• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

PENDAHULUAN Latar belakang

Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis. Meskipun perekonomian Indonesia mengalami peningkatan, tetapi tidak diikuti dengan penambahan lapangan kerja formal secara memadai. Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran tetap tinggi dan kemiskinan tidak menurun secara nyata (Tarigan 2007). Menurut Wakhidah (2010) terdapat hubungan antara pengangguran dan kemiskinan yang membentuk lingkaran setan (viscious cycle of poverty). Hal ini dikarenakan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak akan memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehingga hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah orang miskin tahun 2006 sebesar 39,3 juta jiwa dan jumlah pengangguran 10,9 juta jiwa. Jumlah ini menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu jumlah orang miskin sebesar 35,1 juta jiwa dan pengangguran sejumlah 8,4 juta jiwa (BPS 2006).

Pengangguran terjadi karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Ketidakseimbangan ini menyebabkan jumlah pengangguran meningkat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja. Jumlah TPT di Indonesia pada Febuari 2010 mencapai 7,4 persen, mengalami penurunan dibandingkan TPT Februari 2009 sebesar 8,1 persen dan TPT pada bulan Agustus 2009 sebesar 7,8 persen (BPS 2010).

Salah satu program pemerintah dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan membuka kesempatan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia menyatakan bahwa bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, Hak Asasi Manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Adapun menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010), penempatan Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri tidak saja merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan hak yang sama

bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.

Jumlah warga Indonesia yang bekerja menjadi TKI ke luar negeri dari tahun ke tahun umumnya terus meningkat. Pada tahun 2005 terdapat sekitar 474.310 orang, meningkat menjadi 680.075 orang pada tahun 2006, meningkat menjadi 696.746 orang pada tahun 2007, meningkat lagi menjadi 748.825 orang pada tahun 2008, dan mengalami sedikit penurunan menjadi 632.172 orang pada tahun 2009 (Kemenakertrans 2010).

Menjadi TKW memiliki dampak positif dan dampak negatif, baik untuk istri yang menjadi TKW maupun keluarga yang ditinggalkan. Salah satu dampak positif dari kebijakan penempatan TKW ke luar negeri adalah menambah devisa negara terutama bagi daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (Setioningsih 2010). Oleh sebab itu, TKI/TKW seringkali dijuluki sebagai pahlawan devisa. Sumbangan devisa bagi negara yang berasal dari TKI menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). Laporan Bank Indonesia mengenai Survei Pola Remitansi (pengiriman uang) TKI menunjukkan setiap tahun mengalami peningkatan. Data Bank Indonesia menyebutkan remitansi pada tahun 2006 mencapai US$ 5,7 miliar, meingkat menjadi US$ 6,0 miliar pada tahun 2007, dan menjadi US$ 6,617 miliar pada tahun 2008. Pada tahun 2009 menurun tipis menjadi tipis US$ 6,617 miliar, namun mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010 sebesar sebesar US$ 6,73 miliar, dan sampai dengan kuartal pertama tahun 2011 mencapai US$ 1,6 miliar (Viva News 2010). Menurut Setioningsih (2010), selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan antara ibu dan keluarga juga akan berdampak pada kondisi anak. Tanziha (2010) menyatakan bahwa sekitar 40 persen anak yang ditinggal oleh ibunya yang bekerja sebagai TKW di luar negeri memiliki perkembangan kecerdasan dan sosial yang rendah. Sementara itu, 14 persen balita yang ditinggal para TKW tersebut mengalami kekurangan gizi dan dua persen mengalami gizi buruk dikarenakan uang yang dikirimkan oleh TKW ke kampung halamannya terkadang tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan anaknya. Selain itu pada umumnya anak-anak yang ditinggal TKW tersebut hidup bersama kakek atau nenek, dan biasanya nenek cenderung memanjakan cucunya, sehingga tidak sehat untuk perkembangannya. Anak juga cenderung berkembang menjadi lebih kasar dan tingkat kecerdasannya rendah.

Alasan yang menjadi pertimbangan bagi perempuan bekerja di luar rumah pada kelompok keluarga berpendapatan rendah adalah untuk mendukung pendapatan keluarga. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga (Rambe 2004). Hipotesis Keynes mengemukakan bahwa orang akan meningkatkan konsumsinya jika pendapatan mereka meningkat, namun peningkatan konsumsi tidak sebesar pendapatannya (Bryant 1990). Selain pendapatan, pengeluaran per kapita sebulan untuk non pangan juga dapat menggambarkan keadaan kesejahteraan masyarakat suatu daerah, dimana semakin tinggi persentase pengeluaran untuk non pangan maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (BPS 2003). Berdasarkan hal ini, BPS (2002) membagi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non-pangan. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai seberapa besar kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga mengingat besarnya jumlah remintansi yang dihasilkan TKW terhadap negara dan daerah asal dan pengeluaran keluarga serta bagaimana dampak kepergian istri sebagai TKW terhadap kesejahteraan objektif dan subjektif suami.

Perumusan masalah

Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas se-Jawa dan Bali dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008). Mata pencaharian penduduknya pun beragam, baik di sektor formal maupun informal. Hal ini menyebabkan pendapatan penduduk sangat bervariasi. Bagi keluarga yang memiliki pendapatan rendah maka tidak jarang harus mencari pekerjaan lain disamping pekerjaan utamanya dan melibatkan anggota keluarga lainnya untuk meningkatkan pendapatan (family ganerating income). Hal ini dikarenakan keinginan dan kebutuhan setiap keluarga serta anggotanya relatif tidak terbatas, cenderung berubah dan bertambah banyak dari waktu ke waktu Guhardja et al. (1993). Selain adanya himpitan ekonomi dalam keluarga, juga keterbatasan lapangan pekerjaan di desa mendorong istri turut serta berpartisipasi dalam sektor publik, salah satunya dengan menjadi TKW yang bekerja di luar negeri.

Menurut BNP2TKI (2011), kabupaten Sukabumi termasuk dalam lima besar kabupaten kantong TKW di Provinsi Jawa Barat dengan urutan keempat yaitu 25.000 orang TKW. Urutan pertama ditempati kabupaten Indramayu sebanyak 39.000 orang TKW disusul dengan kabupaten Cianjur sebanyak 37.000 orang TKW dan kabupaten Cirebon sebanyak 27.000 orang TKW.

Sementara itu di urutan terakhir yaitu kabupaten Karawang sebanyak 24.000 orang TKW. Adapun remitansi TKI terhadap Kabupaten Sukabumi Tahun 2010 mencapai Rp 334 miliar. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan mencapai hampir tiga kali lipatnya dibanding Tahun 2009 yang hanya Rp 129 miliar (Antara 2010).

Disamping dampak positif, pekerjaan sebagai TKI memiliki berbagai resiko. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2010), jumlah TKI asal Sukabumi mencapai 55.207 orang. Sementara itu yang tercatat dalam Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi (2010) sekitar 12.000 orang. Artinya, terdapat sekitar 80 persen TKI tidak terdata atau ilegal (Pikiran Rakyat 2011). Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Kemenakertrans (2010) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2009, TKI (termasuk TKW) yang mendaftar melalui jasa calo mencapai 64 persen dari total penempatan yang berkisar 5 juta orang. Melalui jalur ini, para calo memanipulasi umur dan ketrampilan calon TKW (Anonim 2011a). Hal ini menunjukkan TKW yang bekerja di luar negeri masih banyak yang diberangkatkan secara ilegal dan tidak memiliki jaminan keamanan sosial seperti asuransi yang memadai (Gulcubuk 2010). Sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada TKW terutama di tempatnya bekerja. Menurut data BNP2TKI (2009) diketahui bahwa terdapat 45.626 TKW bermasalah sepanjang tahun 2008 dengan rincian permasalahan seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar dan penganiayaan, pelecehan seksual, dokumen tidak lengkap, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tidak bisa komunikasi, tidak bisa bekerja, dan lain-lain. Adapun dari data Kemenakertrans hingga Juli 2010 dapat diketahui bahwa kepulangan TKI bermasalah di Arab Saudi 16.170 kasus, Emirat Arab 3.310 kasus, Taiwan 1.938 kasus, Singapura 1.788 kasus, dan Jordania 1.434 kasus (Neraca 2011).

Selain itu dampak negatif lain akibat kepergian istri sebagai TKW dalam waktu relatif lama akan menyebabkan perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Budaya patriarki di Indonesia menganggap bahwa laki-laki dalam keluarga sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan perempuan sebagai pengasuh anak (care giver). Namun dengan terjadinya kepergian istri menjadi TKW, baik sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) maupun sebagai pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner) maka suami memikul beban peran ganda yaitu sebagai pencari nafkah (breadwinner) dan pengasuh anak (care giver). Hal ini mengakibatkan

terjadi ketidakseimbangan peran di dalam keluarga berpotensi menyebabkan berbagai permasalahan keluarga seperti percaraian.

Catatan Pengadilan Tinggi Agama Bandung menyebutkan periode Januari hingga April 2009, sekitar 420 pasangan di 24 kabupaten dan kota di Jawa Barat bercerai (Anonim 2009). Penyebabnya beragam, namun umumnya akibat hilangnya kepercayaan istri terhadap suaminya. Penyebab diajukannya gugat cerai, kalau pengajuannya dilakukan pihak istri biasanya akibat kekecewaan istri atas tindakan suaminya selama ditinggal ke luar negeri (Anonim 2008). Menurut Edi (2010), seorang kepala rumahtangga yang hidup tanpa seorang istri seringkali setelah istrinya mengirim uang, tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya melainkan dipakai untuk kawin lagi dengan wanita lain, hingga saat istri pulang perceraian pun terjadi. Namun ada pula yang mengajukan cerai terlebih dahulu dari pihak istri dikarenakan agar tidak perlu susah lagi mendapatkan izin untuk berangkat menjadi TKW lagi (Anonim 2011a).

Banyaknya resiko permasalahan atau kasus yang dihadapi TKW dan keluarganya di tanah air, tidak mengurungkan niat istri untuk bekerja sebagai TKW agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga. Mengingat bahwa dengan bekerja di luar negeri dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada di negara asalnya dan tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi (Nurulfirdausi 2010). Menurut Zehra (2008), alasan utama perempuan bekerja yaitu agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga secara langsung. Selanjutnya, pendapatan yang diterima rumahtangga menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumahtangga (Rambe 2004). Selain pendapatan, besarnya pengeluaran keluarga terhadap kebutuhan pangan dan non pangan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Semakin sejahtera keluarga maka beragam kebutuhan anggota keluarga dapat terpenuhi, baik secara kuantitas maupun kualitas (Shinta 2008).

Menurut Rashid et al. (2010), peningkatan pendapatan akan meningkatkan pengeluaran total keluarga. Oleh karena itu peran suami sangat penting dalam keluarga dalam mengelola keuangan keluarga, baik uang hasil kerja istri maupun uang yang dihasilkannya sendiri. Hal ini dikarenakan agar dapat terpenuhinya kebutuhan keluarga sehingga tercapai kesejahteraan keluarga. Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur

keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Adapun pendapatan TKW selama bekerja di luar negeri lebih banyak digunakan suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan pendidikan. Selain itu ada juga yang menggunakan untuk melunasi hutang (Geerards 2010). Teori Engel mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka semakin rendah presentase pengeluaran untuk pangan. Selain itu pendapatan seseorang dalam satu keluarga atau rumahtangga akan mempengaruhi bagaimana keluarga tersebut memenuhi kebutuhannya, seperti pemilihan komoditi yang akan dibelinya. Biasanya seseorang yang berpenghasilan rendah akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan. Keluarga dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik apabila memiliki persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibanding presentase pengeluaran non pangan (Rambe 2004). Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka beberapa permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana alokasi pengeluaran pangan dan non pangan rumahtangga yang dilakukan oleh keluarga?.

2. Bagaimana kontribusi ekonomi istri dalam bentuk setara uang terhadap kesejahteraan keluarga?.

3. Bagaimana pola pengeluaran rumah tangga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga?.

4. Melihat sejauh mana tingkat kesejahteraan keluarga TKW?.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kontribusi ekonomi perempuan dan pola pengeluaran rumah tangga terhadap kesejahteraan keluarga pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan ekonomi contoh dan keluarganya. 2. Mengidentifikasi alokasi pengeluaran keluarga yang terdiri dari pengeluaran

pangan, pengeluaran non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang terhadap kesejahteraan keluarga, baik yang berasal dari penghasilan TKW

maupun dari lainnya.

3. Menganalisis kesejahteraan keluarga TKW. 4. Menganalisis hubungan antar variabel penelitian.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada beberapa pihak mengenai keadaan keluarga dengan istri sebagai TKW. Informasi ini diharapkan dapat berguna antara lain bagi penulis, kelembagaan keilmuan, pemerintah, masyarakat, dan pengembangan keilmuan.

1. Bagi penulis penelitian ini dapat menjadi sarana untuk menambah pengetahuan terhadap berbagai permasalahan seputar keluarga lebih dalam, terutama mengenai kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga, pola pengeluaran rumahtangga, tingkat kesejahteraan keluarga, dan meningkatkan kemampuan menganalisa suatu permasalahan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki penulis, serta dapat memperkaya akan wawasan dan studi kepustakaan mengenai bidang keluarga.

2. Bagi kelembagaan keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur di bidang ilmu keluarga yang khususnya terkait dengan permasalahan keluarga berkaitan dengan gender dimana salah satunya adalah menjadi TKW dan dapat digunakan untuk referensi literatur untuk penelitian selanjutnya.

3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menginformasikan pada pemerintah terkait dengan pilihan menjadi TKW yang masih dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga di kawasan Sukabumi dan diharapkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan mampu memberikan solusi, perlindungan hak perempuan untuk hidup sejahtera serta regulasi terhadap ketenagakerjaan dan perlindungan kepada TKW beserta kesejahteraan keluarga TKW tersebut.

4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan informasi akan hubungan kontribusi ekonomi perempuan khususnya pada keluarga TKW, pola pengeluaran rumahtangga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Wawasan dan informasi tersebut diharapkan dapat dipergunakan dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. 5. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait