• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan paradigma pariwisata internasional, berawal dari pariwisata yang hanya mempertimbangkan dan memperhatikan banyaknya jumlah wisatawan saja, kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan dari masyarakat sekitar, sedangkan permintaan pariwisata saat ini telah menjadi permintaan produk wisata yang mengedepankan faktor lingkungan dan sosial budaya sebagai daya tarik utama. Kehidupan manusia yang berproses dalam waktu, terbukti dipengaruhi oleh cara hidupnya, dengan perilaku yang tidak menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan juga akan memberikan dampak terhadap manusia itu sendiri. Telah menjadi fakta bahwa kegiatan pariwisata memberikan dampak pada aspek sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi pada daerah tujuan wisata dengan disertai implikasi tertentu (Cooper et al. 1998: 185)

Kebutuhan ruang untuk berekreasi akan bertambah dengan meningkatnya populasi manusia di perkotaan. Kondisi tersebut telah terjadi di negara-negara besar seperti Amerika dan Eropa, dialami juga di Indonesia contohnya di Jakarta sebagai pusat ibukota yang jumlah penduduknya bertambah baik karena jumlah kelahiran tetapi juga urbanisasi. Berdasarkan data BPS Kependudukan di Propinsi DKI Jakarta (2013) terjadi kenaikan jumlah penduduk 16.33% selama 20 tahun yaitu tahun 1990 hingga 2010 dari 8 259 266 jiwa menjadi 9 607 787 jiwa. Propinsi Jawa Barat selama 20 tahun tersebut mengalami kenaikan populasi penduduk 17.81% yaitu 35 384 352 jiwa menjadi 43 053 732 jiwa. Pertumbuhan populasi tersebut akan memberikan dampak terhadap permintaan rekreasi, yaitu rekreasi dengan konsep pariwisata yang lebih luas.

Peningkatan permintaan atau demand akan pariwisata, menurut Cooper et al. (1999: 2-3) di abad keduapuluh telah menjadikan pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan baik sebagai aktivitas dan suatu industri. Hal tersebut sesuai perkiraan WTTC (1996) bahwa pada pertengahan 1990-an pariwisata menjadi suatu industri terbesar di dunia. Pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung menghasilkan dan mendukung 204 juta pekerjaan, yang setara dengan lebih dari 10% tenaga kerja dunia dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 11% tenaga kerja global dalam tahun-tahun awal millennium berikutnya. Berdasarkan data UNWTO (2012) kondisi perkembangan pariwisata dunia saat ini pun telah melebihi tahun-tahun sebelumnya, pada pertengahan tahun 2012 (Januari-Agustus 2012), yaitu jumlah kedatangan wisatawan internasional di dunia telah mencapai 704 juta wisatawan, dan telah meningkat 5% dari tahun 2011. Periode pertengahan tahun sebelumnya yaitu tahun 2011 (Januari-Agustus 2011) jumlah wisatawan internasional mencapai 671 juta wisatawan atau naik 29 juta wisatawan dari tahun 2010 pada periode yang sama yang berjumlah 642 juta wisatawan.

Alikodra (2012: 328) menyebutkan bahwa pariwisata global dengan pertumbuhan yang sangat pesat telah menjadi industri raksasa dunia, dan sejak tahun 1999 pendapatan nasional bruto dunia, perkembangannya telah mencapai 12% menurut US Dept. of Commerce (1990). Kondisi tersebut ternyata telah mengancam kelestarian bumi, karena pariwisata banyak memberikan dampak

2

negatif di daerah tujuan wisata. Berhadapan dengan kondisi lingkungan yang juga mengalami perubahan, maka masalah lingkungan semakin mengkhawatirkan karena beban wisata yang semakin berat, selain itu jumlah pendapatan yang diterima masyarakat di daerah tujuan wisata relatif kecil, untuk itu diperlukan model pengelolaan wisata yang tidak merusak sumberdaya alam dan lingkungannya, bahkan diharapkan dapat memberikan nilai yang positif secara ekologi, sosial-budaya dan ekonomi di daerah tujuan wisata.

Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan juga terjadi di Indonesia yaitu peningkatan jumlah total kunjungan wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia dan khususnya di Ibukota Jakarta (Gambar 1), tingkat permintaan pariwisata pun meningkat. Pariwisata yang berkembang di Indonesia memang masih banyak yang mengacu pada wisata masal dan perkembangan untuk menuju konsep pariwisata yang berkelanjutan mengacu pada ecotourism masih dalam proses atau tahapan yang membutuhkan waktu untuk diperbaiki dan disempurnakan. Secara global pariwisata dunia memang telah berubah menjadi konsep pariwisata berkelanjutan, dimana konsep tersebut berasal dari ide dasar pembangunan berkelanjutan yaitu kelestarian sumberdaya alam dan budaya. Setiap orang saat ini membutuhkan sumberdaya, agar dapat hidup dengan sejahtera, tetapi keberadaan sumberdaya tersebut harus dipelihara dan dilestarikan agar generasi di masa yang akan datang masih dapat menggunakannya.

Tahun

Gambar 1 Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia Sumber: BPS Pariwisata (2013)

Konsep pariwisata berkelanjutan tersebut, bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan telah menjadi target dalam Agenda 21 For The Travel Tourism Industry, yaitu adanya harmonisasi pengelolaan pariwisata dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya (Gunawan 2000: xvi). Avenzora (2008: 13) juga mengemukakan bahwa konsep sustainability dalam setiap sektor pembangunan, termasuk pariwisata, mensyaratkan untuk membangun dan memelihara the 3 pilars of sustainability, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar sosial-ekonomi. Pariwisata tersebut mengacu pada terminologi ekowisata (ecotourism) dan konsep ecotourism menjadi tidak sempurna bila hanya ditujukan pada area destinasi, tetapi pendefinisian ekowisata harus secara holistik,

Bandara Soekarno-Hatta Jakarta 2 053 850 Total Indonesia 8 044 462 0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jum lah (or ang )

3 bahwa terdapat 5 tahap kegiatan yang harus terkait dengan ecotourism yaitu mulai dari tahap perencanaan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi hingga rekoleksi. Ecotourism sebenarnya adalah suatu prinsip bahkan roh atau jiwa bagi apapun bentuk kepariwisataan (Avenzora 2008: 14), maka konsep ini dapat menjadi acuan bagi berbagai destinasi wisata di Indonesia. Salah satu destinasi wisata yang telah lama ada dan berkembang di Indonesia adalah Kebun Raya Cibodas (KRC) yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat konservasi eksitu berbagai jenis tumbuhan, namun juga memiliki nilai sumberdaya rekreasi. Menurut Avenzora (2008: 243) sumberdaya rekreasi adalah suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu, yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu, yang pada waktu tertentu secara satu kesatuan, dapat menarik minat orang untuk berekreasi dan menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut. Melalui pendekatan ruang maka aktivitas pengunjung KRC, baik kebutuhan ruang dan waktu para pengunjung hingga daya dukung dari kawasan KRC dapat diketahui.

Keberadaan KRC sebagai salah satu destinasi tertua, yang dirintis dan dibangun di masa Belanda pada tahun 1830, memiliki peranan penting dalam dunia pariwisata karena menjadi salah satu target tujuan wisata oleh para penduduk dari berbagai kota besar sekitarnya seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Bekasi dan Karawang, serta pengunjung dari berbagai negara. Posisi KRC yang strategis di Kawasan Puncak dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) turut menjadi daya tarik tersendiri. Keunikan dan kelengkapan daya tarik KRC sebagai bentuk kawasan konservasi eksitu yang berbatasan langsung dengan TNGGP sebagai kawasan konservasi insitu, serta disertai dengan keberadaan perkebunan teh di Kawasan Puncak, yang telah ada sejak tahun 1728, membuat pengunjung seakan tidak pernah bosan untuk kembali berkunjung ke KRC. Kondisi tersebut selama puluhan tahun hingga saat ini, telah menimbulkan peningkatan pengunjung ke destinasi wisata Cibodas dimana KRC berada. Hal tersebut terlihat dari problematika kemacetan di jalur jalan menuju destinasi wisata Cibodas, terutama saat akhir pekan atau musim liburan yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Secara khusus dalam konteks KRC, peningkatan pengunjung dan keberadaan pengunjung yang terus menerus berulang akan memberikan dampak secara ekologis dan psikologis di lokasi tersebut.

Peningkatan jumlah pengunjung yang terjadi di KRC dalam satuan waktu yang sama, dapat mempengaruhi kondisi ekologis kawasan dan psikologis pengunjungnya. Bila tidak memperhatikan daya dukung kawasan KRC, dipastikan dalam jangka waktu panjang secara terus menerus, maka akan merusak kondisi ekologis kawasan dan menganggu psikologis pengunjung atau dari sisi kepuasan pengunjung dapat semakin menurun. Keadaan tersebut bukanlah menjadi suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan, dan tidak sesuai dengan tujuan, pokok dan fungsi dari kebun raya, sehingga mengetahui daya dukung ekowisata dari KRC menjadi hal yang memang harus dilakukan demi keberlanjutan kawasan konservasi eksitu tersebut. Melakukan penghitungan daya dukung ekowisata, juga merupakan salah satu dari beberapa tindakan terpenting yang telah dirumuskan oleh para pakar dalam Agenda 21 (Gunawan 2000: 10) guna mendukung pariwisata berkelanjutan, sehingga tidak hanya menjadi hal yang terus-menerus dibahas tetapi menjadi tindakan yang harus dilakukan secara nyata. Oleh karena

4

itulah penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur nilai daya dukung fisik KRC sebagai kawasan ekowisata serta menganalisis dan merumuskan nilai daya dukung real KRC dengan pendekatan ekologis dan psikologis pengunjung agar kegiatan wisata yang ada hingga saat ini tidak menurunkan kualitas kawasan dan kenyamanan pengunjung di KRC sebagai kawasan konservasi eksitu yang menjadi bagian dari destinasi kawasan wisata Cibodas.

Perumusan Masalah

Konsep perkembangan pariwisata berkelanjutan yaitu ekowisata yang menjadi bahasan dalam studi ini adalah berawal pada konsep pariwisata yang umumnya kurang memperhatikan kondisi lingkungan. Pariwisata yang telah menjadi industri besar tersebut ternyata dengan berbagai kegiatan wisata yang berkembang hingga saat ini, memberikan dampak negatif baik terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat pada daerah destinasi wisata. Dengan kesadaran mengenai masalah lingkungan, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan pariwisata konvensional menjadi pariwisata yang berkelanjutan yang dalam konsepnya memperhatikan daya dukung kawasan pariwisata. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dapat mengancam kelestarian sumberdaya dalam kawasan pariwisata apabila pemanfaatannya melampaui daya dukung kawasan tersebut. Untuk itu kapasitas maksimum daya dukung perlu diketahui agar keberlanjutan dari daerah tujuan wisata tetap terjaga.

Banyak kasus dari berbagai negara tujuan wisata yang pada intinya bahwa pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumberdaya pariwisata, karena daya dukung (carrying capacity) fisik dan sosial setempat telah diabaikan dalam pembangunan banyak resort eksklusif. Apabila hal tersebut terus berlanjut maka kelestarian obyek daerah tujuan wisata akan terancam dan pariwisata pun tidak dapat berkembang lebih lanjut. Selain itu kepuasan wisatawan sangat bergantung pada sumberdaya yang disajikan dan jasa serta pelayanan para pelaku wisata (stakeholders), yang memang harus menjamin bahwa kepuasan yang diperoleh wisatawan optimal. Dengan kepuasan wisatawan yang diberikan dalam jangka panjang dan dalam bentuk pengalaman yang lengkap (total experience), maka pariwisata tersebut dapat bertahan lama atau berkelanjutan. Menurut Damanik (2006: 25-26) untuk itulah konsep pariwisata berkelanjutan diarahkan pada pembangunan sumberdaya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang.

Studi daya dukung ini dilakukan di KRC, karena sebagai daerah tujuan wisata hingga saat ini tetap menjadi target kunjungan utama para wisatawan dari Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Hal tersebut tergambar dalam kenaikan jumlah wisatawan berdasarkan data jumlah tiket terjual di KRC, yaitu di tahun 2005 dengan jumlah 554 967 orang menjadi 603 279 orang wisatawan di tahun 2012. Perkembangan pariwisata di KRC hingga saat ini masih digambarkan dan dimaknai sebagai wisata masal karena berbagai persepsi dan pemaknaan mengenai ekowisata yang berkembang masih pada gambaran wisata yang dilakukan di kawasan yang alami. Untuk itu pendefinisian dari awal tentang

5 rekreasi juga menjadi penting karena berkaitan dengan pemaknaan ekowisata yang merupakan roh dan spirit dari semua kegiatan wisata yang ada di KRC.

Penataan ruang yang dilakukan di KRC sesuai misinya yaitu untuk mendukung kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, dan rekreasi. Keberadaan pengunjung di KRC untuk rekreasi ataupun melakukan kegiatan wisata, tentunya menggunakan ruang sebagai tempat berekreasi. Berkaitan dengan ruang di KRC terutama ruang rekreasi, maka menurut Avenzora (2008a: 4) bahwa “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu, yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu yang pada waktu tertentu dapat menarik minat orang untuk berekreasi, menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut dan memberikan kepuasan orang berekreasi, disebut sebagai sumberdaya rekreasi”. Kemampuan untuk menampung orang tersebut sesuai pengertian daya dukung ruang, dalam hal ini daya dukung KRC yang akan berbeda dengan kawasan wisata lainnya, seperti dinyatakan oleh Cooper et al. (1998) bahwa daya dukung bersifat dinamis dan site specific, maka akan saling berbeda di setiap area, karena bergantung pada kondisi ekologis tapak, kondisi psikologis dari wisatawan, serta waktu terjadinya. Waktu terjadinya berkaitan dengan aspek seasonality wisata yaitu mengamati jumlah wisatawan dengan membedakan tipe hari (low, condensed dan peak visits) serta per periode waktu per harinya (Avenzora 2013: 521). Untuk itu menjadi hal penting mengetahui daya dukung ruang rekreasi KRC melalui pendekatan secara ekologis dan psikologis maka analisis daya dukung yang digunakan adalah analisis daya dukung fisik atau Physical Carrying Capacity (PCC) dan analisis daya dukung riil atau Real Carrying Capacity (RCC). Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran dapat terlihat pada Gambar 2 dan berikut yang menjadi detail kajian dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana sebenarnya karakteristik, motivasi dan persepsi wisatawan di KRC?

2. Bagaimana sebenarnya dampak ekologis langsung pada tapak KRC sebagai kawasan ekowisata dengan tingkat kunjungan yang termasuk tinggi?

3. Bagaimana dan berapa nilai daya dukung fisik dan riil tapak kawasan KRC, baik secara ekologis dan psikologis bagi wisatawan? Apakah telah optimal atau maksimal sehingga pemanfaatan ekowisata yang dilakukan dapat mengurangi atau meningkatkan penurunan kondisi ekologis dan bahkan terjadinya penurunan minat kunjungan ke KRC?

6

Gambar 2 Kerangka pemikiran penentuan daya dukung ekologis dan psikologis ekowisata di Kebun Raya Cibodas

7 Tujuan

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis karakteristik, motivasi dan persepsi wisatawan di Kebun Raya Cibodas.

2. Menganalisis dampak ekologis langsung pada tapak Kebun Raya Cibodas sebagai kawasan ekowisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi.

3. Menganalisis dan menghitung nilai daya dukung fisik dan riil tapak kawasan Kebun Raya Cibodas secara keseluruhan melalui pendekatan ekologis dan psikologis ekowisata di Kebun Raya Cibodas, sebagai kawasan konservasi eksitu yang menjadi bagian dari destinasi kawasan wisata Cibodas.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengelolaan ekowisata di Kebun Raya Cibodas sebagai kawasan konservasi eksitu. Dengan demikian diharapkan dapat terselenggara secara optimal, sehingga terbangun keberlanjutan ekologi kawasan dan psikologi wisatawan yang baik, yaitu kepuasan optimum dari wisatawan yang juga berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian dilakukan pada ruang lingkup pengelolaan kawasan Kebun Raya Cibodas dan perilaku wisatawan di dalam lokasi kawasan sebagai berikut:

1. Tapak Kebun Raya Cibodas yaitu area di sekitar pintu gerbang utama Kebun Raya dan Gedung Konservasi, area di sekitar kolam besar dan jalan air yang menjadi tujuan para wisatawan.

2. Wisatawan yang beraktivitas di dalam kawasan Kebun Raya Cibodas. 3. Pengelola kawasan Kebun Raya Cibodas.

8

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ekowisata, Rekreasi dan Pariwisata

Ekowisata atau ecotourism merupakan bentuk tourism dan untuk memahami tourism sebagai bagian dari pembangunan global dan dinamis, menurut Page dan Dowling (2002: 6) adalah penting untuk membedakan diantara tiga hubungan ketekaitan dari: tourism, leisure dan recreation. Avenzora (2008a: 3) menjelaskan bahwa tourism is multy sectoral in nature, dimana berbagai komponen dan aspek pengetahuan dikombinasikan dan diintegrasikan dalam suatu kesatuan dinamika. Penyederhanaan dapat dilakukan guna mempermudah dalam mempelajarinya, yaitu dengan mengenali determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam tourism. Determinan tersebut adalah (1) space (ruang) dan (2) time (waktu), sehingga mudah untuk dimengerti bahwa bagaimanapun juga aspek waktu pasti akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan aspek yang terlibat dalam suatu kegiatan tourism.

Dalam memahami tourism dari variabel waktu Avenzora (2008a: 3) menyatakan bahwa fokus analisis dapat diarahkan pada time-budget, baik dari setiap individu atau populasi, dengan pola yang dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) existence time, (2) subsistence time, dan (3) leisure time. Terminologi existence time digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar harian mereka, seperti mandi, makan, tidur dan istirahat. Sedangkan terminologi subsistence time digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan manusia guna melaksanakan aktifitas yang mereka perlukan untuk bisa terpenuhinya kebutuhan dasar mereka tersebut. Untuk leisure time lebih menggambarkan waktu dimana manusia bebas melakukan aktifitas lain setelah berbagai existence and subsistence activities terpenuhi. Setelah gambaran mengenai time-budget jelas, maka terlihat bahwa leisure hanyalah salah satu aktifitas alternatif yang dapat dipilih manusia untuk memanfaatkan leisure time mereka. Kemudian dapat pula dipahami bahwa recreation juga hanyalah bagian dari salah satu pilihan yang dapat manusia pilih diantara berbagai alternatif leisure activities lainnya.

Konteks leisure studies, terdapat dua hal penting yang perlu dimengerti secara baik, yaitu: (1) the leisure time pattern, dan (2) the pattern of leisure activities. Guna mengukur peluang dan/atau kebutuhan rekreasi yang dapat dan/atau dibutuhkan oleh individu/populasi dalam waktu luang mereka, maka pola waktu luang perlu untuk dimengerti. Berikutnya the pattern of leisure activities atau pola aktivitas luang yaitu lebih mengilustrasikan pada tingkat partisipasi secara aktif yang diambil oleh individu dalam memanfaatkan waktu luang mereka. (Avenzora 2008a: 3).

Definisi recreation oleh Douglas (1975: 6) yaitu: “any action that refreshes the mental attitude of an individual is recreation. Recreation is a wholesome activity that is engaged in for pleasure, therefore it is play”. Sebelumnya Slavson (1961) dalam Kraus (1977: 4) mengartikan bahwa: “Play and recreation … are leisure-time activities …motivated by pleasure and serve as diversions from the more pressing and serious occupations daily living.” Sedangkan Neumeyers seorang sociologists, yang mengambil bidang khusus leisure and recreation,

9 mendefinisikan bahwa: “Recreation is….any activity, either individual or collective, pursued during one’s leisure time. Being relatively free and pleasurable, it has its own appeal” (Neymeyer (1958) dalam Kraus (1977: 4)).

Selanjutnya Kraus (1977: 5) mendefinisikan recreation secara modern dan lebih luas, yaitu: “recreation consists of an activity or experience, usually chosen voluntarily by the participant, either because of the immediate satisfaction to be derived from it, or because he perceives some personal or social values to be achieved by it. It is carried on in leisure time, and has no work connotations, such as study for promotion in a job. It is usually enjoyable and, when it is carried on as part of organized community or agency services, it is designed to meet constructive and socially worthwhile goals of the individual participant, the group, and society at large”. Pengertian recreation (rekreasi) tersebut menggambarkan bahwa rekreasi menjadi kebutuhan setiap pribadi manusia yang dilakukan pada waktu luang (leisure time) untuk menyegarkan kembali secara psikologis dirinya atau mentalnya, karena ada nilai pribadi dan sosial yang dapat dicapainya serta dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan. Douglas (1975: 6) mendefinisikan rekreasi lebih khusus pada individu manusia, sedangkan Kraus (1977: 5) selain secara individu manusia tetapi juga lebih luas yaitu pada kegiatan dan nilai yang akan diperoleh secara pribadi dan sosial.

Rekreasi dalam konteks perencanaan menurut Avenzora (2008: 3) dapat disimplifikasikan melalui pengertian yang baik tentang recreation demand dan recreation supply. Dijelaskan bahwa recreation demand tentang (1) siapa yang meminta, (2) apa dan berapa banyak yang diminta, dan (3) kapan diminta. Berikutnya berbicara recreation supply dapat dipahami melalui pengertian tentang (1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3) kepada siapa dapat diberikan. Kemudian sejalan dengan pendekatan waktu dan ruang maka Avenzora (2008a: 4) mendefinisikan recreation resources atau sumberdaya rekreasi sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen dan fenomena ruang tertentu, yang pada waktu tertentu dapat: (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung orang untuk melakukan kegiatan rekreasi di tempat tersebut, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi”.

Terdapat perbedaan pengertian antara recreation dengan tourism, dimana Muljadi (2009) menjelaskan bahwa istilah pariwisata (tourism), baru muncul diperkirakan abad ke-18, yaitu sesudah revolusi industri di Inggris. Istilah tersebut berasal dari dilaksanakannya kegiatan wisata (tour), yaitu suatu aktivitas perubahan tempat tinggal sementara dari seseorang, di luar tempat tinggalnya sehari-hari dengan suatu alasan apa pun selain melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan upah atau gaji.

Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, “pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang ini”. Kemudian pengertian pariwisata dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2009 menjadi: “berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah (Bab I, Pasal 1, Ayat 3). Sedangkan WTO (2010) sendiri mendefinisikan pariwisata sebagai “ the activities of persons travelling to and staying in places outsides their usual environment for not more than one concecutive year for

10

leisure, bussines and other purposes”. Dalam Muljadi (2009) dijelaskan juga bahwa “pariwisata” berasal dari dua suku kata, yaitu pari dan wisata, pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian, sehingga “pariwisata” berarti perjalanan atau bepergian yang dilakukan secara berkali-kali atau berkeliling. Pariwisata sebagai padanan bahasa Indonesia dari tourism dalam bahasa Inggris.

Definisi ekowisata dalam Cebalos-Lascurain (1996: 20) yang banyak diadopsi oleh penulis yaitu lebih mengacu pada suatu perjalanan ke area yang tidak terganggu dan tidak terkontaminasi, dengan maksud tujuan untuk studi dan menikmati keindahan alam serta satwa dan tumbuhan liar, sesuai kondisi saat ditemukan di area tersebut. Kemudian Beaumont’s (1998) dalam (Page dan Dowling 2002: 59) menjelaskan bahwa: “most definition that subsequently emerged insist that ecotourism must have minimal impact on the environment and

Dokumen terkait