PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang ditimbulkan oleh adanya ketimpangan pembangunan ekonomi suatu negara diantara pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga hal tersebut merupakan persoalan besar bagi banyak negara di dunia untuk terus meningkatkan pembangunan ekonominya agar tidak semakin terpuruk dalam perkembangan zaman yang kian mengalami perubahan (Enda, 2005). Kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan kehidupan manusia. Sebagai sebuah persoalan kehidupan manusia, maka kemiskinan telah hadir juga dalam berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu pengertahuan sebagai wujud nyata dari upaya memberi jawab kepada persoalan kemiskinan. Bahkan tidak hanya sebatas itu, kemiskinan juga telah hadir dalam sejumlah kebijakan baik oleh elemen-elemen sosial masyarakat maupun pemerintah dalam menunjukkan kepedulian bersama untuk menangani persoalan kemiskinan ini.
Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan
kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan, bukti nyata dari kepedulian SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai”. Hal ini mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-Rumah Tangga Miskin di Indonesia”. Dalam petunjuk teknis penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), tujuan dari program ini dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM adalah :
1. Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi.
3. Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bantuan langsung berupa uang tunai sejumlah tertentu untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS). Sedangkan pengertian RTS adalah rumah tangga yang masuk kedalam kategori sangat miskin, dan hampir miskin. BLT diberikan Rp. 100.000,-/bulan. Kriteria penerima BLT sesuai dengan yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Penerima BLT adalah rumah tangga yang memiliki kriteria : a. Luas lantai bangunan tempat tinggal, kurang dari 8 m2 per
orang
b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester
c. Tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri atau bersama-sama dengan orang lain
d. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik e. Sumber air minum berasal dari sumur, mata air tidak
terlindungi, sungai dan air hujan
f. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar, arang, minyak tanah
g. Hanya mengkonsumsi daging, susu, ayam satu kali dalam seminggu
h. Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun
i. Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari
j. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik
k. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 6600.000 per bulan
l. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah, tidak tamat SD atau hanya SD
m. Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual minimal Rp. 500.000 seperti sepeda motor baik kredit maupun non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
(sumber : Depkominfo, 2008)
Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menetapkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam rangka mengurangi beban subsidi. Tingkat kenaikan harga BBM kali ini tergolong tinggi dibanding kenaikan-kenaikan harga sebelumnya, yaitu bensin: 87,5%, solar: 104,8%, dan minyak tanah: 185,7% (Depkominfo). Keputusan ini diambil dengan latar belakang: 1) peningkatan harga BBM yang sangat tinggi di pasar dunia sehingga berakibat pada makin besarnya penyediaan dana subsidi yang dengan sendirinya makin membebani anggaran belanja negara; 2) pemberian subsidi selama ini cenderung lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas; dan 3) perbedaan harga yang besar antara dalam dan luar negeri memicu terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri. Kenaikan harga BBM menambah beban hidup masyarakat. Mereka tidak hanya menghadapi kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan berantai berbagai harga barang dan jasa kebutuhan sehari-hari. Berbagai kenaikan tersebut menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, terlebih Rumah Tangga Miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pada 10 September 2005 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin.
Melalui program yang kemudian dikenal sebagai “Bantuan Langsung Tunai” (BLT) ini pemerintah menyediakan dana bantuan bagi sekitar 15,5 juta Rumah Tangga Miskin. Besarnya dana adalah Rp100.000 per keluarga per bulan dan diberikan setiap tiga bulan.
Pada penyaluran tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 4,6 triliun. Penyaluran dana kepada Rumah Tangga Miskin dilakukan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya di seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan program ini tidak ditemukan adanya acuan atau pedoman umum yang berisi penjelasan menyeluruh tentang program bagi semua pihak yang berkepentingan. Acuan yang tersedia hanya berupa buku petunjuk parsial seperti petunjuk pendataan Rumah Tangga Miskin dan petunjuk pendistribusian Kartu Kompensasi BBM (KKB) yang persebarannya cenderung terbatas dikalangan internal BPS (Badan Pusat Statistik). Akibatnya, terdapat perbedaan pemahaman antar pihak terkait tentang pelaksanaan program. Instansi yang berperan dalam pelaksanaan Program BLT adalah Departemen Sosial, BPS, dan PT Pos Indonesia. Pemerintah Daerah (Pemda) pada awalnya tidak dilibatkan secara serius. Namun, dengan perkembangan pelaksanaan program pihak Pemda dan seluruh jajarannya sering diminta membantu proses pencairan dana dalam rangka meredam gejolak sosial.
Sebagai suatu program dan kebijakan nasional, program BLT mempunyai latar belakang pelaksanaan yang sistematis, baik secara deskriptif analisis kondisional maupun deskriptif operasional perundangan-undangan.
Dari sudut deskriptif analisis kondisional dapat dikatakan bahwa program BLT adalah wujud dari sebuah masalah diseluruh pemerintahan negara-negara seperti Indonesia. Dimana kemiskinan adalah suatu masalah yang sangat penting dan genting untuk diperhatikan dan ditangani secara secara serius (sinar-harapan, 2007).
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diselenggarakan Oktober 2005 dalam rangka kebijakan pelindungan sosial (social protection) sebagai dampak pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mekanisme yang dilakukan merupakan asistensi sosial (social assistance) yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan meningkatkan tanggung jawab sosial bersama. Kebijakan ini juga disinergikan dengan kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Kredit Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), sehingga skema perlindungan sosial bagi masyarakat miskin tetap mendorong keberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki. melalui BLT dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat , mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target
penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dimana target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong oleh membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar Internasional, yang tentu pula mempengaruhi harga BBM dalam negeri sejak awal Maret 2005, kemudian mempengaruhi juga kenaikan harga barang-barang pokok sehari-hari (sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat.
Bantuan Langsung Tunai tahap pertama diselenggarakan pada Oktober 2005 dan tahap kedua diselenggarakan pada Juni 2008. Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT tahap pertama dilakukan dan diselenggarakan oleh perangkat desa dan/atau petugas BPS. Maka pada tahap kedua, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat, dulunya di balai desa atau kantor kelurahan, pengambilan BLT harus juga memiliki surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial yang terjadi pada BLT tahap satu relatif berkurang pada pengucuran keduanya.
Penyaluran BLT telah disusun Bappenas dan dilaksanakan oleh PT Pos dan BRI. Selain itu sebagai bentuk pengawasan, dilibatkan juga unsur
perangkat pemerintah desa, RT, RW, dan karang taruna serta melibatkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), advokasi pemerintah daerah, dan Depdagri.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak.
Melihat pada dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila membandingkan total kenaikan biaya hidup
(biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini akan berdampak signifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efisiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas.
Di satu sisi masih banyak adanya keluarga/rumah tangga yang sama miskinnya tetapi tidak mendapatkan BLT (undercoverage). Di sisi lain, ditemukan juga beberapa keluarga/rumah tangga mampu yang menerima BLT (leakage). Tidak ada ketentuan yang mengatur penggunaan dana BLT. Artinya, penerima dapat menggunakan dana untuk keperluan apa pun. Dalam kenyataannya, umumnya penerima menggunakan dana BLT untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang. Selain itu, ada juga beberapa penerima yang menggunakan dana untuk biaya kesehatan dan sekolah. Hanya sedikit yang memanfaatkan dana untuk modal usaha. Setelah pembagian KKB dan pencairan dana, banyak anggota masyarakat mengajukan keberatan karena tidak memperoleh BLT. Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/Rumah Tangga Miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya.
Berdasarkan atas data dan informasi yang diperoleh peneliti selama dalam proses observasi awal ke sejumlah kelurahan yang berada di
Kecamatan Kramatwatu dan dari hasil wawancara dengan beberapa kepala desa dan staf di Kecamatan Kramatwatu , terdapat beberapa permasalahan yang menjadi keluhan masyarakat miskin terkait dengan pelaksanaan program BLT tersebut, antara lain sebagaimana diuraikan di bawah ini
Sebagian besar kelurahan di Kecamatan Kramatwatu belum mampu menerapkan kriteria penerima BLT berdasarkan kriteria nasional, (sumber : hasil wawancara denga sekretaris kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu) yang berasal dari rumah tangga miskin menurut Tim Koordinasi Pusat Pemberian Subsidi Langsung Tunai. Dasar penentuan penerima BLT lebih menggutamakan data penerima BLT tahun sebelumnya, yang juga berdasarkan atas pertimbangan RT/RW setempat yang dinilai cukup mengetahui kondisi perekonomian warganya.
Alasan mengapa kriteria penerima raskin dinilai sulit diterapkan karena : Pertama, kondisi kehidupan warga masyarakat yang mengalami perubahan setiap tahunnya, sehingga pihak kelurahan merasa kesulitan untuk mencari penerima BLT yang sesuai dengan kriteria yang dimaksud (sumber: hasil wawancara dengan sekretaris Kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu). Kriteria penerima BLT dinilai sudah tidak mampu menjawab kondisi kehidupan masyarakat saat ini, yang layak untuk menerima BLT. Oleh sebab itu, tidak heran banyak ditemukan penerima BLT yang tidak termasuk dalam salah satu syarat, misalnya jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, Masalah ini termasuk kedalam kriteria
evaluasi kebijakan munurut Dunn dalam kriteria pemerataan dan ketepatan.
Kedua, masih ditemukannya beberapa kelurahan yang belum menerapkan kriteria penerima BLT berdasarkan atas kriteria nasional. Hal tersebut disebabkan karena minimnya sosialisasi kriteria program kepada pihak kelurahan. Kurangnya sosialisasi menyebabkan beberapa kelurahan tidak mengetahui apa yang menjadi syarat penerima BLT secara nasional, melainkan lebih menggunakan data lain yang dinilai cukup menunjang untuk menentukan kriteria penerima BLT, seperti mengacu kepada data yang digunakan oleh tim kader posyandu setempat, atau lebih mempercayakan persoalan teknis penentuan penerima BLT kepada RT/RW setempat yang lebih didasarkan pada pemikirannya saja (sumber : hasil wawancara dengan sekretaris Kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu), Masalah ini termasuk kedalam kriteria evaluasi kebijakan munurut Dunn dalam kriteria responsibilitas.
Ketiga, adanya pemotongan dana yang dilakukan petugas untuk dibagikan kepada warga yang tidak seharusnya mendapatkan dana bantuan tersebut tetapi tidak terdata, ini dilakukan untuk menghindari kecemburuan sosial di antara warga. Potongan tersebut sebesar Rp. 20.000,-/rumah tangga miskin di sebagian keluruhan (sumber: hasil wawancara dengan sekretaris Kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu), Masalah ini termasuk kedalam kriteria evaluasi kebijakan munurut Dunn dalam kriteria kecukupan dan responsibilitas.
Keempat, dalam pembagian pun petugas merasa kesulitan karena tidak sedikit warga di Kecamatan Kramatwatu yang menerima BLT tidak mempunyai identitas diri yang digunakan sebagai tanda bukti pengambilan dana bantuan pemerintah tersebut. Dan penerima BLT ini tidak bisa diwakilkan kepada saudara atau orang lain, harus dengan orang yang bersangkutan tersebut yang sesuai dengan data yang ada pada petugas Kecamatan Kramatwatu dan PT. Pos di Kecamatan Kramatwatu (sumber: hasil wawancara dengan sekretaris Kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu), Masalah ini termasuk kedalam kriteria evaluasi kebijakan munurut Dunn dalam kriteria efisiensi.
Kelima, warga di Kecamatan Kramatwatu juga mengeluhkan dana bantuan pemerintah ini, karena ketika kebijakan ini sudah selesai dan tidak ada tahap ketiga, maka warga akan kembali merasakan kesulitan karena tidak mendapat bantuan lagi dari pemerintah, sebagian besar warga menginginkan adanya keterampilan khusus yang diberikan pemerintah sehingga warga tidak hanya mendapatkan dana bantuan secara cuma-cuma tetapi juga modal yaitu keterampilan khusus untuk dijadikan usaha dan menyambung kehidupan mereka (sumber: hasil wawancara dengan sekretaris Kelurahan, Kasi Kessos Kecamatan Kramatwatu), Masalah ini termasuk kedalam kriteria evaluasi kebijakan munurut Dunn dalam kriteria efektivitas dan ketepatan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat miskin mengenai pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu dengan
upaya-upaya yang ditekankan pada adanya perbaikan-perbaikan secara fundamental sehingga berdasarkan atas latar belakang yang telah peneliti uraikan di atas, maka peneliti akan mencoba melakukan penelitian dengan judul “ Evaluasi Program Bantuan langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu (studi kasus periode 2008-2009”.
1.2Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti uraikan dalam latar belakang masalah, maka peneliti dapat melakukan identifikasi masalah yang terdapat dalam pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai yakni sebagai berikut :
1. Masih belum diterapkannya kriteria penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) secara merata di sejumlah kelurahan di Kecamatan Kramatwatu. 2. Aparatur setempat kurang mensosialisasikan tentang bantuan pemerintah
ini, sehingga banyak warga yang tidak mengerti tentang prosedurnya. 3. Di beberapa desa di Kecamatan Kramatwatu masih banyak yang tidak
mempunyai KTP dan KTP yang sudah mati sekitar 16,4%, ada 581 warga dari 3531 warga yang terdaftar sebagai penerima Bantuan langsung Tunai (BLT), sehingga mempersulit pada saat pengambilan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan tidak dapat diwakilkan oleh keluarganya atau orang lain. (sumber : data di Kecamatan Kramatwatu)
4. Program Bantuan Langsung Tunai hanya sebatas memberikan dana yang bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Tanpa memberikan keterampilan khusus kepada masyarakat.
5. .Adanya pemotongan dana Bantuan Langsung Tunai dari setiap warga. Setelah melakukan identifikasi beberapa masalah yang terdapat dalam pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu, maka peneliti melakukan batasan ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut : Evaluasi Program Bantuan Langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu
1.3Perumusan Masalah
Dari beberapa masalah yang dikemukakan dalam identifikasi masalah, maka langkah peneliti selanjutnya adalah menetapkan masalah yang akan diteliti dalam rumusan masalah ini, adalah : Bagaimanakah evaluasi Program Bantuan Langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu?
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji masalah yang timbul seiring dengan adanya program raskin. Namun, secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui; evaluasi Program Bantuan Langsung Tunai di Kecamatan Kramatwatu.
1.5Kegunaan Penelitian
Dalam hal ini penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti, baik secara teoritis maupun praktis. Secara lebih detail penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoritis :
a. Memperbanyak khazanah ilmu pengetahuan dalam dunia akademis khususnya ilmu admunistrasi negara.
b. Mengaplikasikan teori yang sudah diperoleh selama dalam perkuliahan.
c. Sebagai bahan pemahaman untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis :
a. Dapat memperoleh manfaat bagi diri peneliti yaitu untuk dapat memperkaya ilmu yang dimilikinya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kebijakan publik.
c. Bagi pihak terkait dalam evaluasi program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang agar kelak menjadi masukan yang berarti.
1.6Sistematika Penulisan
Dalam upaya untuk mempermudah cara pemahaman isi skripsi dan menyajikan uraian yang lebih jelas, terarah serta tidak menyimpang dari tujuan penulisan, maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Latar belakang menggambarkan ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti dalam bentuk uraian secara deduktif, dari lingkup yang paling umum hingga ke masalah yang paling spesifik. Latar belakang masalah diuraikan secara faktual dan logis.
1.2Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah
Identifikasi masalah adalah mengidentifikasi dikaitkan dengan tema/topik/judul dan fenomena yang kan diteliti. penelitian atau dengan masalah atau variabel yang akan diteliti. pembatasan masalah lebih difokuskan pada masalah-masalah yang akan diajukan dalam rumusan masalah yang akan diteliti. pembatasan masalah dapat diajukan dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan.
1.3Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan dalam bentuk definisi konsep dan definisi operasional.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah yang telah
dirumuskan. Isi dan rumusan tujuan penelitian dan rumusan masalah sejalan dengan isi dan rumusan masalah penelitian.
1.5Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian menjelaskan tentang manfaat teoritis dan praktis temuan penelitian.
1.6Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjelaskan tentang hierarki penulisan skripsi dalam penelitian ini
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN