• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN KOMPLIT DAERAH D-LOOP MITOKONDRIA (mtDNA D-LOOP)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Runutan DNA mitokondria (mtDNA) telah direkomendasikan menjadi penanda genetik yang kuat untuk memahami keragaman genetik (Tamura dan Nei 1993) untuk mengidentifikasi tetua liar, proses domestikasi dan asal-usul geografi sehingga dapat digunakan untuk merunut evolusi genetik berdasarkan garis keturunan maternal (Zink and Barrowclough 2008). Pemisahan keturunan mtDNA dalam populasi ternak dapat terjadi melalui domestikasi dari induk liar atau melalui penyatuan induk ke dalam bibit yang sudah didomestikasi (FAO 2007).

Secara umum, mutasi yang ditemukan pada mtDNA berupa SNPs yang merupakan substitusi nukleotida yang unik yang spesifik dalam populasi tertentu sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan keunikan individu dalam suatu kelompok. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang ditemukan pada segment parsial mtDNA D-loop dengan panjang kurang dari 600 bp (HV-I) secara luas telah digunakan dalam analisis struktur populasi, hubungan kekerabatan dan sejarah domestikasi ayam (Fumihito et al. 1996; Niu et al. 2002; Nishibori et al. 2005; Liu et al. 2006b; Guan et al. 2007; Gongora et al. 2008; Kanginakudru et al. 2008; Muchadeyi et al. 2008; Sulandari et al. 2008; Sulandari dan Zein 2009; Dana et al. 2010; Sawai et al. 2010; Cuc et al. 2011; Storey et al. 2012; Langford et al. 2013; Pramual et al. 2013, Yacoub dan Fathi 2013). Namun demikian, perbedaan penggunaan segment mtDNA ternyata memberikan hasil penemuan haplogroup yang berbeda yang kemungkinan disebabkan adanya perbedaan variasi nukleotida. Liu et al. (2006b) menemukan 9 haplogroup mtDNA D-loop ayam, yaitu A-I yang selanjutnya digunakan secara umum sebagai dasar dalam penelitian struktur populasi dan sejarah domestikasi ayam (Gongora et al. 2008; Kanginakudru et al. 2008; Muchadeyi et al. 2008; Dana et al. 2010; Sawai et al. 2010; Cuc et al. 2011; Storey et al. 2012; Langford et al. 2013). Pemilihan daerah mtDNA yang lebih panjang yang dilakukan oleh Miao et al. (2013) menghasilkan 12 haplogroup (A-I and W-Y) sebagai koreksi dari haplogroup mtDNA ayam yang ditemukan sebelumnya oleh Liu et al. (2006b). Penggunaan mtDNA D-loop ayam yang lebih panjang memungkinkan ditemukannya adanya variasi nukleotida-nukleotida yang lain yang bermanfaat bagi segregasi haplotype dan haplogroup (Storey et al. 2012) dan Kawabe et al. (2014).

Berdasarkan analisis parsial mtDNA D-loop (397 bp), Sulandari et al. (2008) dan Sulandari dan Zein (2009) juga menemukan sebagian besar rumpun (breed) ayam Indonesia yang diteliti mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Namun demikian, penelitian tersebut tidak menyertakan ayam asli Indonesia yang langka seperti bekikuk (Bkk), burgo (BRG), leher gundul (legund, GUN), sumatera (SUM) dan walik (WLK) dan juga ayam Indonesia yang lain seperti ayam kokok- balenggek (kukuak balenggek, AKB) dan gaga’ (GAG).

Ayam bekisar (BkSr) (Gambar 1 dan 4) dikategorikan sebagai ayam pesuara (crowing chicken) bersama dengan ayam gaga (GAG), kukuak balenggek (AKB)

dan pelung (PLg) yang masing-masing berasal dari kabupaten Sidrap (Sulawesi Selatan), Solok (West Sumatera) dan Cianjur (Jawa Barat). Ayam bekisar (BkSr) memiliki tipe suara pendek yang menyerupai suara AHH. Ayam pelung (PLg) memiliki tipe suara lambat dan panjang (long crowing) yang mudah untuk dibedakan dengan ayam pesuara yang lain. Namun demikian, berdasarkan analisis parsial DNA mitokondria (mtDNA) displacement-loop (D-loop), (Sulandari et al. 2008) menemukan PLg identik dengan ayam Indonesia yang lain. Ayam kukuak balenggek (AKB) juga diperkirakan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan GAG karena memiliki kemiripan pola suara yang cepat (rapid-crowing pattern) (Bugiwati dan Ashari 2014). Pembentukan tipe suara yang baru untuk tujuan kontes sudah banyak dikembangkan oleh peternak ayam pesuara Indonesia untuk meningkatkan minat konsumen terhadap ayam pesuara, terutama banyak ditemukan pada GAG. Kondisi sosial dan budaya lokal telah terbukti berpengaruh terhadap keragaman fenotipe dan genetik ayam (Komiyama et al. 2004). Oleh karena itu, diperkirakan terdapat hubungan kekerabatan yang dekat antar ayam pesuara Indonesia. Namun data molekuler yang menjelaskan hubungan kekerabatan antar ayam pesuara Indonesia dan antar ayam pesuara dengan ayam Indonesia yang lain saat ini belum tersedia sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Pada kategori ayam asli Indonesia yang langka untuk tujuan pertunjukan, SUM (Gambar 1) pada awalnya dikenal sebagai ayam petarung, namun saat ini SUM dikategorikan sebagai ayam untuk tujuan pertunjukan penampilan (ornamental) dan penghasil pangan. Pada abad ke delapan belas (18), SUM diduga dibawa ke India, Eropa dan Amerika bersama-sama dengan ayam black java (BJ) atau kedu hitam (KDh) (Bennet 1856; Cooper 1869; Finsterbusch 1929; Eukarius 2007; Roberts 2008) dan selanjutnya tercantum dalam American Poultry Association Standard of Perfection pada tahun 1883 dan diberi nama black sumatera (BS) pada tahun 1906 (Eukarius 2007; Roberts 2008; The American Poultry Association 1956, 2010). Di sisi lain, berdasarkan wilayah geografi asalnya, SUM kemungkinan mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan ayam asli Indonesia yang lain yang berasal dari pulau Sumatera seperti AKB, BRG, GUN dan WLK. BRG merupakan hasil perkawinan antara ayam hutan merah sumatera (AHM, Gallus gallus spadiceus) dengan ayam kampung. Berdasarkan karakteristik fenotipenya (Sartika dan Iskandar 2007), BRG mempunyai kemiripan dengan AKB. Mengingat AKB mempunyai karakterstik pola suara yang sama dengan GAG (Bugiwati dan Ashari 2014), diperkirakan AKB dan GAG kemungkinan juga mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan BRG dan SUM. Penyediaan data molekuler dari ayam lokal Indonesia akan menjelaskan hubungan kekerabatan ayam lokal Indonesia dan juga kontribusi AHH dan AHM dalam proses domestikasi ayam di dunia, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, karena memiliki gen-gen mayor seperti Na pada GUN dan gen F pada WLK menyebabkan masing-masing ayam tersebut tidak mempunyai bulu di bagian leher dan mempunyai bulu terbalik. Menurut Roberts (2008) ayam yang tdk mempunyai bulu di leher dan ayam yang memiliki bulu terbalik di Inggris dikategorikan sebagai ayam yang memiliki karakteristik khusus. Adanya gen Na pada GUN dan F pada WLK menyebabkan GUN dan WLK mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap iklim tropis dan menghasilkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ayam berbulu normal (Yalḉin et al. 1997; Deeb dan Cahaner 1999; Yunis dan Cahaner 1999; Nwachukwu et al.

23

2006; Mahrous et al. 2008). Kontribusi gen ayam introduksi terutama ayam ras komersial diperkirakan juga terjadi pada ayam GUN dan WLK (Jakaria et al. 2012, Ulfah et al. 2012) dan juga ayam Indonesia yang lain (Sulandari et al. 2008). Di Indonesia, GUN dan WLK belum dimanfaatan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini melakukan nalisis hubungan kekerabatan antara ayam GUN, WLK dengan ayam Indonesia yang lain berdasarkan sekuen mtDNA D-loop. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan dalam penentuan breed ayam Indonesia dan perencanaan program pelestarian dan pengembangan ayam Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1). Memperkirakan keragaman genetik, haplotype dan haplogroup ayam Indonesia, (2). Melakukan determinasi hubungan haplotype antara ayam asli Indonesia yang langka dengan ayam Indonesia yang lain dan ayam hutan (AHH dan AHM), dan (3). Menganalisis aliran genetik (gene flow) dan hubungan kekerabatan ayam asli Indonesia dengan ayam-ayam dari negara- negara lain di dunia.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan dalam penentuan breed ayam Indonesia, pemanfaatan dan pengembangannya dan perencanaan program pelestariannya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi pemahaman kontribusi ayam hutan Indonesia dalam proses domestikasi ayam di Indonesia dan di dunia.

Dokumen terkait