• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan ekonomis tinggi yang telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara masal. Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga asupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dalam bentuk daging dan pertambahan biomasa digunakan sebagai perkembangbiakannya (Ronald dan Thomas, 2000). Budidaya monoseks menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini karena memungkinkan ikan tumbuh seragam, dapat mencapai ukuran besar, tidak bereproduksi liar di kolam budidaya dan mengurangi tingkah laku keinginan seksual (Biswas et al, 2004). Budidaya monoseks telah terbukti efisien dalam memproduksi ikan nila dan dapat memperbaiki pertumbuhan biomassa ikan nila (Ronald dan Thomas, 2000; Phillay dan Kutty, 2005). Selisih biomassa ikan antara nila monosek dengan yang tidak saat panen dapat mencapai 30-50% (Mair et al., 1995).

Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan ikan monoseks jantan adalah dengan menggunakan hormon androgen. Hormon yang telah umum dipakai untuk jantanisasi adalah 17α-metiltestesteron (17α-MT) (Zairin, 2003). Namun saat ini penggunaan 17α-MT telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun di perairan (Pandian dan Kirankumar, 2003). Oleh karena itu perlu dicari bahan alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pemberian hormon alamiah telah terbukti berhasil, seperti 11β -Hydroxyandrostenedione dengan dosis 40 atau 50 mg dapat menjantankan ikan nila (Oreochromis niloticus) hingga 98% (Desprez et al., 2003). Pada penelitian Muslim (2010), maskulinisasi menggunakan 6% tepung testis sapi per kilogram pakan mampu meningkatkan ikan nila jantan hingga 83%. Ekstrak tepung testis sapi sebanyak 5 ml/liter mampu meningkatkan jumlah ikan nila jantan hingga 85,6% (Iskandar, 2010).

Dulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan sebagai hormon kelamin namun beberapa tahun terakhir makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan di tumbuhan yang disebut fitosteroid (Vickery dan Vickery, 1981; Harborne,

2006; Cseke et.al, 2006). Hormon ini dapat menggantikan steroid sintetik. Struktur molekul yang mirip antara isoflafonoid dan estrogen menyebabkan reseptor mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga senyawa ini juga disebut sebagai estrogen like (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998).

Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen untuk maskulinisasi pernah diteliti oleh Alfian (2003), menggunakan ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara Blanco) pada ikan cupang (Betta splendens). Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego yang dicampurkan kedalam pakan sebanyak 20 mg/kg pakan yang dapat menghasilkan hingga 70,7% jantan.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tumbuhan afrodisiaka (Gunawan, 2002). Pada umumnya tanaman yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa yang berkaitan dengan fitosteroid misalnya stigmasterol atau senyawa lainnya yang berkhasiat meningkatkan kualitas seksual, memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penyelidikan pengaruh purwoceng terhadap diferensiasi seks terutama yang bersifat androgenik.

Rumusan Masalah

Peredaran hormon 17α-metiltestesteron telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun perairan. Selain itu, produksi ikan monoseks menggunakan hormon 17α-metiltestesteron dilarang masuk ke pasar Eropa (Pandian dan Kirankumar, 2003), sehingga perlu dicari bahan alternatif untuk maskulinisasi. Salah satu cara yang bisa di lakukan adalah dengan bahan alamiah yang berasal dari tanaman yang bersifat androgenik diantaranya adalah menggunakan tanaman purwoceng.

Selama ini purwoceng digunakan sebagai obat kuat kaum laki-laki atau disebut dengan istilah afrodisiaka. Tanaman purwoceng mampu meningkatkan kadar hormon testesteron, LH (luteinizing hormone), dan FSH ( follicle-stimulating hormone). Diduga tanaman purwoceng mengandung fitosteroid, terutama stigmasterol yang mampu memberikan efek androgenik (Taufikurrahman, 2004). Fitosteroid yang paling umum ditemukan dalam tanaman

dapat meningkatkan vitelogenesis pada ikan betina rainbow trout dan pada ikan jantan yang diberi perlakuan -sitosterol. Sel hati ikan jantan tersebut mampu menghasilkan vitelogenin (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Selain itu, dalam penelitian Parks et al (2001), dilaporkan bahwa fitosteroid yang terkandung dalam limbah cair bubur kertas mampu memaskulinisasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis holbrooki). Maskulinisasi menggunakan ekstrak sandrego yang diduga mengandung stigmasterol dengan perlakuan 20 mg/kg pakan mampu meningkatkan ikan cupang (Betta splendens) jantan sebesar 70,7% dibandingkan kontrol yang hanya 33% (Alfian, 2003).

Hasil analisis GC-MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38% (data analisis GC-MS terlampir). Bahan aktif stigmasterol yang terkandung dalam ekstrak purwoceng diharapkan mampu mengarahkan kelamin larva ikan nila menjadi jantan. Selain itu, kecendrungan dunia saat ini untuk memakai bahan alamiah sangat mendukung pengembangan bahan alamiah untuk peningkatan produksi ikan nila sehingga produk maskulinisasi dapat diterima oleh pasar internasional.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap maskulinisasi ikan nila melalui perendaman dan (2) menentukan dosis optimum ekstrak purwoceng untuk menghasilkan ikan nila jantan.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat melakukan jantanisasi dalam kegiatan produksi ikan nila monosex dengan menggunakan ekstrak purwoceng dan memberikan informasi bagi para pelaku budidaya dan peneliti.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perendaman larva dalam ekstrak purwoceng dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh terhadap maskulinisasi ikan nila.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila berasal dari benua Afrika dan telah masuk untuk dibuidayakan ke negara-negara sub-tropis dan tropis sejak tahun 1960-an (Phillay dan Kutty, 2005). Jenis yang paling umum dibudidayakan adalah Oreochromis niloticus dan Oreochromis mossambicus (Bearmore et al., 2005). Berdasarkan Saanin ikan nila dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Acanthoptherigii Ordo : Perchmorpi Sub Ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila (famili Cichlidae) dapat tumbuh dan berkembang biak dengan cepat sehingga sangat cocok untuk dibudidayakan secara masal (Phillay dan Kutty, 2005). Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga dapat menghambat pertumbuhannya. Pada masa reproduksi, asupan energi lebih banyak digunakan untuk kematangan gonad dibandingkan energi yang dapat diinvestasikan sebagai biomasa dalam bentuk daging (Phelps dan Popma, 2000).

Untuk tujuan budidaya masal, sangat penting untuk melakukan sex reversal guna memproduksi ikan nila monoseks berkelamin jantan karena pertumbuhannya yang lebih cepat dan dapat mengurangi keinginan seksual (Zairin, 2003). Keuntungan lainnya adalah meningkatkan biomasa ikan, dapat memproduksi ukuran ikan yang relatif seragam, dan mencegah pemijahan liar di dalam wadah budidaya (Phillay dan Kutty, 2005).

Biosintesis Testesteron

Hormon testesteron diproduksi oleh testis yang dikonversi dari kolesterol (Gambar 1). Perubahan kolesterol menjadi pregnenolon di andrenal, ovarium, dan testis identik satu sama lain. Kemudian peregnenolon diubah secara berurutan menjadi menjadi progesteron, 17α-hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi testesteron (Murray, 2006). Selanjutnya dengan enzim P450 aromatase testesteron diubah menjadi estradiol.

Gambar 1. Biosintesis hormon steroid (Leusch, 2001).

(1) cytochrome P450 side-chain cleavage - P450scc; (β) γ -hydroxysteroid dehydrogenase - γ -HSD; (γ) P450c17 (17α-hydroxylase); (4) P450c17 (C17,20-lyase); (5) 17 - HSD: (6) cytochrome P450 aromatase; (7) 11 -hydroxylase; (8) 11 -HSD; (9) HMG-CoA reductase. Mekanisme biosintesis steroid pada ikan terjadi melalui jalur prenegnolon (P5) (Leusch, 2001).

Sex Reversal

Jenis kelamin pada ikan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu genetik dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin ditentukan oleh pasangan kromosom yang diturunkan oleh induknya. Namun secara fungsional jenis kelamin ikan ditentukan oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan berlangsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad diantaranya adalah temperatur, pH, dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama, 2002).

Hormon steroid merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kelamin pada ikan teleost. Hormon tersebut akan merangsang fenomena reproduksi ikan yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku seksual (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Zairin, 2003).

Diferensiasi kelamin pada jenis ikan teleost umumnya terjadi sejak awal menetasnya telur. Proses diferensiasi kelamin adalah suatu proses perkembangan gonad jantan dan betina menjadi suatu jaringan gonad yang definitif (Pandian, 1999). Pembentukan jaringan gonad ikan dapat diinterfensi sesuai dengan yang diinginkan dari jenis kelamin yang seharusnya dengan bahan-bahan tertentu seperti hormon (Zairin, 2003).

Untuk memproduksi nila jantan (monoseks) dalam budidaya massal perlu dilakukan kontrol kelamin dengan perlakuan tertentu. Teknologi untuk mengontrol seks ikan dikenal dengan istilah seks reversal (Zairin, 2003). Hormon yang umum digunakan adalah dengan menggunakan 17α-metiltestesteron (MT) untuk menjantankan seluruh ikan nila (Phelps dan Popma, 2000; Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002). Namun penggunaan hormon MT untuk produksi ikan telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar eropa karena kekhawatiran adanya residu hormon (Pandian dan Kirankumar, 2003).

Hormon-hormon alami juga telah digunakan untuk maskulinisasi seperti pemakaian hormon androgen alami 11β-hydroxyandrostenedione (11 Βoha4)

dapat menghasilkan jantan mendekati 100% jantan (Desprez et al., 2003). Penggunakan testis sapi yang mengandung hormon testesteron pada larva ikan nila dapat menghasilkan 87% ikan jantan (Muslim, 2010). Maskulinisasi

menggunakan fitoandrogen pernah diteliti oleh Alfian (2003) pada ikan cupang menggunakan ekstrak kayu sandrego. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego dengan perlakuan 0, 10, 20, dan 30 mg/kg pakan. Persentase jantan setelah perlakuan secara berturut-turut adalah 33%, 59,67%, 70,67% dan 50,33%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa fitosteroid dari limbah cair bubur kertas dapat mempengaruhi rasio seks ikan di perairan (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Parks et al. 2001).

Purwoceng (Pimpinella alpina)

Porwoceng merupakan tumbuhan yang berasal dari pegunungan alpen yang tumbuh baik di dataran tinggi. Di Indonesia purwoceng banyak tumbuh secara liar di gunung Dieng, Jawa Tengah. Tanaman purwoceng tidak berkayu, bulat berongga, berwarna hijau, dan beralur (Gambar 2). Daun tunggal, berwarna hijau, dan berbau aromatis. Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 50-100 cm.

Porwoceng telah lama dikenal sebagai tanaman yang dipakai dalam ramuan tradisional sebagai obat-obatan afrodisiaka (Gunawan, 2002). Bahan yang dipakai dalam ramuan afrodisiaka adalah bagian tanaman purwoceng yang berasal dari akar tanaman, namun juga sering dipakai dari seluruh bagian tanaman. Saat ini, tanaman purwoceng telah banyak beredar di masyarakat dalam bentuk kering, jamu, maupun kapsul yang telah dikemas secara modern.

Saat ini penelitian mengenai afrodisiaka yang berasal dari tanaman terus dilakukan terutama untuk meningkatkan kejantanan pria. Pada umumnya tumbuhan yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, steroid yang berkaitan dengan stigmasterol, -sitosterol, ganestein dan senyawa lainnya yang dapat memperkuat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Senyawa stigmasterol dan saponin steroid diduga meningkatkan kualitas seksual setelah mengkonsumsinya. Senyawa saponin steroid umumnya digunakan sebagai bahan dasar industri produk hormon seks dan sebagai hormon anabolik (Gunawan, 2002; Taufiqurrahman, 2004).

Tabel 1. Peran senyawa-senyawa yang terkandung dalam purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap seksualitas pada manusia (Gunawan, 2002).

No Nama senyawa Peran

1 Limonena Merangsang pristaltik. Menambah daya tahan tubuh.

2 Anisketone Merangsang dan menambah semangat serta pereda lelah.

3 Asam kafeat Merangsang semangat, merangsang aktifitas saraf pusat, merangsang keluarnya prostaglandin, menghambat keluarnya histamin, dan menghilangkan rasa kantuk.

4 Dianethole Merangsang hormon estrogen. 5 Eugenol Mencegah ejakulasi prematur.

6 -Himachalene Merangsang dan menambah semangat, menambah daya tahan tubuh, menghilangkan letih dan lelah. 7 Hydroquinone Merangsang ereksi, menaikkan tekanan darah,

merangsang timbulnya kejang.

8 Imperatorin Merangsang semangat, meningkatkan semangat (temperamen), menahan kantuk.

9 Isoorientin Menambah produksi sperma 10 Myristicin Merangsang semangat 11 Phellandrene Memacu ereksi

12 Pristane Menambah daya tahan tubuh 13 Proazulene Merangsang semangat

14 Seselin Merangsang semangat, merangsang saraf pusat, menghilangkan rasa lelah dan letih, menahan kantuk.

15 Squalene Merangsang semangat, melancarkan transfer oksigen dalam darah.

16 Stigmasterol Merangsang hormon androgen, merangsang proses terjadinya ovulasi dan bahan baku pembuatan hormon steroid (untuk obat KB).

Adanya beberapa zat yang bersifat androgenik dalam tumbuhan purwoceng seperti stigmasterol yang dapat meningkatkan ereksi pada pria diharapkan dapat memberikan efek andogenik untuk proses jantanisasi ikan nila. Selain itu juga terdapat isoorientin yang dapat meningkatkan produksi sperma.

Gambar 3. Struktur kimia kolesterol dan turunannya (De-Eknamkul dan

Potduang, 2003).

Hasil uji laboratorium dengan menggunakan metode gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), purwoceng mengandung senyawa stigmasterol

sebanyak 5,38% dari total senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng. Menurut Sivan dan Yaron (2006), senyawa stigmasterol yang terkandung dalam limbah bubur kertas dapat mengubah rasio seks ikan di perairan. Reseptor androgen dan estrogen dapat mengikat fitosterol (Tremblay dan Kraak, 1998) sehingga dapat mempengaruhi seks rasio, gonad, dan hormonal (Hawit et al, 2008). Pengikatan tersebut akibat dari adanya kemiripan struktur molekul stigmasterol, kolesterol dan testesteron.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan ikan uji), dan Lab. Pengembangbiakan dan Genetika Ikan BDP FPIK IPB (pembuatan preparat histologi gonad dan analisis gonad metode acetocarmin). Pelaksanan penelitian direncanakan selama 4 bulan.

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap). Dosis ekstrak purwoceng yang digunakan adalah 0, 10, 20 dan 30 mg/liter. Dari hasil analisis GC;MS, ekstrak purwoceng mengandung senyawa stigmasterol sebanyak 5,38%. Dengan demikian dosis stigmasterol yang terkandung dalam setiap dosis perlakuan secara berturut-turut sebanyak 0 mg, 0,538 mg, 1,076 mg, dan 1,614 mg. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga kali ulangan.

Perlakuan A, ekstrak purwoceng 10 mg/liter Perlakuan B, ekstrak purwoceng 20 mg/liter Perlakuan C, ekstrak purwoceng 30 mg/liter

Perlakuan D, perendaman dalam 17α-MT konsentrasi 500 µg/liter (kontrol positif)

Perlakuan E, perendaman tanpa ekstrak purwoceng dan 17α-MT (Kontrol negatif) Yij= μ + τi + €ij

Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j

μ : Rata-rata umum

τi : Pengaruh perlakuan ke-i

ij : Pengaruh acak yang menyebar normal Prosedur Penelitian 1. Pembuatan ekstrak purwoceng

Tanaman purwoceng dikeringkan lalu digiling menjadi bubuk. Tanaman purwoceng yang telah menjadi bubuk direndam dalam pelarut methanol 70%

dengan perbandingan 1:2. Kemudian diaduk selama 3 jam, lalu didiamkan (maserasi) selama 24 jam. Selanjutnya disaring, lalu disiapkan menjadi ekstrak kental.

2. Pemeliharaan Ikan Uji

Prosedur kerja yang dilakukan dalam pemeliharaan ikan adalah sebagai berikut:

1.1.Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah akuarium perendaman volume 5 liter sebanyak 15 unit akuarium dan akuarium pemeliharaan ukuran 90 x 50 x 40 cm sebanyak 15 unit akuarium. Sebelum digunakan, akuarium disterilkan menggunakan kaporit dengan dosis 10 ppm, lalu dibilas dengan air bersih dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian akuarium diisi air sebanyak 100 liter, air yang digunakan adalah air yang telah diendapkan didalam bak tandon.

1.2.Perendaman

Larva yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan nila (Oreochromis niloticus) berumur 4 hari (berat 0,02-0,03 gram/larva) diperoleh dari BRPBAT (Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar) Sempur Bogor. Larva direndam dalam larutan ekstrak purwoceng masing-masing 0, 10, 20, dan 30 mg/liter dengan lama waktu perendaman 8 jam dalam akuarium bervolume 5 liter. Akuarium tersebut diisi air sebanyak 3 liter dengan jumlah larva ikan nila 100 ekor/akuarium. Sebelum digunakan ekstrak purwoceng dan MT dilarutkan dengan larutan ethanol 95% sebanyak 5 ml. Perendaman dilakukan sebanyak dua kali perendaman, yaitu pada saat larva berumur 4 hari dan diulangi pada saat larva berumur 7 hari.

1.3.Pemeliharaan larva

Setelah perendaman pertama dan kedua selesai, larva dipindahkan kedalam akuarium pemeliharaan. Larva diberi pakan starter berbentuk tepung untuk benih ikan air tawar merk Hi-Pro-Vite, tipe PS-P yang diproduksi oleh PT. Centra Proteina, Tbk. Komposisi nutrisi: protein minimum 40%, lemak minimum 10%, serat kasar maksimal 8%, dan

kadar air 12%. Selama pemeliharaan, ukuran dan jenis pakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan larva. Pakan yang diberikan dengan frekuensi pemberian 3-4 kali/hari. Larva dipelihara selama 60 hari sehingga dapat diidentifikasi dengan metode asetokarmin untuk membedakan kelamin jantan dan betina.

3. Pemeriksaan Gonad Ikan Uji

Pemeriksaan gonad ikan uji menggunakan metode asetokarmin (Zairin, 2002). Larutan asetokarmin

Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g bubuk karmin kedalam 100 ml asam asetat 45%. Larutan dididihkan selama 2 hingga 4 menit kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring. Selanjutnya dimasukkan dalam botol tertutup dan disimpan pada suhu ruang.

Pemeriksaan gonad

Pemeriksaan gonad dilakukan setelah ikan berumur 60 hari dengan mengambil sampel sebanyak 30% dari ikan uji. Ikan dibedah dan diambil gonadnya secara hati-hati menggunakan pinset. Untuk memudahkan pengambilan gonad, usus dan organ dalam perut dikeluarkan. Sebagian gonad diletakkan di atas gelas objek kemudian dicincang dengan menggunakan pisau skalpel sampai halus. Kemudian cincangan gonad di atas objek gelas diberi larutan asetokarmin sebanyak 2 tetes. Objek gelas ditutup dengan cover gelas. Gonad siap diamati dibawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 40X.

Pengamatan Parameter

1. Kadar senyawa aktif dalam Purwoceng (Pimpinella alpina)

Kadar senyawa aktif dalam purwoceng (Pimpinella alpina) dianalisis dengan menggunakan metode GC:MS (Gas chromatography-mass spectrometry) yang dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 2. Persentase Ikan Jantan

Perhitungan persentase ikan jantan menggunakan rumus sebagai berikut:

% 100 sampel ikan total ) ( jantan ikan Jumlah Jantan Ikan Persentase sampel x   

3. Kelangsungan Hidup Ikan Uji

Kelangsungan hidup ikan dihitung jumlahnya pada akhir penelitian dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SR : Kelangsungan hidup selama perlakuan (%) Nt : Jumlah ikan pada akhir perlakuan (ekor) No : Jumlah ikan pada awal perlakuan (ekor) 4. Persentase Ikan Nila Interseks

Pengamatan juga dilakukan terhadap morfologi ikan dan dideskripsikan tingkat kesempurnaannya apabila terdapat ikan-ikan yang cacat kelamin (interseks).

5. Pertumbuhan Ikan Uji

Pengukuran bobot ikan dilakukan setiap minggu untuk perhitungan kebutuhan pakan dan pertumbuhan ikan sendiri. Perhitungan pertumbuhan menggunakan rumus sebagai berikut:

G = (ln Wt –ln Wo) / Δt x 100%

G : Laju pertumbuhan harian individu (%)

Wt : Bobot rata-rata individu pada akhir pemeliharaan (gram) Wo : Bobot rata-rata individu pada awal pemeliharaan (gram)

Δt : Lama waktu pemeliharaan (hari) 6. Kualitas Air

Pengukuran kualitas air meliputi suhu (suhu minimum dan maksimum selama penelitian), DO, dan pH yang dilakukan setiap hari menggunakan termometer, DO-meter, dan kertas lakmus. NH3 diukur setiap minggu menggunakan spektrofotometer.

Analisis Data

Data persentase ikan jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan ikan ditabulasi. Dilakukan analisis kehomogenan, bila data sudah homogen dilakukan

% 100 (%) x No Nt SRt  % 100 sampel ikan total ) ( interseks ikan Jumlah Interseks Ikan Persentase sampel x   

analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F dan bila berbeda nyata dilakukan uji Duncan. Data yang telah dianalisis disajikan alam bentuk tabel dan grafik yang selanjutnya dibahas sesuai dengan parameter uji yang diamati.

Analisis eksploratif dilakukan terhadap data gonad yang diamati, kadar kandungan senyawa aktif dalam purwoceng, dan kecacatan. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian maskulinisasi ikan nila dengan perendaman dalam ekstrak purwoceng diperoleh data utama berupa data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan. Selain itu, diperoleh pula informasi hasil pengukuran senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak purwoceng dan kualitas air sebagai data penunjang.

Persentase Ikan Jantan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang diberi perlakuan dengan perendaman ekstrak purwoceng menghasilkan ikan nila jantan lebih banyak dibandingkan kontrol (-). Tabel 2 menunjukkan prosentase ikan jantan pada akhir penelitian setelah dilakukan histologi dengan metode asetokarmin;

Tabel 2. Jumlah prosentase (%) ikan nila jantan pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 53,33 79,99 63,33 73,33 66,66

2 56,66 76,66 69,99 76,66 66,66

3 46,66 83,33 66,66 69,99 73,33

Rata-rata 52,2 ± 5,09a 80 ± 3,34c 66,7 ± 3,33b 73,3 ± 3,35bc 68,88 ± 3,85b

Secara genetik dalam keadaan normal ikan akan menghasilkan keturunan dengan rasio seks jantan dan betina 50% : 50% (Tave, 1993; Pandian 1999). Rasio seks tersebut dapat diarahkan menjadi mayoritas jantan maupun betina sesuai kepentingan dengan teknik alih kelamin (Tave, 1993; Bearmore et al., 2000; Preferrer, 2001; Zairin, 2003; Desprez et al., 2003). Persentase ikan jantan yang lebih tinggi merupakan indikator keberhasilan dari teknik maskulinisasi pada ikan nila (Zairin, 2003).

Tabel 2 menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan perendaman larva ikan nila dalam ekstrak purwoceng terhadap persentase ikan nila jantan. Perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 10, 20, dan 30 mg/l menghasilkan ikan nila jantan berurut-turut 66,7%, 73,3%, dan 68,9%. Jumlah ikan jantan tersebut lebih tinggi dibandingkan ikan nila kontrol K (-) yang hanya 52,2% namun lebih rendah dari pada kontrol positif (+) dengan perendaman MT dengan

jumlah 80%. Setelah diuji statistik, jumlah ikan jantan terbukti berbedanyata dibandingkan ikan nila yang tidak diberi perlakuan apapun (Kontrol (-)).

Persentase ikan nila jantan terbanyak terdapat pada kontrol (+) dengan perlakuan MT yang menghasilkan ikan nila jantan sebanyak 80%. Disusul dengan perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 20, 10, dan 30 mg dengan hasil ikan nila jantan sebanyak 73,3%, 68,9% dan 66,6%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil optimal terdapat pada dosis 20 mg dan kecenderungan menurun pada dosis 30 mg. Hasil tertinggi dengan dosis 20 mg tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan ekstrak tanaman sendrego dengan dosis yang sama yang menghasilkan ikan cupang jantan sebanyak 70,7% (Alfian, 2003). Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan baik melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik perendaman (Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002). Perlakuan maskulinisasi ikan nila dengan teknik perendaman menggunakan hormon MT paling tepat dilakukan pada saat larva baru menetas hingga mendekati masa definitif pembentukan kelamin (Pandian dan Sheela, 1995).

Perubahan rasio seks ikan yang disebabkan oleh pengaruh fitosteroid pernah diteliti oleh Tremblay (1998) melalui studi lingkungan di sungai yang dilalui limbah cair pembuatan pabrik kertas. Lalu ia meneliti kemampuan reseptor untuk mengikat beberapa jenis fitosteroid. Penelitian tersebut membuktikan adanya afinitas (kemampuan mengikat) reseptor terhadap fitosteroid ( -sitosterol, stigmasterol, dan genistein). Bahkan, -sitosterol mampu merangsang produksi vitelogenin pada ikan rainbow trout jantan. Meskipun demikian, afinitas fitosteroid masih lebih rendah dibandingkan hormon steroid dari hewan maupun hormon sintetik. Lebih lanjut Hewitt (2008) mengatakan bahwa limbah cair pabrik kertas dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada ikan, pengecilan pada organ reproduksi, gangguan sistem endokrin, dan mengurangi produksi telur. Hou (2011) mengungkapkan bahwa adanya maskulinisasi populasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis) di sungai Dengcun, China akibat paparan limbah cair pabrik kertas.

Gambar 4. Jaringan gonad ikan nila 1. betina 2. jantan dan 3. intersex. *Keterangan : a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan.

Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya senyawa stigmasterol dalam ekstrak purwoceng. Senyawa stigmasterol mempunyai daya ikat pada reseptor sehingga mempengaruhi sistem endokrin ikan. Daya ikat stigmasterol pada reseptor akibat adanya kemiripan antara struktur

Dokumen terkait