• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan Basah Buatan Sebagai Sistem Pengolah Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Kondisi Mesohaline

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lahan Basah Buatan Sebagai Sistem Pengolah Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Kondisi Mesohaline"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

LAHAN BASAH BUATAN SEBAGAI SISTEM PENGOLAH

AIR LIMBAH BUDIDAYA UDANG VANAME (

Litopenaeus

vannamei

) PADA KONDISI

MESOHALINE

SYAFRUDIN RAHARJO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Lahan Basah Buatan sebagai Sistem Pengolah Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Mesohaline adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

SYAFRUDIN RAHARJO. Lahan Basah Buatan sebagai Sistem Pengolah Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Mesohaline. Dibimbing oleh Suprihatin, Nastiti S. Indrasti dan Etty Riani.

Budidaya udang membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak dengan persyaratan kualitas air yang sangat baik. Namun sisi lain, ketersediaan air dengan kualitas sangat baik semakin berkurang, sementara budidaya udang harus dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pengolahan air limbah budidaya udang (ALBU) adalah hal yang harus dilakukan. Teknologi yang murah, mudah dan efektif dalam pengendalian ALBU adalah teknologi lahan basah buatan (LBB). Sistem LBB memadukan penggunaan tanaman dan aktivitas mikroba. Rumput vetiver (C. zizanioides, L) berpotensi digunakan dalam sistem LBB karena vetiver mempunyai kemampuan hidup dalam cakupan kondisi yang sangat beragam, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kualitas air serta perairan bersalinitas. Rumput vetiver juga memiliki kemampuan penyerapan yang tinggi untuk N dan P.

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu desain sistem lahan basah buatan tipe aliran air permukaan untuk pengolahan air limbah budidaya udang vaname yang ramah lingkungan. Penelitian dilakukan dengan cara studi pustaka, percobaan, pengamatan langsung di lapangan dan di laboratorium, pendekatan model sistem dinamik dan memperhitungkan model kelayakan ekonomi lingkungan.

Rumput vetiver yang ditanam di dalam LBB-AAP digunakan sebagai media fitoremediasi untuk air limbah asal budidaya udang vaname. Indikator mampu tidaknya tumbuhan melakukan penghilangan limbah dari tambak yang terkontaminasi adalah dengan melihat pertumbuhan dan kemampuan mengambil pencemar oleh rumput vetiver pada kondisi mesohaline. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama penelitian terjadi pertumbuhan yang diindikasikan dengan bertambahnya jumlah tunas rumput vetiver dari rata-rata tiga tunas menjadi 25 tunas dan adanya pertambahan tinggi tanaman rumput vetiver hingga mencapai 4.5 kali lipat dari tinggi awal tanam. Rumput vetiver masih mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas mesohaline, ditunjukkan dengan tingkat korelasi yang rendah antara pertambahan jumlah tunas versus tingkat salinitas mesohaline (R=0.363), begitu pula dengan pertambahan tinggi tanaman versus tingkat salinitas mesohaline (R=0.599). Kemampuan rumput vetiver per m2 per hari atau sebanding dengan 18 rumpun rumput vetiver mampu mengambil pencemar NO3- sebanyak 853.44 mg, NH4 sebanyak 1 461.51 mg, dan P sebanyak

1 155.72 mg. Serapan NH4+ oleh rumput vetiver lebih tinggi dibandingkan dengan

NO3-, ini karena rumput vetiver lebih memilih sumber nitrogen dari NH4+.

(6)

digunakan dalam penelitian adalah pasir-koral (sirtu). Permeabilitas sirtu diestimasi sebesar 2.57x10-4 m/detik atau setara dengan 22.22 m/hari. Ini menunjukkan bahwa penggunaan sirtu sebagai media tanam dan media tumbuh mikroba sudah memadai.

Performa penghilangan pencemar yang diamati, yakni NH3, NH4+, NO2-,

NO3-, PO43- dan TSS masing-masing nilainya sebesar 37–44%, 42–52%, 51–91%,

59–78%, 14–18% dan 24–37%. Hasil perhitungan RaP terhadap semua parameter, yakni NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43- dan TSS, diperoleh bahwa tipe desain terbaik

yang dapat dikembangkan sebagai media penghilangan pencemar adalah LBB-AAP sistem Hidroponik. Namun demikian tipe desain lainnya tetap bisa diterapkan untuk pengendalian air limbah budidaya udang vaname dengan melakukan perubahan-perubahan tertentu.

Model penghilangan nitrogen dalam sistem budidaya udang vaname sistem RAS dengan kondisi mesohaline disimulasikan dengan menggunakan program simulasi VENSIM PLE versi 6.3, dan untuk eliminasi nitrogen dilakukan dengan struktur pemodelan berlapis. Simulasi difokuskan untuk melihat dinamika kualitas air khususnya TAN dan NOx yang merupakan produk sampingan dari kegiatan

budidaya udang vaname akibat feses dan sisa pakan yang mengalami penguraian dan oksidasi oleh bakteri. Hasil perhitungan kesalahan dari nilai rata-rata (Ei)

diperoleh bahwa nilai validasi TAN sebesar 2.38% dan NOx sebesar 2.43%. Hal ini menunjukkan bahwa model sistem dinamik yang dibangun dapat mewakili kondisi kegiatan budidaya udang vaname yang sebenarnya karena nilai persentase kesalahan <10%. Budidaya udang vaname sistem RAS memberikan manfaat lebih besar terhadap peningkatan mutu air, yakni dengan terjadinya penurunan konsentrasi TAN dan NOx di dalam kolam pemeliharaan jika dibandingkan dengan sistem tertutup (closed system). Sistem RAS mampu menurunkan sebanyak empat kali lipat dibandingkan dengan sistem tertutup. Analisis nilai manfaat investasi LBB-AAP disimulasikan untuk melihat pengaruh nilai eksternalitas positif dan negatif, baik yang bersifat langsung dan tidak langsung terhadap kelayakan usaha budidaya udang vaname. Hasil simulasi model, nilai NPV setelah jangka waktu 10 tahun memberikan keuntungan kumulatif positif sebesar Rp4 025 350 656 dan nilai BCR sebesar 1.62. Hasil analisis sensitivitas ekonomi menunjukkan bahwa skenario perhitungan keuntungan yang diperoleh dari produksi udang vaname masih kuat menghadapi penurunan harga udang sebesar 30% dan peningkatan suku bunga bank sebesar 10%. Kombinasi keduanya mengurangi keuntungan sebesar 37% dari keuntungan proyeksi.

Kemampuan penghilangan pencemar asal kegiatan budidaya udang vaname oleh LBB-AAP yang dikombinasikan dengan kemampuan fitoremediasi rumput vetiver merupakan upaya mitigasi lingkungan yang mudah, murah dan efisien serta mampu menjaga kelangsungan kegiatan usaha budidaya udang vaname yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun ekonomi.

(7)

SUMMARY

SYAFRUDIN RAHARJO. Constructed Wetland as Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei) Farm’s Wastewater Treatment System in Mesohaline Condition. Supervised by Suprihatin, Nastiti S. Indrasti, and Etty Riani.

Aquaculture requires high amount of good quality water. However, the availability of the high quality water quality is getting increasingly limited. Furthermore, the global issues push the practice to be sustainable. Therefore, the

treatment of shrimp farm’s wastewater requires to be treated. One of the low-cost,

convenient, and effective methods in conducting the wastewater treatment is by using Constructed Wetlands technology (CWs). The CWs system combines the utilization of plants and microbial activities. Vetiver grass (C. zizanioides, L.) is used in CWs for its high survivability in various environmental conditions caused by the differences of climate, habitat, water quality, and saline water. Vetivier also has high percentage removal of N and P from wastewater.

The objective of this research is designing Constructed Wetlands Flow Water Surface (CWs-FWS) as environmental-friendly treatment method for vaname shrimp farm wastewater. This research was conducted through literature studies, experiments, field and laboratory observations, dynamic model system

approach, and determining its environmental and economic’s feasibility.

The vetiver grass planted in CWs-FWS was utilized as phytoremediation

media for vaname shrimp farm’s wastewater. Its capability was determined by

observing its growth and ability to remove the pollutant in mesohaline condition. Results show that for the period of research, its growth keeps occur, which was

indicated by the increasing number of vetiver grass’ buds from (in average) three

buds into 25, and also by the increasing height of vetiver grass until it reaches 4.5 times its original planted height. The vetiver grass is also able to adapt with the mesohaline salinity condition. This was showed by the low correlation value between the increasing number of buds vs. mesohaline salinity condition

(R=0.363), as with the increasing plant’s height vs. mesohaline salinity condition

(R=0.599). Per m2, the vetiver, which consisted of 18 clumps of grass, is able to remove the NO3-as much as 853.44 mg, NH3 as much as 1 461.51 mg, and P as

much as 1 155.72 mg. The absorption of NH4+ by vetiver is higher than NO3-. This

is because the vetiver tends to choose NH4+ as its nitrogen source.

CWs used in this research were constructed using bamboos, layered with plastic from unused banners. The plastics are made using vinyl/semi-plastic synthetic materials. Vinyl is waterproof and has good permeability properties. The

CWs used are of flow water surface (FWS) type. The material’s (soil’s)

(8)

The observed pollutant removal of NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43- dan TSS

respectively are 37–44%, 42–52%, 51–91%, 59–78%, 14–18% dan 24–37%. The RaP calculation results for parameters such as NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43- and

TSS show that the best design type that can be implemented as the pollutant removal media is CWs-FWS Hydroponic system. However, other design types can also be implemented as treatment methods for vaname shrimp farm wastewater through several modifications.

The nitrogen removal model in vaname shrimp farm using RAS system in mesohaline condition was simulated through VENSIM PLE v6.3 simulation program. For nitrogen elimination, the model used was layered structure model.

The simulation was focused to observe the water quality’s dynamic, especially for

TAN and NOx, which are the byproducts of vaname shrimp farm from the feces

and feed decomposed and oxidized by bacteria. Error value calculation from the

average value (Ei) shows that the TAN’s validation value is 2.38% and NOx‘s

2.43%. This indicates that the constructed dynamic model system can represent

the actual vaname shrimp farming activity’s condition because of its low error

percentage value (<10%).

Farming the vaname shrimp using RAS system provides more benefits for the improvement of water quality because of the high concentration reduction of TAN and NOx’s compared with the closed system. The RAS system is capable of reducing their concentrations four times more than the capability of closed system. Investation benefit analysis of CWs-FWS was simulated to determine the effect of positive and negative externality values, including those affecting directly and indirectly to the feasibility of vaname shrimp farm. Results of the model simulation show the NPV value, after ten years period, with the forecasted positive profit cumulative as much as Rp4 025 350 656 and BCR value of 1.62. Economic sensitivity analysis results show that the profit scenario gained from the vaname shrimp production will still stand strong to face the shrimp’s price drop as much as 30% and 10% increase of bank rates. The combination of both factors drops the profit as much as 37% from the projected profit. The CWs-FWS’ capability to remove the pollutant from vaname shrimp farm, combined with vetiver grass’ phytoremediation ability, produce a convenient, low-cost, and efficient environmental mitigation method, while also maintaining the vaname

shrimp farm’s sustainability, both economically and ecologically.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

LAHAN BASAH BUATAN SEBAGAI SISTEM PENGOLAH AIR

LIMBAH BUDIDAYA UDANG VANAME (

Litopenaeus vannamei

)

PADA KONDISI MESOHALINE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Andes Ismajana, STP MT

(Staf Dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB Bogor)

2. Dr Budi Kurniawan, SSi MEng

(Kasubdit Inventarisasi dan Alokasi Beban Pencemaran Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK)

Penguji pada Sidang Promosi: 1. Dr Andes Ismajana, STP MT

(Staf Dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB Bogor)

2. Dr Budi Kurniawan, SSi MEng

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini

adalah mitigasi lingkungan, dengan judul “Lahan Basah Buatan sebagai Sistem

Pengolah Air Limbah Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) pada

Kondisi Mesohaline”.

Ucapn terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr-Ing Ir Suprihatin selaku ketua komisi pembimbing beserta anggota komisi pembimbing Prof Dr Ir Nastiti S. Indrasti dan Dr Ir Etty Riani, MS yang telah dengan ikhlas dan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik;

2. Rektor dan pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor beserta seluruh staf atas pelayanannya yang baik;

3. Dr Andes Ismajana, S.PT, MT dan Dr Budi Kurniawan, S.Si, M.Eng selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka atas saran dan masukannya;

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa studi S3 melalui BPPS 2010; 5. Rektor Universitas Negeri Papua Manokwari yang telah mengijinkan penulis

mengikuti tugas belajar pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;

6. Ir. Supriyadi, M.Sc selaku Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang dan Ir. Warih Hardanu, M.Sc selaku pendamping lapangan di BLUPPB, serta seluruh staf laboratorium BLUPPB, yang telah membantu penulis selama penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga penulis, terutama kepada istri dan anak-anak, atas doa dan segala pengorbanannya selama ini. Tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan PSL 2010 atas kebersamaan dan kerjasama yang terjalin dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Karakteristik Ikan Percobaan 10

Budidaya Udang Vaname 10

Air Limbah Budidaya Perikanan 11

Dampak Kegiatan Budidaya Ikan/Udang pada Perairan 12

Dampak dan Bahayanya Limbah Organik 13

Pengolahan Air Limbah Budidaya Perikanan (ALBP) 16 Pengolahan ALBP dengan Konstruksi Lahan Basah 16

Fitoremediasi 17

Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) 19

Model dan Pemodelan Sistem 22

Pendekatan Sistem 22

Validasi Model 23

Simulasi Model 23

2. METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian 24

Alat dan Bahan 24

Rancangan Penelitian 24

Metode Pengumpulan Data 24

Peubah yang Diamati 25

Persiapan 25

Rancangan Desain Sistem LBB-AAP 26

Rancangan Percobaan 28

Pembesaran Udang Vaname 28

Pendekatan Sistem 28

Pengembangan Model Sistem Dinamik Pengolahan ALBU dengan

LBB-AAP 29

Pengembangan Model Analisis Ekonomi 30

Diagram Aliran Stok (Struktur Model) 32

Simulasi Model 33

Metode Analisis Data 33

Batasan-Batasan Penelitian 36

(18)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air Budidaya Udang Vaname 38

Pemberian Pakan 45

Pertumbuhan Udang Vaname 46

Pertumbuhan dan Fitoremediasi Rumput Vetiver 47 Pertumbuhan Rumput Vetiver (C. zizanioides, L) dalam Kondisi Mesohaline

47

Pertambahan Jumlah Tunas 47

Pertambahan Tinggi Tanaman 49

Pengambilan Pencemar oleh Rumput Vetiver 51

Transformasi Nitrogen di LBB 53

Transformasi Fosfat di LBB 54

Desain Sistem LBB-AAP 55

Desain dan Konstruksi Sistem LBB-AAP 57

LBB-AAP Emergent Tanpa Sekat 57

LBB-AAP Emergent dengan Sekat 58

LBB-AAP Hidroponik 58

LBB-AAP Hidroponik dan Emergent 59

Desain Inlet dan Outlet LBB-AAP 59

Parameter yang Digunakan 62

Uji Performa LBB-AAP 62

Performa Sistem LBB-AAP 63

Efisiensi Penghilangan Pencemar 63

Efisiensi Penghilangan NH3 63

Efisiensi Penghilangan NH4+ 65

Efisiensi Penghilangan NO2- 66

Efisiensi Penghilangan NO3- 68

Efisiensi Penghilangan PO43- 70

Efisiensi Penghilangan TSS 71

Penentuan Keputusan Desain Terbaik dengan RaP Termodifikasi 72

Model Sistem Dinamik 73

Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan 73

Konseptual Model Sistem Dinamik 74

Implementasi Model Sistem Dinamik 74

Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop) 75

Sistem Simulasi 76

Validasi Model 77

Sub Model Kolam 78

Sub Model LBB-AAP 80

Sub Model Tandon Pengendapan 82

Sub Model Tandon Stabilisasi 84

Simulasi model sistem dinamik sistem RAS budidaya udang

vaname 86

Dinamika Konsentrasi TAN dan NOx 86

Perbandingan Keadaan Konsentrasi TAN dan NOx antara

(19)

Model Analisis Ekonomi 93 Analisis Diagram Lingkar Sebab Akibat (Causal Loop) 94

Struktur model Ekonomi Lingkungan 94

Asumsi Model 94

Analisis Nilai Manfaat Investasi 97

Kelayakan Usaha Budidaya Udang Vaname 100

Analisis Sensitivitas Model Ekonomi 101

Implikasi Kebijakan Penerapan LBB-AAP pada Budidaya

Perikanan 103

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 106

Saran 106

DAFTAR PUSTAKA 108

LAMPIRAN 115

(20)

DAFTAR TABEL

2.1 Laju Pemulihan N dan P oleh Vetiver 19

3.1 Deskripsi tipe desain LBB-AAP 27

3.2 Parameter nilai ekonomi yang diukur di LBB-AAP dan lingkungan 31

3.3 Metode analisis sampel air 33

4.1 Karakteristik kualitas air kunci 44

4.2 Pemberian pakan berdasarkan umur udang 46

4.3 Analisis regresi berganda pertambahan jumlah tunas 48 4.4 Analisis korelasi jumlah tunas dengan umur dan salinitas 48 4.5 Analisis regresi berganda pertambahan tinggi rumput vetiver 49 4.6 Analisis korelasi tinggi dengan umur dan salinitas 50 4.7 Laju eliminasi sistem LBB-AAP dan rumput vetiver 52

4.8 Performa LBB-AAP 62

4.9 Kemampuan penghilangan pencemar sistem LBB-AAP 63 4.10 Perhitungan rangking dan nilai persen untuk masing-masing

parameter 72

4.11 Rekapitulasi hasil RaP dalam penentuan tipe desain terbaik 73 4.12 Nilai parameter model untuk simulasi model 77 4.13 Rata-rata nilai kualitas air kolam untuk validasi 77

4.14 Biaya sosial usaha budidaya udang vaname 98

4.15 Penurunan biaya lingkungan 98

4.16 Manfaat sosial usaha budidaya udang vaname 99 4.17 Pengaruh LBB-AAP terhadap hasil tangkapan ikan per tahun 99 4.18 Rekap hasil analisis finansial jangka waktu 10 tahun 100 4.19 Rekap hasil analisis sensitivitas ekonomi jika taksiran harga udang

turun 102

4.20 Rekap hasil analisis sensitivitas ekonomi jika taksiran suku bunga

(21)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 5

2.1 Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) 20 2.2 Panjang akar vetiver (C. zizanioides, L) bisa mencapai 3 m 20 2.3 Adaptasi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) dalam Wadah

tergenang 21

3.1 Skema pendekatan sistem budidaya udang vaname 29 3.2 Skema pendekatan sistem model analisis ekonomi 30 3.3 Causal Loop Pengolahan ALBU Sistem RAS dengan LBB-AAP 31

3.4 Struktur model vensim 32

4.1 4.2

Variasi DO pagi-sore selama penelitian Variasi pH pagi-sore selama penelitian

39 39 4.3 Hubungan pH dengan DO pagi hari (a) sore hari (b) di Kolam 40

4.4 Variasi Suhu pagi-sore selama penelitian 41

4.5 Variasi Salinitas pagi-sore selama penelitian 41 4.6 Variasi Alkalinitas pagi-sore selama penelitian 42

4.7 Dinamika konsentrasi NH3 (mg/l) 43

4.8 Dinamika konsentrasi NO2- (mg/l) 45

4.9 Dinamika konsentrasi NO3- (mg/l) 45

4.10 Laju pertumbuhan Udang Vaname (ADG: pertambahan bobot udang

harian) 47

4.11 Pola pertambahan jumlah tunas 48

4.12 Hubungan Jumlah tunas dan salinitas terhadap umur rumput vetiver 49

4.13 Pola pertambahan tinggi tanaman 50

4.14 Hubungan Tinggi rumput vetiver dan salinitas terhadap umur 51 4.15 Perbandingan inflow dan outflow dalam LBB-AAP 53 4.16 Perbandingan tingkat eliminasi LBB-AAP dan rumput vetiver 53

4.17 Transformasi nitrogen dalam LBB 54

4.18 Transformasi Fosfat di kolom tanah dan air pada LBB 55

4.19 Desain LBB-AAP tipe emergent tanpa sekat 57

4.20 Desain LBB-AAP tipe emergent dengan sekat 58

4.21 Desain LBB-AAP tipe hidroponik 59

4.22 Desain LBB-AAP gabungan hidroponik dan emergent bersekat 60

4.23 Desain inlet LBB-AAP 61

4.24 Desain outlet LBB-AAP 61

4.25 Tingkat efisiensi penghilangan NH3 pada berbagai tipe desain 64

4.26 Tingkat efisiensi eliminasi NH3 pada berbagai tipe desain LBB-AAP 64

4.27 Perbandingan antara influent dan efisiensi NH3 selama waktu operasi 65

4.28 Tingkat efisiensi penghilangan NH4+ pada berbagai tipe desain

LBB-AAP 66

4.29 Tingkat efisiensi eliminasi NH4+ pada berbagai tipe desain LBB-AAP 67

4.30 Tingkat efisiensi penghilangan NO2-pada beberapa tipe desain

LBB-AAP

(22)

4.31 Tingkat efisiensi eliminasi NO2- pada berbagai tipe desain dan waktu

operasi 68

4.32 Tingkat efisiensi penghilangan NO3-pada berbagai tipe desain

LBB-AAP 69

4.33 Tingkat efisiensi eliminasi NO3- pada berbagai tipe desain dan waktu

operasi 69

4.34 Tingkat efisiensi penghilangan PO43- pada berbagai tipe desain

LBB-AAP 70

4.35 Tingkat efisiensi eliminasi PO43- pada berbagai tipe desain dan waktu

operasi 70

4.36 Tingkat efisiensi penghilangan TSS pada berbagai tipe desain

LBB-AAP 71

4.37 Tingkat efisiensi eliminasi TSS pada berbagai tipe desain dan waktu

operasi 71

4.38 Skema model budidaya udang vaname sistem RAS 74 4.39 Diagram aliran model sistem RAS budidaya udang vana me 75 4.40 Causal loop budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamaei) sistem

resirkulasi 76

4.41 Diagram lingkar sebab-akibat sub model kolam 78

4.42 Diagram aliran stok sub model kolam 79

4.43 Diagram lingkar sebab-akibat sub model LBB-AAP 81

4.44 Diagram aliran stok sub model LBB-AAP 81

4.45 Diagram lingkar sebab-akibat sub model Tandon Pengendapan 83 4.46 Diagram aliran stok sub model tandon pengendapan 83 4.47 Diagram lingkar sebab-akibat sub model tandon stabilisasi 84 4.48 Diagram aliran stok sub model tandon stabilisasi 85 4.49 Diagram aliran stok model budidaya udang vaname sistem resirkulasi 87 4.50 Dinamika konsentrasi TAN di kolam (a) LBB-AAP (b) Tandon

Pengendapan (c) Tandon Stabilisasi (d) 89

4.51 Dinamika konsentrasi NOx di di kolam (a) LBB-AAP (b) Tandon

Pengendapan (c) Tandon Stabilisasi (d) 91

4.52 Perbandingan Konsentrasi TAN antara kolam RAS dan non RAS 92 4.53 Perbandingan Konsentrasi NOx antara kolam RAS dan non RAS 93 4.54 Diagram sebab akibat analisis ekonomi LBB-AAP 94 4.55 Struktur model ekonomi lingkungan budidaya udang vaname dengan

LBB-AAP 97

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

(24)
(25)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan jumlah penduduk dari waktu ke waktu menyebabkan permintaan akan bahan pangan berprotein juga meningkat dan perlunya jaminan ketersediaan kebutuhan pangan, yakni melalui pembangunan pertanian untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian secara berkelanjutan yang seiring dengan laju pertambahan penduduk bisa ditempuh, salah satunya melalui pengembangan sektor perikanan. Sektor perikanan ini masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai penyedia pangan khususnya pangan berprotein. Hal ini sejalan dengan Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (RENSTRA KKP) 2010-2014, bahwa guna mendukung peningkatan katahanan pangan dan revitalisasi perikanan, maka KKP akan meningkatkan ketersediaan bahan pangan dalam negeri, termasuk ketersediaan ikan untuk konsumsi masyarakat dari 30.47 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 38.67 kg/kapita/tahun pada tahun 2014, dengan sasaran produksi perikanan dari 10.76 juta ton pada tahun 2010 menjadi 22.39 juta ton pada tahun 2014 (KKP 2010).

Potensi produksi perikanan nasional mencapai 65 juta ton per tahun dan dari potensi tersebut hingga saat ini baru dimanfaatkan sebesar ± 8 juta ton. Sedangkan potensi budidaya perikanan Indonesia mencapai 57.7 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan sebesar 23% atau memberikan kontribusi sebesar 68.54% dari total produksi perikanan nasional tahun 2013 (BPS 2014). Usaha budidaya perikanan mengalami peningkatan yang signifikan, yakni dari 5.4% ditahun 2007 menjadi 23% ditahun 2013 (KKP 2010; BPS 2014). Berdasarkan potensi tersebut maka budidaya perikanan di Indonesia diperkirakan akan tetap mengalami peningkatan yang signifikan di tahun-tahun yang akan datang dan sinergi dengan peningkatan permintaan akan bahan pangan hewani berprotein.

Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu produsen perikanan budidaya dunia. Secara umum, trend perikanan budidaya dunia terus mengalami kenaikan, sehingga masa depan perikanan dunia akan terfokus pada pengembangan budidaya perikanan (KKP 2010). Meningkatnya kegiatan usaha budidaya perikanan ini sudah tentu memberikan dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup.

(26)

2

berada di bawah ancaman kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, kondisi lingkungan harus benar-benar menjadi perhatian dalam mengawal target produksi ikan sebagai produsen terbesar.

Avnimelech (2006) menyatakan bahwa kegiatan budidaya perikanan dapat menimbulkan suatu masalah intrinsik dari sistem budidaya itu sendiri, karena dapat meningkatkan penumpukan residu, bahan organik dan nitrogen anorganik beracun. Hal ini tidak dapat dihindari karena hanya 20-30% pakan saja yang mampu diasimilasi oleh ikan dan sisanya diekskresikan, dan sebagian lainnya terakumulasi di dalam air. Lebih jelas Avnimelech (2007) menyatakan bahwa salah satu masalah besar kualitas air di sistem budidaya intensif adalah akumulasi jenis nitrogen anorganik beracun dan nitrogen dioksida di dalam air.

Summerfelt et al. (1999) menyatakan bahwa sistem budidaya perikanan kerapkali menghasilkan limbah berupa lumpur yang berasal dari kotoran dan sisa pakan yang belum terolah dan langsung masuk ke dalam perairan terbuka penerima. Limbah cair/lumpur dari kolam ini dapat membahayakan lingkungan perairan penerima karena kandungan bahan organiknya yang tinggi seperti padatan terlarut (sedimen organik) dan nutrien (terutama nitrogen dan fosfat). Keberadaan limbah ini di perairan akan mempercepat terjadinya proses pendangkalan dan peningkatan pencemaran perairan karena kandungan bahan organik yang nantinya akan mengalami proses dekomposisi. Sedangkan nutrien itu sendiri keberadaan di perairan akan mempercepat pengkayaan perairan sehingga dapat memacu terjadinya eutrofikasi.

Kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akan meningkatkan kadar NH3 perairan dan menurunkan pH. Hal ini menunjukkan kondisi perairan yang

tidak stabil dan dapat menimbulkan kematian bagi organisme air (Nybakken 1992). Bahan pencemar ini sudah tentu dapat mencemari perairan terbuka penerima dan juga mencemari kembali pada tambak budidaya perikanan karena efek pasang surut.

Raharjo (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia merugikan ikan pada berbagai kondisi. Peneliti lain berpendapat, bahwa amonia beracun untuk ikan yang dibudidayakan adalah pada konsentrasi di atas 1.5 mg/L. Dalam kebanyakan kasus, tingkat yang dapat diterima oleh ikan yang dibudidaya adalah hanya 0.025 mg/L (Neori et al., 2004; Chen et al. 2006).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diupayakan suatu sistem perekayasaan mitigasi lingkungan, yakni dengan melakukan pengendalian air limbah budidaya udang (ALBU) yang berbasis pendekatan bioengineering dan fitoremediasi yang murah dan mudah penanganannya, yakni dengan menerapkan pengolahan ALBU dengan sistem lahan basah buatan (LBB) dengan memanfaatkan kemampuan fitoremediasi rumput vetiver (C. zizanioides, L). Upaya ini diharapkan mampu memberikan solusi mitigasi lingkungan berupa pengendalian ALBU yang murah, mudah, efektif dan ramah lingkungan, sehingga para pelaku budidaya yang sebagian besar adalah usaha skala kecil dan menengah dapat menerapkan teknologi tersebut.

(27)

3 Penggunaan rumput vetiver didasari oleh kemampuan rumput ini tumbuh dengan baik pada tempat yang tergenang (wetland area). Menurut Vimala (2004), vetiver mampu bertahan hidup di daerah tergenang dan daerah bersalinitas moderat. Truong et al. (2008) menyatakan bahwa rumput vetiver ini mampu tumbuh di wetland area dan efektif mengurangi air limbah. Rumput vetiver mempunyai karakteristik yang unik karena memiliki kemampuan hidup dengan cakupan kondisi yang sangat beragam dan luas, baik terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) serta perairan bersalinitas moderat. Vetiver juga merupakan tanaman ramah lingkungan karena sifatnya yang non invasive. Vetiver juga memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kandungan logam berat, persen pengurangan yang tinggi untuk N dan P dari pencemar air organik, serta COD, N, dan P pada air lindi yang berasal dari sampah organik (Truong et al. 2008; Truong dan Loch 2004; Vimala dan Kataria 2004; Truong dan Hart 2001).

Kerangka Pemikiran

Grepin (2010) menyatakan bahwa penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh kegiatan budidaya perikanan itu sendiri. Penurunan kualitas air akibat kegiatan budidaya umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang berasal dari metabolisme dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan yang dibudidayakan. Beban pakan yang diberikan akan menentukan besarnya konsentrasi senyawa nitrogen dan bahan organik yang akan mempengaruhi proses pembaharuan air (Pedersen et al. 2012).

Konversi pakan (KP) menentukan seberapa besar (efisien) ikan mampu mengkonversi pakan menjadi jaringan baru didefinisikan sebagai pertumbuhan yang dilakukan dengan menghitung rasio KP (Stickney 2005). Ini berarti semakin besar nilai konversi pakan maka semakin besar pula limbah (feces) yang akan dihasilkan. Selain itu, sisa pakan yang dihasilkan sangat tergantung pada tingkat efisiensi pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin banyak sisa pakan yang dihasilkan, serta semakin besar pula beban pencemaran yang akan ditimbulkan.

Peningkatan kegiatan budidaya perikanan juga harus diikuti dengan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung keberlanjutan usaha tersebut. Kualitas air yang buruk akan menghasilkan pendapatan yang rendah, produksi ikan yang rendah, kualitas produk yang rendah, dan memiliki potensi resiko kesehatan manusia. Dampak lingkungan yang merugikan dari budidaya perikanan sudah sejak lama menjadi perhatian utama di banyak negara. Diperkirakan bahwa 75-85% dari C, 40-80% dari N dan 65-73% dari masukan P ke dalam sistem lingkungan perairan laut, berkontribusi terhadap pencemaran air dan sedimen (Chu 1996; Wu 1995).

(28)

4

Proses penurunan mutu perairan akibat eutrofikasi ini karena masuknya nutrien secara berlebihan ke dalam perairan akibat pergantian air kolam/tambak. Akibatnya pertumbuhan tumbuhan air, ganggang, dan fitoplankton tumbuh pesat hingga blooming, sehingga mengalami kematian secara massal dan membusuk yang akhirnya menghabiskan oksigen terlarut (deplesi oksigen). Emerson (1999) menyatakan bahwa peningkatan limbah budidaya perikanan (aquaculture effluent) juga akan meningkatkan jumlah nutrien di atas batas normal, sehingga kenaikan ini memacu ledakan populasi (blooming) alga di perairan.

Islam (2005) menyatakan bahwa pada tingkat yang cukup tinggi dari konsentrasi anion nutrisi dapat menjadi racun untuk ikan, menyebabkan blooming fitoplankton, dan pertumbuhan yang cepat dari ganggang berfilamen atau macrophytes yang tidak diinginkan. El Deen dan El Guindy (2003) menyatakan bahwa efek yang paling penting dari limbah akuakultur adalah meningkatnya konsentrasi hara dalam perairan alami (hyper-nutrification) dan menyebabkan peningkatan populasi plankton dan mikroba (eutrofikasi).

Sumber nutrisi pakan ikan sebagian besar terbuang, dengan demikian air limbah dari sistem akuakultur yang intensif akan mengandung bahan berupa: padatan (feses dan pakan sisa), limbah metabolik terlarut, nutrisi terlarut dari makanan, kotoran (nitrogen dan fosfat dalam berbagai bentuk kimia) dan biocides serta residu farmasi.

Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini akan dilakukan dalam lima tahapan, yakni pertama, perbanyakan rumput vetiver, seleksi dan adaptasi. Kedua, perancangan desain reaktor (modifikasi) pengolahan ALBU secara resirkulasi yang akan dibandingkan antar desain tersebut untuk sistem LBB (constructed wetland). Ketiga, percobaan untuk mengukur efesiensi dan kemampuan bioengineering dan fitoremediasi rumput vetiver dalam mengurangi konsentrasi ALBU dalam desain sistem pengolahan ALBU. Keempat, merancang pemodelan sistem dinamik dan melakukan simulasi menggunakan input model dari penelitian tahapan sebelumnya, guna mendapatkan rancangan desain reaktor pengolahan ALBU yang optimal. Kelima, menghitung kelayakan ekonomis pemanfaatan LBB dalam budidaya udang vaname dan sensitivitas perubahan manfaat privat. Diagram Alir kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1.1.

Rumusan Masalah

Lin dan Yang (2003) menyatakan bahwa kegiatan budidaya perikanan sudah menjadi isu global, dimana upaya pengembangan budidaya perikanan harus menekankan pentingnya lingkungan untuk budidaya perikanan yang berkelanjutan.

(29)
(30)

6

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran

Beban limbah dan nutrien kegiatan budidaya perikanan berupa padatan, N, P, vitamin, mineral, penyakit, bahan kimia, antibiotik, dampak limbah pada bentos, yakni pada keragaman spesies dan komunitas, berubahnya indeks kualitas perairan, menjadi stimulan terjadinya blooming.

Kioussis (2000) menyatakan bahwa perairan alami dapat terkontaminasi, dan kualitasnya menurun karena keluarnya polutan anion hara seperti nitrat, nitrit dan fosfat. NO3-, NO2-, dan PO43- adalah 3 (tiga) senyawa yang umumnya

(31)

7 dan total phosphorus (TP) mencerminkan keadaan fisiko-kimia sedimen yang berdampak terhadap kelompok bentik (benthos).

Mengingat hal tersebut, seharusnya Indonesia juga mulai mengembangkan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan (usaha budidaya ramah lingkungan), yakni dengan cara melakukan pengendalian limbah budidaya perikanan termasuk ALBU. Indonesia sebagai salah satu produsen perikanan budidaya dunia, jika pengembangan budidaya ikannya dilakukan secara berkelanjutan, maka produk hasil perikanan kita dapat diterima oleh dunia internasional. Hingga tahun 2007, posisi produksi perikanan budidaya Indonesia di dunia berada pada urutan ke-4 (KKP 2010).

Upaya pengendalian ALBU sudah banyak dikembangkan, seperti melakukan penambahan mikroba positif untuk membantu memperbaiki kualitas air kolam, sistem

biofilter (misalnya: active suspension ponds, rotating biology filter), resirkulasi (recirculation aquaculture system/RAS) dan biofiltrasi, teknologi bioflok, fitoremediasi dengan tanaman hidroponik, bioremediasi, kombinasi dari beberapa metode (desain sistem pengolahan limbah budidaya perairan seperti particle traps, sludge collectors, rotating screen filter, trickling biological filter dan oxygen injection) dan metode lainnya (Ray 2010; Avnimelech dan Malka 2009; Schryver et al. 2008; Crab et al. 2007; Pan et al. 2007; Avnimelech 2006; True et al. 2004; Piedrahita 2003; Ridha dan Cruz 2001; Dumas et al. 1998; Twarowska et al. 1997). Namun demikian teknologi tersebut ternyata belum banyak diterapkan khususnya oleh pelaku budidaya ikan skala menengah dan kecil. Argumentasi yang dapat dikemukakan adalah karena umumnya teknologi tersebut memerlukan tenaga dan keahlian khusus, akan menambah biaya produksi yang signifikan dan biasanya membutuhkan perawatan khusus.

Penerapan metode pengendalian ALBU harus memenuhi kriteria sebagai berikut: murah, mudah, efektif dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah dengan metode LBB. Penelitian yang terkait dengan penerapan LBB untuk pengendalian limbah perikanan ditunjukkan pada berbagai spektrum kajian; LBB (vertical flow wetland/VFW dan horizontal flow wetland/HFW=sub surface flow/SSF) dengan sistem resirkulasi untuk menghilangkan dan menstabilkan limbah terutama lumpur yang berasal budidaya ikan (Summerfelt et al. 1999); LBB mesohaline (salinitas 3-15 ppt) sistem resirkulasi dengan menggunakan Typha latifolia (Tilley et al. 2002); penghilangan nutrien yang terdiri dari free water surface (FWS) dan SSF dengan menggunakan tanaman Ipomoea aquatica, Paspalum vaginatum, Phragmites australis (Lin et al. 2002); LBB 3 kompartemen yang ditanami vegetasi Scirpus acutus, Eleocharis palustris, dan Sparganium emersum yang dilakukan secara off line, yakni dilakukan pemasukan limbah ke dalam LBB selama 2 hari/minggunya (Michael 2003); menilai pengaruh hydraulic loading rates (HLR) yang berbeda terhadap tingkat efisiensi pengolahan LBB sistem SSF (Sindilariu et al. 2008); performa LBB pada perairan payau (brackish water) dengan menggunakan vegetasi Phragmites australis, Spartina alterniflora dan Scirpus mariqueter (Shi et al. 2011).

(32)

8

1. Apakah disain reaktor pengolahan ALBU sistem lahan basah buatan yang memadukan rumput vetiver (C. zizanioides, L) sebagai pengganti tanaman air mempunyai kemampuan untuk menghilangkan dan menstabilkan pencemar ALBU dari udang vaname (L. vannamei)?

2. Apakah rumput vetiver mampu menghilangkan dan menstabilkan pencemar (NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43-, dan TSS) yang berasal dari air limbah

budidaya udang vaname?

3. Apakah model sistem dinamik pengendalian ALBU dengan sistem lahan basah buatan menggunakan rumput vetiver mampu mengendalikan ALBU asal udang vaname secara efektif?

4. Apakah sistem lahan basah buatan yang menggunakan rumput vetiver layak secara ekonomi dan mampu menghadapi ketidakpastian biaya dan manfaat sosial yang terus berubah?

Tujuan

1. Mendisain instalasi pengolahan air limbah budidaya udang vaname dengan memodifikasi sistem lahan basah buatan dengan memadukan rumput vetiver sebagai pengganti tanaman air (aqua plants/wetland plants) yang mempunyai kemampuan untuk menghilangkan dan menstabilkan pencemar yang berasal dari air limbah budidaya perikanan.

2. Mengevaluasi kemampuan sistem LBB-AAP dan sub sistem rumput vetiver dalam menghilangkan pencemar (NH3, NH4+, NO2-, NO3-, PO43, dan TSS)

yang berasal dari air limbah budidaya udang vaname.

3. Menghasilkan model sistem dinamik Pengendalian Pencemaran perairan akibat aquaculture effluent udang vaname dengan sistem pengendalian menggunakan lahan basah buatan termodifikasi dengan menggunakan rumput vetiver sebagai wetlands plants.

4. Mengetahui kelayakan ekonomi lingkungan dan sensitivitas terhadap perubahan manfaat privat dalam pengembangan usaha budidaya udang vaname dengan memasukkan unit pengolahan LBB-AAP.

Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam upaya pengendalian pencemar asal kegiatan budidaya udang vaname yang murah, mudah dan memiliki efektifitas pengendalian yang sangat baik serta ramah lingkungan.

2. Hasil pemodelan sistem dinamis ini diharapkan dapat memberikan arahan dan masukan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan pengelolaan budidaya perikanan yang ramah lingkungan (khususnya untuk budidaya udang vaname), sehingga pembangunan budidaya perikanan dapat berkelanjutan dan mampu menjaga ketahanan pangan nasional berprotein. 3. Diperolehnya model pengembangan budidaya perikanan yang ramah

(33)

9 Nilai Kebaruan Penelitian

(34)

10

2

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Udang Percobaan

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan udang introduksi yang berkembang sejak tahun 2000. Udang ini merupakan komoditas alternatif setelah merebaknya serangan penyakit pada budidaya udang windu (Penaeus monodon). Berdasarkan ilmu taksonomi, tata nama udang vaname adalah (Holthuis, 1980):

Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : L. vannamei

Udang vaname membutuhkan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal (Haliman dan Dian, 2008), oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan air untuk mempertahankan kualitas air yang layak dan stabil bagi pertumbuhan udang (Adiwidjaya et al. 2008). Pengamatan dan pengukuran kualitas air sebagai faktor pembatas harus dilakukan secara rutin, agar udang tumbuh secara optimal dan terhindar dari infeksi penyakit.

Budidaya Udang Vaname

Udang vaname (L. vannamei) merupakan komoditi introduksi dari Amerika Latin yang banyak diminati karena memiliki keunggulan seperti lebih tahan terhadap penyakit, pertumbuhan cepat, sintasan selama pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakan rendah serta mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensial sebagai penghasil devisa negara. Sejak tahun 2000 yang lalu udang ini sudah dibudidayakan setelah menurunnya produksi udang windu (Penaeus monodon) (Utoyo dan Tangko 2008; Haryanti et al.2005). Menurut Adiwidjaya et al. (2008), udang vaname masih dapat dikembangkan di hampir semua lahan pertambakan mulai dari salinitas 0 hingga di atas 40 ppt.

(35)

11 resirkulasi. Sistem RAS ini dilakukan dengan menggunakan pompa dasar (submersible pump) dan untuk mengatur aliran/debit air digunakan stop kran yang dipasang pada masing-masing unit percobaan. RAS mendaur ulang air dengan melewatkan air limbah udang vaname melalui biofilter untuk menghilangkan limbah udang dan sisa pakan dan kemudian disirkulasikan kembali ke dalam kolam. Siklus ini menghemat air dan memperbaiki kualitas air kolam, bahkan tanaman yang digunakan sebagai biofilter dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos. Turcios dan Papenbrock (2014); Timmons dan Ebeling (2010); Martan (2008); Rakocy et al. (2006), kasus lain RAS menggunakan sistem aquaponics, yakni sistem produksi pangan yang menggabungkan budidaya konvensional dengan hidroponik, yakni budidaya tanaman sayur-sayuran dalam air.

Budidaya konvensional ataupun sistem tertutup (tanpa pergantian air), memiliki kelemahan di antaranya adalah ekskresi dari udang yang dibudidayakan terakumulasi dalam air dan meningkatkan toksisitas air. Dalam RAS, air dari sistem budidaya diumpankan ke sistem biofilter dan limbah tersebut diuraikan oleh bakteri menjadi amonium dan nitrat yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman sebagai nutrisi. Air ini kemudian diresirkulasi kembali ke sistem akuakultur. Budidaya udang vaname ini dimaksudkan untuk memproduksi air limbah dari feses dan sisa pakan. Briggs dan Funge-Smith (1994), menyatakan bahwa 95% nitrogen dalam kolam dan 71% fosfor berasal dari pemberian pakan dan pemupukan. Air limbah budidaya udang vaname tersebut kemudian diolah melalui unit lahan basah buatan dengan sistem aliran air permukaan (LBB-AAP) dan air hasil pengolahan LBB-AAP diresirkulasikan ke tandon pengendapan, stabilisasi dan kolam.

Air Limbah Budidaya Perikanan

Aktivis lingkungan hidup dan ilmuwan telah banyak menyatakan bahwa kegiatan budidaya perairan telah menjadi kekhawatiran/keprihatinan yang cukup besar karena memiliki dampak signifikan pada lingkungan dan sumber daya alam (Boyd 2003). Hal ini karena kegiatan budidaya ikan akan menghasilkan limbah yang berasal dari sisa pakan dan feses.

Menurut Boyd (2003), keprihatinan yang paling serius dari peningkatan kegiatan budidaya ikan/udang adalah sebagai berikut :

1) destruksi mangrove, lahan basah dan habitat akuatik sensitif lainnya oleh kegiatan budidaya ikan;

2) konversi lahan pertanian menjadi kolam;

3) pencemaran air yang dihasilkan dari buangan kolam (limbah air kolam); 4) penggunaan obat-obatan yang berlebihan, antibiotik dan bahan kimia lain

untuk pengendalian penyakit hewan akuatik;

5) tidak efisiennya pemanfaatan makanan ikan dan sumber daya alam lainnya untuk produksi ikan dan udang;

6) pengasaman tanah dan air akibat air buangan dan sedimen dari kolam;

7) berlebihannya penggunaan air tanah dan persediaan air tawar lain untuk mengisi kolam;

(36)

12

9) efek negatif pada keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh migrasinya spesies asli, kehancuran burung dan predator lain; dan

10) konflik dengan sumber daya pengguna lainnya dan gangguan bagi masyarakat di dekatnya.

Sekitar 10% dari pakan terlarut dalam air dan 15% tidak dimakan dan sisanya sebesar 75% dimakan. akan tetapi 50% dikeluarkan sebagai limbah metabolik, yang menghasilkan sejumlah besar gas terlarut dan limbah dalam bentuk partikel (Jones 1999). Air limbah dari kegiatan budidaya udang, berisi peningkatan kadar fosfor, amonia, nitrat, dan bahan organik, sehingga keadaan ini harus dikelola dengan baik jika budidaya udang ingin berkelanjutan (Tilley et al. 2002).

Standar kualitas air sebagai pembatas kondisi kualitas air yang harus dipenuhi bagi kegiatan pembuangan limbah adalah sebagai berikut: pH 6-9, oksigen terlarut 5 mg/L atau lebih, BOD5 30 mg/L atau kurang, dan total padatan

tersuspensi 50 mg/L atau kurang. Pada kondisi tertentu, standar juga dapat menempatkan pembatasan pada pelepasan volume atau membatasi pelepasan volume secara tidak langsung dengan menentukan beban harian maksimum untuk variabel tertentu (Boyd 2003).

Dampak Kegiatan Budidaya Perikanan pada Perairan

Peningkatan luasan lahan (kolam) untuk budidaya perikanan sudah tentu berdampak pada peningkatan populasi ikan/udang yang dibudidayakan dan kebutuhan pakan. Sudah barang tentu menyebabkan peningkatan limbah budidaya ikan pula. Di samping itu, limbah budidaya ikan sangat tergantung pada tingkat intensitas sistem budidaya yang diterapkan, luasan lahan budidaya dan juga tingkat konversi pakan (KP) atau tingkat efisiensi pemberian pakannya. Semakin besar tingkat KP maka akan semakin banyak limbah yang akan dihasilkan, sehingga semakin besar pula beban pencemaran yang akan ditimbulkan. Begitu pula dengan tingkat efisiensi, semakin kecil tingkat efisiensinya maka akan semakin banyak sisa pakan yang akan dihasilkan.

Peningkatan kegiatan budidaya ikan ini juga harus dibarengi dengan kondisi kualitas air yang baik guna mendukung keberlanjutan usaha tersebut. Kualitas air yang buruk akan menghasilkan pendapatan yang rendah, produksi ikan yang rendah, kualitas produk yang rendah, dan memiliki potensi resiko pencemaran perairan. Menurut Grepin (2010), penurunan kualitas air ini dapat disebabkan oleh kegiatan lain yang berasal dari limbah industri, domestik, pertanian dan lain-lain serta dari kegiatan budidaya ikan itu sendiri (kotoran ikan/feces dan sisa pakan). Penurunan kualitas air dari limbah organik akibat kegiatan budidaya ikan itu sendiri umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang berasal dari metabolisme ikan (feces) dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya.

(37)

13 tingkat efisiensi pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin banyak sisa pakan yang dihasilkan.

Dampak lingkungan yang merugikan dari budidaya ikan sudah sejak lama menjadi perhatian utama di banyak negara. Diperkirakan bahwa 75 - 85% dari C, 40 - 80% dari N dan 65 - 73% dari masukan P ke dalam sistem lingkungan perairan laut, berkontribusi terhadap pencemaran air dan sedimen (Wu 1995). Dampak utama dari kegiatan budidaya ikan sangat tergantung pada sistem budidaya yang diterapkan (high-input high-output intensive systems). Semakin intensif usaha budidayanya (semakin tinggi input) maka dampak yang akan ditimbulkan juga akan semakin besar. Efek kegiatan ini adalah lepasnya partikulat sedimen tersuspensi (suspended solids) dalam bentuk sludge, nutrient dan bahan organik yang dapat memperkaya perairan penerima dan merubah komunitas benthos (perubahan flora dan fauna dasar perairan) serta terjadinya eutrofikasi.

Summerfelt et al. (1999) menyatakan bahwa sistem budidaya perikanan kerapkali menghasilkan limbah berupa lumpur (sludge) yang berasal dari kotoran (feces) dan sisa pakan yang belum terolah dan langsung masuk ke dalam perairan terbuka penerima (upon receiving waters). Limbah cair ataupun lumpur dari kolam/tambak ini dapat membahayakan lingkungan perairan penerima karena kandungan bahan organiknya yang tinggi seperti padatan terlarut (sedimen organik) dan nutrien (terutama nitrogen dan fosfat).

Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik, biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya. Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Umumnya, limbah organik dalam bentuk padatan akan langsung mengendap di dasar tambak/kolam, sedangkan bentuk lainnya akan berada di kolom air. Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, benthos dan lainnya maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik mikroba aerobik, mikroba anaerobik dan mikroba fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik).

Keberadaan sedimen di perairan akan mempercepat terjadinya proses pendangkalan dan peningkatan pencemaran perairan karena kandungan bahan organik akan mengalami proses dekomposisi yang menyebabkan deplesi oksigen. Sedangkan nutrien itu sendiri keberadaannya di perairan akan mempercepat pengayaan perairan sehingga dapat memacu terjadinya eutrofikasi.

Dampak dan Bahayanya Limbah Organik

Uraian di atas mengungkapkan bahwa proses dekomposisi limbah organik di badan air bagian manapun cenderung selalu merugikan karena sebagian besar produknya (NH3, H2S dan CH4) dapat langsung mengganggu kehidupan fauna,

(38)

14

Bahaya Nitrogen Anorganik bagi Fauna Air

Hal yang penting dari bentuk, konsentrasi dan transformasi nitrogen dalam kolam ikan setidaknya oleh tiga alasan, yaitu (1) dua bentuk nitrogen anorganik (amoniak dan nitrit) yang akumulasi konsentrasinya berpotensi beracun, (2) akumulasi amoniak dan nitrit yang melampaui batas toleransi dapat berdampak negatif pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, (3) terakumulasinya amoniak ketika jumlah nitrogen limbah metabolik bertambah atau sisa pakan yang terbuang (tingkat beban nitrogen) melebihi tingkat kemampuan proses-proses alamiah untuk menghapus atau mengubah amoniak. Amoniak bersifat racun untuk ikan jika dibiarkan menumpuk dalam sistem produksi ikan. Ketika amoniak terakumulasi dalam kolam, amoniak menjadi beracun, akibatnya ikan tidak dapat mengekstrak energi. Tanda-tandanya adalah ikan akan menjadi lesu dan akhirnya koma dan mati (Hargreaves dan Tucker 2004).

Nitrit dapat terakumulasi dalam kolam untuk jangka waktu 3 sampai 6 minggu, mengikuti keberadaan konsentrasi amoniak. Nitrit menjadi tinggi karena merupakan produk intermediet antara nitrifikasi dan denitrifikasi. Di samping itu, nitrit terakumulasi karena perkembangan populasi bakteri yang mengoksidasi nitrit cenderung lambat dibandingkan dengan perkembangan populasi bakteri yang mengoksidasi amoniak (Tucker dan Hargreaves 2004).

Nitrogen organik dan anorganik yang dihasilkan dari kolam ikan merupakan komponen buangan yang dapat mempengaruhi perairan penerima dan menyebabkan peningkatan biomassa ganggang dan lainnya serta beberapa kasus ternyata amoniaknya melebihi nilai ambang batas (Schwartz dan Boyd 1994). Deplesi Oksigen

Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan. Tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut, jenis, dan fase fauna. Secara umum diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya. Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya (Garno 2004)

Gangguan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob (Polprasert 2005). Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke permukaan hingga terhindar dari kematian. Namun demikian untuk perairan yang tertutup seperti di dalam kolam atau tambak maka ini dapat menyebabkan kematian massal.

(39)

15 Badan air yang anaerob, proses dekomposisi bahan organik menghasilkan bermacam-macam gas, seperti H2S, CH4 dan NH3 yang bersifat racun bagi fauna

seperti ikan dan udang-udangan. Seperti halnya penurunan oksigen terlarut, senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh fauna air yang ada. Selain itu keberadaan CH4 akibat dekomposisi anaerob turut

menyumbangkan gas rumah kaca (GRK) ke udara. Dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi perairan yang cocok bagi kehidupan mikroba patogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa (Polprasert 2005), yang setelah berkembang-biak setiap saat dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan bagi ikan, udang maupun fauna lainnya.

Eutrofikasi

Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, limbah organik menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup mikroba patogen. Dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan.

Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya. Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan karena nutrien yang larut dalam badan air dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Dengan demikian, populasi dan kelimpahannya akan meningkat. Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno 2004). Karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan, maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikkan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut. Jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak positif seperti itu hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif bagi kualitas badan air penerima. Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, terutama dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur. Proses peningkatan kesuburan air yang berlebihan oleh karena masuknya nutrien dalam badan air terutama fosfat inilah yang disebut sebagai eutrofikasi (FAO 1991).

Proses penurunan kualitas perairan akibat eutrofikasi ini lebih karena masuk atau dimasukkannya nutrien secara berlebihan ke dalam perairan pada saat pergantian air kolam/tambak. Akibatnya adalah pertumbuhan tumbuh pesat dari tumbuhan air, ganggang, dan phytoplankton hingga blooming, yang selanjutnya akan mengalami kematian secara massal dan pembusukan (dekomposisi) sehingga menghabiskan oksigen terlarut (deplesi oksigen). Emerson (1999) menyatakan bahwa peningkatan limbah budidaya ikan juga akan meningkatkan jumlah nutrien di atas batas normal, sehingga kenaikan ini memacu blooming alga di perairan.

Menurut Nybakken (1992), kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akan meningkat kadar NH3 perairan dan pH menurun (kondisi asam). Kondisi

(40)

16

Pengolahan Air Limbah Budidaya Perikanan (ALBP)

O’Bryen dan Lee ( 2003) menyatakan bahwa pengelolaan limbah budidaya

perikanan merupakan topik yang cukup hangat dibicarakan di seluruh dunia. Keprihatinan terhadap kerusakan ekologis, metode untuk menentukan dampak, dan biaya/keuangan yang berkaitan dengan meminimalkan pelepasan polutan asal budidaya ikan adalah beberapa hal yang menjadi perhatian dunia. Bahkan pada masa tersebut, rencana undang-undang baru di Australia untuk budidaya udang harus menyisakan lahan sebesar 30% untuk membuat kolam treatment sebagai upaya pengolahan limbah buangan kegiatan budidaya udang tersebut.

Sejumlah metode fisik, kimia, dan biologi yang digunakan dalam pengolahan limbah konvensional telah diterapkan dalam sistem budidaya. Penghilangan padatan dilakukan melalui sedimentasi, penyaringan pasir atau mekanis penyaringan (Lin et al. 2002).

Menurut van Rijn et al. (2006), pada sistem resirkulasi secara umum, penghapusan amoniak (mengacu pada NH3 dan NH4+) dilakukan melalui proses

nitrifikasi, penghapusan lumpur dilakukan melalui proses penyaringan (filtrasi), sedimentasi dan pertukaran air. Semua cara tersebut penting dalam pengolahan air limbah. Proses biologi seperti submerged biofilters, trickling filters, rotating biological contactors, dan fluidized bed reactors, secara keseluruhan dimaksudkan untuk oksidasi bahan organik, nitrifikasi, atau denitrifikasi (van Rijn 1996).

Avnimelec (2006) mengemukakan bahwa air limbah budidaya ikan seringkali didaur ulang melalui serangkaian alat khusus (kebanyakan berbagai jenis biofilter), investasi, energi, dan pemeliharaan untuk menurunkan residu. Dengan demikian akan terjadi penambahan biaya, yakni penambahan signifikan atas biaya yang ditujukan untuk menurunkan dan menghapus 2/3 dari limbah tersebut.

Pengolahan ALBP dengan Konstruksi Lahan Basah

Wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal kurang dari 0.6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent, misalnya untuk jenis cattail, bulrush, reeds dan sedges (Carex sp). Wetland merupakan sistem pengolahan alami, dimana terjadi aktivitas pengolahan sedimentasi, filtrasi, transfer gas, adsorpsi, pengolahan kimiawi dan biologis oleh karena aktivitas mikroorganisme dalam tanah dan aktivitas tanaman (Tchobanoglous et al. 2003).

Wetland dibedakan menjadi dua yaitu natural wetland dan constructed wetland (Crites et al. 2006; Wang et al. 2010). Natural wetland adalah area yang sudah ada secara alami dengan debit dan struktur yang tidak direncanakan, misalnya rawa–rawa, pesisir pantai atau mangrove wetland. Natural wetland banyak ditumbuhi oleh vegetasi emergent, seperti cattail (Thypa sp.), reed (Phragmites sp.), sedges (Carex sp.), bulrushes (Scirpus sp.), rushes (Juncus sp) dan jenis tanaman rumput–rumputan lainnya. Constructed wetland adalah lahan basah yang sengaja dibuat, dikelola dan dikontrol oleh manusia untuk keperluan filtrasi air buangan dengan memadukan penggunaan tanaman, aktivitas mikroba dan proses lainnya.

(41)

17 menghilangkan pencemar mewajibkan penggunaan berbagai proses biologi yang kompleks, termasuk proses transformasi mikrobiologi dan fisik-kimia seperti adsorpsi dan sedimentasi. Beberapa jenis tanaman yang telah diujicobakan, antara lain adalah Iris pseudacorus, Typha spp., Schoenoplectus validus, dan Phragmites australis.

Menurut Lin et al. (2002), penghilangan nutrien yang berasal dari limbah budidaya perairan juga menggunakan sistem lahan basah (constructed wetlands). Wang et al. (2010) menyatakan bahwa lahan basah ternyata efektif dalam menghilangkan BOD, SS, N dan P serta mengurangi logam, polutan organik dan patogen. Mekanisme penghilangan polutan utama di lahan basah dibangun melalui proses-proses biologis seperti aktivitas metabolik mikroba dan penyerapan tanaman serta proses fisika-kimia seperti sedimentasi, adsorpsi, dan presipitasi di air-sediment, akar-sediment dan antarmuka tanaman air.

Aplikasi dari sistem rumput vetiver untuk pengolahan air limbah sistem lahan basah adalah merupakan teknologi baru dan fitoremediasi (phytoremedial) inovatif yang dikembangkan di Queensland oleh Department Sumberdaya Alam dan tambang/NRM (Truong dan Hart 2001). Teknologi ini adalah ‘teknologi hijau’ dan ramah lingkungan dalam pengolahan air limbah serta merupakan metode daur ulang yang alami. Produk akhir memiliki beberapa penggunaan termasuk pakan hewan dan bahan untuk pertanian organik (Ash dan Truong (2003). Hasil penelitian di Cina menunjukkan bahwa rumput vetiver dapat pula digunakan untuk menghilangkan konsentrasi tinggi larutan N dan P dalam air sungai yang tercemar (Zheng et al. 1997).

Fitoremediasi

Mekanisme penghilangan dan penstabilan limbah tergantung pada kontaminan (misal limbah organik khususnya unsur N dan P), kondisi lokasi, tingkat pembersihan yang diinginkan, dan jenis tanaman yang digunakan. Menurut Truong dan Hart (2001), penghilangan unsur N dan P dalam pencemaran air oleh vegetasi (fitoremediasi) adalah paling efektif, biayanya murah dan ramah lingkungan.

Wang et al. (2010) mengemukakan bahwa fitoremediasi secara umum dinilai tidak hanya inovatif tetapi juga ramah lingkungan dan ekonomis sesuai dengan solusi keteknikan untuk banyak masalah lingkungan di dunia. Meski pada dasarnya aplikasi ini sederhana, teknologi baru ini mempunyai kemampuan sangat baik untuk berbagai bidang dan cara-cara yang berbeda .

Pengertian Phyto berasal dari bahasa Yunani yaitu phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), remediation dari bahasa Latin remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi (fitoremediasi) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi (Wang et al. 2010).

(42)

18

Teknologi fitoremediasi dapat digunakan untuk penahanan (phyto-immobilization dan phytostabilization) atau penghapusan/penghilangan (phytoextraction dan phytovolatilization) (Thangavel dan Subhuram 2004). Teknologi fitoremediasi memiliki mekanisme yang berbeda dalam tindakan untuk remediasi tanah, sedimen, atau air yang terkontaminasi.

Mekanisme remediasi tumbuhan berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya (Truong et al. 2010; Otte dan Jacob 2006):

1. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga hyperacumulation.

2. Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.

3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.

4. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada disekitar akar tumbuhan, misalnya ragi, fungi dan bakteri.

5. Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzim berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.

6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter/hari untuk setiap batang.

Beberapa karakteristik rumput vetiver yang sudah diuraikan di atas menunjukkan bahwa vetiver mempunyai kemampuan yang luar biasa, sebagai bioengineering (rekayasa teknologi dengan memanfaatkan tanaman) dan fitoremediasi (penggunaan teknologi hijau dengan menggunakan tanaman yang berfungsi menghilangkan pencemar yang mengkontaminasi tanah dan air).

Fitoremediasi dengan rumput vetiver ini karena (1) memiliki akar yang panjang sehingga rumput ini mampu mengikat sedimen yang mengandung pencemar dengan baik; (2) tingkat toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim (kualitas air/studi kasus N, P dan pestisida maupun keadaan iklim); (3) kemampuan menahan dorongan arus dan memperangkap sedimen yang mengandung nutrien N dan P.

Gambar

Gambar 1.1  Diagram alir kerangka pemikiran
Tabel 3.3 Metode analisis sampel air
Gambar 4.1 Variasi DO pagi-sore selama penelitian (April-Juni 2013)
Gambar 4.3 Hubungan pH dengan DO pagi hari (a) sore hari (b) di kolam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Infeksi Human Immunodeviciency Virus (HIV) telah menjadi faktor predisposisi terpenting dalam berkembangnya Tuberculosis (TB) sejak awal Tahun 1980an dimana

Akan tetapi pada penelitian ini hanya terbatas pada tahap pengembangan saja, (2) LKS berbasis android pada kompetensi dasar pemotongan dan tarif PPh pasal 21

Dalam hal kepemimpinan kelompok, pendekatan yang dilakukan oleh perempuan cenderung menunjukkan suatu perhatian dan pemahaman terhadap orang-orang berusaha untuk

Untuk menjamin agar pekerjaan supervisi konstruksi ini dapat diselesaikan dengan mutu seperti yang disyaratkan, Konsultan Pengawas dalam melaksanakan pekerjaan

Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam

Pada pelaksanaan tindakan siklus I, ditemukan beberapa hal yang berkaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kinerja guru yang

Mengidentifikasi Pengaruh Murrotal Al- qur’an surah Ar -rahman Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Ibu Hamil dengan Pre Eklamsia di Puskesmas Genuk Kota

Dari pembahasan di atas maka dapat dihasilkan kesimpulan bahwa Mekanisme komunikasi politik ataupun proses penyampaian pesan- pesan poitik yang dilakukan pasangan