• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1. Latar Belakang

Obligasi negara merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk yang dapat diperdagangkan maupun tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Obligasi negara yang dapat diperdagangkan tidak berbeda jauh dengan dengan instrumen-instrumen investasi lainnya seperti deposito, investasi pada saham, investasi pada reksadana atau investasi pada instrumen keuangan lainnya. Obligasi yang diperdagangkan terdiri dari obligasi yang berdenominasi mata uang domestik dan obligasi yang berdenominasi mata uang asing. Tujuan penerbitan obligasi negara pada umumnya adalah untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Oleh karena itu semua obligasi negara dilindungi oleh undang-undang yang menyebabkan instrumen finansial ini relatif berisiko rendah bahkan tidak memiliki risiko sama sekali (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2009).

Perkembangan dan kemajuan politik, teknologi, dan finansial saat ini ternyata telah memfasilitasi terjadinya gelombang liberalisasi dalam pasar finansial global yang mengarah kepada peningkatan sifat saling ketergantungan terhadap pasar saham dan obligasi dunia (Laopodis, 2008). Perubahan yang besar dan signifikan telah terjadi pada pasar finansial internasional yang disebut integrasi pasar finansial (Jung, et al., 2004). Integrasi pasar finansial merupakan suatu proses yang mengarah kepada penghapusan atau penghilangan hambatan-hambatan yang relevan yang terdapat dalam pasar.

Dalam hal ini, suatu pasar terdiri dari seperangkat instrumen atau jasa finansial yang terintegrasi penuh. Pasar finansial terintegrasi dalam arti jika semua partisipan yang berpotensial menghasilkan beberapa karakteristik yang relevan sama misalnya menghadapi seperangkat peraturan tunggal ketika mereka memutuskan untuk bertransaksi dengan instrumen-instrumen atau jasa-jasa tersebut, memiliki akses yang sama terhadap instrumen-instrumen atau jasa-jasa finansial yang terdapat dalam pasar, dan diperlakukan sama ketika mereka aktif di dalam pasar (Jikang dan Xinhui, 2004).

Menurut Bartram dan Dufey dalam Bartram,Taylor dan Wang (2004) integrasi pasar finansial telah lama menjadi isu yang menarik di sebagian besar para ekonom dalam bidang finansial dunia akademisi dan praktisi investasi, karena hal ini membawa banyak kendala dan peluang untuk investasi portofolio internasional dengan implikasi penting untuk alokasi portofolio dan harga aset. Berdasarkan teori, jika pasar finansial tidak terintegrasi, keperluan investasi yang berbeda dan rintangan-rintangan investasi akan mempengaruhi pilihan-pilihan portofolio investor dan keputusan pembiayaan bagi perusahaan. Dalam kasus nilai tukar, jika purchasing power parity tidak tetap, nilai tukar mempengaruhi biaya konsumsi di sepanjang negara, dan oleh sebab itu, risiko nilai tukar mempengaruhi harga aset-aset untuk investor luar negeri. Model-model harga aset internasional mengakui semua dampak ini dengan memasukkan risiko nilai tukar sebagai faktor-faktor harga (Solnik, 1974; Stulz, 1981; Adler dan Dumas, 1983) dan dapat digunakan secara empiris untuk menginvestigasi isu integrasi pasar finansial (Dumas dan Solnik, 1995).

Berdasarkan teori, salah satu cara negara-negara berkembang dapat mempercepat pertumbuhan mereka adalah dengan menarik modal asing baik itu dalam bentuk investasi portofolio maupun foreign direct investment (FDI). Investasi portofolio dapat diperoleh negara berkembang dari pasar finansial internasional yang dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan menambah tabungan dan mengurangi biaya modal dengan sektor-sektor finansial domestik. Akan tetapi, integrasi keuangan internasional sendiri tidak mengarah kepada suatu bentuk konvergensi di antara negara-negara maju dan berkembang karena pada negara-negara maju terdapat banyak gangguan atau distorsi yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar finansial yang tidak kekal dimana dapat menghilang sepanjang waktu seiring dengan perkembangan pasar finansial. Tingkat pertumbuhan ekonomi utamanya ditentukan oleh produktivitas, bukan oleh gangguan yang dapat terjadi pada pasar modal (Jung, et al., 2004).

Konsep integrasi pasar finansial merupakan integral dari pasar finansial internasional dan hal ini menjelaskan bahwa integrasi pasar finansial berubah berdasarkan kondisi ekonomi yang terjadi. Penjelasan ekonomi yang umumnya diterima adalah perubahan tingkat risk aversion dan para investor memerlukan kompensasi atas risiko dari aset-aset finansial (Lucey et al., 2004).

1.2. Rumusan masalah

Pembentukan ASEAN pada tahun 1967 lebih ditujukan pada kerja sama yang berdasarkan urusan politik yang memiliki tujuan untuk menciptakan dan menjaga kestabilan kedamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara. ASEAN yang pada awalnya terdiri dari lima negara anggota yang merupakan negara

pendiri, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, kini telah berjumlah sepuluh negara yang bergabung kemudian, yaitu Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), serta Kamboja (1999). Kemudian kerja sama regional yang awalnya berdasarkan kepentingan politik ini diperkuat oleh semangat pembangunan dan pencapaian stabilitas ekonomi dan sosial di kawasan Asia Tenggara yang dilakukan dalam bentuk usaha percepatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan budaya dengan tetap memerhatikan kesetaraan dan kemitraan, sehingga menjadi landasan untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera dan damai (Arifin et al., 2008).

Negara-negara ASEAN bekerja sama dengan semangat stabilitas ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan, efisiensi, dan ukuran sistem finansial mereka. Perhatian pemerintah ASEAN terhadap reformasi capital market

secara dramatis meningkat sejak terjadinya Asian Currency Crisis pada tahun 1997. Beberapa tahun yang lalu, krisis keuangan yang menimpa negara-negara ASEAN menyebabkan negara-negara ASEAN berjuang menghadapi tantangan resolusi utang pada umumnya serta terjadi non-performing loan (NPLs) dan rekapitalisasi perbankan pada khususnya (Plummer dan Click, 2003).

Usaha yang dilakukan setelah terjadinya krisis tersebut adalah memberikan prioritas pengembangan pasar obligasi negara-negara Asia. Hal ini disebabkan karena krisis mata uang yang kemudian menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi menjelaskan kenyataan bahwa keseluruhan perekonomian telah bergantung kepada sektor perbankan dan tidak memiliki daya tahan ketika sistem perbankan collapse. Pada saat krisis, ketergantungan yang berlebihan pada

pinjaman perbankan untuk pembiayaan telah menjadi karakteristik khusus. Perbankan tersendiri, sebaliknya, telah sering bergantung pada dana pinjaman dalam mata uang dollar jangka pendek pada skala besar karena perbankan tidak mampu meningkatkan dana jangka panjang dalam mata uang masing-masing negara tersebut. Ekspektasi terhadap pengembangan pembiayaan langsung, khususnya pasar obligasi telah meningkat di negara-negara ASEAN+3 (sepuluh negara ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, dan Cina) (Hirose et al, 2004).

Asian Development Bank (ADB) dalam publikasinya dalam Plummer dan Click (2003) mencatat bahwa pada akhir tahun 1998 (masa sebelum krisis berakhir), dugaan biaya restrukturisasi perbankan di ASEAN-4 sebesar US$43 juta di Thailand (32 persen dari GDP), US$70 juta di Indonesia (29 persen dari GDP), US$13 juta di Malaysia (18 persen dari GDP), dan US$3 juta di Filipina (4 persen dari GDP). Biaya bunga tahunan pada penerbitan obligasi negara untuk membayar restrukturisasi perbankan dalam persentase GDP menjadi 3 persen, 3.5 persen, 1.3 persen, dan 0.5 persen di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina secara berturut-turut. Dugaan NPLs di keempat negara ini oleh IMF dalam persentase total utang (persentase GDP) menjadi 35 persen (70 persen), 70 persen (53 persen), 30 persen (42 persen) dan 15 persen (5 persen) secara berturut-turut. Singkatnya, hal ini jelas bahwa krisis pada 1997 telah sangat merugikan sistem finansial ASEAN-4.

Dalam kasus yang lebih khusus untuk Indonesia, pentingnya obligasi negara bagi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1 dan Gambar 1.2. Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pada tahun 1998 hingga tahun 2001 pembiayaan

dengan surat berharga-neto tidak ada sedangkan pada tahun 2002 dan 2003 pembiayaan dengan surat berharga-neto terlihat negatif yang besarnya adalah -2 trilliun Rupiah (-0.2 persen terhadap PDB) dan -3 trilliun Rupiah (-0.3 persen terhadap PDB) secara berturut-turut dan setelah itu dimulai pada tahun 2004 hingga tahun 2009 pembiayaan dengan surat berharga-neto semakin meningkat dimana pada tahun 2004 hanya sebesar 7 trilliun Rupiah (0.9 persen terhadap PDB) sedangkan pada tahun 2009 mencapai 99 trilliun Rupiah (8 persen terhadap PDB). Hal yang sebaliknya justru terjadi pada pinjaman luar negeri-neto yang pada tahun 1998 hingga 2002 masih bernilai positif yaitu sebesar 21 trilliun Rupiah (1.7 persen terhadap PDB) pada tahun 1998 dan menurun pada tahun 2002 menjadi tujuh trilliun Rupiah (0.5 persen terhadap PDB) akan tetapi pada tahun 2004 hingga tahun 2009 bernilai negatif. Pada tahun 2004 pinjaman luar negeri-neto sebesar -28 trilliun Rupiah (-2 persen terhadap PDB) sedangkan pada tahun 2009 pinjaman luar negeri neto sebesar -14 trilliun Rupiah (-1 persen terhadap PDB). Terlihat bahwa kecenderungan untuk melakukan pembiayaan APBN dengan pinjaman utang luar negeri kini menurun dan surat berharga negara kini telah menjadi instrumen pembiayaan utama APBN.

Catatan:

+ Realisasi sementara

++ APBN 2009 Stimulus Fiskal

+++ Jumlah SBN Neto pada tahun 2009 sebesar Rp. 99.3 triliun sudah termasuk Pinjaman siaga yang akan digunakan sebesar Rp. 44.5 triliun.

Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009)

Gambar 1.1. Defisit dan Pembiayaan APBN 1998-2009

Sedangkan pada Gambar 1.2. terlihat bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB dari tahun 1996 hingga 2009 mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia. Pada tahun 2004 dari keterangan yang terdapat pada Departemen Keuangan Republik Indonesia dijelaskan bahwa tambahan utang tahun 2004 hingga 2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57 persen akhir 2004 dan diproyeksikan menjadi sekitar 32 persen akhir 2009 atau lebih baik dari sebelum krisis sekitar 38 persen.

Jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman memiliki tren yang meningkat sepanjang tahun akan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah utang pemerintah yang melalui surat berharga negara dimana jumlah pinjaman pada tahun 1999 adalah 438 triliun Rupiah dan

pada bulan Juni 2009 sebesar 644 triliun Rupiah sedangkan surat berharga negara pada tahun 1999 sebesar 502 triliun Rupiah dan pada bulan juni 2009 sebesar 961 triliun Rupiah.

Catatan: *) Angka sementara

**) Angka sangat sementara per Juni 2009

Angka PDB 2009 menggunakan asumsi PDB APBN Dokumen Stimulus Rasio pembayaran kewajiban = Bunga utang LN+Amortisasi pinjaman LN

Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009)

Gambar 1.2. Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB 1996-2009

Kegiatan pembiayaan di sebagian besar negara dilakukan dengan menerbitkan surat berharga negara yang di Indonesia dikenal dengan surat perbendaharaan negara, surat utang negara, dan sukuk. Salah satu surat berharga negara yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah obligasi negara dimana di Indonesia dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN). Obligasi negara memiliki jangka waktu yang berbeda-beda. Tingkat jatuh tempo suatu surat obligasi negara dapat mencerminkan tingkat risiko investasi dari obligasi tersebut. Obligasi sebagai instrumen investasi tentunya memberikan pendapatan dimana tingkat pendapatan yang diharapkan dari obligasi dikenal dengan istilah yield.

Salah satu jenis obligasi yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah obligasi yang berjatuh tempo lima tahun.

Gambar 1.3 merupakan gambar data yield obligasi pemerintah yang berjatuh tempo lima tahun periode 25 Juli 2005 hingga 21 Maret 2007 dimana dapat dilihat pergerakan yield obligasi negara dari negara-negara ASEAN+6 (data obligasi negara India tidak tersedia) yang memiliki masa jatuh tempo lima tahun dimana sebagian besar bergerak sama dan relatif memiliki selisih yield yang tidak terlalu jauh. Akan tetapi Indonesia dan Filipina merupakan negara yang memiliki

yield yang relatif lebih tinggi. Pada kasus Indonesia terlihat yield obligasi sangat tinggi pada sekitar bulan September dan Oktober dimana diketahui bahwa pada saat ini terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak yang memicu meningkatnya inflasi sehingga untuk meredam laju inflasi maka bank sentral melakukan kebijakan meningkatkan tingkat suku bunga dimana tingkat suku bunga memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan besarnya yield pada obligasi. Penjelasan yang relevan mengenai pergerakan yield obligasi negara ini juga dapat berdasarkan tingkat risiko dari tiap negara. Terlihat bahwa untuk Indonesia peringkat iklim bisnis berdasarkan penilaian Coface adalah C artinya bahwa lingkungan bisnis di Indonesia relatif sulit. Informasi finansial perusahaan kadang tidak tersedia dan ketika tersedia, informasi tersebut tidak reliable sedangkan rating berdasarkan Country @rating Indonesia memiliki peringkat standar B yang artinya outlook ekonomi dan politik Indonesia tidak pasti dan probabilitas gagal bayar perusahaan dapat terjadi (lihat tabel 1.1).

Sum ber : C EI C ( D iol ah) G a m b ar 1. 3. 5-ye ar Go ve rn m en t B on d Y iel d 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Mal aysi a 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Indonesi a 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Singapura 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… US 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… A ust ral ia 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… T hail and 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… F ili pina 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Sel and ia B aru 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… C ina 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… K ore a Sel at an 0 10 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Jepang 10

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, alasan penting untuk mengembangkan pasar obligasi menurut Plummer dan Click (2003) adalah (1) mengurangi tingkat ketergantungan terhadap perbankan dan mencegah ketidakseimbangan mata uang dan maturity pada masa lalu dan (2) karena sebagian besar negara-negara mengalami situasi yang sama maka pendekatan regional terhadap masalah ini yang tepat dilakukan. Selain itu alasan penting untuk mengembangkan pasar obligasi adalah untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri yang berasal dari usaha meminjam langsung kepada negara lain. Perkembangan pada pasar obligasi dikenal dengan istilah integrasi pasar obligasi yang merupakan salah satu bentuk perkembangan pasar finansial internasional secara khusus.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam kesempatan ini antara lain:

1. Bagaimanakah hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+ 6?

2. Negara manakah yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6?

Tabel 1.1. Rating Tingkat Risiko Negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat

Negara Business Climate Rating Country @rating

Australia A1 A2 Selandia Baru A1 A2 India A4 A3 Jepang A1 A2 Cina B A3 Korea Selatan A2 A2 Indonesia C B Singapura A1 A2 Malaysia A3 A2 Thailand A3 A3 Filipina B B US A1 A2 Sumber: Coface (2009) Keterangan: Country @rating

A1: Situasi ekonomi dan politik sangat baik. A2: Situasi ekonomi dan politik baik.

A3: Perubahan yang terjadi pada umumnya baik akan tetapi perubahan pada volatilitas politik dan ekonomi dapat mempengaruhi perilaku pembayaran perusahaan.

A4: Guncangan pada outlook politik dan ekonomi serta volatilitas secara relatif dapat mempengaruhi perilaku pembiayaan perusahaan.

B: Kondisi politik dan ekonomi yang tidak jelas dan lingkungan yang kadang-kadang sulit dapat mempengaruhi pembiayaan perusahaan.

C: Lingkungan outlook politik dan ekonomi yang sangat tidak jelas dengan banyaknya kelemahan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku pembiayaan perusahaan.

Business Climate Rating

A1: Lingkungan bisnis sangat baik. A2: Lingkungan bisnis baik. A3: Lingkungan bisnis relatif baik. A4: Lingkungan bisnis dapat diterima. B: Lingkungan bisnis sedang/cukup. C: Lingkungan bisnis sulit

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka tujuan penelitian ini antara lain :

1. Menganalisis hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+ 6.

2. Mengetahui negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis dan masyarakat, dapat menambah pengetahuan mengenai bentuk kerja sama regional dalam bentuk integrasi ekonomi yaitu integrasi pasar obligasi.

2. Bagi pemerintah, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam usaha memperkuat sistem finansial.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai bentuk kerjasama yang merupakan bagian dari teori integrasi ekonomi yaitu dalam integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 yang terdiri dari 10 negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang secara geografis diketahui terletak dekat satu sama lain dan secara ekonomi memiliki tingkat pertumbuhan

yang relatif tinggi dan merupakan mitra dagang satu sama lain. Penelitian ini juga membahas pergerakan yield dari obligasi negara di antara negara-negara ASEAN+6. Dengan terbentuknya integrasi pasar obligasi dalam kawasan ASEAN+6 diharapkan ketergantungan pembiayaan terhadap sektor perbankan berkurang dan pemerintah negara dapat memperoleh dana yang lebih banyak untuk pembiayaan dengan mudah.

Dokumen terkait