• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jeruk adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (high economic value commodity) dan merupakan salah satu buah yang cukup banyak digemari masyarakat pada berbagai kalangan. Rasa dan kemudahan cara menyajikan dan mengkonsumsi jeruk, harga buah yang relatif murah, daya simpan buah yang cukup lama serta kandungan gizi yang tinggi mendorong minat masyarakat untuk mengkonsumsi buah ini cukup tinggi.

Pada tahun 2007, dengan total produksi jeruk 2 565 543ton (Departemen Pertanian, 2008a), Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia (posisi ke sembilan). Produksi jeruk Indonesia pada tahun 2008 meningkat menjadi 2 625 884 ton dan memposisikan Indonesia menjadi Negara produsen terbesar ke enam di dunia setelah Brazil, USA, Mexico, India dan China (FAO, 2010). Pada tahun yang sama, untuk kelompok jeruk keprok Indonesia berada pada posisi kedua setelah China. Hampir 97.3% pertanaman jeruk yang ada di Indonesia merupakan jeruk Siam dan keprok dengan produktivitas yang rendah dan mutu buah yang tidak seragam. Musim panen yang relatif bersamaan pada bulan Mei, Juni dan Juli seringkali mengakibatkan harga rendah dan sangat merugikan petani.

Pengembangan komoditas jeruk menyebar di seluruh wilayah di Indonesia. Sifat tanaman jeruk yang relatif cepat berbuah, potensi produksi dan produktivitas yang cukup tinggi, daya adaptasi yang luas, serapan pasar yang cukup tinggi serta dukungan informasi dan teknologi perjerukan yang lebih maju yang ditawarkan pemerintah adalah merupakan beberapa pertimbangan para

petani maupun pekebun buah untuk memilih jeruk sebagai tanaman yang diusahakan. Nilai ekonomis jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani jeruk dan keluarganya yang relatif baik. Komoditas jeruk dapat tumbuh dan diusahakan petani di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan varietas/spesies komersial yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat pada berbagai golongan pendapatan.

Badan Internasional, Food and Agricultural Organisation (FAO), menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan Indonesia hanya sebesar 34.06 kg (2007) dan 40.09 kg (2008) per kapita per tahun; jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Jepang dan AS yang masing-masing 120 kg dan 75 kg per kapita per tahun. FAO merekomendasikan konsumsi buah-buahan sebanyak 65.75 kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2008b). Pada tahun 2003, konsumsi jeruk dalam negeri baru mencapai 2.9 kg per kapita per tahun. Sedangkan tahun 2005 adalah sebesar 3.5 kg per kapita per tahun. Angka-angka ini masih berada di bawah rata-rata konsumsi jeruk di negara-negara berkembang yaitu sekitar 6.9 kg per kapita per tahun, sedangkan pada negara maju dapat mencapai 32.6 kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2007). Diperkirakan, kecenderungan konsumsi jeruk dalam negeri akan meningkat sebesar 10% setiap tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan gaya hidup penduduk yang lebih mementingkan konsumsi buah-buahan bermutu. Sampai dengan tahun 2006, peningkatan kebutuhan konsumsi jeruk dalam negeri tidak dapat diimbangi dengan produksi domestik. Hal ini telah menyebabkan banjirnya jeruk impor masuk ke Indonesia. Walaupun data yang diperoleh berfluktuasi, impor buah jeruk Indonesia terus meningkat. Pada tahun

3

2001 jumlah impor jeruk segar sebesar 77 855 ton; pada tahun 2004 telah mencapai 95 744 ton; tahun 2006 berjumlah 96 584 ton dan pada tahun 2008 berjumlah 143 600 ton (Departemen Pertanian, 2008b dan FAO, 2010). Namun demikian, jeruk Indonesia juga telah mampu menembus pasar luar negeri (ekspor) meskipun dalam volume yang relatif kecil. Volume ekspor jeruk Indonesia lebih banyak berupa produk jeruk segar. Pada tahun 2003, volume ekspor jeruk Indonesia mencapai 1 158 ton dan pada tahun 2006 menurun menjadi 470.76 ton. Hal ini tidak sejalan dengan meningkatnya luas panen dan produksi jeruk Indonesia selama kurun waktu 2003-2006 sebesar masing-masing 17.90% dan 22.40%.

Potensi ekonomi jeruk secara nasional patut diperhitungkan sebagai salah satu sumber pendapatan asli. Kontribusi jeruk terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian pada tahun 2003 mencapai Rp. 2 339 milyar (atau lebih dari 2.3 trilyun rupiah). Sedangkan pada tahun 2006 sebesar Rp. 6 129.08 milyar (atau lebih dari 6.1 trilyun rupiah) (Departemen Pertanian, 2008b).

Produksi jeruk di Indonesia didominasi oleh jenis jeruk siam (60.6%), disusul jeruk keprok (36.7%), jeruk besar (pamelo) (1.7%), jeruk manis (1.0%) dan grape fruit (0.14%) (Departemen Pertanian, 2009a). Jeruk keprok (Citrus reticulata Blanco) dipahami berasal dari daratan China bagian Tenggara sehingga orang Eropa menyebutnya jeruk mandarin. Penyebarannya ke beberapa negara di Eropa diduga melalui jalur perdagangan dengan China pada masa lalu; sedangkan jeruk keprok di Indonesia diduga dibawa oleh orang Eropa selama masa penjajahan. Jeruk Keprok merupakan salah satu jeruk harapan yang nantinya mampu menggantikan pasar jeruk-jeruk impor (substitusi jeruk impor), seperti

jeruk Keprok varietas Grabag, Tawangmangu, Batu 55, Garut, SoE, serta varietas introduksi seperti jeruk Freemont, Sunkist, Murcott dan Chokun.

Jeruk keprok telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia dan merupakan jenis buah-buahan yang tergolong sedikit lebih mahal. Produksi jeruk keprok di Indonesia berlokasi di berbagai daerah. Kebanyakan jeruk keprok domestik yang ada di pasar-pasar di Indonesia diidentifikasi dengan “label daerah”. Setiap daerah pada umumnya membudidayakan satu komoditi spesial yang sesuai dengan kondisi iklim (angin, curah hujan dan suhu udara) dan kondisi daerah yang bersangkutan. Komoditas tersebut berhubungan dengan daerah itu. Sebagai contoh, keprok madura di pulau Madura, keprok Batu, keprok Tawangmangu, keprok Garut, keprok Berasitepu di daerah Brastagi, Sipirok dari Padang, keprok Siompu dari Sulawesi Tengah, keprok SoE di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan daerah lainnya di Indonesia (Departemen Pertanian, 2009b).

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu dari antara sembilan provinsi daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Indonesia. Di antara berbagai jenis buah-buahan yang diproduksi oleh para petani di provinsi NTT, dari segi luas panen selama tahun 2004 hingga 2008, jeruk keprok menduduki tempat ketiga setelah pisang dan Alpukat. Sedangkan dari segi jumlah produksi selama periode tersebut, jeruk ini menempati urutan keempat setelah pisang, mangga dan alpukat (Dinas Pertanian, 2010a).

Dari 20 Kabupaten/Kota daerah pengembangan jeruk keprok di NTT, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyumbang sebesar 23% terhadap total produksi jeruk keprok di NTT dan merupakan daerah prioritas pertama dengan

5

konsentrasi pengembangan jeruk varietas keprok SoE. Jeruk Keprok SoE merupakan satu-satunya varietas yang dikembangkan di daerah TTS dan sejak tahun 1998 telah dijadikan sebagai komoditas andalan baik tingkat Provinsi NTT maupun Kabupaten TTS.

Hasil pengakajian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara agroekologi (keadaan iklim dan tanah), jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di TTS. Data produksi jeruk keprok SoE di TTS menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, namun data luas lahan berfluktuatif. Pada tahun 2005, luas panen jeruk keprok SoE adalah 1 445 ha dan meningkat menjadi 2 218 ha pada tahun 2006, tetapi menurun menjadi 1 218 ha pada tahun 2009. Pemerintah kabupaten merencanakan untuk meningkatkan luas panen sebesar 7 050 ha sampai dengan tahun 2013. Dari segi produktivitas, pada tahun 2004, produktivitas jeruk ini hanya 2.2 ton per hektar, tahun 2005 meningkat menjadi 2.7 ton dan tahun 2006 sebesar 3.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2007a). Pada tahun 2009, produktivitas jeruk keprok SoE meningkat menjadi 4.5 ton per hektar (Dinas Pertanian, 2010a), tetapi masih berada di bawah produksi nasional 26.2 ton per hektar (BPS, 2010c). Sedangkan secara potensial, produktivitas jeruk keprok adalah sebesar 69 ton per hektar.

Jeruk keprok SoE bukan saja telah menjadi primadona petani di NTT tetapi juga bagi konsumen lainnya di Indonesia yang direfleksikan oleh hasil survei konsumen di Surabaya dan Denpasar (Mason et al., 2002 dan Adar et al., 2005). Keprok SoE memiliki warna campuran kuning keemasan dengan warna hijau (beberapa mendekati 100% kuning-keemasan), rasanya manis, tekstur lembut, mudah dikupas dan kadar air cukup. Karakteristik-karakteristik tersebut,

telah membuat jeruk keprok SoE memiliki kualitas yang tidak tertandingi di Indonesia (menjuarai perlombaan buah tingkat nasional dengan predikat pertama selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2003, 2004 dan 2005).

Dalam era otonomi daerah setiap wilayah dituntut untuk mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk memilih jenis komoditas yang akan dikembangkan di daerah tersebut. Di Kabupaten TTS komoditas jeruk keprok SoE merupakan komoditas unggulan daerah yang dapat diharapkan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dan petani. Kontribusi dari jeruk keprok SoE terhadap pendapatan rumah tangga petani jeruk adalah sebesar 60-75% (Adar et al., 2005). Jeruk ini dibudidayakan hampir di setiap pekarangan rumahtangga petani di TTS. Bahkan di beberapa kecamatan sentra pengembangannya seperti di kecamatan Mollo Utara, Fatumnasi dan Mollo Selatan, komoditas ini merupakan sumber utama pendapatan tunai petani. Hasil penelitian Milla et al. (2002) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi, jeruk keprok SoE sangat layak untuk dikembangkan. Secara sosial, komoditas ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat TTS secara turun temurun dan sudah lama diusahakan oleh mereka sejak tahun 1930-an. Jeruk keprok SoE merupakan salah satu sarana yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi NTT dan Kabupaten TTS terhadap komoditas ini sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai proyek pengembangan komoditas ini, baik yang dibiayai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun melalui bantuan luar negeri. Jeruk keprok SoE sudah dipromosikan dengan sangat baik oleh Pemerintah Provinsi NTT dan dibudidayakan secara luas di beberapa kecamatan di kabupaten Timor

7

Tengah Selatan (SoE adalah ibu kota Kabupaten TTS). Balai Benih Induk (BBI) milik Pemerintah Provinsi NTT didirikan secara khusus untuk menyediakan bibit jeruk keprok SoE secara eksklusif kepada petani di dataran tinggi dan di dataran rendah. Hal ini didukung pula dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap masuknya bibit jeruk lain dari luar daerah NTT.

Pemerintah Daerah NTT bekerjasama dengan Pemerintah Jepang melalui Pemerintah Pusat, telah melaksanakan proyek pengembangan produksi dan pasca panen jeruk keprok SoE sejak tahun 1998-2002 yang disebut dengan proyek OECF (Overseas Economic Corporation Fund). Dalam kenyataannya, pelaksanaan dan keberhasilan berbagai upaya tersebut pada usahatani jeruk keprok SoE di kabupaten ini masih rendah. Hasil penelitian Adar et al. (2005) menunjukkan bahwa produktivitas jeruk keprok SoE adalah 42 kg per pohon. Tingkat produktivitas ini masih dikategorikan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil uji coba lapangan di Balai Benih Induk milik Pemerintah Provinsi NTT yang berlokasi di Oebubuk TTS pada tahun 2002 dan hasil penelitian Ditjen Bina Produksi Hortikultura sebesar 50-250 kg/pohon/musim (Departemen Pertanian, 2003).

Pengentasan kemiskinan bagi petani dan usahatani hortikultura khususnya jeruk keprok SoE merupakan prioritas penelitian di Kabupaten TTS. Selain tinggkat produktivitas jeruk keprok SoE per pohon yang masih rendah (Dinas Pertanian, 2007c), dilaporkan juga bahwa masih terdapat ketidak-cukupan permintaan pasar untuk varietas yang dihasilkan di TTS ini. Besarnya kontribusi jeruk keprok SoE terhadap pendapatan petani jeruk, layaknya secara agroekologi dan finansial untuk dikembangkan dan seriusnya perhatian pemerintah terhadap

jeruk keprok ini merupakan indikator bahwa komoditas ini sangat penting dan perlu diperhitungkan sebagai salah satu sumber perekonomian daerah NTT pada umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara khusus.

Permasalahan rendahnya produksi, produktivitas dan kualitas jeruk keprok SoE diduga karena belum efisiennya proses produksi dan kurang memadainnya kemampuan petani untuk mengelola usahatani jeruk keprok. Hal-hal ini mendorong perlu adanya kebutuhan akan analisis efisiensi teknis produksi untuk membantu memformulasikan kebijakan pengembangan jeruk keprok SoE terutama dalam hal peningkatan kemampuan pengelola usahatani dan penghapusan kendala peningkatan produktivitasnya. Efisiensi merupakan suatu hal yang penting bagi pertumbuhan produktivitas dan stabilisasi produksi jeruk keprok SoE. Gambaran sejauhmana tingkat efisiensi teknis produksi usahatani jeruk keprok SoE akan sangat membantu untuk mengambil keputusan apakah memperbaiki efisiensi, ataukah mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas jeruk keprok SoE di NTT.

Dengan studi kasus pada jeruk keprok SoE di Kabupaten TTS di Pulau Timor bagian barat, penelitian ini merupakan suatu usaha penghimpunan data pelengkap bagi Pemerintah Indonesia umumnya dan NTT khususnya di bidang pembangunan hortikultura di daerah lahan kering. Sembilan puluh delapan persen (98%) (Adar et al., 2005) segmen pasar jeruk keprok SoE adalah di pulau Timor, NTT dan sisanya (2%) dipasarkan di luar NTT. Kajian terhadap efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE spesifik daerah lahan kering dapat membantu memperluas peluang peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas dan pendapatan petani serta pengembangan pemasaran produk ini di masa datang.

9

Dengan demikian, upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing produk merupakan kegiatan prioritas yang perlu didukung dengan upaya peningkatan kemampuan petani untuk mengelola usahatani dan mengembangkan pasar dan promosi. Kegiatan-kegiatan tersebut akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan petani/pelaku usaha jeruk keprok SoE.

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan akan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi (high economic value commodities) seperti, untuk menyebutkan salah satunya, jeruk di Indonesia senantiasa meningkat. Hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan berkembangnya industri pengolahan bahan makanan/minuman dalam negeri. Permasalahan umum usaha perjerukan di Indonesia diwarnai dengan tidak terpenuhinya permintaan untuk konsumsi, bahan baku industri pengolahan dan ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri. Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar, baik domestik maupun eskpor, belum memenuhi persyaratan yang memadai. Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih bersifat tradisional, belum banyak menggunakan teknologi (produksi, panen dan pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang

belum memadai terutama dalam hal alokasi pendanaan, kemitraan, penyediaan infrastruktur (perbenihan, pengairan, jalan usahatani), pasar dan promosi.

Arah pengembangan jeruk pada masa yang akan datang (Supriyanto, 2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3) mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah Provinsi NTT dengan fokus jeruk keprok SoE.

Jeruk keprok ini diharapkan dapat menjadi faktor penggerak ekonomi petani di daerah-daerah pengembangannya. Jeruk keprok SoE merupakan sumber pendapatan tunai utama (60-75% berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga) bagi para petani jeruk di daerah sentra pengembangannya di Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani, dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama, namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a). Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS adalah seperti tercantum pada Gambar 1.

Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan produksi jeruk keprok (84%) selama tahun 2002-2009 menggambarkan pentingnya komoditas ini di dalam kehidupan ekonomi petani. Semakin luasnya

11

areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar petani jeruk di sana masih menggantungkan perekonomiannya pada usahatani komoditas ini.

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a.

Gambar 1. Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2002-2009

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara finansial, jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-turut yakni tahun 2003-2005. Sedangkan hasil kajian agroekologi (Dinas Pertanian, 2007a) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya pembangunan telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pelaku usaha/bisnis terkait. Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk keprok di daerah TTS, pemerintah daerah melakukan program rehabilitasi jeruk keprok

sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2) meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan petani, dan 4) mengembalikan potensi komoditas unggulan lokal. Untuk mencapai target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE sampai dengan tahun 2013 (Bappeda, 2010).

Semakin besarnya luas panen menunjukkan bahwa sebagian besar petani jeruk menggantungkan perekonomian mereka pada komoditas ini. Namun di sisi lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-faktor eksternal (iklim, serangan organisme pengganggu tanaman, harga, infrastruktur) dan rendahnya kemampuan manajerial petani jeruk keprok di dalam pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral permasalahan penelitian ini adalah untuk mendalami secara empiris kondisi produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar dapat ditentukan strategi peningkatan kapasitas manajerial petani dan pengembangan usahatani jeruk ini di masa depan, apakah berbasiskan pada efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi teknologi baru).

Proses produksi yang benar dengan berpatokan pada aspek penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dan optimal dalam rangka mencapai kemampuan produksi yang best practice menjadi hal penting dalam pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak

13

petani jeruk keprok tidak mampu mengalokasikan inputnya secara efisien sehingga tidak mencapai kondisi yang best practice dan mengakibatkan rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun zona-zona agroklimat yang berbeda.

Ukuran usahatani adalah sangat penting di dalam menentukan efisiensi khususnya yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani untuk mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan suatu hamparan yang kompak.

Sedangkan faktor-faktor agroklimat (suhu, curah hujan, angin, kelembaban) sangat penting di dalam isu-isu yang berkaitan dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan efisiensi produksi. Kondisi agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu variabel penting bagi efisiensi. Di daerah sentra pengembangan jeruk keprok di TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi agronomis yang mensiasati kondisi agroklimat tersebut. Kondisi ini diperparah dengan sistem usahatani lahan kering tanpa pengarian yang memadai.

Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala usahatani dan zona agroklimat di daerah lahan kering. Persoalan produktivitas menjadi hal penting dalam rangka memformulasikan kebijakan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE. Pemahaman akan perbedaan faktor-faktor penentu produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan memudahkan pengambil kebijakan untuk meningkatkan produktivitas. Produksi aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem produksi, kondisi alam, manajemen usaha, ketersediaan dan aplikasi faktor-faktor produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi tersebut.

Teknologi budidaya adalah primitif. Rendahnya adopsi teknologi yang dianjurkan seperti pupuk, obat-obatan dan bibit yang berkualitas merupakan faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua dengan ranting-rantingnya yang sudah berkering turut memperburuk tingkat produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit. Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan tingkat kematangan.

Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40 persen (Adar et al., 2005). Dengan dipraktekkannya sistem penjualan borongan

15

per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali. Terkadang pembeli borongan sering meninggalkan buah jeruk yang berukuran kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat produksi tahun berikutnya. Untuk jeruk, sekitar 95 persen para petani tidak menggunakan teknologi pemasaran/pembungkusan yang benar. Grading, labeling dan perlakuan produk lainnya sebelum/selama/sesudah