• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi dan kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap tahun, tidak diimbangi oleh produksi yang memadai sehingga hampir setiap tahun terjadi kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi. Produksi daging yang masih rendah, menuntut usaha-usaha penggemukan ternak sapi potong semakin meningkat.

Usaha penggemukan ternak sapi potong ditujukan untuk memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat dari berbagai lapisan. Usaha penggemukan sapi pedaging merupakan salah satu upaya peningkatan produksi daging, karena melalui usaha ini diharapkan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi dan efisien. Salah satu usaha untuk meningkatkan produktifitas ternak sapi terutama sebagai penghasil daging yang berkuantitas dan berkualitas baik ialah melalui perbaikan pakan dalam suatu sistem pemeliharaan yang intensif. Penggemukan sapi pedaging secara feedlot merupakan suatu cara pemeliharaan dengan menerapkan pemberian pakan secara intensif, agar sapi tersebut dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi dan efisien sehingga dapat mencapai target bobot potong dalam waktu yang relatif singkat. Peningkatan produksi daging sapi sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan. Strategi pemberian pakan yang disesuaikan dengan pencemaanya akan membantu meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat gizi (nutrien) untuk pembentukan jaringan otot (daging).

Pakan adalah salah satu faktor penting proses perbaikan populasi dan produktivitas ternak. Namun ironisnya sebagian komponen pakan khususnya bahan konsentrat masih impor. Kondisi saat ini mengharuskan adanya upaya yang lebih kuat untuk mencari alternatif bahan pengganti konsentrat dengan bahan pakan lokal potensial.

Salah satu bahan pakan lokal yang berpotensi menggantikan konsentrat adalah murbei. Kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4% (Machii et

2

al. 2000), merupakan indikator kualitas murbei yang baik. Penggunaan murbei diharapkan dapat meningkatkan kecernaan di rumen dan absorpsi protein di usus halus sehingga dapat meningkatkan produktifitas ternak tersebut.

Kandungan protein kasar daun murbei 22-23% lebih tinggi dibandingkan hijauan lainnya seperti rumput raja 8.2%, rumput gajah 9%, star grass 8.9% dan alfafa 17%. Daun murbei memiliki kadar protein yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan legum Leucaena yang mengandung protein kasar sebesar 21.5% maka murbei dapat digunakan sebagai pengganti legum jika dilihat dari kadar proteinnya (Yulistiani 2008). Kandungan lain dalam daun murbei yaitu tanin 0.85% merupakan nilai yang sangat kecil untuk berpotensi mengikat protein dibandingkan dengan daun kaliandra yang mengandung tanin sebesar 11.3% (Makkar 1993) dan Leucaena leucocephala sebesar 13.9% (Yulistiani 2008). Kadar tanin diatas 5% dapat menurunkan degradasi protein, N amonia dan kecernaan serat (Makkar 1993). Komposisi nutrien yang lengkap serta produksi daun yang tinggi menjadikan tanaman murbei potensial dijadikan sebagai bahan pakan ternak menggantikan konsentrat khususnya untuk ternak ruminansia (Shayo 2002).

Daun murbei mengandung senyawa aktif yaitu senyawa 1- deoxynojirimycin (DNJ) sebesar 0.24% (Oku et al. 2006). DNJ merupakan salah satu senyawa aktif yang dapat menjadi agen lepas lambat RAC (readily available carbohydrates). Ketersediaan RAC atau karbohidrat non-struktural dalam sistem rumen yang seimbang dan berkesinambungan dapat meningkatkan fermentabilitas bahan pakan.

Serangkaian penelitian telah dilakukan, dimulai dari penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengkaji potensi tanaman murbei sebagai bahan pakan. Pada tahap ini diperoleh data potensi tanaman murbei, meliputi komposisi nutrien makro, kandungan senyawa anti nutrisi dan fitokimia. Lignin dan silika daun murbei masing-masing sebesar 3.18% dan 0.06%, kadar yang masih relatif rendah, sehingga komponen dinding sel tersebut tidak mengurangi kualitas daun murbei. Guna mengkaji jenis karbohidrat yang dilepas secara lambat dalam sistem rumen akibat penambahan ekstrak daun murbei yang mengandung

3

senyawa 1-deoxynojirimycin, dilakukan uji aktivitas enzim cairan rumen dan uji daya lepas lambat beberapa macam karbohidrat. Uji aktivitas enzim menggunakan enzim kasar yang dikoleksi dari cairan rumen sapi potong yang diperoleh dari RPH, sedangkan uji daya lepas lambat beberapa macam karbohidrat dengan kehadiran ekstak daun murbei (EDM) yang mengandung senyawa DNJ dilakukan dengan fermentasi in vitro (Ramdania 2008). Penambahan ekstrak daun murbei (EDM) pada media dengan substrat berupa maltosa mengakibatkan penghambatan aktivitas enzim maltase. Dinamika konsentrasi VFA yang dihasilkan dari percobaan in vitro juga menggambarkan adanya perbaikan proses fermentasi dalam media rumen dengan penambahan EDM yang mengandung senyawa DNJ. Hasil percobaan ini mengindikasikan kemampuan ekstrak daun murbei yang mengandung senyawa DNJ untuk menghambat hidrolisis karbohidrat non struktural, khususnya maltosa dalam sistem rumen. Kemampuan ini akan menjaga kesinambungan penyediaan RAC, sehingga mikroba-mikroba penghasil enzim pencerna karbohidrat struktural dapat berkembang optimal.

Penelitian penggunaan daun murbei dalam ransum dengan sumber serat berbahan dasar jerami padi guna meningkatkan efektivitas fermentasi dalam rumen in vitro dan in vivo juga dilakukan. Seluruh peubah yang diamati mengindikasikan adanya perbaikan efektivitas fermentasi akibat kehadiran murbei dalam ransum. Nilai pH yang cenderung semakin rendah, produksi gas yang semakin tinggi, konsentrasi ammonia yang semakin rendah pada tingkat penggunaan murbei sebesar 75% menggantikan konsentrat, konsentrasi VFA tertinggi yang juga diperoleh serta degradasi bahan kering dan bahan organik pakan tertinggi menggambarkan potensi murbei yang baik untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia, terutama bila ransum yang disusun terdiri atas jerami padi sebagai pakan dasar sumber serat. Oleh karena itu, penambahan senyawa 1-DNJ dalam bentuk pemberian tepung maupun ekstrak daun murbei dapat meningkatkan fermentabilitas pakan berbasis jerami padi dan menghasilkan performa yang baik. Syahrir (2009) melaporkan bahwa hasil pertambahan bobot badan harian sapi PO jantan yang lebih tinggi masing-masing sebesar 0.91, 0.96, dan 0.79 kg/hari dengan pemberian pakan jerami padi, konsentrat dan murbei

4

yang memiliki imbangan 50:50:0, 50:25:25 dan 50:0:50. Trujillo (2002) melaporkan penggunaan substitusi konsentrat komersial dengan daun murbei dengan imbangan 100:0, 75:25 dan 50:50 menghasilkan pertambahan berat badan sapi dara masing-masing sebesar 0.406, 0.437 dan 0.406 kg/hari.

Penelitian pemberian pakan sumber serat jerami padi, konsentrat dan murbei yang memiliki imbangan 50:25:25 menghasilkan performa dan kecernaan yang baik. Hasil penelitian menguak bahwa penggunaan murbei 25% akan menghasilkan performa dan kecernaan yang paling maksimal, tetapi belum menginformasikan sumber RAC (readily available carbohydrates) bahan konsentrat yang bisa digunakan. Diperkirakan penelitian lanjutan pemanfaatan tepung daun murbei dalam ransum yang dikombinasikan dengan berbagai sumber RAC (readily available carbohydrates) bahan konsentrat yang berbeda (jagung, dedak dan onggok) akan menghasilkan efisiensi produksi dan efisiensi ekonomi, serta menjadi alternatif pakan yang murah, berkualitas dan dapat meningkatkan produktivitas ternak.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mengetahui kemampuan tepung daun murbei dengan kombinasi konsentrat yang berbeda terhadap performan dan kecernaan pakan sapi Peranakan Ongole (PO).

2. Menghasilkan pakan yang murah berbasis tepung daun murbei dan mudah terjangkau masyarakat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:

1. Diketahuinya seberapa besar pengaruh kombinasi daun murbei dengan pakan konsentrat yang berbeda (konsentrat lengkap, konsentrat jagung, konsentrat dedak padi, konsentrat onggok) terhadap kualitas pakan dan peningkatan performa sapi PO.

5

2. Mengetahui sumber RAC (readily available carbohydrates) yang sesuai dengan kombinasi tepung daun murbei sehingga menghasilkan pakan murah dan mudah bagi peternak.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Indonesia memiliki banyak bangsa sapi potong lokal diantaranya adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Bangsa sapi PO ini tersebar luas dan bagian terbesar dah populasi terdapat di pulau Jawa terutama di Jawa Timur. Sapi PO merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi potong di Indonesia pada masa lalu. Bangsa sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930 melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO) (Bakti 2002).

Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO) lebih dari setengah abad silam. Sejak pembentukannya hingga menjadi suatu bangsa sapi yang mantap, sampai saat ini belum banyak usaha terarah yang dilakukan untuk meningkatkan potensi biologik dan genetiknya. Meskipun demikian seperti yang dapat diamati sapi PO tetap berkembang secara alami sebagai bangsa sapi yang sudah mantap dengan baku karakteristik morfologi yang mudah dikenali. Sapi PO juga menunjukkan keunggulan sapi tropis yaitu daya adaptasi iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak, disamping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Soeprapto 2006).

Sapi PO dibeberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong penghasil daging juga untuk sapi kerja, hanya di daerah lahan kering dimana tidak ada persawahan sapi ini dipelihara sebagai sapi potong penghasil daging. Keadaan ini juga memberikan kontribusi terhadap potensi biologis baik produksi maupun reproduksinya. Potensi produksi sapi PO menunjukkan pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan dengan bangsa sapi eksotik yang telah mengalami seleksi untuk pertumbuhan dan dipelihara dalam lingkungan yang diperuntukkannya (Iswanto 2003).

7

Sapi Bakalan

Sapi bakalan merupakan sapi muda yang disiapkan untuk penggemukan. Sapi yang akan dijadikan sapi bakalan diseleksi terlebih dahulu karena mempengaruhi kualitas dan kuantitas daging sapi potong hasil penggemukan. Seleksi terhadap sapi bakalan biasanya mengacu pada standar parameter bobot badan, kesehatan dan proporsi badan sapi. Seleksi sapi dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengevaluasi parameter standar untuk sapi bakalan sesuai dengan tujuannya, seperti sapi bakalan, sapi bibit, sapi siap potong. Evaluasi yang baik akan menampilkan hasil seleksi yang memenuhi kriteria (Usri et al. 1979).

Parameter-parameter standar untuk seleksi sapi bakalan hanya mencakup kualitas dan kuantitas sapi yang dapat dievaluasi dengan penilaian dan pengamatan tubuh sapi bagian luar (yang tampak). Kriteria kesehatan juga hanya dievaluasi berdasarkan pengamatan bagian yang dapat diamati secara langsung. Tubuh sapi dapat dipisahkan menjadi bagian-bagian yang digunakan sebagai penggolongan daging berdasarkan kualitasnya atau berdasarkan segi komersialnya (Sugeng 1998).

Pertumbuhan Ternak

Pertumbuhan adalah bertambahnya bobot hingga ukuran dewasa tercapai atau lebih spesifik pertumbuhan dapat dijelaskan dengan bertambahnya unit produksi biokimia baru oleh pembagian sel, pembesaran sel atau persatuan dari bahan-bahan material yang berasal dari lingkungan. Secara sederhana Berg & Butterfield (1988) mendefinisikan pertumbuhan sebagai terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak dan abu. (Gurnadi 1983 & Soeparno 1998). Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan bobot hidup yang mudah dilakukan dan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot badan harian atau average daily gain

8

(ADG). Kurva pertumbuhan diperoleh dari plot bobot hidup terhadap umur (Taylor 1984 & Tillman et al. 1998).

Perkembangan adalah produk hasil dari perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian tubuh dari suatu organisme. Perkembangan menunjukkan koordinasi berbagai proses hingga kematangan (kedewasaan) tercapai, seperti diferensiasi seluler dan perubahan bentuk tubuh (Taylor 1984 & Tillman et al. 1998).

Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai. Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurva hampir tidak berubah, ditunjukkan oleh pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat. Tumbuh kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, lingkungan dan manajemen. Potensi pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor bangsa heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung sistem manajeman yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim (Judge et al. 1989).

Penggemukan Sapi Potong

Tujuan usaha penggemukan antara lain untuk memperoleh penambahan bobot badan yang relatif tinggi dengan memperhitungkan nilai konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak, serta menghasilkan karkas dan daging yang berkualitas tinggi (Dyer & O'mary 1977). Pertumbuhan dan lama penggemukan dipengaruhi oleh faktor bibit sapi bakalan, umur sapi bakalan, bangsa sapi, jenis kelamin dan bobot badan sapi bakalan serta efisiensi pakan (Gurnadi 1975).

Perusahaan penggemukan ternak sapi yang berlokasi di daerah padat penduduk (seperti di Pulau Jawa) pada umumnya menggunakan sistem feedlot. Hal ini didasarkan pada penggunaan lahan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan penggemukan yang dilakukan pada ladang penggembalaan (pasture fattening). Penggemukan sapi sistem feedlot didasarkan pada prinsip

9

penggemukan di kandang dengan pemberian pakan konsentrat secara penuh yang terdiri dari campuran berupa biji-bijian dan sorgum seperti pollard, jagung, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, dan sebagainya, dengan penambahan mineral dan garam (Blakely & Bade 1991). Sapi yang digemukkan secara feedlot adalah sapi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat. Waktu penggemukan yang lebih singkat ini dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ekonomi dalam penggunaan pakan (Tillman et al. 1998).

Tanaman Murbei dan Potensinya sebagai Bahan Pakan

Tanaman murbei (Morus sp.) merupakan bagian dari ordo urticalis, famili Moraceae dan Genus Morus. Tanaman murbei diklasifikasikan sebagai berikut (Martin et al. 2002) :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Mores

Spesies : Lebih dari 30 species dan 300 varietas

10

Tanaman murbei termasuk semak atau pohon berukuran kecil sampai sedang dengan tinggi tanaman mencapai 15 m dan diameter batang mencapai 60 cm. Tanaman murbei dapat tumbuh di daerah temperit sampai ke daerah tropik yang kering. Tanaman toleran tumbuh pada temperatur lingkungan 5.9 sampai 27.5° C dan pH tanah dari 4.9 sampai 8.0. Di India dilaporkan bahwa tanaman murbei dapat tumbuh pada daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 3300 m dpl. Daun murbei dapat dilihat pada Gambar 1.

Tanaman murbei mempunyai potensi sebagai bahan pakan yang berkualitas karena potensi produksi, kandungan nutrien dan daya adaptasi tumbuhnya yang baik (Singh & Makkar 2002). Produksi daun murbei sangat bervariasi, tergantung pada varietas, lahan, ketersediaan air dan pemupukan. Martin et al. (2002) melaporkan produksi biomassa murbei dengan interval depoliasi 90 hari akan mencapai 25 ton BK/ha/tahun dan produksi daun sebesar 16 ton BK/ha/tahun, sedangkan Boschini (2002) melaporkan produksi daun sebesar 19 ton BK/ha/tahun. Potensi produksi tersebut lebih tinggi dibanding dengan leguminosa lain seperti gamal (Gliricidia sepium) dengan potensi produksi sebesar 7-9 ton BK/ha/tahun (Horne et al. 1995) dan lamtoro mini (Desmanthus virgatus) dengan potensi produksi sebesar 7-8 ton BK/ha/tahun (Suyadi et al. 1989).

Jenis yang banyak digunakan di Indonesia adalah Morus alba karena memiliki nutrisi yang baik. Daun murbei memiliki palatabilitas yang cukup tinggi dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia maupun monogastrik. Daun murbei mengandung protein kasar 20.80%, serat kasar 12.09%, lemak kasar 3.19%, BETN 53.16%, silika 0.06% dan lignin 3.18% (Syahrir 2009). Menurut Machii et al. (2000) kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4% merupakan salah satu indikator bahwa daun murbei memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pakan. Kualitas daun murbei yang tinggi juga ditandai oleh asam aminonya yang lengkap. Pada daun murbei juga teridentifikasi adanya asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat dan profitamin D (Singh & Makkar 2002).

11

Budidaya Tanaman Murbei

Tanaman murbei dapat diperbanyak dengan biji, stek atau okulasi. Perbanyakan dengan biji relatif lebih mahal, tetapi menghasilkan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan perbanyakan melalui stek. Perbanyakan tanaman dengan stek membutuhkan 75 000 sampai 120 000 stek/ha, sedangkan perbanyakan dengan okulasi membutuhkan 4000 tanaman/ha. Teknik perbanyakan tanaman dengan okulasi secara eksklusif dilakukan di Jepang (Machii et al. 2002).

Tanaman murbei mencapai ketinggian 1.3 m pada umur 10 minggu. Pemanenan pertama daun dilakukan pada umur 3 bulan setelah penanaman. Pemanenan dapat dilakukan sebanyak 10 kali/tahun untuk daerah yang beririgasi, sedangkan pada daerah tadah hujan dapat dilakukan pemanenan sebanyak 6 - 7 kali. Tanaman murbei dapat berproduksi dengan baik sampai berumur 15 tahun. Setelah itu, tanaman harus diremajakan.

Informasi teknis budidaya dan produksi tanaman murbei yang diterapkan oleh petani ulat sutra disajikan pada Tabel 1. Produksi daun murbei dari lahan yang diberi pupuk kandang dan dipanen pada umur tangkai 60 hari (Murbei II) lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daun murbei dari lahan tanpa pemupukan dan dipanen pada umur tangkai 90 hari (Murbei I). Martin et al. (2002) melaporkan produksi daun murbei tertinggi diperoleh dari pemanenan dengan interval defoliasi 90 hari, yakni mencapai 645 g BK/pohon/tahun, sedangkan pemanenan dengan interval defoliasi 60 dan 45 hari menghasilkan daun murbei masing-masing sebesar 378 dan 456 g BK/pohon/tahun. Produksi daun murbei yang dipanen dari penelitian ini, pada umur tangkai 60 dan 90 hari masing-masing sebesar 66.92 dan 89.01 g BK/pohon, atau 401.52 dan 356.04 g BK/pohon/tahun.

Sebagian besar wilayah Indonesia belum tertanam tanaman murbei. Tabel 2. tersaji data luas areal tanaman murbei disetiap propinsi di Indonesia. Sampai tahun 2004, areal tanaman murbei di Indonesia baru seluas ±10 000 ha, jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain, misalnya Jepang seluas 14 884 ha (Machii et al. 2002), Brasil seluas 37 745 ha (Almeida & Fonseca 2002), Thailand seluas

12

35 000 ha, bahkan India dan Cina masing-masing mencapai 280 000 dan 626 000 ha (Sanchez 2002). Potensi produksi, kualitas dan daya adaptasi yang baik dari tanaman murbei menjadikan tanaman murbei berpotensi untuk dikembangkan dan disebarluaskan, tidak hanya sebagai pakan ulat sutra tetapi juga untuk kebutuhan lain, misalnya sebagai pakan ternak.

Tabel 1. Informasi teknis budidaya dan produksi tanaman murbei pada lahan petani ulat sutra di Kab. Enrekang Sulawesi Selatan

Keterangan Teknis Penanaman Murbei I Murbei II

Jumlah sampel (pohon) 25 90

Umur tanaman (tahun) 3.5 3.5

Umur tangkai (hari) 90 90

Pemupukan Tanpa pemupukan Pemupukan dengan pupuk kandang Jarak tanaman (cm2) 60x30 60x30 Jumlah pohon/ha 50 000 50 000

Bobot segar daun/pohon (kg) 0.43 0.28

Kadar air daun segar (%) 79.3 76.1

Berat kering daun/pohon (g) 89.01 66.92

Produksi daun perpanen (kg BK) 4 450.5 3 346.0 Produksi daun (g BK/pohon/tahun) 356.04 401.52 Produksi daun (kg BK/ha/tahun) 17 802 20 076

Sumber: Sahrir (2009)

Sanchez (2002) melaporkan bahwa di Indonesia, tanaman murbei baru digunakan sebagai pakan ulat sutra, sedangkan penelitian atau pemanfaatan daun murbei sebagai pakan ternak belum dijumpai. Kondisi yang berbeda terjadi di negara-negara bagian Amerika yang telah menggunakan daun murbei sebagai bahan pakan ternak. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) Indonesia dikenal beberapa spesies murbei yang potensial untuk pakan ulat sutera atau sumber bahan baku pakan ayam, antara lain Morus alba, Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus cathayana, Morus mierovra, Morus alba var. macrophylla, dan Morus bombycis. Doran et al. (2006) menyatakan daun murbei potensial menjadi sumber pakan di wilayah tropis.

13

Tabel 2. Luas areal tanaman murbei (ha) di Indonesia

No. Propinsi 2000 2001 2002 2003 2004 1. Nangroe Aceh Darusalam - - - - - 2. Sumatera Utara 140.0 140.0 140.0 140.0 140.0 3. Riau - - - - - 4. Sumatera Barat 868.0 868.0 868.0 868.0 868.0 5. Jambi - - - - - 6. Bengkulu - - - - - 7. Sumatera Selatan - - - - - 8. Bangka Belitung - - - - - 9. Lampung - - - - - 10. Jawa Barat 2 029.0 2 992.0 2 992.0 2 992.0 2 992.0 11. Banten - - - - - 12. Jawa Tengah 584.0 941.3 941.3 941.3 941.3 13. D.I Yogyakarta 584.0 313.6 483.5 496.2 496.2 14. Jawa Timur 530.0 540.0 540.0 540.0 540.0 15. Kalimantan Barat - - - - - 16. Kalimantan Tengah - - - - - 17. Kalimantan Selatan - - - - - 18. Kalimantan Timur - - - - - 19. Sulawesi Utara - - - - - 20. Gorontalo - - - - - 21. Sulawesi Tengah 122.0 122.0 122.0 122.0 122.0 22. Sulawesi Selatan 5 270.0 6 588.2 6 037.7 4 216.3 4 184.5 23. Sulawesi Tenggara - - - - - 24. Bali - 25.0 25.0 25.0 25.0

25. Nusa Tenggara Barat - - - - -

26. Nusa Tenggara Timur - 20.0 20.0 20.0 20.0

27. Maluku - - - - -

28. Maluku Utara - - - - -

29. Papua - - - - -

30. Irian Jaya Barat - - - - -

31. DKI Jakarta - - - - -

Jumlah/Total 10 127.0 12 581.5 12 198.4 10 338.7 9 492.5 Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2005)

14

Senyawa 1-Deoxynojirimycin Murbei

Peran senyawa aktif dalam ransum dapat berdampak positif, tetapi juga dapat berdampak negatif terhadap performa ternak. Salah satu senyawa aktif yang terdapat pada daun murbei adalah 1-deoxynojirimycin (DNJ) (Oku et al. 2006). Senyawa DNJ (C6H13NO4

Gambar 2. Struktur bangun 1-deoxynojirimycin (Kimura et al. 2004)

Senyawa DNJ memiliki potensi menghambat (α,β) glukosidase secara spesifik. Sebagai contoh, N-butyl DNJ digunakan untuk mengurangi sintesa substrat glikolipid (Mellor et al. 2002). Menurut Oku et al. (2006) derivate DNJ berupa D-glukosa mampu menghambat α-glukosidase usus dan α-glukosidase pankreas, sehingga DNJ dapat menghambat pembentukan oligosakarida. Senyawa DNJ dapat menekan kadar glukosa darah, sehingga dapat mencegah diabetes (Kimura et al. 2004). Senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus halus secara kompetitif sehingga pemecahan ikatan glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida lebih lambat (Hock & Elstner 2005).

Jagung

) pertama kali diisolasi dari akar tanaman murbei diberi nama moroline. Senyawa deoxynojirimycins (DNJ) merupakan kumpulan stereokimia dari monosakarida yang memiliki potensi menghambat ceramid glukosyltransferase dan (α, β) glukosidase secara spesifik. Struktur bangun senyawa 1-DNJ (C6H13NO4) dapat dilihat pada Gambar 2.

Jagung merupakan bahan makanan yang kaya energi dan rendah dalam serat serta mineral. Pati merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam biji jagung yang terdiri atas amilosa dan amilopektin (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Meskipun jagung sumber energi tercerna yang unggul tetapi jagung rendah protein

15

dan proteinnya berkualitas rendah. Protein jagung sekitar 8.5% (National Research Council 1994).

Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung pada varietas, cara penanaman, iklim dan tingkat kematangan. Komposisi kimia jagung berubah selama pertumbuhan. Kandungan zat-zat makanan dalam jagung dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi zat makanan pada jagung (As Fed)

Komponen Jumlah Bahan Kering (%) 89 Protein (%) 8.5 Lemak (%) 3.8 Serat Kasar (%) 2.2 Ca (%) 0.02 P Non Phytat (%) 0.08 Metionin (%) 0.18

Energi Metabolisme (kkal/kg) 3.35 Sumber : (NRC) National Research Council (1994)

Dedak Padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Menurut National Research Council (1994) dedak padi merupakan energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12.9%, lemak 13%, serat kasar 11.4%, Ca 0.07%, P tersedia 0.22%, Mg 0.95% serta kadar air 9%.

Pemanfaatan dedak sebagai bahan pakan ternak sapi sudah umum dilakukan bisa mencapai 40%. Dedak padi mempunyai kandungan energi dan protein yang cukup baik. Kandungan protein kasar 12.7-13.5%, lemak 10.6-13.6% dan serat kasar 8.2-12.2% (Mathius & Sinurat 2001). Dedak padi dispesifikasikan berdasarkan kandungan nutrien dapat digolongkan berdasarkan standar mutu dedak padi (Tabel 4).

16

Tabel 4. Spesifikasi persyaratan mutu dedak padi (SNI 01.3178-1996)

Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III

Air (%) maksimum 12 12 12

Protein Kasar (%) minimum 11 10 8 Serat Kasar (%) maksimum 11 14 16

Abu (%) maksimal 11 13 15

Lemak (%) maksimum 15 20 20

Asam Lemak Bebas (%) thd lemak mak 5 8 8

Dokumen terkait