• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan jumlah penduduk dari waktu ke waktu menyebabkan permintaan akan bahan pangan berprotein juga meningkat dan perlunya jaminan ketersediaan kebutuhan pangan, yakni melalui pembangunan pertanian untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian secara berkelanjutan yang seiring dengan laju pertambahan penduduk bisa ditempuh, salah satunya melalui pengembangan sektor perikanan. Sektor perikanan ini masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai penyedia pangan khususnya pangan berprotein. Hal ini sejalan dengan Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (RENSTRA KKP) 2010-2014, bahwa guna mendukung peningkatan katahanan pangan dan revitalisasi perikanan, maka KKP akan meningkatkan ketersediaan bahan pangan dalam negeri, termasuk ketersediaan ikan untuk konsumsi masyarakat dari 30.47 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 38.67 kg/kapita/tahun pada tahun 2014, dengan sasaran produksi perikanan dari 10.76 juta ton pada tahun 2010 menjadi 22.39 juta ton pada tahun 2014 (KKP 2010).

Potensi produksi perikanan nasional mencapai 65 juta ton per tahun dan dari potensi tersebut hingga saat ini baru dimanfaatkan sebesar ± 8 juta ton. Sedangkan potensi budidaya perikanan Indonesia mencapai 57.7 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 23% atau memberikan kontribusi sebesar 68.54% dari total produksi perikanan nasional tahun 2013 (BPS 2014). Usaha budidaya perikanan mengalami peningkatan yang signifikan, yakni dari 5.4% ditahun 2007 menjadi 23% ditahun 2013 (KKP 2010; BPS 2014). Berdasarkan potensi tersebut maka budidaya perikanan di Indonesia diperkirakan akan tetap mengalami peningkatan yang signifikan di tahun-tahun yang akan datang dan sinergi dengan peningkatan permintaan akan bahan pangan hewani berprotein.

Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu produsen perikanan budidaya dunia. Secara umum, trend perikanan budidaya dunia terus mengalami kenaikan, sehingga masa depan perikanan dunia akan terfokus pada pengembangan budidaya perikanan (KKP 2010). Meningkatnya kegiatan usaha budidaya perikanan ini sudah tentu memberikan dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup.

Dampak positif yang diberikan dapat berupa ketersediaan bahan pangan berprotein dan terbukanya lapangan pekerjaan serta peningkatan kesejahteraan. FAO (2011) menyatakan bahwa dampak positif budidaya ikan adalah memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan pangan global, yakni menyediakan sekitar 45.6% dari produksi perikanan. Sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah terlampauinya daya dukung perairan, terganggunya kehidupan organisme perairan, bahkan menimbulkan pencemaran perairan akibat meningkatnya limbah budidaya yang bersifat organik yang berasal dari limbah cair dan lumpur dari feces dan sisa pakan, terjadi salinisasi tanah serta hilangnya vegetasi hutan bakau. Boyd (2003), Naylor et al. (2000), menyatakan bahwa dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran perairan khususnya akibat limbah organik yang berasal dari limbah lumpur/sedimen dari feces dan sisa pakan, baik berupa deplesi oksigen dan eutrofikasi serta blooming alga. KKP (2010) menyatakan bahwa peningkatan produksi perikanan budidaya ini pun tetap

2

berada di bawah ancaman kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, kondisi lingkungan harus benar-benar menjadi perhatian dalam mengawal target produksi ikan sebagai produsen terbesar.

Avnimelech (2006) menyatakan bahwa kegiatan budidaya perikanan dapat menimbulkan suatu masalah intrinsik dari sistem budidaya itu sendiri, karena dapat meningkatkan penumpukan residu, bahan organik dan nitrogen anorganik beracun. Hal ini tidak dapat dihindari karena hanya 20-30% pakan saja yang mampu diasimilasi oleh ikan dan sisanya diekskresikan, dan sebagian lainnya terakumulasi di dalam air. Lebih jelas Avnimelech (2007) menyatakan bahwa salah satu masalah besar kualitas air di sistem budidaya intensif adalah akumulasi jenis nitrogen anorganik beracun dan nitrogen dioksida di dalam air.

Summerfelt et al. (1999) menyatakan bahwa sistem budidaya perikanan kerapkali menghasilkan limbah berupa lumpur yang berasal dari kotoran dan sisa pakan yang belum terolah dan langsung masuk ke dalam perairan terbuka penerima. Limbah cair/lumpur dari kolam ini dapat membahayakan lingkungan perairan penerima karena kandungan bahan organiknya yang tinggi seperti padatan terlarut (sedimen organik) dan nutrien (terutama nitrogen dan fosfat). Keberadaan limbah ini di perairan akan mempercepat terjadinya proses pendangkalan dan peningkatan pencemaran perairan karena kandungan bahan organik yang nantinya akan mengalami proses dekomposisi. Sedangkan nutrien itu sendiri keberadaan di perairan akan mempercepat pengkayaan perairan sehingga dapat memacu terjadinya eutrofikasi.

Kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akan meningkatkan kadar NH3 perairan dan menurunkan pH. Hal ini menunjukkan kondisi perairan yang tidak stabil dan dapat menimbulkan kematian bagi organisme air (Nybakken 1992). Bahan pencemar ini sudah tentu dapat mencemari perairan terbuka penerima dan juga mencemari kembali pada tambak budidaya perikanan karena efek pasang surut.

Raharjo (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia merugikan ikan pada berbagai kondisi. Peneliti lain berpendapat, bahwa amonia beracun untuk ikan yang dibudidayakan adalah pada konsentrasi di atas 1.5 mg/L. Dalam kebanyakan kasus, tingkat yang dapat diterima oleh ikan yang dibudidaya adalah hanya 0.025 mg/L (Neori et al., 2004; Chen et al. 2006).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diupayakan suatu sistem perekayasaan mitigasi lingkungan, yakni dengan melakukan pengendalian air limbah budidaya udang (ALBU) yang berbasis pendekatan bioengineering dan fitoremediasi yang murah dan mudah penanganannya, yakni dengan menerapkan pengolahan ALBU dengan sistem lahan basah buatan (LBB) dengan memanfaatkan kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L). Upaya ini diharapkan mampu memberikan solusi mitigasi lingkungan berupa pengendalian ALBU yang murah, mudah, efektif dan ramah lingkungan, sehingga para pelaku budidaya yang sebagian besar adalah usaha skala kecil dan menengah dapat menerapkan teknologi tersebut.

Penerapan sistem LBB dipilih karena telah ditemukan bahwa sistem ini efektif dalam pengurangan BOD, SS, N, dan P serta untuk mengurangi pencemar logam, polutan organik, dan patogen (Wang et al. 2010; Crites et al. 2006; Tchobanoglous et al. 2003).

3 Penggunaan rumput vetiver didasari oleh kemampuan rumput ini tumbuh dengan baik pada tempat yang tergenang (wetland area). Menurut Vimala (2004), vetiver mampu bertahan hidup di daerah tergenang dan daerah bersalinitas moderat. Truong et al. (2008) menyatakan bahwa rumput vetiver ini mampu tumbuh di wetland area dan efektif mengurangi air limbah. Rumput vetiver mempunyai karakteristik yang unik karena memiliki kemampuan hidup dengan cakupan kondisi yang sangat beragam dan luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) serta perairan bersalinitas moderat. Vetiver juga merupakan tanaman ramah lingkungan karena sifatnya yang non invasive. Vetiver juga memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kandungan logam berat, persen pengurangan yang tinggi untuk N dan P dari pencemar air organik, serta COD, N, dan P pada air lindi yang berasal dari sampah organik (Truong et al. 2008; Truong dan Loch 2004; Vimala dan Kataria 2004; Truong dan Hart 2001).

Kerangka Pemikiran

Grepin (2010) menyatakan bahwa penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh kegiatan budidaya perikanan itu sendiri. Penurunan kualitas air akibat kegiatan budidaya umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang berasal dari metabolisme dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan yang dibudidayakan. Beban pakan yang diberikan akan menentukan besarnya konsentrasi senyawa nitrogen dan bahan organik yang akan mempengaruhi proses pembaharuan air (Pedersen et al. 2012).

Konversi pakan (KP) menentukan seberapa besar (efisien) ikan mampu mengkonversi pakan menjadi jaringan baru didefinisikan sebagai pertumbuhan yang dilakukan dengan menghitung rasio KP (Stickney 2005). Ini berarti semakin besar nilai konversi pakan maka semakin besar pula limbah (feces) yang akan dihasilkan. Selain itu, sisa pakan yang dihasilkan sangat tergantung pada tingkat efisiensi pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin banyak sisa pakan yang dihasilkan, serta semakin besar pula beban pencemaran yang akan ditimbulkan.

Peningkatan kegiatan budidaya perikanan juga harus diikuti dengan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung keberlanjutan usaha tersebut. Kualitas air yang buruk akan menghasilkan pendapatan yang rendah, produksi ikan yang rendah, kualitas produk yang rendah, dan memiliki potensi resiko kesehatan manusia. Dampak lingkungan yang merugikan dari budidaya perikanan sudah sejak lama menjadi perhatian utama di banyak negara. Diperkirakan bahwa 75-85% dari C, 40-80% dari N dan 65-73% dari masukan P ke dalam sistem lingkungan perairan laut, berkontribusi terhadap pencemaran air dan sedimen (Chu 1996; Wu 1995).

Dampak utama dari kegiatan budidaya perikanan ternyata sangat tergantung pada sistem budidaya yang diterapkan (high-input, high-output, intensive systems). Semakin intensif usaha budidayanya, maka semakin tinggi input. Efek kegiatan ini adalah lepasnya partikulat sedimen tersuspensi dalam bentuk lumpur, nutrient dan bahan organik yang dapat memperkaya perairan penerima dan merubah komunitas bentos, deplesi oksigen serta terjadinya eutrofikasi.

4

Proses penurunan mutu perairan akibat eutrofikasi ini karena masuknya nutrien secara berlebihan ke dalam perairan akibat pergantian air kolam/tambak. Akibatnya pertumbuhan tumbuhan air, ganggang, dan fitoplankton tumbuh pesat hingga blooming, sehingga mengalami kematian secara massal dan membusuk yang akhirnya menghabiskan oksigen terlarut (deplesi oksigen). Emerson (1999) menyatakan bahwa peningkatan limbah budidaya perikanan (aquaculture effluent) juga akan meningkatkan jumlah nutrien di atas batas normal, sehingga kenaikan ini memacu ledakan populasi (blooming) alga di perairan.

Islam (2005) menyatakan bahwa pada tingkat yang cukup tinggi dari konsentrasi anion nutrisi dapat menjadi racun untuk ikan, menyebabkan blooming fitoplankton, dan pertumbuhan yang cepat dari ganggang berfilamen atau macrophytes yang tidak diinginkan. El Deen dan El Guindy (2003) menyatakan bahwa efek yang paling penting dari limbah akuakultur adalah meningkatnya konsentrasi hara dalam perairan alami (hyper-nutrification) dan menyebabkan peningkatan populasi plankton dan mikroba (eutrofikasi).

Sumber nutrisi pakan ikan sebagian besar terbuang, dengan demikian air limbah dari sistem akuakultur yang intensif akan mengandung bahan berupa: padatan (feses dan pakan sisa), limbah metabolik terlarut, nutrisi terlarut dari makanan, kotoran (nitrogen dan fosfat dalam berbagai bentuk kimia) dan biocides serta residu farmasi.

Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini akan dilakukan dalam lima tahapan, yakni pertama, perbanyakan rumput vetiver, seleksi dan adaptasi. Kedua, perancangan desain reaktor (modifikasi) pengolahan ALBU secara resirkulasi yang akan dibandingkan antar desain tersebut untuk sistem LBB (constructed wetland). Ketiga, percobaan untuk mengukur efesiensi dan kemampuan bioengineering dan fitoremediasi rumput vetiver dalam mengurangi konsentrasi ALBU dalam desain sistem pengolahan ALBU. Keempat, merancang pemodelan sistem dinamik dan melakukan simulasi menggunakan input model dari penelitian tahapan sebelumnya, guna mendapatkan rancangan desain reaktor pengolahan ALBU yang optimal. Kelima, menghitung kelayakan ekonomis pemanfaatan LBB dalam budidaya udang vaname dan sensitivitas perubahan manfaat privat. Diagram Alir kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1.1.

Rumusan Masalah

Lin dan Yang (2003) menyatakan bahwa kegiatan budidaya perikanan sudah menjadi isu global, dimana upaya pengembangan budidaya perikanan harus menekankan pentingnya lingkungan untuk budidaya perikanan yang berkelanjutan.

Umumnya kegiatan budidaya perikanan di Indonesia belum melakukan pengolahan air limbah (wastewater treatment) dan baru melakukan pengolahan air yang akan digunakan sebagai media budidaya (water treatment). Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kebijakan yang mengarah kepada pengelolaan sumberdaya budidaya perikanan secara berkelanjutan yang didukung oleh IPTEK yang ramah lingkungan.

6

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran

Beban limbah dan nutrien kegiatan budidaya perikanan berupa padatan, N, P, vitamin, mineral, penyakit, bahan kimia, antibiotik, dampak limbah pada bentos, yakni pada keragaman spesies dan komunitas, berubahnya indeks kualitas perairan, menjadi stimulan terjadinya blooming.

Kioussis (2000) menyatakan bahwa perairan alami dapat terkontaminasi, dan kualitasnya menurun karena keluarnya polutan anion hara seperti nitrat, nitrit dan fosfat. NO3-, NO2-, dan PO43- adalah 3 (tiga) senyawa yang umumnya ditemukan dalam pembuangan limbah air dari sirkulasi sistem produksi perikanan budidaya. Selanjutnya Sanz-Lazaro et al. (2011) menyatakan bahwa budidaya ikan mempengaruhi kualitas air, tidak hanya pada parameter fisik, kimia dan biologi tetapi juga pada fungsi ekosistem dari sudut pandang trofik, khususnya yang mempengaruhi rantai makanan dan keseimbangan antara kelompok trofik. Dinamika particulate organic carbon (POC), particulate organic nitrogen (PON)

7 dan total phosphorus (TP) mencerminkan keadaan fisiko-kimia sedimen yang berdampak terhadap kelompok bentik (benthos).

Mengingat hal tersebut, seharusnya Indonesia juga mulai mengembangkan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan (usaha budidaya ramah lingkungan), yakni dengan cara melakukan pengendalian limbah budidaya perikanan termasuk ALBU. Indonesia sebagai salah satu produsen perikanan budidaya dunia, jika pengembangan budidaya ikannya dilakukan secara berkelanjutan, maka produk hasil perikanan kita dapat diterima oleh dunia internasional. Hingga tahun 2007, posisi produksi perikanan budidaya Indonesia di dunia berada pada urutan ke-4 (KKP 2010).

Upaya pengendalian ALBU sudah banyak dikembangkan, seperti melakukan penambahan mikroba positif untuk membantu memperbaiki kualitas air kolam, sistem

biofilter (misalnya: active suspension ponds, rotating biology filter), resirkulasi (recirculation aquaculture system/RAS) dan biofiltrasi, teknologi bioflok, fitoremediasi dengan tanaman hidroponik, bioremediasi, kombinasi dari beberapa metode (desain sistem pengolahan limbah budidaya perairan seperti particle traps, sludge collectors, rotating screen filter, trickling biological filter dan oxygen injection) dan metode lainnya (Ray 2010; Avnimelech dan Malka 2009; Schryver et al. 2008; Crab et al. 2007; Pan et al. 2007; Avnimelech 2006; True et al. 2004; Piedrahita 2003; Ridha dan Cruz 2001; Dumas et al. 1998; Twarowska et al. 1997). Namun demikian teknologi tersebut ternyata belum banyak diterapkan khususnya oleh pelaku budidaya ikan skala menengah dan kecil. Argumentasi yang dapat dikemukakan adalah karena umumnya teknologi tersebut memerlukan tenaga dan keahlian khusus, akan menambah biaya produksi yang signifikan dan biasanya membutuhkan perawatan khusus.

Penerapan metode pengendalian ALBU harus memenuhi kriteria sebagai berikut: murah, mudah, efektif dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah dengan metode LBB. Penelitian yang terkait dengan penerapan LBB untuk pengendalian limbah perikanan ditunjukkan pada berbagai spektrum kajian; LBB (vertical flow wetland/VFW dan horizontal flow wetland/HFW=sub surface flow/SSF) dengan sistem resirkulasi untuk menghilangkan dan menstabilkan limbah terutama lumpur yang berasal budidaya ikan (Summerfelt et al. 1999); LBB mesohaline (salinitas 3-15 ppt) sistem resirkulasi dengan menggunakan Typha latifolia (Tilley et al. 2002); penghilangan nutrien yang terdiri dari free water surface (FWS) dan SSF dengan menggunakan tanaman Ipomoea aquatica, Paspalum vaginatum, Phragmites australis (Lin et al. 2002); LBB 3 kompartemen yang ditanami vegetasi Scirpus acutus, Eleocharis palustris, dan Sparganium emersum yang dilakukan secara off line, yakni dilakukan pemasukan limbah ke dalam LBB selama 2 hari/minggunya (Michael 2003); menilai pengaruh hydraulic loading rates (HLR) yang berbeda terhadap tingkat efisiensi pengolahan LBB sistem SSF (Sindilariu et al. 2008); performa LBB pada perairan payau (brackish water) dengan menggunakan vegetasi Phragmites australis, Spartina alterniflora dan Scirpus mariqueter (Shi et al. 2011).

Berdasarkan kondisi usaha budidaya ikan yang ada, diperlukan upaya-upaya pengendalian ALBU yang lebih mudah, murah, efektif, ramah lingkungan dan tidak memerlukan teknik perawatan khusus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pengendalian ALBU. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

8

1. Apakah disain reaktor pengolahan ALBU sistem lahan basah buatan yang memadukan rumput vetiver (C. zizanioides, L) sebagai pengganti tanaman air mempunyai kemampuan untuk menghilangkan dan menstabilkan pencemar ALBU dari udang vaname (L. vannamei)?

2. Apakah rumput vetiver mampu menghilangkan dan menstabilkan pencemar (NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43-, dan TSS) yang berasal dari air limbah budidaya udang vaname?

3. Apakah model sistem dinamik pengendalian ALBU dengan sistem lahan basah buatan menggunakan rumput vetiver mampu mengendalikan ALBU asal udang vaname secara efektif?

4. Apakah sistem lahan basah buatan yang menggunakan rumput vetiver layak secara ekonomi dan mampu menghadapi ketidakpastian biaya dan manfaat sosial yang terus berubah?

Tujuan

1. Mendisain instalasi pengolahan air limbah budidaya udang vaname dengan memodifikasi sistem lahan basah buatan dengan memadukan rumput vetiver sebagai pengganti tanaman air (aqua plants/wetland plants) yang mempunyai kemampuan untuk menghilangkan dan menstabilkan pencemar yang berasal dari air limbah budidaya perikanan.

2. Mengevaluasi kemampuan sistem LBB-AAP dan sub sistem rumput vetiver dalam menghilangkan pencemar (NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43, dan TSS) yang berasal dari air limbah budidaya udang vaname.

3. Menghasilkan model sistem dinamik Pengendalian Pencemaran perairan akibat aquaculture effluent udang vaname dengan sistem pengendalian menggunakan lahan basah buatan termodifikasi dengan menggunakan rumput vetiver sebagai wetlands plants.

4. Mengetahui kelayakan ekonomi lingkungan dan sensitivitas terhadap perubahan manfaat privat dalam pengembangan usaha budidaya udang vaname dengan memasukkan unit pengolahan LBB-AAP.

Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam upaya pengendalian pencemar asal kegiatan budidaya udang vaname yang murah, mudah dan memiliki efektifitas pengendalian yang sangat baik serta ramah lingkungan.

2. Hasil pemodelan sistem dinamis ini diharapkan dapat memberikan arahan dan masukan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan pengelolaan budidaya perikanan yang ramah lingkungan (khususnya untuk budidaya udang vaname), sehingga pembangunan budidaya perikanan dapat berkelanjutan dan mampu menjaga ketahanan pangan nasional berprotein. 3. Diperolehnya model pengembangan budidaya perikanan yang ramah

lingkungan dan layak secara ekonomi dengan memanfaatkan keunggulan rumput vetiver sebagai penghilangan pencemar asal budidaya udang vaname.

9 Nilai Kebaruan Penelitian

Nilai kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah penerapan desain sistem pengolahan LBB dengan prinsip aliran air permukaan (AAP) bersekat koral pada kondisi mesohaline dan menggunakan rumput vetiver yang ditanam secara hidroponik dan tanam dasar (emergent). Kebaruan metode, penelitian ini menerapkan pendekatan sistem dinamik menggunakan software VENSIM PLE 6.3 dan dikombinasikan dengan metode eksperimen. Kebaruan pendekatan sistem dinamik, berupa penerapan model sistem dinamik pengelolaan budidaya udang vaname sistem resirkulasi dan model analisis ekonomi dengan memasukkan nilai eksternalitas. Kebaruan lainnya, membuat metode pengambilan keputusan dalam penentuan alternatif terbaik dari hasil eksperimen dengan melibatkan empat alternatif dan enam parameter uji, yakni dengan Rank and Percentile (RaP) termodifikasi.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Udang Percobaan

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan udang introduksi yang berkembang sejak tahun 2000. Udang ini merupakan komoditas alternatif setelah merebaknya serangan penyakit pada budidaya udang windu (Penaeus monodon). Berdasarkan ilmu taksonomi, tata nama udang vaname adalah (Holthuis, 1980):

Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : L. vannamei

Udang vaname membutuhkan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal (Haliman dan Dian, 2008), oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan air untuk mempertahankan kualitas air yang layak dan stabil bagi pertumbuhan udang (Adiwidjaya et al. 2008). Pengamatan dan pengukuran kualitas air sebagai faktor pembatas harus dilakukan secara rutin, agar udang tumbuh secara optimal dan terhindar dari infeksi penyakit.

Budidaya Udang Vaname

Udang vaname (L. vannamei) merupakan komoditi introduksi dari Amerika Latin yang banyak diminati karena memiliki keunggulan seperti lebih tahan terhadap penyakit, pertumbuhan cepat, sintasan selama pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakan rendah serta mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensial sebagai penghasil devisa negara. Sejak tahun 2000 yang lalu udang ini sudah dibudidayakan setelah menurunnya produksi udang windu (Penaeus monodon) (Utoyo dan Tangko 2008; Haryanti et al.2005). Menurut Adiwidjaya et al. (2008), udang vaname masih dapat dikembangkan di hampir semua lahan pertambakan mulai dari salinitas 0 hingga di atas 40 ppt.

Budidaya udang vaname (L. vannamei) secara teknis meliputi persiapan tambak, persiapan air media pemeliharaan, penebaran benur, manajemen kualitas air, manajemen pakan, manajemen dasar tambak dan pemanenan. Dengan melaksanakan semua kegiatan ini dengan benar, maka akan tercapai pertumbuhan yang optimal (SOP BLUPPB 2013). Kegiatan budidaya udang vaname selama penelitian mengacu pada SOP yang dimiliki oleh BLUPPB Karawang dan hanya melakukan modifikasi dari sistem tertutup ke sistem resirkulasi. Pola budidaya yang diterapkan dalam percobaan skala percontohan ini adalah semi intensif, dengan padat tebar 100 ekor/m2. Ukuran benur yang ditebar adalah PL-10 dan dipelihara selama 85 hari dengan sistem budidaya adalah sistem resirkulasi budidaya perairan (RAS). RAS baru dijalankan setelah 30 hari pemeliharaan agar benur udang yang dipelihara sudah kuat dan tidak mudah tersedot oleh pompa

11 resirkulasi. Sistem RAS ini dilakukan dengan menggunakan pompa dasar (submersible pump) dan untuk mengatur aliran/debit air digunakan stop kran yang dipasang pada masing-masing unit percobaan. RAS mendaur ulang air dengan melewatkan air limbah udang vaname melalui biofilter untuk menghilangkan limbah udang dan sisa pakan dan kemudian disirkulasikan kembali ke dalam kolam. Siklus ini menghemat air dan memperbaiki kualitas air kolam, bahkan tanaman yang digunakan sebagai biofilter dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos. Turcios dan Papenbrock (2014); Timmons dan Ebeling (2010); Martan (2008); Rakocy et al. (2006), kasus lain RAS menggunakan sistem aquaponics, yakni sistem produksi pangan yang menggabungkan budidaya konvensional dengan hidroponik, yakni budidaya tanaman sayur-sayuran dalam air.

Budidaya konvensional ataupun sistem tertutup (tanpa pergantian air), memiliki kelemahan di antaranya adalah ekskresi dari udang yang dibudidayakan terakumulasi dalam air dan meningkatkan toksisitas air. Dalam RAS, air dari sistem budidaya diumpankan ke sistem biofilter dan limbah tersebut diuraikan oleh bakteri menjadi amonium dan nitrat yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman sebagai nutrisi. Air ini kemudian diresirkulasi kembali ke sistem akuakultur. Budidaya udang vaname ini dimaksudkan untuk memproduksi air limbah dari feses dan sisa pakan. Briggs dan Funge-Smith (1994), menyatakan bahwa 95% nitrogen dalam kolam dan 71% fosfor berasal dari pemberian pakan dan pemupukan. Air limbah budidaya udang vaname tersebut kemudian diolah melalui unit lahan basah buatan dengan sistem aliran air permukaan (LBB-AAP) dan air hasil pengolahan LBB-AAP diresirkulasikan ke tandon pengendapan, stabilisasi dan kolam.

Air Limbah Budidaya Perikanan

Aktivis lingkungan hidup dan ilmuwan telah banyak menyatakan bahwa kegiatan budidaya perairan telah menjadi kekhawatiran/keprihatinan yang cukup besar karena memiliki dampak signifikan pada lingkungan dan sumber daya alam (Boyd 2003). Hal ini karena kegiatan budidaya ikan akan menghasilkan limbah

Dokumen terkait