal. Temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein sedangkan temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan terhenti. Berdasarkan batas temperatur dibagi atas tiga golongan:

a. psikrofil, tumbuh pada temperatur -5 sampai 30oC dengan optimum 10 sampai 20oC.

b. mesofil, tumbuh pada temperatur 10 sampai 45oC dengan optimum 20 sampai 40oC.

c. termofil, tumbuh pada termperatur 25 sampai 80oC dengan optimum 50 sampai 60oC (Pratiwi, 2008).

pH optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun ada beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan yang sangat asam atau alkali (Pelczar dan Chan, 2006).

3. Tekanan osmosis

Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis) (Pratiwi, 2008, Lay, 1996).

4. Oksigen

Berdasarkan kebutuhan oksigen dikenal mikroorganisme dibagi menjadi 5 golongan yaitu:

a. Anaerob obligat, hidup tanpa oksigen, oksigen toksik terhadap golongan ini. b. Anaerob aerotoleran, tidak mati dengan adanya oksigen.

c. Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa oksigen.

d. Aerob obligat, tumbuh subur bila ada oksigen dalam jumlah besar.

e. Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik dalam tekanan oksigen yang rendah (Pratiwi, 2008).

5. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua

yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak) dan mikroelemen (trace element yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit) (Pratiwi, 2008).

Bahan nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme terdapat pada media. Media juga dapat digunakan untuk membedakan mikroorganisme dengan mengetahui habitatnya (Pratiwi, 2008).

Bermacam-macam media pertumbuhan yaitu:

1. Media sintetik yaitu media yang komponen penyusunnya sudah diketahui, 2. Media kompleks yaitu media yang tersusun dari komponen yang secara kimia

tidak diketahui dan merupakan kebutuhan nutrisi mikroorganisme.

3. Media selektif adalah media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.

4. Media diferensial digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme dan dapat digunakan untuk identifikasi (Pratiwi, 2008, Lay, 1996).

2.4.2 Uji aktifitas antimikroba

Uji kepekaaan terhadap obat antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :

a. Metode dilusi

Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) dari obat antimikroba. Prinsip dari metode dilusi adalah sebagai berikut :

Menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diuji dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37oC

selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji (Pratiwi, 2008).

b. Metode difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih di sekitar cakram. Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya: pH, suhu, zat inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas dari bahan obat (Jawetz et al, 2001).

c. Metode turbidimetri

Ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 ml larutan abtibiotik dan 9 ml inokulum. Diinkubasikan pada suhu 30oC selama 3-4 jam. Setelah diinkubasi, ditambahkan 0,5 ml formaldehid. Serapan diukur dengan sperktrofotometer pada 530 nm. Kadar antibiotik ditentukan berdasarkan perbandingan serapannya terhadap serapan standar (Wattimena, 1991).

Penetapan aktivitas antibioti secara in vitro selain berguna untuk penetapan kadar dapat pula digunakan untuk menguji kepekaan suatu antibiotik terhadap mikroba. Kepekaan mikroba terhadap antibiotik dapat dilihat dari konsentrasi minimum untuk inhibisi oleh suatu antibiotik terhadap mikroba tertentu. Penetapan konsentrasi minimum inhibisi dapat dilakukan dengan menguji sederetan konsentrasi antibiotik yang dibuat dengan cara pengenceran, metode yang digunakan dapat dengan cara turbidimetri atau difusi agar. Konsentrasi minimum untuk inhibisi (KMI) (Wattimena, 1991).

2.5 Isolasi Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya, kelarutan dalam perlarut organik, dan kelarutan dalam air. Berdasarkan sifat tersebut, minyak atsiri dapat di buat dengan beberapa cara, yaitu penyulingan, ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), ekstraksi dengan lemak dingin (enfleurasi), ekstraksi dengan lemak panas (maserasi) dan pengepresan (pressing) (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.5.1 Metode penyulingan

Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik didih uapnya. Dalam industri pengolahan minyak atsiri telah dikenal tiga macam sistem penyulingan yaitu penyulingan dengan air, penyulingan dengan air dan uap, dan penyulingan dengan uap (Ketaren,1985).

2.5.1.1 Penyulingan dengan air

Pada metode ini bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobo jenis dan jumlah bahan yang di suling. Air dipanaskan dengan panas langsung. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih (Guenther,1990).

Pada metode ini, perbandingan jumlah air perebus dan bahan baku dibuat berimbang, sesuai dengan kapasitas ketel. Bahan yang telah mengalami proses pendahuluan seperti perajangan dan pelayuan dimasukkan dan dipadatkan. Selanjutnya, ketel ditutup rapat agar tidak terdapat celah yang mengakibatkan uap keluar. Uap yang dihasilkan dari perebusan air dan bahan dialirkan melalui pipa menuju ketel kondensator yang mengandung air dingin sehingga terjadi pengembunan (kondensasi). Selanjutnya,air dan minyak ditampung dalam tangki pemisah. Pemisahan air dan minyak dilakukan berdasarkan perbedaan berat jenis (Armando.R,2009).

Suatu keuntungan dari penggunaan sistem penyulingan ini selain prosesnya yang cukup sederhana adalah baik digunakan untuk menyuling bahan yang berbentuk tepung dan bunga- bungaan yang mudah membentuk gumpalan jika kena panas. Kelemahan cara penyulingan air adalah komponen minyak yang bertitik didih tinggi dan bersifat larut dalam air tidak dapat menguap secara sempurna, sehingga komponen minyak yang dihasilkan tidak lengkap.Dan jika tidak diawasi, bahan yang disuling dapat hangus karena suhu yang sangat tinggi (Ketaren,1985).

2.5.1.2Penyulingan dengan air dan uap

Metode ini disebut juga dengan sistem kukus. Pada metode pengukusan ini, bahan diletakkan di atas piringan atau plat besi berlubang seperti ayakan yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air. Pada prinsipnya, metode penyulingan ini menggunakan uap bertekanan rendah. Air dimasukkan ke dalam dasar ketel 1/3 bagian ketel. Selanjutnya, bahan dimasukkan ke dalam ketel suling hingga padat dan ketel ditutup rapat. Saat air direbus dan mendidih, uap yang

Dokumen terkait