• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan akan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi (high economic value commodities) seperti, untuk menyebutkan salah satunya, jeruk di Indonesia senantiasa meningkat. Hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan dan selera atau gaya hidup masyarakat dan berkembangnya industri pengolahan bahan makanan/minuman dalam negeri. Permasalahan umum usaha perjerukan di Indonesia diwarnai dengan tidak terpenuhinya permintaan untuk konsumsi, bahan baku industri pengolahan dan ekspor. Hal ini dikarenakan masih rendahnya produktivitas jeruk dalam negeri. Dari segi kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan persyaratan pasar, baik domestik maupun eskpor, belum memenuhi persyaratan yang memadai. Persoalan ini secara umum disebabkan oleh: (1) sistem usahatani jeruk masih bersifat tradisional, belum banyak menggunakan teknologi (produksi, panen dan pasca panen) anjuran, (2) luas areal panen jeruk yang masih kecil dibandingkan dengan luas areal yang masih tersedia (3) lemahnya permodalan dan kelembagaan petani (4) masa panen yang seragam (bersifat musiman), (5) ketersediaan benih/bibit jeruk yang belum mencukupi, dan (6) dukungan pemerintah yang

belum memadai terutama dalam hal alokasi pendanaan, kemitraan, penyediaan infrastruktur (perbenihan, pengairan, jalan usahatani), pasar dan promosi.

Arah pengembangan jeruk pada masa yang akan datang (Supriyanto, 2006 dan Departemen Pertanian, 2008d)) adalah untuk (1) mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, (2) memenuhi bahan baku industri dalam negeri, (3) mensubstitusi impor, dan (4) mengisi peluang pasar ekspor. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah melakukan revitalisasi daerah sentra produksi jeruk keprok yang sudah ada dan membangun areal pengembangan baru untuk jeruk keprok. Salah satu daerah sentra pengembangan jeruk keprok di Idonesia yang mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah adalah Provinsi NTT dengan fokus jeruk keprok SoE.

Jeruk keprok ini diharapkan dapat menjadi faktor penggerak ekonomi petani di daerah-daerah pengembangannya. Jeruk keprok SoE merupakan sumber pendapatan tunai utama (60-75% berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga) bagi para petani jeruk di daerah sentra pengembangannya di Kabupaten TTS. Dari berbagai jenis buah-buahan yang diusahakan oleh petani, dari segi luas lahan garapan jeruk merupakan terbesar ketiga setelah mangga dan pisang. Sedangkan dari segi produksi, jeruk keprok menempati urutan pertama, namun produktivitasnya masih rendah yakni 4.5 ton/ha (Dinas Pertanian, 2010a). Tren luas panen (ha) dan produksi (ton) jeruk keprok SoE di kabupaten TTS adalah seperti tercantum pada Gambar 1.

Seperti terlihat pada gambar bahwa meningkatnya luas panen (14%) dan produksi jeruk keprok (84%) selama tahun 2002-2009 menggambarkan pentingnya komoditas ini di dalam kehidupan ekonomi petani. Semakin luasnya

11

areal tanaman jeruk di Kabupaten TTS menjadi indikasi bahwa sebagian besar petani jeruk di sana masih menggantungkan perekonomiannya pada usahatani komoditas ini.

Sumber: Dinas Pertanian, 2010a.

Gambar 1. Luas Panen dan Produksi Jeruk Keprok SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2002-2009

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara finansial, jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan di bagian selatan dan utara Kabupaten TTS. Jeruk keprok SoE telah menjuarai lomba buah unggulan tingkat nasional selama tiga tahun berturut-turut yakni tahun 2003-2005. Sedangkan hasil kajian agroekologi (Dinas Pertanian, 2007a) merekomendasikan bahwa jeruk keprok SoE layak untuk dikembangkan baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah, dengan modifikasi genetik sesuai petunjuk teknis. Oleh karena itu, berbagai upaya pembangunan telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pelaku usaha/bisnis terkait. Untuk menggairahkan kembali semangat petani jeruk keprok di daerah TTS, pemerintah daerah melakukan program rehabilitasi jeruk keprok

sejak tahun 2000. Program ini ditujukan untuk (1) mengembalikan kemampuan produksi jeruk keprok SoE dan meningkatkan produktivitas lahan kering, (2) meningkatkan kesempatan kerja dan berusahatani, (3) meningkatkan pendapatan petani, dan 4) mengembalikan potensi komoditas unggulan lokal. Untuk mencapai target yang telah dicanangkan itu, maka pemerintah daerah telah merencanakan perluasan areal sebesar 7 050 ha untuk pengembangan usahatani jeruk keprok SoE sampai dengan tahun 2013 (Bappeda, 2010).

Semakin besarnya luas panen menunjukkan bahwa sebagian besar petani jeruk menggantungkan perekonomian mereka pada komoditas ini. Namun di sisi lain, produktivitas jeruk keprok SoE adalah masih rendah dan kuantitas pasokan ke pasar masih sedikit. Hal ini erat kaitannya dengan adanya pengaruh faktor-faktor eksternal (iklim, serangan organisme pengganggu tanaman, harga, infrastruktur) dan rendahnya kemampuan manajerial petani jeruk keprok di dalam pengalokasian sumberdaya yang mereka miliki. Atas dasar inilah pokok sentral permasalahan penelitian ini adalah untuk mendalami secara empiris kondisi produksi usahatani (on farm research) jeruk keprok SoE. Tujuannya adalah agar dapat ditentukan strategi peningkatan kapasitas manajerial petani dan pengembangan usahatani jeruk ini di masa depan, apakah berbasiskan pada efisiensi (dengan teknologi yang sudah ada) atau perubahan teknologi (introduksi teknologi baru).

Proses produksi yang benar dengan berpatokan pada aspek penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dan optimal dalam rangka mencapai kemampuan produksi yang best practice menjadi hal penting dalam pengembangan usaha menuju usaha yang efisien. Sering ditemukan bahwa banyak

13

petani jeruk keprok tidak mampu mengalokasikan inputnya secara efisien sehingga tidak mencapai kondisi yang best practice dan mengakibatkan rendahnya produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan pertama yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah mengapa produksi dan produktivitas jeruk keprok SoE rendah, baik pada basis ukuran usahatani (farm size) maupun zona-zona agroklimat yang berbeda.

Ukuran usahatani adalah sangat penting di dalam menentukan efisiensi khususnya yang berkaitan dengan kemampuan manajerial pengelola usahatani untuk mengadopsi teknologi dan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan produksi yang efisien. Persoalannya adalah petani jeruk keprok SoE di daerah TTS memiliki ukuran usahatani yang kecil dan terpencar-pencar, tidak merupakan suatu hamparan yang kompak.

Sedangkan faktor-faktor agroklimat (suhu, curah hujan, angin, kelembaban) sangat penting di dalam isu-isu yang berkaitan dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, produktivitas dan efisiensi produksi. Kondisi agroklimat yang kurang mendukung usahatani jeruk keprok SoE merupakan suatu variabel penting bagi efisiensi. Di daerah sentra pengembangan jeruk keprok di TTS, jumlah bulan kering diantara 7-8 bulan dalam setahun yang dimulai sejak bulan April. Musim berbunga jeruk keprok adalah bulan Agustus setiap tahun, di mana merupakan puncak kekeringan dan angin kencang di daerah TTS, baik pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Akibatnya, bunga jeruk berguguran dan produktivitas per pohon pasti rendah. Sejauh ini belum ada modifikasi teknologi agronomis yang mensiasati kondisi agroklimat tersebut. Kondisi ini diperparah dengan sistem usahatani lahan kering tanpa pengarian yang memadai.

Permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang menentukan produktivitas jeruk keprok SoE, pada basis skala usahatani dan zona agroklimat di daerah lahan kering. Persoalan produktivitas menjadi hal penting dalam rangka memformulasikan kebijakan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE. Pemahaman akan perbedaan faktor-faktor penentu produksi baik antara skala maupun zona agroklimat yang berbeda akan memudahkan pengambil kebijakan untuk meningkatkan produktivitas. Produksi aktual akan bervariasi antar petani sebagai akibat dari adanya variasi sistem produksi, kondisi alam, manajemen usaha, ketersediaan dan aplikasi faktor-faktor produksi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi tersebut.

Teknologi budidaya adalah primitif. Rendahnya adopsi teknologi yang dianjurkan seperti pupuk, obat-obatan dan bibit yang berkualitas merupakan faktor pengaruh rendahnya produktivitas usahatani jeruk keprok. Selain itu, petani kurang memperhatikan perawatan tanaman jeruk. Banyak jeruk yang sudah tua dengan ranting-rantingnya yang sudah berkering turut memperburuk tingkat produktivitas lahan jeruk. Sistem tanam campur (seperti jeruk dan ubi-ubian) telah merusak akar tanaman jeruk, akibatnya akar jeruk gampang terserang penyakit. Penjarangan buah juga hampir tidak pernah dilakukan petani. Hal ini telah menyebabkan buah jeruk yang dipanen sangat bervariasi dalam hal ukuran dan tingkat kematangan.

Teknologi panen dan pasca panen kurang memadai. Ini berakibat pada tingkat produktivitas yang rendah dan kehilangan hasil produk sampai dengan 40 persen (Adar et al., 2005). Dengan dipraktekkannya sistem penjualan borongan

15

per pohon atau per kebun, maka frekuensi panen jeruk sangat tergantung pada kemauan pembeli. Sering terjadi bahwa panen jeruk dilakukan dua atau tiga kali. Terkadang pembeli borongan sering meninggalkan buah jeruk yang berukuran kecil pada pohon bahkan sampai dengan musim berbunga tiba. Akibatnya proses pembungaan terhambat dan jeruk tidak serempak berbunga. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat produksi tahun berikutnya. Untuk jeruk, sekitar 95 persen para petani tidak menggunakan teknologi pemasaran/pembungkusan yang benar. Grading, labeling dan perlakuan produk lainnya sebelum/selama/sesudah penjualan belum dilakukan. Sedangkan teknik/perlakuan pasca panen yang terdapat pada tingkat para pedagang sangat terbatas dan belum berkembang. Demikian juga industri pengolahan baik industri rumah tangga maupun industri berskala menengah ataupun besar belum tersedia. Standar keamanan produk (food safety) yang merupakan persyaratan mutu yang dikehendaki konsumen belum dijalankan baik oleh petani maupun pedagang.

Pembiayaan usahatani juga merupakan salah satu permasalahan terkait dengan pengelolaan usahatani jeruk keprok SoE. Rumahtangga petani pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahatani mereka sebelum jeruk keprok SoE dipanen. Pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa kredit-kredit untuk petani kebanyakan tidak berhasil karena para petani memperlakukan kredit sebagai hibah dan tidak memiliki harapan untuk mengembalikan kredit tersebut. Pengkajian akan sebab-sebab terbentuknya kondisi ini sangat penting. Kekurangan biaya juga menghambat para petani untuk menginvestasikan pada input-input produksi dan pemasaran yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dan menjaga konsistensi kualitas

produk, yang kesemuanya merupakan basis untuk membangun hubungan yang berkelanjutan dengan para konsumen. Petani sering kekurangan uang tunai pada saat buah jeruk masih hijau (belum siap dipanen). Untuk menutupi berbagai kebutuhan uang tunai seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan konsumsi, petani sering melakukan sistem penjualan jeruk per pohon atau per kg sebelum musim panen tiba (forward sale). Metode penjualan ini sangat merugikan petani karena harga jeruk sangat rendah bila dibandingkan dengan harga jual pada saat panen. Persoalan kekurangan modal tunai petani ini merupakan hal penting untuk disimak lebih lanjut melalui penelitian ini.

Permasalahan infrastruktur seperti jalan dan transportasi yang kurang mendukung efisiensi usahatani jeruk juga merupakan hal yang penting untuk dikaji. Hal ini sangat terkait dengan besar-kecilnya biaya produksi dan pemasaran hasil jeruk. Harga-harga faktor produksi yang tidak dapat dijangkau oleh petani selain karena mereka kekurangan modal, juga karena tingginya biaya pengangkutan sampai ke tingkat usahatani. Secara geografis, daerah TTS berkarakteristik berbukit dan bergunung, dan infrastrukturnya kurang memadai. Konsekuensinya adalah biaya transportasi tinggi khususnya yang berkaitan dengan distribusi produk-produk dari tingkat usahatani dan distribusi input-input ke usahatani. Teknik kontainer dingin di bidang hortikultura tidak tersedia. Penggangkutan jeruk dengan menggunakan kendaraan umum yang tidak menjamin kualitas jeruk di pasar. Persoalan-persoalan itu dapat berdampak buruk pada tingkat efisiensi usahatani jeruk keprok.

Dengan melakukan analisis pada faktor-faktor produksi tersebut di atas (baik faktor internal maupun eksternal), maka akan terjawab pula permasalahan

17

penelitian ketiga yakni apakah produksi jeruk keprok SoE baik pada basis zona agroklimat maupun ukuran usahatani sudah efisien atau belum.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi performansi usahatani jeruk keprok SoE di TTS adalah faktor sosial ekonomi petani. Usahatani jeruk keprok SoE sudah lama dipraktekkan oleh petani di daerah TTS, namun masih dikelola secara sederhana sehingga produktivitasnya masih rendah yakni hanya sebesar 42 kg/pohon (Adar et al., 2004) dan 16 kg per pohon pada tahun 2008 (BPS, 2009b). Hal ini diduga karena adanya inefisiensi di dalam penggunaan sumberdaya usahatani dan rendahnya kemampuan manjerial petani. Dengan demikian, permasalahan keempat yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang menentukan efisiensi produksi dan bagaimana keterkaitan antar faktor-faktor tersebut pada sistem usahatani jeruk keprok SoE dan zona agroklimat di daerah lahan kering. Pemahaman atas sumber-sumber inefisiensi menjadi aspek penting dalam rangka mengembangkan usahatani jeruk di masa depan.

Tingkat keterampilan manajerial petani sangat tergantung kepada variabel tingkat pendidikan (formal dan non formal), umur dan pengalaman berusahatani. Petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan produksi dan pengolahan jeruk yang memadai. Masalah keengganan pemuda untuk bertani yang dialami oleh hampir semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pembangunan pertanian daerah lahan kering. Umur petani menjadi faktor penting dalam kaitannya dengan efisiensi produksi karena persoalan regenerasi pengelola dan produktivitas tenaga kerja usahatani jeruk keprok.

Walaupun kontribusi jeruk keprok terhadap pendapatan rumahtangga petani cukup tinggi (60-75%) namun secara magnitut petani jeruk masih menerima pendapatan yang rendah karena produksi yang rendah. Pendapatan di luar usahatani jeruk juga merupakan hal yang berpengaruh pada inefisiensi. Sistem penjualan jeruk yang didominasi oleh penjualan borongan per pohon pada saat panen sebesar 79 persen (Adar et al., 2004) dan sistem penjualan lainnya seperti sistem ijon, borongan per kebun dan penjualan per kilogram merupakan beberapa variabel yang menentukan efisien-tidaknya sistem usahatani jeruk keprok SoE. Mayoritas petani melakukan penjualan secara individu. Hal ini menyebabkan lemahnya posisi tawar mereka di dalam melakukan penjualan jeruk keprok. Akibat selanjutnya adalah harga yang diterima petani jauh lebih rendah (34%) dibandingkan dengan yang diterima pedagang (66%) (Adar et al., 2005). Pola pemasaran kontrak (contract farming) juga belum dipraktekkan petani di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Yang sangat penting adalah para pelaku usahatani jeruk keprok SoE berskala kecil, berketerampilan manajerial yang belum memadai, lemahnya kelembagaan petani dan berkekurangan teknologi dan strategi agribisnis yang sistematik untuk produk mereka. Hal ini termasuk kekurangan informasi pasar seperti data pada tingkat harga pada berbagai level pemasaran, daya beli konsumen, pola konsumsi, tingkat pertumbuhan pasar dan preferensi pasar untuk produk-produk mereka (Wei et al., 2002; Woods et al., 2002 dan Adar et al., 2005). Penentuan harga jeruk didominasi oleh para pedagang baik di pedagang desa, kecamatan maupun pedagang kabupaten atau provinsi. Petani juga tidak memiliki tempat penjualan jeruk yang khusus di pasar. Ketersediaan informasi

19

pasar untuk para petani merupakan faktor-faktor penarik bagi mereka untuk bisa mengerti bahwa pengelolaan pada tingkat usahatani dan pasca panen merupakan kesuksesan di pasar. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi pasar adalah melalui mitra, misalnya dengan membuat langganan dengan pedagang atau mitra bisnis lainnya. Namun hal ini sulit dilakukan karena kendala sosial seperti perbedaan pendidikan, status sosial dan ekonomi di antara petani dan pedagang.

Masalah-masalah tersebut di atas menyebar hampir merata pada semua rumah tangga petani di mana 78% dari total penduduk TTS adalah petani. Sejak tahun 1997 sampai tahun 2009, daerah ini termasuk di dalam program pengentasan kemiskinan nasional. Program ini berfokus pada perbaikan produksi pertanian. Target-targetnya adalah peningkatan produksi dan nilai tambah komoditi pertanian sehingga dapat berkompetisi secara efisien baik di pasar regional, nasional maupu n internasional. Nilai tambah dari komoditi hortikultura merupakan hal yang sangat penting mengingat kondisi geografis NTT yang berbukit/bergunung dan biaya transportasi yang tinggi.

Analisis terhadap efisiensi produksi merupakan suatu faktor penting terhadap pertumbuhan produktivitas, penguatan kapasitas/kemampuan manajerial dan kelembagaan petani serta stabilisasi produksi jeruk keprok SoE khususnya di dalam pengembangan ekonomi rumahtangga petani. Berkaitan dengan hal-hal ini, maka permasalahan kelima yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi teknis produksi jeruk keprok SoE di masa datang dan untuk mengembangkan model produksi stokastik frontier yang khas tanaman tahunan dengan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier dan data cross section.

Pemahaman terhadap sejauhmana kondisi efisien-tidaknya produksi jeruk keprok SoE dapat membantu petani untuk memutuskan apakah mereka perlu memperbaiki efisiensi produksi atau mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitasnya.

Walaupun sudah banyak studi efisiensi yang dilakukan oleh para peneliti di bidang pertanian, namun lebih banyak ditujukan pada tanaman semusim atau produk peternakan dengan menggunakan data panel dan pendekatan primal, dan masih sangat sedikit analisis yang dilakukan terhadap tingkat efisiensi jeruk (salah satu tanaman tahunan), dan lebih khusus lagi di daerah dengan karakteristik khas lahan kering. Estimasi yang menggambarkan tingkat efisiensi teknis produksi tanaman tahunan, antar skala usahatani dan antar zona agroklimat dengan data

cross-section dan pendekatan fungsi produksi stokastik frontier, mungkin dapat melengkapi literatur produksi stokastik frontier dan membantu para petani kecil dan stakeholders terkait lainnya di NTT untuk meningkatkan produktivitas, kapasitas, memperkuat kelembagaan petani, memperluas jangkauan pemasaran dan meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka di masa datang.

Daerah dataran tinggi (dengan ketinggian tempat berada pada > 500 m dpl dan jumlah bulan kering ≤ 7 bulan setahun) dan dataran rendah (dengan

ketinggian tempat berada pada ≤ 500 m dpl dan jumlah bulan kering > 7 bulan

setahun) memiliki karaketeristik usahatani yang khas. Hal ini membutuhkan pendekatan pembangunan pertanian yang spesifik pula. Namun kenyataanya, pola pendekatan pengembangan usahatani jeruk keprok SoE adalah sama untuk kedua daerah dengan karakteristik yang berbeda tersebut. Sejauh pengetahuan peneliti dan hasil studi pustaka terdahulu menunjukkan bahwa sistem pengembangan jeruk

21

keprok SoE kurang memperhatikan kecocokan dan kekhasan zona agroklimat masing-masing. Yang pasti, faktor-faktor yang menentukan tinggi-rendahnya produksi dan efisiensi jeruk keprok SoE pada masing-masing zona tersebut adalah berbeda. Hasil penelitian yang berbasiskan pada masing-masing zona pengembangan jeruk keprok ini dapat merekomendasikan pendekatan pembangunannya yang khas zona di masa datang.

Dari gambaran yang telah diuraikan di atas, secara ringkas dirumuskan beberapa permasalahan pokok studi yakni untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa adanya kesenjangan (gap) pada tataran empiris khususnya kesenjangan produktivitas aktual dan potensial usahatani JKS, fenomena penurunan luas areal panen usahatani JKS, pilihan wilayah pengemabngan usahatani JKS yang menghasilkan produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi, dan pada tataran teori efisiensi berbasiskan tanaman tahunan. Secara detail permasalahan-permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana meningkatkan produktivitas usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

2. Bagaimana meningkatkan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?

3. Upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi teknis usahatani jeruk keprok SoE, baik pada daerah dataran tinggi maupun dataran rendah?