• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan daging nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan penigkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan kebutuhan gizi pada masyarakat. Untuk memenuhi permintaan ini, pemerintah dan swasta mendatangkan daging atau ternak bakalan dari luar negeri karena laju pertumbuhan populasi ternak konvensional penghasil daging cenderung lambat. Konsumsi daging di Indonesia pada tahun 1999 sampai 2001 adalah 1,19 hingga 1,45 juta ton dan 24-26% berasal dari daging sapi. Sebanyak 78-85% pasokan daging sapi dipenuhi oleh pasokan daging sapi lokal, sedangkan sisanya adalah impor (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2001). Pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265 700 ekor, sapi bibit 6 200 ekor dan daging 25 949,2 ton (Ditjen Peternakan, 2007). Di sisi lain Indonesia memiliki kekayaan fauna yang belum banyak diberdayakan sebagai sumber protein hewani dan sumber devisa.

Sumber daya hayati fauna di Indonesia di antaranya mamalia 12%, burung 17%, reptilian dan amfibia 16% dari yang ada di dunia (Primack dkk., 1998). Potensi fauna di luar ternak konvensional yang telah dikenal dan memiliki potensi sebagai sumber protein hewani perlu digali dan diupayakan pengembangannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih kaya tetapi tetap miskin.

Pengembangan potensi sumber daya fauna terutama satwa merupakan sisi strategis bila dikaitkan dengan potensi unggulan di setiap daerah mengingat Indonesia sangat beragam baik secara geografis maupun sosial budaya. Salah satu daerah Indonesia yang memiliki keragaman jenis satwa yang tinggi adalah Papua yang merupakan bagian dari daerah zoogeografi Australia dengan kekayaan flora dan fauna spesifik yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia dan Indonesia bagian barat. Keanekaragaman jenis satwa yang terdapat di Papua merupakan sumber plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Wilayah

Papua mempunyai 125 jenis mamalia, 602 jenis burung dan 223 jenis reptilia dengan tingkat endemik masing-masing 58,8%, 52% dan 35% (Primack, dkk., 1998).

Bandikut (Bandicoot) adalah salah satu jenis mamalia endemik yang dapat ditemukan di seluruh daerah Papua dari dataran rendah sampai daerah dengan ketinggian 4300 meter dari permukaan laut. Daging satwa ini telah lama dikonsumsi oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani dan secara budaya dapat diterima. Sebanyak 3 genus dari 7 genus bandikut yang ada, terdapat banyak di Australia dan 4 genus lainnya terutama genus Echymipera banyak ditemukan di Papua. Jenis mamalia ini termasuk satwa marsupialia (berkantung), yang oleh masyarakat Papua selain dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani juga memiliki nilai etno-zoologis. Bandikut sebagai satwa sumber daging, mempunyai laju reproduksi paling tinggi di antara semua marsupialia. Seekor induk bandikut dalam setahun bisa melahirkan 5-6 kali dengan jumlah anak per kelahiran 2-4 ekor, lama bunting 12-13 hari dan lama menyusu 50-60 hari (Petocz, 1994). Bobot badan hewan jantan berkisar antara 478-1800 gram dan betina 598-1500 gram tergantung umur dan jenisnya (Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b). Manfaat lain dari satwa ini antara lain rambut, tulang dan anak bandikut umur 12 hari dipercaya untuk pengobatan. Sementara masyarakat memperoleh bandikut dengan cara berburu untuk perdagangan eceran dan konsumsi sehari-hari.

Tingginya nilai dan manfaat bandikut bagi masyarakat di daerah Papua dapat menyebabkan kecenderungan menurunnya populasi di alam sehingga kelangsungan kehidupan satwa ini akan terdesak dari habitatnya. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh tingginya tingkat konsumsi daging bandikut rata-rata 60 g/kapita/hari/musim berburu di salah satu wilayah distrik Warmare, Kabupaten Manokwari (Kusrini, 2001) dan hasil perburuan antara 1-10 ekor/sekali berburu (Unenor, 2001). Pembukaan hutan untuk pemukiman dan lahan pertanian juga dapat menurunkan populasi bandikut, yang pada gilirannya menyebabkan kepunahan. Upaya-upaya yang tepat perlu dilakukan untuk mempertahankan keberadaan bandikut di alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging bandikut. Salah satu upaya untuk

melindungi dan mengembangkan satwa ini adalah pembudidayaan bandikut sebagai ternak pedaging.

Pembudidayaan bandikut menjadi ternak pedaging diperlukan beberapa tahapan pengkajian. Komponen yang perlu diteliti meliputi jenis pakan, tingkah laku, habitat yang disenangi serta upaya untuk mengubah pakan alami dan penempatan dalam kandang (ex-situ) untuk meningkatkan daya adaptasi selama proses budidaya. Faktor lain yang menjadi penentu utama dalam budidaya adalah kinerja produksi dan reproduksi yang sangat berhubungan dengan kualitas pakannya. Kajian informasi dasar tersebut dapat menjadi acuan bagi peternak dan penelitian bandikut selanjutnya. Melalui penguasaan sifat biologis tersebut dapat membantu dalam mengoptimalkan produktivitas bandikut. Hal ini pada gilirannya dapat memberi nilai tambah bagi diversifikasi usaha ternak yang dikembangkan dan pendapatan peternak di daerah tersebut.

Di Australia, penelitian beberapa aspek biologi bandikut secara eksploratif dalam lingkungan in-situ telah banyak dilakukan, sedangkan di Papua khususnya dan di Indonesia pada umumnya, informasi tentang bandikut masih sangat terbatas. Sampai sekarang belum ada upaya lembaga pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan bandikut secara ex-situ sebagai satwa budidaya penghasil daging. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut dalam rangka pengembangan satwa endemik bandikut sebagai ternak budidaya.

Tujuan Penelitian

Sesuai pembahasan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengamati dan mengkaji :

1. Karakteristik eksternal dan morfometri bandikut

2. Tingkah laku serta preferensi dan konsumsi pakan bandikut dalam lingkungan

ex-situ .

3. Karakteristik karkas dan distribusi potongan karkas dan daging bandikut. 4. Karakteristik fisik dan kimia daging bandikut

5. Penilaian organoleptik daging bandikut.

Manfaat Penelitian

Informasi ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar untuk menentukan kebijakan pengembangan satwa endemik bandikut menjadi komoditi andalan ternak pedaging khas Papua, sekaligus sebagai upaya pelestarian sumber plasma nutfah Indonesia. Disamping itu, sebagai informasi awal untuk menentukan kajian-kajian lanjutan dari satwa bandikut dalam rangka pengembangannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika Zoologis Bandikut

Secara umum kedudukan bandikut dalam sistematika zoologis adalah sebagai berikut (Van Der Zon, 1979; Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b; Petocz, 1994) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Subclass : Theria (Parker and Haswell,1897) Infraclass : Metatheria (Huxley, 1880)

Superordo : Marsupialia (Illeger, 1811)

Ordo : Peramelemorphia (Kirsch,1968) – Bandicoots and bilbies Family : Peroryctidae (Groves and Flannery,1990) – Peroryctid

bandicoots

Genus : Echymipera – New Guineaan Spiny Bandicoots Species : Echymipera kalubu (Lesson, 1828)

Ordo bandikut dibedakan dalam 2 famili, yaitu Peramelidae (bandicoots and bilbies) memiliki 4 genus, 10 spesies, dan Peroryctidae (Peroryctid bandcoots) mempunyai 4 genus 11 spesies (Lindenmayer, 1997). Family Peramelidae banyak terdapat di Australia, sedangkan family Peroryctidae, terutama genus Echymipera

banyak ditemukan di kepulauan Maluku, dan New Guinea (Menzies, 1991). Daratan New Guinea memiliki 5 genus dan 11 spesies. 3 genus (Peroryctes, Microperoryctes

dan Rhynchomeles) dengan 11 spesies merupakan endemik dan genus Echymipera

yang merupakan pusat genus di New Guinea dengan 4 spesies dan, 1 spesies di antaranya meluas sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di Australia dengan 1 spesies juga penyebarannya meluas sampai ke New Guinea bagian selatan (Graeme dan Maynes, 1990).

Diskripsi Umum dan Penyebaran Bandikut

Nama bandikut (bandicoot) pertama kali diberikan tahun 1799 oleh peneliti pada beberapa marsupialia Australia dari bahasa Telugu (‘pandi-kokku’) dari suku yang tinggal di dataran Deccan India Tengah yang berarti “tikus babi”, yaitu nama tikus lokal India dari marga Bandicota (Petocz, 1994). Menurut Menzies (1991) dan Chambers (2001) semua jenis bandikut dapat mudah dikenali karena ciri utamanya yaitu jari kaki belakang kedua dan ketiga pada pangkal cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir dan kukunya yang terpisah. Kedua jari yang bersatu tersebut berfungsi sebagai sisir untuk membersihkan diri dari ektoparasit dan kotoran. Bandikut mempunyai susunan gigi poliprotodon yaitu mempunyai banyak pasang gigi seri di rahang bawah dan di antara taring. Formula susunan gigi : I 4-5/3, C 1/1, P 3/3, M 4/4 (Tate, 1948 dan Lindenmayer, 1997).

Bandikut mempunyai kepala panjang dengan telinga agak berbulu dan moncong runcing yang menandakan indera penciumannya yang tajam. Tubuhnya agak kompak dan berukuran antara kelinci besar dan tikus. Kaki belakang memanjang mirip kaki kuskus dan kanguru atau walabi yang memungkinkan bandikut untuk berjingkrak, berlari kencang dan meloncat. Tungkai kaki depan jauh lebih pendek tetapi kuat dan mempunyai tiga cakar yang mencolok untuk menggaruk dan menggali. Panjang ekornya beragam dan tidak prehensile. Rambutnya halus tetapi ada yang jarang, agak kasar dan kaku, terutama pada bandikut berduri dari genus Echymipera. Warna bulunya beragam bergantung pada spesies, bisa orange, kelabu coklat atau bergaris. Panjang bandikut berkisar antara 28-81 cm dengan panjang ekor sampai 20 cm (Manzies, 1991).

Bandikut merupakan hewan marsupial metatherian, mamalia berkantung yang mempunyai plasenta mirip mamalia eutherian (mamalia berplasenta). Di antara marsupialia lain, bandikut mempunyai ciri yang unik yaitu mempunyai plasenta

korioalantois, suatu saluran panjang dari dinding uterus induk ke embrio yang berfungsi untuk mengikat anak yang baru lahir selama perjalanan ke kantung induknya (Petocz, 1994) . Permukaan kantung bandikut menghadap ke arah bawah

dan belakang, Di dalam kantung terdapat 6 atau 8 puting susu teratur dalam 2 baris membusur (Lyne, 1990).

Di dunia terdapat 21 spesies bandikut, sebagian besar hanya ditemukan di New Guinea dan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Bandikut termasuk hewan nokturnal, soliter, omnivora (Menzies, 1991). Secara umum daerah penyebaran bandikut dari ketinggian 0 – 4 300 meter dari permukaan laut pada habitat padang rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan dataran rendah, hutan lebat, hutan lumut dan areal berpohon.

Bandikut hidup dalam dua kondisi musim, yaitu musim kering dan musim hujan. Selama musim kering, bandikut hidup pada vegetasi yang lebat yang terdiri atas gulma-gulma yang tinggi, pohon-pohon kecil dan semak perdu yang lebat. Kemungkinan ini terjadi karena persediaan pakan yang jarang ditemukan. Sedangkan selama musim hujan, bandikut keluar dan mengembara di padang rumput terbuka yang merupakan sumber makanan berlimpah.

Bandikut membuat sarang individu dalam tanah yang terdiri atas timbunan tanah dan rumput kering yang sederhana serta ranting yang merupakan kamuflase yang baik dan tahan air. Sarang tempat persembunyiannya di bawah tanah bisa digali sampai mencapai panjang 1,5 meter. Banyak pula bandikut yang menggunakan rongga batang pohon sebagai tempat persembunyian atau berlindung. Namun demikian secara umum, bandikut sangat menyukai dalam area tanah tertutup yang rendah sebagai tempat tinggal.

Penyakit yang sering menyerang dan membahayakan kesehatan bandikut adalah toxoplasmosis (Obendorf & Munday, 1990; Miller, et al., 2000). Bandikut hasil tangkapan dari hutan sebagian besar menderita ektoparasit.

Echymipera kalubu (Spiny Bandicoot)

E. kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam (Gambar 1). Bagian kepala berwarna kehitaman dan terdapat batas tajam pada bagian tenggorokan dan pipi yang lebih terang. Bandikut jenis ini mempunyai ciri rambut berduri, bagian

punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai leher. Warna rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman dengan ujung

Gambar 1 Echymipera kalubu.

lebih pucat dan panjang pada bagian dorsal. Moncong agak panjang, telinga, ekor dan kaki pendek serta memiliki 4 pasang gigi seri (Graeme & Maynes, 1990). Pada telapak kaki belakang berwarna hitam dan sedikit berkembang baik dibanding Echimipera secara umum (Ziegler, 1977). Bobot badan jantan lebih besar dari pada betina. Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan New Guinea (Gordon, at al. 1990). Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih kering di pulau Wageo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur dan selatan New Guinea, dengan ketinggian sampai 1550 meter dari permukaan laut .

E. kalubu mempunyai empat sub species yaitu E.k. kalubu, Lesson, 1828; E.k. cockerelli, Ramsay, 1877; E.k. oriomo, Tate and Archbold, 1936; dan E.k. philipi, Throughton, 1945. Rataan ukuran tubuh jantan dan betina (Strahan, 1990; Graeme & Maynes, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b;), sebagai berikut :

Ukuran Jantan Betina Berat Badan (g) 1 500 850 Kepala-badan (mm) 380 280 Ekor (mm) 98 78 Kaki belakang (mm) 66 48,5 Telinga (mm) 32 28

Sifat-sifat Biologis Bandikut Makanan

Bandikut tergolong hewan omnivora (Cockburn, 1990; Reese, 2001; Paliling, 2002), pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva, pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu) dan vertebrata kecil, buah-buahan yang jatuh, biji-bijian dan akar pohon. Jenis vertebrata kecil yang sering dikonsumsi adalah kadal, katak dan tikus. Selain itu bandikut juga memakan keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan manusia bila masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Namun demikian bandikut paling menyukai tipe makanan jenis insekta dan invertebrata (Quin, 1985; Stodart, 1977).

Sesuai sifat soliter dan nokturnal pada bandikut, di alam bebas satwa ini mencari makanan sendirian sepanjang malam, kecuali ada betina yang sedang estrus, mereka akan mencari makan secara bersama/berpasangan. Bandikut memiliki daerah teritori tertentu dengan daerah jelajah (home range) sangat luas yaitu 1-4 ha untuk betina dan jantan sampai 40 ha dan saling tumpang tindih (overlap) (Gemmell, 1988). Daerah jelajah jantan 10 kali lebih luas dibanding betina (Cockburn, 1990). Bandikut menemukan makanan pada tempat yang terbuka atau di dalam tanah. Di dalam penangkaran, bandikut akan mengkonsumsi makanan di tempat makanan yang sudah tersedia atau dibawa ke tempat tertentu kemudian sisanya dibawa ke sarangnya. Cara menggigit makanan sangat bervariasi dalam mencari posisi bergantung pada tekstur

makanannya. Bandikut betina di dalam kandang cenderung kanibal untuk membunuh dan memakan anaknya (Gemmell, 1982).

Reproduksi

Tingkat reproduksi bandikut pada umumnya sangat tinggi, tetapi tingkat mortalitasnya juga tinggi (30-50%), terutama bandikut muda dalam kantung dan setelah penyapihan (Gemmell, 1988) . Bandikut termasuk poliestrus dan bereproduksi sepanjang tahun (Mackerras & Smith, 1960). Betina dewasa mulai kawin sekitar umur 4 bulan dengan berat badan paling rendah 450 gram dan panjang badan dari kepala sampai 225 mm dan jantan pada umur 5 bulan dengan berat badan 650 gram (Lyne, 1964; Flannery, 1995a). Jumlah anak per kelahiran (litter size) 2-4 ekor bahkan ada yang 7 ekor. Seekor betina dalam setahun dapat beranak 5-6 kali. Interval kelahiran paling umum selama 58 hari. Anak bandikut tinggal dan menyusu dalam kantung induk sampai umur 48-53 hari dan berhenti menyusu pada umur 59-61 hari ketika kelahiran berikutnya kemudian mengikuti induknya sampai umur 71-73 hari. Induk kawin lagi ketika anaknya berumur 49-50 hari dan masih menyusu didalam kantung (Stodart, 1977).

Kopulasi berlangsung pada waktu aktif di malam hari tetapi kelahiran terjadi di siang hari pada waktu betina istirahat. Siklus estrus berkisar antara 17-34 hari atau rata-rata 21 hari dan puncak estrus terjadi hanya pada satu malam (Lyne, 1976 & 1990). Lama kebuntingan antara 12 hari 8 jam dan 12 hari 14 jam atau rata-rata 12,5 hari (Stodart, 1977; Petocz, 1994; Fishman, 2001). Hal ini merupakan lama bunting yang paling pendek dan pertumbuhannya dalam kantung lebih cepat dari marsupial lain. Bandikut lahir dalam kondisi belum berkembang sempurna dan berlindung dalam kantung induk sampai perkembangannya sempurna. Rambut pertama muncul di tubuh pada umur 45 hari, mata terbuka antara umur 45 dan 50 hari dan penyapihan terjadi pada umur 60 hari (Lyne, 1990).

Percumbuan bandikut dilakukan saat betina mengalami estrus (birahi). Betina yang sedang estrus akan mensekresikan bau spesifik melalui urine yang dibuang sepanjang jalan yang dilewati sehingga bandikut jantan akan mencium bau tersebut

dan mengejar sampai betina bersedia dikopulasi (Petocz, 1994). Masa estrus hanya beberapa malam saja. Proses percumbuan sampai terjadi kopulasi berlangsung sampai 5 jam lebih. Sedangkan proses kopulasinya sendiri hanya berlangsung selama 2-4 menit (Manufandu, 2000).

Proses kelahiran bandikut sama seperti hewan marsupialia lainnya, lahir dalam kondisi belum masak, kurang dari 10 menit mampu merayapi rambut menuju ke puting susu di kantung induknya dengan ikatan plasenta korioalantois dan induknya tidak mencoba membersihkan tubuh anaknya karena tidak berselaput (Stodart, 1990). Plasenta ini merupakan saluran berbentuk bebat panjang yang menghubungkan dinding uterus induk dan embrio. Fungsi saluran tersebut hanya sebagai pengikat anak yang baru lahir dengan induknya selama proses perjalanan ke kantung dan tidak berfungsi dalam pertukaran nutrisi dan darah dari induk ke anaknya seperti pada hewan-hewan eutherian (mamalia berplasenta). Menurut Lyne (1990), alantois sebagai vesikel kecil mulai muncul dan tertanam ketika embrio berumur 9,5 hari.

Proses masuknya anak ke kantung induk saat kelahiran merupakan naluri alami anak yang berusaha tanpa bantuan induk. Induk secara naluri membantu membuat jalan pada rambut antara pangkal kedua paha menuju ke kantung dengan cara menjilati sambil mengeluarkan cairan atau lendir dari mulutnya sehingga cukup licin untuk dilewati anaknya. Anak bandikut yang baru dilahirkan dilengkapi dengan cakar besar yang dapat membantu bergelantungan ketika merayap ke kantung induknya. Setelah masuk ke dalam kantung, cakar tersebut akan tanggal dengan sendirinya (Manufandu, 2000).

Bayi bandikut dalam keadaan tidak berambut, mata tertutup dan kaki depan berkembang tidak sebanding dengan bagian tubuh lainnya. Bandikut muda melekatkan diri pada salah satu puting dan memulai masa menyusu selama 55-60 hari untuk menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan di dalam kantung induknya sampai anak berikutnya lahir (Petocz, 1994; Lancaster, 2001). Rata-rata panjang anak bandikut yang baru dilahirkan sekitar 13 mm dengan berat 0,2 gram (Lyne, 1990).

Anak-anak yang sudah disapih ikut mencari makan bersama induknya hanya satu atau dua minggu sebelum mereka menjalani pola hidup soliter dan membuat

teritori atau home rangenya sendiri. Lama hidup (lifespan) bandikut sekitar 3.3-4 tahun (Lobert & Lee, 1990).

Tingkah laku (Behavior)

Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap lingkungannya. Setiap hewan secara naluri dengan tingkah lakunya akan beradaptasi dengan lingkungan tertentu dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti terbentuknya perubahan struktur fisik (Stenley & Andrykovitch, 1984). Tingkah laku hewan mamalia umumnya mempunyai fleksibilitas dan bervariasi. Menurut Vaughan (1986), hewan mamalia akan belajar lebih cepat dan dapat memodifikasi tingkah laku untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Satwa liar yang didomestikasi akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu berkurangnya sifat liar, sifat bersarang, sifat berpasangan, sifat terbang dan agresivitas (Craig, 1981).

Pada tingkat adaptasi, tingkah laku ditentukan oleh kemampuan belajar hewan untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru. Menurut Stanley & Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan ditentukan oleh sepasang gen atau lebih sehingga terdapat variasi tingkah laku individu dalam satu spesies meskipun secara umum relatif sama dan tingkah laku tersebut dapat diwariskan kepada turunannya yaitu berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku dengan adanya kondisi lingkungan yang berubah dan tingkah laku akibat mekanisme fisiologis, seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus. Penampilan tingkah laku individu selain dipengaruhi oleh faktor genetik tetua juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan internal atau status fisiologis (misal umur, sex, lapar, sehat) dan faktor ekternal seperti lingkugan fisik (nutrisi, temperature, pembatasan gerakan, panjang hari) dan lingkungan social, misal ukuran kelompok, kelompok sexual, parental contact (Craig, 1981).

Menurut Craig (1981) sistem tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku makan, minum, tidur dan kawin) terdiri atas tiga fase aktivitas yang terjadi dalam satu

rangkaian, yaitu fase hasrat (appetitive behaviour), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behaviour) dan fase respon kelanjutan yang menguntungkan (refractory behaviour). Selanjutnya Scott (1972) membagi sistem tingkah laku berdasarkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kenyamanan hewan, yaitu ingestive (tingkah laku makan dan minum); eliminative (tingkah laku kencing dan membuang kotoran); shelter seeking (tingkah laku mencari tempat berlindung); investigatory (tingkah laku penyelidikan terhadap keadaan bahaya di sekitarnya); allelomimetic (tingkah laku berkelompok); agonistic (tingkah laku yang berkaitan dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan); sexual (tingkah laku kawin); epimeletic (care-giving), tingkah laku keindukan; et-epimeletic (care- seeking), tingkah laku melindungi anak atau interaksi dengan hewan dari kelompok lain; play (tingkah laku bermain).

Tingkah laku bandikut di alam (in-situ) selalu menandai dan mempertahankan daerah teritorinya. Bandikut mempunyai kelenjar bau di telinga, mulut, kantung dan kloaka yang mensekresikan bau spesifik (Fisherman, 2001) sehingga dapat menandai melalui urin dan fesesnya. Satwa ini termasuk satwa marsupial yang soliter yaitu tidak hidup dalam kelompok kecuali induk dan anaknya, nocturnal (lebih banyak aktif pada malam hari) dan oportunis (selalu mencari kesempatan dan menghabiskan waktu untuk mencari makan).

Pada siang hari bandikut lebih banyak berada di sarangnya dan hanya muncul dari sarangnya pada senja atau bila terancam untuk melarikan diri dengan cepat. Saat akan meninggalkan sarang, bandikut akan memastikan keadaan sekelilingnya dengan berjalan pelan, mengendus dan bergerak kemudian masuk kembali ke sarang. Beberapa saat setelah yakin aman, bandikut akan keluar dan lari cepat setelah menutupi lubang sarang dengan serasah di sekitarnya.

Bandikut secara gigih akan melindungi diri sendiri dan mempertahankan teritorinya dari bandikut jantan yang lain, terutama bila terdapat betina yang sedang birahi. Paling sedikit ada dua jantan akan saling berkelahi satu sama lain untuk menguasai teritori. Selanjutnya akan ada satu jantan yang dibunuh atau menjadi subordinat bagi jantan yang lain (jantan dominan) dan menghindari perkelahian

(takut). Konsekuensi dari jantan subordinat harus menyerahkan semua bandikut betinanya kepada jantan dominan.

Pertumbuhan dan Perkembangan

Istilah pertumbuhan sudah banyak didefinisikan. Pertumbuhan tubuh hewan adalah pembentukan jaringan baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan berat, bentuk dan komposisi tubuh (Hammond, 1982), perubahan ukuran atau bentuk tubuh yang dapat dinyatakan dengan ukuran panjang, volume ataupun berat (Williams, 1982), peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu (Maynard

et al, 1982), peningkatan bobot badan sampai mencapai ukuran dewasa (Taylor, 1984), peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada

Dokumen terkait