• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang

Kelapa merupakan komoditas yang stategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena peranannya yang besar meliputi sosial, budaya, sumber pendapatan, penyedia lapangan kerja dan mampu menyumbangkan devisa bagi negara. Hal ini sebagaimana banyaknya manfaat yang terdapat pada buah kelapa bagi kehidupan yang meliputi daging kelapa, tempurung, sabut, air dan bungkil kelapa bahkan bagian batang kelapa telah banyak digunakan sebagai bahan bangunan dan furniture. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai pohon kehidupan (the tree of life) atau pohon yang menyenangkan (a heaven tree).

Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah penghasil kelapa yang memiliki potensi pengembangan cukup besar. Luas perkebunan kelapa Jambi menempati urutan sembilan besar setelah Sulawesi Tengah, yaitu 119.030 hektar atau 3,15 persen dari total luas areal kelapa Indonesia dengan produksi sebanyak 110.305 ton pertahun (BPS 2009). Dari luas perkebunan kelapa tersebut, 95 persennya terkosentrasi di dua Kabupaten, yaitu Tanjung Jabung Timur dengan luas 59.370 hektar atau 49,88 persen dari total luas areal kelapa Jambi dan Tanjung Jabung Barat dengan luas 53.484 hektar atau sekitar 44,93 persen dari total luas areal kelapa Jambi.

Tabel 1 Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Kelapa Provinsi Jambi menurut Kabupaten Tahun 2008 No Kabupaten TBM (ha) TM (ha) TTM (ha) Jumlah (ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha) Jlh. Petani (KK) 1 Batanghari 46 623 174 843 625 1.003 2.185 2 Muaro Jambi 149 650 129 928 629 968 6.144 3 Bungo 83 558 37 678 444 796 13.423 4 Tebo 115 865 44 1.024 593 686 1.504 5 Merangin 570 1.170 277 2.017 853 729 14.169 6 Sarolangun 115 366 85 566 310 847 16.046 7 Tanjung Jabung Barat 4.255 37.969 11.260 53.484 54.942 1.447 19.842 8 Tanjung Jabung Timur 6.999 44.897 7.474 59.370 51.871 1.155 23.260 9 Kerinci 12 94 14 120 38 404 1.367 JUMLAH 12.344 87.192 19.494 119.030 110.305 8.035 97.940

Berdasarkan data statistik perkebunan BPS Jambi (2009), usahatani kelapa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat telah melibatkan sekitar 43.102 kepala keluarga, dengan kepemilikan lahan antara 1,5 – 2 hektar per kepala keluarga. Bagi masyarakat daerah tersebut, perkebunan kelapa merupakan sumber penghasilan utama yang dikelolah secara intensif, sehingga ketergantungan petani terhadap perkebunan kelapa sangat tinggi. Dengan rata-rata produksi yang dihasilkan pertahun sebanyak 1.301 kilogram kopra perhektar, pada tingkat harga Rp 4.750 perkilogram (BPS 2009), petani hanya memperoleh penghasilan antara Rp 9.269.625 – Rp 12.359.500 pertahun atau sekitar Rp 772.500 – Rp 1.020.000 perbulan. Menurut Kasryno et. al. (1998) pendapatan petani kelapa lebih rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum petani dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang perkelapa keluarga. Sehingga menurutnya, dengan pendapatan petani kelapa tersebut belum mampu mendukung kehidupan keluarga secara layak.

Berdasarkan luas perkebunan kelapa dan kondisi geografis yang dimiliki oleh Kabupaten Tanjung Jabung, peningkatan produktivitas kelapa sangat mungkin untuk dilakukan. Namun dari data yang ada, produktivitas tersebut masih tergolong rendah, yaitu rata-rata pertahun sebanyak 1.301 kilogram kopra perhektar. Hal ini disebabkan karena pola usahatani kelapa yang dikembangkan masih bersifat tradisional. Padahal menurut Damanik (2007), apabila usahatani kelapa dilakukan secara terpadu, produktivitas kelapa pertahun dapat mencapai 4 ton kopra perhektar. Dengan demikian kondisi ini akan berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan petani kelapa. Disamping itu, pada umumnya produk yang dihasilkan masih dalam bentuk kelapa butiran dan kopra berkualitas rendah. Pada pemanfaatan hasil samping pun belum banyak dilakukan oleh petani, sehingga nilai tambah dari usahatani belum diperoleh secara optimal. Hanya sebagian kecil petani yang telah memanfaatkan hasil samping seperti, sabut dan tempurung kelapa (Brotosunaryo 2003; Jamaludin 2003; Nogoseno 2003). Di tingkat industri, produk turunan kelapa yang telah dikembangkan, meliputi minyak kelapa, arang tempurung, sementara bungkil kelapa, serat kelapa, coconut fiber dan RBD coconut oil baru berkembang pada tahun 2007 (BPS Jambi 2009). Berbagai produk kelapa tersebut sebagian besar telah menjangkau pasar ekspor,

hanya saja untuk bungkil kelapa, serat kelapa, coconut fiber dan coconut oil volumenya masih sedikit. Walaupun demikian, dengan bertambahnya jenis produk kelapa yang dihasilkan telah mengurangi ekspor kelapa butiran dan kopra dan telah meningkatkan nilai ekspor kelapa sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2 Volume Ekspor Industri Komoditas Perkebunan Kelapa di Provinsi Jambi Tahun 2000-2008

Tahun Ekspor

Komoditi Hasil Perkebunan Kelapa Minyak Kelapa Kopra Arang Tempurung Kelapa Biji Bungkil Kelapa Serat Kelapa Coconut Fiber RBD Coconut Oil 2000 Volume (kg) 19.875.000 435.000 424.702 - - - - - Nilai (US$) 6.568.988 143.931 50.802 - - - - - 2001 Volume (kg) 20.155.000 1.784.182 115.000 8.750 - - - - Nilai (US$) 5.054.000 260.208 13.498 4.539 - - - - 2002 Volume (kg) 14.480.000 - 568.045 228.700 - - - - Nilai (US$) 5.256.800 - 30.286 17.040 - - - - 2003 Volume (kg) - - 506.640 321.000 - - - - Nilai (US$) - - 700.823 24.709 - - - - 2004 Volume (kg) - 1.980.260 1.608.150 262.899 - - - - Nilai (US$) - 217.706 156.332 48.327 - - - - 2005 Volume (kg) - - 1.720.000 241.468 - - - - Nilai (US$) - - 126.230 49.869 - - - - 2006 Volume (kg) - - - 1.753.500 - - - - Nilai (US$) - - - 251.301 - - - - 2007 Volume (kg) 50.950.800 1.707.500 4.787.178 350.000 600.000 100.000 21.780 1.200.000 Nilai (US$) 42.699.580 225.510 492.407 30.999 55.650 20.000 7.617 840.000 2008 Volume (kg) 47.220.000 380.000 2.611.000 170.000 - - 47.340 - Nilai (US$) 52.977.141 59.182 248.140 9.520 - - 38.064 - Sumber : BPS Provinsi Jambi 2009

Bila dibandingkan dengan pengembangan produk turunan kelapa nasional, industri perkelapaan Jambi masih jauh tertinggal. Pada tingkat nasional, produk turunan kelapa yang telah berhasil dikembangkan meliputi tepung kelapa, kelapa parut, santan dalam kemasan, VCO, nata de coco, konsentrat air kelapa, arang tempurung, carbon active, sabut dan berbagai produk yang lainnya, dengan industri sebanyak 564 yang tersebar di seluruh Indonesia. Terbatasnya jenis dan jumlah produk turunan kelapa yang dihasilkan tidak terlepas dari keberadaan industri pengolah produk tersebut. Hingga tahun 2005, jumlah industri pengolah produk kelapa di Provinsi Jambi baru mencapai 26 perusahaan dengan kapasitas 29.276 ton pertahun. Jumlah ini masih tergolong sedikit bila dibandingkan dengan daerah lain seperti Riau, yaitu sebanyak 78 perusahaan dengan kapasitas 85.155 ton pertahun, Sulawesi Utara walau jumlah perusahaan lebih sedikit (24), namun kapasitas produksinya jauh lebih besar, yaitu 197.636 ton pertahun (Deperindag

2009). Rendahnya kapasitas produksi industri perkelapaan Jambi disebabkan karena pada umumnya industri yang ada berskala menengah kebawah, dan sebagian besarnya merupakan industri kecil.

Peningkatan pengembangan produk-produk turunan kelapa, selain akan meningkatkan nilai tambah, menambah lapangan pekerjaan baru dan juga terbukti mampu meningkatkan devisa. Pada tahun 2007, dengan bertambahnya jenis produk kelapa yang diekspor telah meningkatkan nilai ekspor dari rata-rata tahun sebelumnya sebesar US$ 2.710.770 menjadi US$ 44.371.763. Namun pada tingkat petani, pemasaran kelapa masih belum menguntungkan. Adanya praktek pasar monopsoni dari pihak pabrik kelapa dan pedagang kopra yang menentukan harga sepihak. Disamping itu, tingginya harga pupuk dan rendahnya harga kopra serta berfluktuasinya harga yang tidak menentu mengakibatkan rendahnya minat petani dalam meningkatkan produktivitas kelapa (Brotosunaryo 2003).

1.2 Perumusan Masalah

Sebagai komoditi unggulan, peranan komoditi kelapa dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional relatif masih belum optimal, namun pada daerah tertentu dukungan komoditi ini untuk pertumbuhan ekonomi sangat signifikan, terutama pada daerah sentra usahatani kelapa. Seperti halnya di Provinsi Jambi, pada tahun 2008 kontribusi ekspor kelapa terhadap total ekspor daerah mencapai 4,48 persen atau senilai US$ 53,33 juta (BPS Jambi 2009).

Dengan demikian pengembangan komoditi kelapa harus dipandang sebagai kepentingan nasional sebagaimana pengembangan komoditas unggulan lainnya, mengingat komoditi ini memiliki pangsa pasar yang besar, baik ditingkat domestik maupun internasional dan juga merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat. Terabaikannya pengembangan usahatani kelapa dewasa ini menjadikan rendahnya nilai tambah komoditi kelapa sehingga tidak mampu berkontribusi pada peningkatan pendapatan petani. Sebagaimana hasil studi yang dilaksanakan di sentra-sentra produksi kelapa di Indonesia oleh Tarigans (2002), bahwa kehidupan keluarga petani kelapa secara umum sampai saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini sebagaimana terjadi pada daerah sentra usahatani kelapa di Propinsi Jambi, yaitu Kabupan Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur yang 48,98 persen daerahnya merupakan perkebunan

kelapa tingkat kemiskinannya tertinggi di Provinsi Jambi, yaitu 11,80 persen dan 12,35 persen (BPS Jambi 2010). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan petani pada daerah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan petani di daerah lain yang mayoritas sumber penghasilannya perkebunan karet dan sawit.

Upaya peningkatan pendapatan petani kelapa dapat dilakukan dengan adanya perubahan pola usahatani tradional kearah yang lebih efisien dan produktif serta berorientasi pasar, yaitu dengan menerapkan diversifikasi usahatani kelapa baik secara horizontal maupun vertikal (Tarigans 2005). Diversifikasi usahatani secara horizontal selain akan menambah sumber pendapatan bagi petani juga akan semakin mengefisienkan tenaga kerja dan biaya sehingga keuntungan yang diperoleh akan semakin meningkat.

Diversifikasi vertikal dapat mendorong petani memperoleh nilai tambah melalui terbentuknya produk alternatif dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain Virgin Coconut Oil (VCO), Oleo chemical (OC), Desiccated Coconut (DC), Coconut Milk/Crem (CM/CC), Coconut Charcoal (CCL), Activated Carbon (AC), Brown Sugar (BS), Coconut Fiber (CF) dan Cochin Wood (CW), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatannya 5 – 10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual kelap butiran (Deptan 2009).

Keberhasilan pengembangan usaha pengolahan komoditi kelapa menurut Ulrich dan Eppinger (2001) sangat ditentukan oleh kualitas produk, biaya produk, waktu pengembangan, biaya pengembangan, dan kapabilitas pengembangan. Kualitas produk menentukan pangsa pasar dan harga yang ingin dibayar oleh pelanggan. Biaya produk menentukan berapa besar laba yang dihasilkan pada volume penjualan dan harga penjualan tertentu. Waktu pengembangan menentukan kemampuan dalam berkompetisi, perubahan teknologi, dan kecepatan pengembalian ekonomis. Biaya pengembangan merupakan komponen yang penting dari investasi yang dibutuhkan untuk mencapai profit. Kapasitas pengembangan merupakan aset yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk dengan lebih efektif dan ekonomis di masa yang akan datang. Dengan

demikian produk yang dikembangkan mampu berdaya saing baik di pasar domestik maupun internasional, sebagaimana yang diharapkan dalam arah kebijakan pengembangan agribisnis kelapa dalam jangka panjang, yaitu mewujudkan agribisnis kelapa yang berdaya saing dan berkeadilan yang dapat memberikan tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan bagi pelaku usahanya.

Implikasi yang diharapkan dari pengembanga usaha pengolahan produk turunan kelapa adalah adanya peningkatan pendapatan petani secara signifikan. Untuk itu keberadaan petani dalam agribisnis kelapa harus berperan sebagai pelaku usaha itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan baik secara finansial maupun manajerial dalam menjalankan usaha tersebut. Menurut Darwanto (dalam PERHEPI 2011), Peningkatan kemampuan petani dapat dilakukan melalui penguatan kelembagaan ditingkat kelompok tani yang selanjutnya dapat dilakukan dengan membina lembaga koperasi atau Lembaga Usaha Milik Petani (LUMP) yang pada prakteknya tidak hanya mengolah cadangan pangan, tetapi juga dapat melakukan kegiatan yang mendukung usaha petani, seperti pengadaan saprotan maupun usaha pengolahan hasil.

Dengan demikian perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap ketangguhan usaha pengolahan produk turunan kelapa dalam lingkup produksi dan dalam menghadapi persaingan pasar serta tingkat kemampuannya pada kondisi yang dinamis atas nilai investasi yang ditanamkannya dalam menghasilkan keuntungan usaha atau memiliki manfaat yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkannya sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan. Sebagaimana dikatakan oleh Rustiadi et al. (2009), bahwa pemilihan pengembangan suatu komoditi atau aktivitas ekonomi (proyek) harus didasarkan pada analisis biaya dan manfaat. Apabila suatu proyek manfaatnya melebihi biayanya maka proyek tersebut bisa diterima, jika tidak maka proyek tersebut harus ditolak.

Berdasarkan latar belakang di atas maka berbagai permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah usaha pengolahan produk turunan kelapa layak dikembangkan secara finansial di Provinsi Jambi?.

2. Bagaimana pembiayaan modal usaha pengolahan produk turunan kelapa yang akan dikembangkan melalui badan usaha koperasi di Provinsi Jambi?.

3. Apakah pengembangan usaha pengolahan produk turunan kelapa dapat memperbaiki perekonomian petani kelapa di Provinsi Jambi?.

4. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan usaha pengolahan produk turunan kelapa di Provinsi Jambi?.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, ada pun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan finansial usaha pengolahan produk turunan kelapa sebagai dasar pengembangan usaha tersebut di Provinsi Jambi.

2. Mengestimasi pembiayaan modal usaha pengolahan produk turunan kelapa berdasarkan badan usaha koperasi

3. Menganalisis dampak pengembangan usaha pengolahan produk turunan kelapa terhadap perekonomian petani kelapa di Provinsi Jambi.

4. Mengindentifikasi hambatan yang dihadapi dalam pengembangan usaha pengolahan produk turunan kelapa di Provinsi Jambi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai acuan bagi petani, pengusaha maupun pemerintah dalam mengembangkan usaha pengolahan produk turunan kelapa di Provinsi Jambi sebagai upaya untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Usaha pengolahan produk turunan kelapa yang menjadi objek pada penelitian atau yang akan dikembangkan melalui Lembaga Usaha Milik Petani (LUMP) ini adalah industri minyak goreng, industri sabut kelapa dan arang tempurung. Mengingat keterbatasan waktu dan dana, maka penelitian difokuskan pada daerah Tanjung Jabung Barat. Pengembangan usaha didasarkan pada kelayakan usaha secara finansial berdasarkan kriteria-kriteria seperti Pay Back Period (PBP), Net Presen Value (NPV), Internal Rate Of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio).

Dokumen terkait