• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama Allah SWT, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW kemudian diteruskan kepada para sahabat, dengan dua perwujudan yaitu al-Quran dan al-Hadits (Muzadi, 2006: 21). Islam adalah agama yang rāhmatallilalamin-Nya itu rahmat bagi semesta alam. Agama Islam memberikan kedamaian bagi seluruh ummat manusia termasuk ummat muslim yang didalamnya terdapat pula masalah peradilan dan urusan negara.













Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi

semesta alam (Q.S. al-Anbiya‟ (21) : 107).

Peradilan Agama, merupakan conditio sine qua non, yaitu sesuatu yang mutlak adanya bagi ummat Islam Indonesia. Sepanjang ada ummat Islam, sepanjang itu pula Peradilan Agama ada, meskipun pada awalnya masih dalam bentuk dan corak yang sederhana dan nama yang berbeda-beda. Karena itu, dalam dinamika perjalanan sejarah Indonesia, keberadaan Peradilan Agama bukan sesuatu yang baru. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, Peradilan Agama telah menjalankan fungsinya yang tidak hanya terbatas pada perkara-perkara keperdataan, tetapi juga perkara pidana.

2

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Pengadilan Agama adalah lahirnya Undang-Undang[1] Nomor 3 Tahun 2006 amandemen atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU Nomor 3 Tahun 2006 ini memberikan perubahan yang sangat signifikan terutama soal kewenangan absolute Peradilan Agama tersebut. Sebelumnya, Pengadilan Agama berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 hanya berwewenang menyelesaikan sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah wakaf, zakat, infak dan sedekah. Dengan lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, Peradilan Agama tidak lagi mempunyai kewenangan sebatas menyelesaikan perdata perkawinan dan waris akan tetapi telah diperluas dengan kewenangan dalam keperdataan lainnya (Hudiata: 24).

Ada tiga kewenangan yang terbilang masih baru dalam kewenangan Peradilan Agama yaitu zakat, infak dan ekonomi syari'ah. Namun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi Peradilan Agama. Peradilan Agama diberi kewenangan kompetensi ekonomi syariah. Perluasan kompetensi Peradilan Agama tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat muslim sebagaimana dalam pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2006 di atas.

1

3

Perkembangan kegiatan perbankan syariah di Indonesia sangat terkait erat dengan masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim. Masyarakat tersebut ingin menerapkan prinsip syariah secara komprehensif dalam setiap kegiatan yang dilakukannya, termasuk dalam kegiatan perbankan syariah. Salah satu hal yang menjadi problematika dalam praktik perbankan syariah adalah mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perbankan syariah, hal ini tercermin dengan adanya Putusan MK Nomor 93/PUU-X?2012 Tentang Uji Materi UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Hudiata: 67).

Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil „alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah yang disebut perbankan syariah.

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem Perbankan Nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam UU Perbankan Syariah. Pembentukan UU Perbankan

4

Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai perbankan syariah dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.

Setelah mengalami perjalanan yang panjang, UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 dengan terdiri dari 13 bab dan 70 pasal. Secara garis besar UU ini memberikan

kepastian hukum Bank Syariah di Indonesia, penyebutan kata “syariah

memberikan identitas yang jelas bagi Bank Syariah dan bertanggung jawab terhadap syariah (shariah complience). Bank Syariah menjalankan fungsi sosial dan juga menyebutkan dukungan terhadap konversi dan perubahan Bank Konvensional menjadi Bank Syariah dan tidak sebaliknya.

Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam UU Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang

5

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ada satu bab khusus mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Pengertian “menyelesaikan” bagi sebuah peradilan adalah menerima,

memeriksa, menyelesaikan dan memutus, hingga melaksanakan eksekusi putusan berkaitan dengan perbankan syariah yang tidak dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara. Dalam pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dijelaskan bahwa ayat (1) penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) dalam hal perkara pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian dilakukan sesuai isi akad; (3) penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah (Hudiata: 76-77).

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan bahwa lembaga yang berwewenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Hal ini memperkuat atau sejalan dengan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama bahwa “Pengadilan Agama bertugas, berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang:…(i) ekonomi syariah” (Hudiata: 77).

Pengadilan Agama Purbalingga pada tanggal 18 Februari 2014 di Kepaniteraan menerima gugatan tentang pemenuhan kewajiban akad

6

pembiayaan musyarakah dengan nomor perkara 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg, yang diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah[2] Buana Mitra Perwira, yang berkedudukan hukum di Jalan MT Haryono No. 267 Purbalingga, dalam hal ini diwakili oleh H. Aman Walyudin, SE., MSI. Dalam kedudukannya selaku direktur utama PT. BPRS Buana Mitra Perwira. Disini mereka menggugat Ruswondo dan Sri Budiastuti selaku nasabah.

Berdasarkan Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor : 105/MSA/ IV/07 tertanggal 17 April 2007 yang ditandatangani oleh Bank dan Nasabah yang di waarmerking oleh Agung Diharto, SH, Notaris di Purbalingga Nomor: 163/w/2007 tertanggal 7 Mei 2007, Bank dan Nasabah masing-masing akan menyediakan sejumlah uang sebagai penyertaan modal, yaitu Bank sebesar Rp. 20.000.000,- dan nasabah sebesar Rp. 18.800.000,- yang masing-masing dan berturut-turut merupakan 51,5% dan 48,5% dari sejumlah modal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha berupa usaha dagang kelapa dan gula merah.

Dalam kasus ini, setelah jatuh tempo Para Tergugat belum juga bisa melunasi kewajibannya. Para Tergugat diberi jangka waktu (masa) penggunaan modal tersebut oleh berlangsung selama 36 (tiga puluh enam) bulan. Kemudian Penggugat melakukan pengecekan terhadap pengelolaan usaha yang dilakukan oleh Para Tergugat, ternyata ditemukan bahwa Para Tergugat lalai tidak pernah melaksanakan bagi hasil (Syirkah) pada tiap-tiap

2

7

tanggal realiasasi pada tiap bulannya dan Para Tergugat lalai tidak mengembalikan modal sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah dalam Pasal 21

huruf (b) bahwa akad dilakukan berdasarkan asas amanah atau menepati janji, setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.











……

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad3 itu ….. (Q.S.

al-Maaidah (5) : 1)

Akhirnya pihak Penggugat menganggap bahwa Para Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi tersebut Penggugat merasa dirugikan secara materiil. Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, peringatan maupun pendekatan secara kekeluargaan kepada para Tergugat akan tetapi para Tergugat tetap tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya, oleh karenanya sangatlah beralasan Penggugat mengajukan Gugatan Sengketa Ekonomi Syariah kepada Ketua Pengadilan Agama Purbalingga hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 Tentang Amandemen UU Peradilan Agama jo. Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Dari latar belakang diatas maka kami penulis ingin mencoba meneliti dari permasalahan diatas yang kami simpulkan dengan judul “Analisis

3

Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

8

Putusan Perkara Sengketa Ekonomi Syariah Nomor 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg Tentang Wanprestasi Akad Musyarakah Nomor : 105/MSA/IV/07 di

Pengadilan Agama Purbalingga”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka skripsi ini akan mengacu pada permasalahan pokok yaitu

1. Apa yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Purbalingga dalam memutus perkara nomor 0310/Pdt.G/ 2014/PA.Pbg?

2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Hakim Pengadilan Agama Purbalingga dalam memutus perkara nomor 0310/ Pdt.G/2014/PA.Pbg?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Objektif

Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Purbalingga dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah dengan nomor 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg.

Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap putusan Hakim Pengadilan Agama Purbalingga dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah dengan nomor 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg.

9 b. Tujuan Subjektif

Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis dibidang hukum ekonomi syariah atau muamalat dan guna memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar S1 dalam bidang Hukum Ekonomi Syariah atau Muamalat di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi syariah atau muamalat dan dapat memperkaya referensi dan literature kepustakaan terkait dengan kajian mengenai Hukum Acara Peradilan Agama khususnya mengenai putusan Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah dan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya. b. Kegunaan Praktis

Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan penulisserta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh melalui bangku perkuliahan.

10 D. Penegasan Istilah

Penegasan judul ini dimaksud untuk menghindari adanya interprestasi lain yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam memahaminya. Adapun pengertian istilah judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ekonomi Syariah berdasarkan penjelasan huruf (i) Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.

2. Akad atau Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu (Pasaribu dan K Lubis, 1996: 1).

3. Musyarakah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama (Ghazaly, 2010: 127)

4. Wanprestasi adalah tidak adanya suatu prestasi dalam perjanjian, ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

11 E. Kajian Pustaka

Permasalahan mengenai putusan hakim mengenai sengketa ekonomi syariah antara lain yaitu skripsi karya Pratami Wahyudya Ningsih (www.dgilib.uns.ac.id., diakses pada 7 Agustus 2016) “ Analisis Terhadap

Putusan Hakim Dalam Perkara Gugatan Pemenuhan Kewajiban Akad Pembiayaan al-Musyarakah di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg), skripsi termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi. Dari hasil penelitiannya adalah dasar pertimbangan yang digunakan hakim yang tertuang dalam Putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tersebut diantarannya adalah Tergugat tidak pernah hadir di persidangan, maka sengketa diputus dengan verstek, Tergugat telah memenuhi unsur-unsur wanprestasi sesuai dengan ketentuan hukum positif dan dalil-dalil syar‟i sehingga Tergugat menjadi pihak yang kalah.

Kemudian skripsi karya Ikhsan Al Hakim (www. lib.unnes.ac.id, diakses pada 7 Agustus 2016) “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di

Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama Oleh Pengadilan Agama

Purbalingga” Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Perluasan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan kasus sengketa ekonomi syariah di Purbalingga telah

12

dilaksanakan. Berdasarkan Putusan-putusan Pengadilan Agama Purbalingga telah menyelesaikan 9 (Sembilan) sengketa ekonomi syariah.

Skripsi dengan judul “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Di

Lembaga Keuangan Melalui Pengadilan (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Surakarta)” karya Annisa Mar‟atus Sholikhah (www.eprints.ums.ac.id, diakses pada 7 Agustus 2016), Merupakan penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis bersifat normatif. Dengan hasil penelitian bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan bukti gugatannya, oleh karena itu gugatan pada perkara tersebut dikabulkan sebagian, yakni menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi/ingkar janji.

Skripsi karya Yunita Naryanti yang berjudul “Gugatan Wanprestasi Yang Diajukan Oleh PT BPR Syariah Buana Mitra Perwira Berdasarkan Akad Perjanjian Pembiayaan Al Musyarokah (Studi Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Purbalingga Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)” skripsi ini menggunakan Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah metode normatif kualitatif. Dengan hasil penelitiannya adalah Pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara tentang gugatan wanprestasi yang diajukan oleh PT BPR Syariah Buana Mitra Perwira adalah dengan mendasarkan pada alat bukti otentik berupa akad perjanjian pembiayaan al musyarokah, yang nilai pembuktiannya kuat (www. fh.unsoed.ac.id., diakses 7 Agustus 2016).

Tesis karya Martina Purnanisa (www.idr.iain-antasari.ac.id., diakses pada 7 Agustus 2016) yang berjudul “Analisis Putusan Pengadilan terhadap

13

Penyelesaian Hukum Ekonomi Syariah (Studi Kasus Putusan PA Madiun

No.0403/Pdt.G/2004.pa.Mn)” mengenai sengketa perbankan syariah yang melibatkan antara pihak bank sebagai tergugat dengan nasabah yang memberikan kuasa kepada LPKNI (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) sebagai penggugat berdasarkan Legal Standing Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1 huruf ( c) UUPK di beri hak gugat organisasi Legal Standing lus Standi. Penelitian ini termasuk dalam penelitian pustaka (library research) yang bersifat deskriptif analitis, serta menggunakan pendekatan normatif yuridis. Hasil penelitiannya adalah bahwa putusan majelis hakim PA Madiun telah memutus perkara tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: tidak menerapkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Tidak mencantumkan posita gugat berkenaan Legal Standing LPKNI yang menyebabkan formulasi putusan tidak sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) HIR dari Pasal 195 RBG.

Dalam pengamatan penulis, analisis atau kajian terhadap putusan hakim sudah banyak namun sepengetahuan penulis sejauh ini belum ada yang mengkaji atau menganalisis terhadap putusan hakim dalam kasus sengketa ekonomi syariah nomor 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg mengenai wanprestasi akad pembiayaan musyarakah di Pengadilan Agama Purbalingga. Berdasarkan itulah, penelitian ini baru dan belum ada yang menelitinya.

14 F. Kerangka Teoritik

Putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu didalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa atau perkara, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dalam persidangan yang terbuka untuk umum.4

Metode interprestasi dalam hukum Islam disebut juga dengan ijtihad

tathbiqi. Ijtihad tathbiqi ini merupakan upaya untuk menetapkan hasil ijtihad

istinbathi kedalam perbuat-perbuatan mukalaf atau peristiwa-peristiwa

konkret yang bersifat kasuistik (Fanami, 2009: 179).

Tugas pokok bagi pengadilan sebagaimana ditentukan dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepada pengadilan. Salah satu tugas pokok pengadilan adalah mengadili perkara-perkara yang diajukan atas kepentingan para pihak berperkara adalah merupakan tindakan mewujudkan hasil pemeriksaan dalam suatu putusan pengadilan, yang oleh para pihak berperkara sangat diharapkan dapat memberikan rasa keadilan.

Rasa keadilan yang tercermin dalam putusan pengadilan itu adalah bukan semata-semata menyangkut isi putusan pengadilan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak terbatas yang menyangkut pelaksanaan hukum materiil, tetapi juga menyangkut dalam beracara di persidangan.

4

Buku Pedoman Kerja Hakim dan Panitera Pengadilan Agama se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Makasar. hlm. 59

15

Sikap dan perilaku pengadilan dalam beracara dalam sidang juga diharapkan mencerminkan keadilan tidak saja menyangkut tata cara pengadilan beracara, akan tetapi menyangkut sikap adil pengadilan terhadap pihak-pihak berperkara, tidak memihak dan tidak membeda-bedakan kedudukan yang satu dengan lainnya, menghormati kesetaraan pihak berperkara yang satu dengan yang lain.

Para pihak yang berperkara menghendaki kedudukannya dihadapan pengadilan harus dianggap dan diperlakukan sama, tidak dibeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain, diperlakukan secara adil, sebagaimana makna Pasal 5 Ayat (1) UU nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan para pihak berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk memberi pendapatnya sebagai disebutkan dalam azas audite et alteram partem.

Tetapi kadangkala dalam menegambil putusan di luar hadir salah satu pihak, tindakan pengadilan ini seolah-olah dianggap telah bertindak mengabaikan azas audite et alteram partem di atas, karena pengadilan telah menjatuhkan putusan dengan menabaikan kepentingan pihak yang tidak hadir. Pendapat seperti itu adalah tidak rasional, karena pengadilan dalam menjalankan tugas pokok juga memiliki kewajiban harus memperhatikan kepentingan pihak yang telah bersusah payah tetap hadir di persidangan.

Namun meskipun demikian, pengadilan tidak dapat dikatakan melakukan suatu pengabaikan terhadap kepentingan pihak yang tidak hadir, sebab pengadilan tetap menghormati kedudukan pihak yang tidak hadir itu mengenai hak-hak hukumnya, tetap mendapat perlindungan hukum secara

16

utuh seperti sebelum dijatuhkannya putusan pengadilan yaitu dengan memerintahkan menyampaikan bunyi putusan pengadilan tersebut kepada yang bersangkutan.

Demikian juga halnya putusan gugur yang diucapkan di luar hadir penggugat, hak penggugatm tetap mendapat perlindungan yaitu penggugat tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan kembali, ataupun dalam hal dijatuhkannya putusan verstek yang diucapkan di luar hadir tergugat, pihak tergugat tetap mendapat perlindungan tersebut. Pada pokoknya putusan pengadilan yang sangat didambakan oleh para pihak berperkara itu, adalah putusan akhir, yang telah dinyatakan pengadilan sesudah melakukan perjalanan sidang yang dikatakan panjang.

Dengan putusan akhir tersebut harus dapat dinyatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan pengadilan sudah berakhir, sehingga diharapkan dengan putusan itu, dapat mengakhiri sengketa para pihak berperkara. Putusan akhir dapat merupakan putusan kondemnatoir, atau putusan konstitutif, putusan deklatoir, tetapi putusan pengadilan itu lebih banyak merupakan kumulasi ketiga macam putusan diatas (Syahlani, 2007: 61-62).

Selain itu, UU Nomor 48 Tahun 2008 telah mempertegaskan kedudukan kehakiman, kedudukan panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, dan bahkan memuat regulasi mengenai pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hokum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (Hasan: 61-62). Namun kadang-kadang dalam persidangan yang tidak terlalu lama, bahkan mungkin saja dapat

17

dikategorikan singkat, pengadilan juga dapat menjatuhkan putusan akhir yang disebut putusan gugur, verstek atau perdamaian.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian analisa putusan (Maslikhah: 2013) dalam hal ini yang menjadi objek kajian penelitiannya adalah putusan nomor: 0310/Pdt.G/ 2014/PA.Pbg tentang perkara gugatan sengketa ekonomi syariah.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam skripsi ini penulis melakukan pencarian data dengan cara terjun langsung kelapangan berinteraksi dengan informan, dalam hal ini menempatkan diri sebagai peneliti. Sehingga akan memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan secara akurat langsung dari narasumbernya.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelilitian ini yaitu sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama) yaitu dengan cara interaksi langsung dengan hakim dan pejabat strukturan di Pengadilan Agama Purbalingga, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada seperti dari literatur atau penelitian sebelumnya (www.teorionline.wordpress.com. Diakses pada 7 Agustus 2016).

18 4. Teknik Pengumpulan data

Penelitian ini dalam pengumpulan data melalui tiga metode yang saling melengkapi yaitu sebagai berikut;

a. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan para Hakim dan pejabat struktural Pengadilan Agama Purbalingga dan akademisisi di bidangnya, dengan harapan dapat memberikan kemudahan dalam menganalisis putusan nomor 0310/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang perkara sengketa ekonomi syariah.

b. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara untuk mengumpulkan data dengan menyalin dari sumber-sumber yang ada, sebagai bahan identifikasi gabungan antara bahan hokum primer dan hasil dari studi kepustakaan.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian mengolah, menganalisis dan mengambil kesimpulan dari proses analisis yuridis dari hokum yang ada pada Putusan Nomor: 0310/Pdt.G/ 2014/PA.Pbg, dengan tujuan untuk menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan sehingga menjadi data yang teratur dan tersusun dengan baik.

19 H. Sistematika Penulisan

Sebagai gambaran-gambaran umum dalam skripsi ini, penulis akan paparkan sekilas tentang sistematika penulisan dalam skripsi ini dengan menggunakan system sebagai berikut :

Bab I: merupakan bab pendahuluan yang menguraikan gambaran singkat dari penelitian ini, bab I ini terdiri dari latar belakang masalah,

Dokumen terkait