SIFAT BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK KARKAS
DAN DAGING BANDIKUT (
Echymipera kalubu
)
IRBA UNGGUL WARSONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu) adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2009
IRBA UNGGUL WARSONO. The Biological, Carcass and Meat Characteristics of the Spiny Bandicoots (Echymipera kalubu). Under supervision of EDDIE GURNADI, AMINUDDIN PARAKKASI and RUDY PRIYANTO.
The main objective of this study was to investigate the biological, carcass and meat characteristics of the spiny bandicoots (Echymipera kalubu). The research conducted using explorative method. Sixty eight mature bandicoots consisted of 36 males and 30 females were used to explore external characteristics, morphometry, behaviour, food preference and food intake, carcass and meat characteristics. Organoleptic test was used to have information on taste, smells and meat colour.
The results, showed that the frequency and duration of Spiny Bandicoot behaviour at the night were eating (304.31 sec and 7.4 times), drinking (113.79 sec and 5.3 times) and grooming (151.46 sec and 4.85 times). The total time of the bandicoots activity at the night was 1.32 % for eating, drinking and grooming, 55.75 % for foraging and 42.93 % for shelter seeking. White breast bandicoots had obviously heavier hind legs but lighter fore legs meat compared with Red breast bandicoots. Meat and carcass characteristics of male and female bandicoots were dressing percentage (70.48 and 65.13), pH (5.78 and 5.66), tenderness (1.03 and 1.07 kg/cm2), cooking loss (33.62 and 34.47 %) and water holding capacity (37.14 and 35.98 % mgH2O). Meat composition contain complete amino acids and fatty acids, but a bit higher polysaturated fatty acids than other domestic livestocks especially palmitic acids (36.76 %). Flavor (taste, smells) and colour of the meat bandicoots can be accepted by people in Manokwari regency as well as like on pork, chiken and beef.
IRBA UNGGUL WARSONO. Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu). Dibimbing oleh EDDIE GURNADI, AMINUDDIN PARAKKASI dan RUDY PRIYANTO.
Bandikut (Echymipera sp.) adalah salah satu satwa endemik Papua dan sering diburu untuk dimanfaatkan dagingnya. Bandikut keberadaannya belum banyak diungkap dan hidupnya masih liar sebagai hewan berkantung (marsupial), nokturnal, soliter dan suka berkelahi (pugnacious). Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi dan gambaran tentang karakteristik eksternal dan tingkah laku serta data dasar yang berhubungan dengan morfometri, preferensi dan konsumsi pakan, karakteristik karkas dan daging serta penerimaan masyarakat terhadap daging bandikut dalam rangka budidaya dan pengembangan satwa bandikut melalui pemeliharaan secara ex-situ.
Penelitian menggunakan metode eksploratif. Materi penelitian yang digunakan adalah bandikut dewasa dari jenis Echymipera kalubu, diperoleh secara acak dari hutan di daerah Manokwari Papua Barat, sebanyak 68 ekor, terdiri dari 38 ekor jantan dan 30 ekor betina. Pengamatan karakteristik eksternal dan morfometri menggunakan 30 ekor hewan (16 jantan dan 14 betina). Pengamatan tingkah laku menggunakan 8 ekor (6 jantan 2 betina). Percobaan pakan menggunakan 6 ekor (3 jantan dan 3 betina), pengamatan karakteristik karkas dan daging menggunakan 20 ekor (10 jantan dan 10 betina), pengujian organoleptik daging menggunakan 2 ekor jantan, sementara untuk keperluan identifikasi spesimen jenis bandikut digunakan satu ekor jantan dan satu ekor betina.
Hasil kajian menunjukkan bahwa bandikut memiliki ciri umum bulu tubuhnya kaku, berwarna coklat kehitaman dengan ujung rambut campuran hitam dan coklat kekuningan. Warna bulu bagian ventral dari abdomen sampai moncong rahang bawah termasuk ke empat kaki batas sendi berwarna putih atau merah kecoklatan sehingga pada penelitian ini terdapat bandikut dada merah dan dada putih. Ekor bandikut pendek, kaku dan tidak berbulu. Jari kaki belakang pada jari ke dua dan ke tiga bersatu sebatas ujung sendinya. Bandikut betina berkantung (pouch) dengan 8 puting, memiliki kloaka tempat saluran akhir pencernaan, urin dan reproduksi. Bobot tubuh bisa mencapai berat 4 600 g, hewan jantan lebih berat dari betina. Tubuhnya padat dan kompak, leher pendek dan kokoh. Kepala sempit dengan moncong panjang serta geligi yang banyak dan kecil (I4/3 C1/1 P3/3 M4/4). Kedua kaki depan bandikut lebih pendek dari kaki belakang, cara berjalan berjingkrak atau melompat, bila berdiri tubuh melengkung dengan kedua kaki depan menggantung.
Di lingkungan ex-situ, bandikut pada malam hari menggunakan waktu untuk
bobot badan. Rata-rata persentase karkas bandikut dengan cara pengulitan sebesar 67,8 % tetapi bila dengan cara pembakaran bulu menjadi 74,5 – 82,52 %. Distribusi bobot daging pada potongan karkas terhadap bobot karkas atau bobot total daging bandikut, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bandikut jantan dan betina, tetapi berbeda secara signifikan (P<0.05) antara bandikut dada merah dan dada putih. Bobot daging potongan karkas bagian kaki depan bandikut dada merah (157,7 g) secara bermakna (P<0.05) lebih tinggi dari pada bobot daging potongan karkas kaki depan bandikut dada putih (146,10 g). Sebaliknya, distribusi bobot daging potonganan karkas terhadap bobot total daging karkas yang sama menunjukkan bobot daging potongan karkas bagian kaki belakang bandikut dada merah (207,52 g) secara bermakna (P<0.05) lebih rendah dari pada bobot daging potongan karkas kaki belakang bandikut dada putih (227,62 g).
Daging bandikut memiliki pH normal daging segar yaitu 5,7, tingkat keempukan1,05 lebih empuk dari daging kelinci (1,8) dan daging ternak domestikasi lainnya. Susut masak (cooking loss) daging bandikut sebesar 34,04 %, termasuk normal karena kurang dari 40 %. Daya mengikat air daging (water holding capacity) cukup tinggi sebesar 36,56 % mgH2O dibandingkan dengan daging ternak domestikasi atau hewan yang lain. Daging bandikut mengandung air 72,42 % dengan kadar lemak 3,26 %, protein kasar 18,72 % dan abu 2,53 %. Komposisi asam amino dan asam lemak daging bandikut, baik jumlah maupun jenisnya cukup lengkap, namun daging bandikut sedikit kaya asam lemak jenuh jenis laurat (1,97 %), miristat (3,79 %) dan palmitat (36,76 %), bila dibandingkan dengan ternak domestikasi lainnya. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa baik warna, bau maupun rasa daging bandikut dapat diterima dan disukai oleh masyarakat di Manokwari seperti halnya terhadap daging babi, daging ayam dan daging sapi.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
SIFAT BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK KARKAS
DAN DAGING BANDIKUT (
Echymipera kalubu
)
IRBA UNGGUL WARSONO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Asnath M. Fuah
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Machmud Thohari
Nama : Irba Unggul Warsono
NIM : D061020101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Em. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen IPTP Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang atas limpahan kasih, berkat dan anugerahNya, sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini telah dilaksanakan sejak
Juli 2005 sampai Maret 2007 dengan judul Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas
dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu).
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Em. Dr.
H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc., Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc dan Dr.Ir. Rudy
Priyanto selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan dan koreksi selama
proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh
Staf Dosen Fapet IPB, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk bisa
melanjutkan studi di IPB. Kepada Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan
Dekan Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) UNIPA yang telah
memberi kesempatan tugas belajar dan bantuan dana untuk penyelesaian studi di IPB
Bogor, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesarnya. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional (DITJEN DIKTI),
PEMDA Propinsi Papua Barat dan Yayasan Dana Mandiri atas bantuan beasiswa dan
dana penelitian yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana di IPB. Kepada teman-teman satu angkatan dan diluar
angkatan yang sama yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima
kasih atas dukungan moril dan doa bahkan bantuan materiil, selama penulis
mengikuti pendidikan di IPB. Kepada Bapak dan Almarhumah Ibu, Papa dan Mama
Mertua, Kakak-kakak dan Adik-adik di Semarang dan Bitung-Manado serta Keluarga
Besar Patitis di Semarang, hormat dan terima kasih atas dukungan moril dan doa
yang senantiasa diberikan selama ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan
hormat serta kasih, penulis persembahkan karya ini untuk istri tercinta Sientje Daisy
Rumetor yang juga sedang melaksanakan tugas akademik dan anak-anak tersayang
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
Penulis dilahirkan di Semarang, pada tanggal 29 November 1957, sebagai anak
ke empat dari lima bersaudara dari ayah M Warsimin dan Ibu Anik (Alm.).
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas
Cenderawasih, lulus tahun 1985. Pada tahun 1991 penulis diterima di program
Magister pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus
pada tahun 1994. Pada tahun 2002, penulis memperoleh kesempatan untuk
melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Pengajar dengan jenjang kepangkatan
Lektor Kepala di Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK)
Universitas Negeri Papua Manokwari, sejak tahun 1987 dalam bidang Produksi
Ternak.
Selama mengikuti Program S3, penulis menjadi anggota Ikatan Sarjana
Peternakan Indonesia.
Karya ilmiah berjudul “Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging
DAFTAR ISI
- Tahap V : Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut ..Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut ………
- Tingkah Laku Bandikut ……….
- Konsumsi Segar dan Preferensi Pakan Bandikut …………. - Konsumsi Bahan Kering dan Zat Gizi Pakan ………... Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut …...
- Karakteristik Karkas Bandikut ……….
- Distribusi Potongan Karkas dan Daging Bandikut ……….. Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut ………
- Sifat Fisik Daging Bandikut ………
- Komposisi Kimia Daging Bandikut ……….
- Komposisi Asam Amino dan Asam Lemak Daging Bandikut Penilaian Organoleptik terhadap Daging Bandikut ………
- Warna Daging ………
- Bau Daging ………
- Rasa Daging ………..
PEMBAHASAN UMUM ……….
SIMPULAN DAN SARAN ………..
- Simpulan ………
- Saran ………...
DAFTAR PUSTAKA ………...
LAMPIRAN ………..
48 48 54 56 58 58 62 64 64 69 71 75 75 77 79
81
93 93 94
95
104
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi bahan dan nutrisi pakan konsentrat ……... 28
2 Rataan, standar deviasi, maksimum, minimum dan koefisien
korelasi ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut… 44
3 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin ……… 46
4 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada ….. 47
5 Rataan durasi dan frekuensi makan, minum dan grooming
bandikut di dalam kandang ……… 50
6 Rataan konsumsi pakan segar bandikut pada kondisi kandang
gelap dan terang ………. 54
7 Rataan preferensi konsumsi pakan segar bandikut ……… 55
8 Rataan konsumsi bahan kering dan zat gizi lainnya ……...…... 56
9 Rataan berat karkas dan potongan karkas bandikut berdasarkan
jenis kelamin dan warna dada ……… 59
10 Persentase karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau
hewan lain ……….. 61
11 Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) dan bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) dan bobot total daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda ………
63
12 Sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan
warna dada ………. 65
13 Sifat fisik daging bandikut dan beberapa daging ternak ……… 66
14 Komposisi kimia daging bandikut dan beberapa hewan/ternak . 69
15 Komposisi asam amino daging bandikut dan beberapa hewan
16 Komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa
daging hewan domestikasi (% lemak daging) ……… 73
17 Rataan skor dan median kesukaan terhaap warna daging …….. 75
18 Rataan skor dan median kesukaan terhaap bau daging …….. 77
19 Rataan skor dan median kesukaan terhaap rasa daging …….. 79
20 Proyeksi produksi bandikut selama setahun pertama berdasarkan sifat biologisnya ……….
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Echymipera kalubu ………. 8
2 Kurve pertumbuhan normal dan laju partumbuhan ………… 15
3 Kurva pertumbuhan tulang, otot dan lemak …………... 16
4 Kandang besar yang disekat dan perlengkapannya …………. 23
5 Potongan karkas bandikut ………... 31
6 Uji organoleptik ……….. 35
7 Bandikut dada merah (A) dan bandikut dada putih (B) …… 38
8 Kepala dan moncong bandikut dada putih dan dada merah … 38 9 Jari kaki depan (A), jari kaki belakang (B) dan telapak kaki depan dan kaki belakang (C) ………... 39
10 Susunan geligi bandikut ……….. 39
11 Puting susu dalam kantung bandikut betina serta alat reproduksi bandikut jantan dan betina ……… 40
12 Perkembangan bayi bandikut (1 ke 5) dalam kantung sampai mulai tumbuh rambut dengan mata masih tertutup …………. 41
13 Lubang sarang tempat keluar masuk yang dibuat bandikut … 49 14 Bandikut saat tidur ………...……….. 53
15 Boksplot median terhadap warna daging ……… 76
16 Boksplot median terhadap bau daging ……… 78
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin
terhadap morfometri bandikut ………... 105
2 Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada
terhadap morfometri bandikut ………... 116
3a Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin
terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut. 127
3b Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada
terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut. 133
4a Distribusi bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas
(X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda …………... 139
4b Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) terhadap bobot
karkas (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda …… 140
4c Distribusi bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot total
daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda …... 141 5 Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan
jenis kelamin dan uji-t (LSD) ……… 142
6 Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan
jenis warna dada dan uji-t (LSD) ………... 144
7 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan warna
daging ………. 145
8 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan bau
daging ………. 146
9 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan rasa
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan daging nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring
dengan penigkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan kebutuhan gizi pada
masyarakat. Untuk memenuhi permintaan ini, pemerintah dan swasta mendatangkan
daging atau ternak bakalan dari luar negeri karena laju pertumbuhan populasi ternak
konvensional penghasil daging cenderung lambat. Konsumsi daging di Indonesia
pada tahun 1999 sampai 2001 adalah 1,19 hingga 1,45 juta ton dan 24-26% berasal
dari daging sapi. Sebanyak 78-85% pasokan daging sapi dipenuhi oleh pasokan
daging sapi lokal, sedangkan sisanya adalah impor (Ditjen Bina Produksi Peternakan,
2001). Pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265 700 ekor, sapi bibit 6 200
ekor dan daging 25 949,2 ton (Ditjen Peternakan, 2007). Di sisi lain Indonesia
memiliki kekayaan fauna yang belum banyak diberdayakan sebagai sumber protein
hewani dan sumber devisa.
Sumber daya hayati fauna di Indonesia di antaranya mamalia 12%, burung 17%,
reptilian dan amfibia 16% dari yang ada di dunia (Primack dkk., 1998). Potensi
fauna di luar ternak konvensional yang telah dikenal dan memiliki potensi sebagai
sumber protein hewani perlu digali dan diupayakan pengembangannya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih kaya
tetapi tetap miskin.
Pengembangan potensi sumber daya fauna terutama satwa merupakan sisi
strategis bila dikaitkan dengan potensi unggulan di setiap daerah mengingat Indonesia
sangat beragam baik secara geografis maupun sosial budaya. Salah satu daerah
Indonesia yang memiliki keragaman jenis satwa yang tinggi adalah Papua yang
merupakan bagian dari daerah zoogeografi Australia dengan kekayaan flora dan
fauna spesifik yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia dan Indonesia bagian
barat. Keanekaragaman jenis satwa yang terdapat di Papua merupakan sumber plasma
Papua mempunyai 125 jenis mamalia, 602 jenis burung dan 223 jenis reptilia dengan
tingkat endemik masing-masing 58,8%, 52% dan 35% (Primack, dkk., 1998).
Bandikut (Bandicoot) adalah salah satu jenis mamalia endemik yang dapat ditemukan di seluruh daerah Papua dari dataran rendah sampai daerah dengan
ketinggian 4300 meter dari permukaan laut. Daging satwa ini telah lama dikonsumsi
oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani dan secara budaya dapat
diterima. Sebanyak 3 genus dari 7 genus bandikut yang ada, terdapat banyak di
Australia dan 4 genus lainnya terutama genus Echymipera banyak ditemukan di Papua. Jenis mamalia ini termasuk satwa marsupialia (berkantung), yang oleh
masyarakat Papua selain dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani juga memiliki
nilai etno-zoologis. Bandikut sebagai satwa sumber daging, mempunyai laju
reproduksi paling tinggi di antara semua marsupialia. Seekor induk bandikut dalam
setahun bisa melahirkan 5-6 kali dengan jumlah anak per kelahiran 2-4 ekor, lama
bunting 12-13 hari dan lama menyusu 50-60 hari (Petocz, 1994). Bobot badan hewan
jantan berkisar antara 478-1800 gram dan betina 598-1500 gram tergantung umur dan
jenisnya (Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b). Manfaat lain dari satwa ini
antara lain rambut, tulang dan anak bandikut umur 12 hari dipercaya untuk
pengobatan. Sementara masyarakat memperoleh bandikut dengan cara berburu untuk
perdagangan eceran dan konsumsi sehari-hari.
Tingginya nilai dan manfaat bandikut bagi masyarakat di daerah Papua dapat
menyebabkan kecenderungan menurunnya populasi di alam sehingga kelangsungan
kehidupan satwa ini akan terdesak dari habitatnya. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh
tingginya tingkat konsumsi daging bandikut rata-rata 60 g/kapita/hari/musim berburu
di salah satu wilayah distrik Warmare, Kabupaten Manokwari (Kusrini, 2001) dan
hasil perburuan antara 1-10 ekor/sekali berburu (Unenor, 2001). Pembukaan hutan
untuk pemukiman dan lahan pertanian juga dapat menurunkan populasi bandikut,
yang pada gilirannya menyebabkan kepunahan. Upaya-upaya yang tepat perlu
dilakukan untuk mempertahankan keberadaan bandikut di alam dan sekaligus dapat
melindungi dan mengembangkan satwa ini adalah pembudidayaan bandikut sebagai
ternak pedaging.
Pembudidayaan bandikut menjadi ternak pedaging diperlukan beberapa tahapan
pengkajian. Komponen yang perlu diteliti meliputi jenis pakan, tingkah laku, habitat
yang disenangi serta upaya untuk mengubah pakan alami dan penempatan dalam
kandang (ex-situ) untuk meningkatkan daya adaptasi selama proses budidaya. Faktor lain yang menjadi penentu utama dalam budidaya adalah kinerja produksi dan
reproduksi yang sangat berhubungan dengan kualitas pakannya. Kajian informasi
dasar tersebut dapat menjadi acuan bagi peternak dan penelitian bandikut selanjutnya.
Melalui penguasaan sifat biologis tersebut dapat membantu dalam mengoptimalkan
produktivitas bandikut. Hal ini pada gilirannya dapat memberi nilai tambah bagi
diversifikasi usaha ternak yang dikembangkan dan pendapatan peternak di daerah
tersebut.
Di Australia, penelitian beberapa aspek biologi bandikut secara eksploratif
dalam lingkungan in-situ telah banyak dilakukan, sedangkan di Papua khususnya dan di Indonesia pada umumnya, informasi tentang bandikut masih sangat terbatas.
Sampai sekarang belum ada upaya lembaga pemerintah maupun swasta untuk
mengembangkan bandikut secara ex-situ sebagai satwa budidaya penghasil daging. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang
sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut dalam rangka
pengembangan satwa endemik bandikut sebagai ternak budidaya.
Tujuan Penelitian
Sesuai pembahasan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengamati dan mengkaji :
1. Karakteristik eksternal dan morfometri bandikut
2. Tingkah laku serta preferensi dan konsumsi pakan bandikut dalam lingkungan
ex-situ .
3. Karakteristik karkas dan distribusi potongan karkas dan daging bandikut.
5. Penilaian organoleptik daging bandikut.
Manfaat Penelitian
Informasi ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai
acuan dasar untuk menentukan kebijakan pengembangan satwa endemik bandikut
menjadi komoditi andalan ternak pedaging khas Papua, sekaligus sebagai upaya
pelestarian sumber plasma nutfah Indonesia. Disamping itu, sebagai informasi awal
untuk menentukan kajian-kajian lanjutan dari satwa bandikut dalam rangka
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Zoologis Bandikut
Secara umum kedudukan bandikut dalam sistematika zoologis adalah sebagai
berikut (Van Der Zon, 1979; Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b; Petocz,
1994) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Subclass : Theria (Parker and Haswell,1897)
Infraclass : Metatheria (Huxley, 1880)
Superordo : Marsupialia (Illeger, 1811)
Ordo : Peramelemorphia (Kirsch,1968) – Bandicoots and bilbies
Family : Peroryctidae (Groves and Flannery,1990) – Peroryctid bandicoots
Genus : Echymipera – New Guineaan Spiny Bandicoots
Species : Echymipera kalubu (Lesson, 1828)
Ordo bandikut dibedakan dalam 2 famili, yaitu Peramelidae (bandicoots and bilbies) memiliki 4 genus, 10 spesies, dan Peroryctidae (Peroryctid bandcoots) mempunyai 4 genus 11 spesies (Lindenmayer, 1997). Family Peramelidae banyak
terdapat di Australia, sedangkan family Peroryctidae, terutama genus Echymipera
banyak ditemukan di kepulauan Maluku, dan New Guinea (Menzies, 1991). Daratan
New Guinea memiliki 5 genus dan 11 spesies. 3 genus (Peroryctes, Microperoryctes
dan Rhynchomeles) dengan 11 spesies merupakan endemik dan genus Echymipera
yang merupakan pusat genus di New Guinea dengan 4 spesies dan, 1 spesies di
antaranya meluas sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di Australia dengan 1 spesies juga penyebarannya meluas sampai ke New
Diskripsi Umum dan Penyebaran Bandikut
Nama bandikut (bandicoot) pertama kali diberikan tahun 1799 oleh peneliti pada beberapa marsupialia Australia dari bahasa Telugu (‘pandi-kokku’) dari suku
yang tinggal di dataran Deccan India Tengah yang berarti “tikus babi”, yaitu nama
tikus lokal India dari marga Bandicota (Petocz, 1994). Menurut Menzies (1991) dan Chambers (2001) semua jenis bandikut dapat mudah dikenali karena ciri utamanya
yaitu jari kaki belakang kedua dan ketiga pada pangkal cakarnya disatukan oleh kulit
dan hanya ujung sendi terakhir dan kukunya yang terpisah. Kedua jari yang bersatu
tersebut berfungsi sebagai sisir untuk membersihkan diri dari ektoparasit dan kotoran.
Bandikut mempunyai susunan gigi poliprotodon yaitu mempunyai banyak pasang
gigi seri di rahang bawah dan di antara taring. Formula susunan gigi : I 4-5/3, C 1/1,
P 3/3, M 4/4 (Tate, 1948 dan Lindenmayer, 1997).
Bandikut mempunyai kepala panjang dengan telinga agak berbulu dan moncong
runcing yang menandakan indera penciumannya yang tajam. Tubuhnya agak kompak
dan berukuran antara kelinci besar dan tikus. Kaki belakang memanjang mirip kaki
kuskus dan kanguru atau walabi yang memungkinkan bandikut untuk berjingkrak,
berlari kencang dan meloncat. Tungkai kaki depan jauh lebih pendek tetapi kuat dan
mempunyai tiga cakar yang mencolok untuk menggaruk dan menggali. Panjang
ekornya beragam dan tidak prehensile. Rambutnya halus tetapi ada yang jarang, agak
kasar dan kaku, terutama pada bandikut berduri dari genus Echymipera. Warna bulunya beragam bergantung pada spesies, bisa orange, kelabu coklat atau bergaris.
Panjang bandikut berkisar antara 28-81 cm dengan panjang ekor sampai 20 cm
(Manzies, 1991).
Bandikut merupakan hewan marsupial metatherian, mamalia berkantung yang
mempunyai plasenta mirip mamalia eutherian (mamalia berplasenta). Di antara
marsupialia lain, bandikut mempunyai ciri yang unik yaitu mempunyai plasenta
korioalantois, suatu saluran panjang dari dinding uterus induk ke embrio yang berfungsi untuk mengikat anak yang baru lahir selama perjalanan ke kantung
dan belakang, Di dalam kantung terdapat 6 atau 8 puting susu teratur dalam 2 baris
membusur (Lyne, 1990).
Di dunia terdapat 21 spesies bandikut, sebagian besar hanya ditemukan di New
Guinea dan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Bandikut termasuk hewan
nokturnal, soliter, omnivora (Menzies, 1991). Secara umum daerah penyebaran
bandikut dari ketinggian 0 – 4 300 meter dari permukaan laut pada habitat padang
rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan dataran rendah, hutan lebat,
hutan lumut dan areal berpohon.
Bandikut hidup dalam dua kondisi musim, yaitu musim kering dan musim
hujan. Selama musim kering, bandikut hidup pada vegetasi yang lebat yang terdiri
atas gulma-gulma yang tinggi, pohon-pohon kecil dan semak perdu yang lebat.
Kemungkinan ini terjadi karena persediaan pakan yang jarang ditemukan. Sedangkan
selama musim hujan, bandikut keluar dan mengembara di padang rumput terbuka
yang merupakan sumber makanan berlimpah.
Bandikut membuat sarang individu dalam tanah yang terdiri atas timbunan
tanah dan rumput kering yang sederhana serta ranting yang merupakan kamuflase
yang baik dan tahan air. Sarang tempat persembunyiannya di bawah tanah bisa digali
sampai mencapai panjang 1,5 meter. Banyak pula bandikut yang menggunakan
rongga batang pohon sebagai tempat persembunyian atau berlindung. Namun
demikian secara umum, bandikut sangat menyukai dalam area tanah tertutup yang
rendah sebagai tempat tinggal.
Penyakit yang sering menyerang dan membahayakan kesehatan bandikut adalah
toxoplasmosis (Obendorf & Munday, 1990; Miller, et al., 2000). Bandikut hasil tangkapan dari hutan sebagian besar menderita ektoparasit.
Echymipera kalubu (Spiny Bandicoot)
E. kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam (Gambar 1). Bagian kepala berwarna kehitaman dan terdapat batas tajam pada bagian tenggorokan dan
punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai leher. Warna
rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman dengan ujung
Gambar 1 Echymipera kalubu.
lebih pucat dan panjang pada bagian dorsal. Moncong agak panjang, telinga, ekor dan
kaki pendek serta memiliki 4 pasang gigi seri (Graeme & Maynes, 1990). Pada
telapak kaki belakang berwarna hitam dan sedikit berkembang baik dibanding
Echimipera secara umum (Ziegler, 1977). Bobot badan jantan lebih besar dari pada
betina. Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan
New Guinea (Gordon, at al. 1990). Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih
kering di pulau Wageo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur dan selatan New
Guinea, dengan ketinggian sampai 1550 meter dari permukaan laut .
E. kalubu mempunyai empat sub species yaitu E.k. kalubu, Lesson, 1828; E.k. cockerelli, Ramsay, 1877; E.k. oriomo, Tate and Archbold, 1936; dan E.k. philipi, Throughton, 1945. Rataan ukuran tubuh jantan dan betina (Strahan, 1990; Graeme &
Ukuran Jantan Betina
Berat Badan (g) 1 500 850
Kepala-badan (mm) 380 280
Ekor (mm) 98 78
Kaki belakang (mm) 66 48,5
Telinga (mm) 32 28
Sifat-sifat Biologis Bandikut Makanan
Bandikut tergolong hewan omnivora (Cockburn, 1990; Reese, 2001; Paliling,
2002), pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva,
pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu) dan
vertebrata kecil, buah-buahan yang jatuh, biji-bijian dan akar pohon. Jenis vertebrata
kecil yang sering dikonsumsi adalah kadal, katak dan tikus. Selain itu bandikut juga
memakan keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan
manusia bila masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Namun demikian bandikut
paling menyukai tipe makanan jenis insekta dan invertebrata (Quin, 1985; Stodart,
1977).
Sesuai sifat soliter dan nokturnal pada bandikut, di alam bebas satwa ini
mencari makanan sendirian sepanjang malam, kecuali ada betina yang sedang estrus,
mereka akan mencari makan secara bersama/berpasangan. Bandikut memiliki daerah
teritori tertentu dengan daerah jelajah (home range) sangat luas yaitu 1-4 ha untuk betina dan jantan sampai 40 ha dan saling tumpang tindih (overlap) (Gemmell, 1988). Daerah jelajah jantan 10 kali lebih luas dibanding betina (Cockburn, 1990). Bandikut
menemukan makanan pada tempat yang terbuka atau di dalam tanah. Di dalam
penangkaran, bandikut akan mengkonsumsi makanan di tempat makanan yang sudah
tersedia atau dibawa ke tempat tertentu kemudian sisanya dibawa ke sarangnya. Cara
makanannya. Bandikut betina di dalam kandang cenderung kanibal untuk membunuh
dan memakan anaknya (Gemmell, 1982).
Reproduksi
Tingkat reproduksi bandikut pada umumnya sangat tinggi, tetapi tingkat
mortalitasnya juga tinggi (30-50%), terutama bandikut muda dalam kantung dan
setelah penyapihan (Gemmell, 1988) . Bandikut termasuk poliestrus dan bereproduksi
sepanjang tahun (Mackerras & Smith, 1960). Betina dewasa mulai kawin sekitar
umur 4 bulan dengan berat badan paling rendah 450 gram dan panjang badan dari
kepala sampai 225 mm dan jantan pada umur 5 bulan dengan berat badan 650 gram
(Lyne, 1964; Flannery, 1995a). Jumlah anak per kelahiran (litter size) 2-4 ekor bahkan ada yang 7 ekor. Seekor betina dalam setahun dapat beranak 5-6 kali.
Interval kelahiran paling umum selama 58 hari. Anak bandikut tinggal dan menyusu
dalam kantung induk sampai umur 48-53 hari dan berhenti menyusu pada umur 59-61
hari ketika kelahiran berikutnya kemudian mengikuti induknya sampai umur 71-73
hari. Induk kawin lagi ketika anaknya berumur 49-50 hari dan masih menyusu
didalam kantung (Stodart, 1977).
Kopulasi berlangsung pada waktu aktif di malam hari tetapi kelahiran terjadi di
siang hari pada waktu betina istirahat. Siklus estrus berkisar antara 17-34 hari atau
rata-rata 21 hari dan puncak estrus terjadi hanya pada satu malam (Lyne, 1976 &
1990). Lama kebuntingan antara 12 hari 8 jam dan 12 hari 14 jam atau rata-rata 12,5
hari (Stodart, 1977; Petocz, 1994; Fishman, 2001). Hal ini merupakan lama bunting
yang paling pendek dan pertumbuhannya dalam kantung lebih cepat dari marsupial
lain. Bandikut lahir dalam kondisi belum berkembang sempurna dan berlindung
dalam kantung induk sampai perkembangannya sempurna. Rambut pertama muncul
di tubuh pada umur 45 hari, mata terbuka antara umur 45 dan 50 hari dan penyapihan
terjadi pada umur 60 hari (Lyne, 1990).
Percumbuan bandikut dilakukan saat betina mengalami estrus (birahi). Betina
yang sedang estrus akan mensekresikan bau spesifik melalui urine yang dibuang
dan mengejar sampai betina bersedia dikopulasi (Petocz, 1994). Masa estrus hanya
beberapa malam saja. Proses percumbuan sampai terjadi kopulasi berlangsung sampai
5 jam lebih. Sedangkan proses kopulasinya sendiri hanya berlangsung selama 2-4
menit (Manufandu, 2000).
Proses kelahiran bandikut sama seperti hewan marsupialia lainnya, lahir dalam
kondisi belum masak, kurang dari 10 menit mampu merayapi rambut menuju ke
puting susu di kantung induknya dengan ikatan plasenta korioalantois dan induknya
tidak mencoba membersihkan tubuh anaknya karena tidak berselaput (Stodart, 1990).
Plasenta ini merupakan saluran berbentuk bebat panjang yang menghubungkan
dinding uterus induk dan embrio. Fungsi saluran tersebut hanya sebagai pengikat
anak yang baru lahir dengan induknya selama proses perjalanan ke kantung dan tidak
berfungsi dalam pertukaran nutrisi dan darah dari induk ke anaknya seperti pada
hewan-hewan eutherian (mamalia berplasenta). Menurut Lyne (1990), alantois
sebagai vesikel kecil mulai muncul dan tertanam ketika embrio berumur 9,5 hari.
Proses masuknya anak ke kantung induk saat kelahiran merupakan naluri alami
anak yang berusaha tanpa bantuan induk. Induk secara naluri membantu membuat
jalan pada rambut antara pangkal kedua paha menuju ke kantung dengan cara
menjilati sambil mengeluarkan cairan atau lendir dari mulutnya sehingga cukup licin
untuk dilewati anaknya. Anak bandikut yang baru dilahirkan dilengkapi dengan cakar
besar yang dapat membantu bergelantungan ketika merayap ke kantung induknya.
Setelah masuk ke dalam kantung, cakar tersebut akan tanggal dengan sendirinya
(Manufandu, 2000).
Bayi bandikut dalam keadaan tidak berambut, mata tertutup dan kaki depan
berkembang tidak sebanding dengan bagian tubuh lainnya. Bandikut muda
melekatkan diri pada salah satu puting dan memulai masa menyusu selama 55-60 hari
untuk menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan di dalam kantung induknya
sampai anak berikutnya lahir (Petocz, 1994; Lancaster, 2001). Rata-rata panjang anak
bandikut yang baru dilahirkan sekitar 13 mm dengan berat 0,2 gram (Lyne, 1990).
Anak-anak yang sudah disapih ikut mencari makan bersama induknya hanya
teritori atau home rangenya sendiri. Lama hidup (lifespan) bandikut sekitar 3.3-4
tahun (Lobert & Lee, 1990).
Tingkah laku (Behavior)
Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap
lingkungannya. Setiap hewan secara naluri dengan tingkah lakunya akan beradaptasi
dengan lingkungan tertentu dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam
seperti terbentuknya perubahan struktur fisik (Stenley & Andrykovitch, 1984).
Tingkah laku hewan mamalia umumnya mempunyai fleksibilitas dan bervariasi.
Menurut Vaughan (1986), hewan mamalia akan belajar lebih cepat dan dapat
memodifikasi tingkah laku untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Satwa liar yang
didomestikasi akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu berkurangnya sifat liar,
sifat bersarang, sifat berpasangan, sifat terbang dan agresivitas (Craig, 1981).
Pada tingkat adaptasi, tingkah laku ditentukan oleh kemampuan belajar hewan
untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru. Menurut
Stanley & Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan
ditentukan oleh sepasang gen atau lebih sehingga terdapat variasi tingkah laku
individu dalam satu spesies meskipun secara umum relatif sama dan tingkah laku
tersebut dapat diwariskan kepada turunannya yaitu berupa tingkah laku dasar.
Tingkah laku dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku dengan adanya kondisi lingkungan yang berubah dan tingkah laku akibat
mekanisme fisiologis, seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus. Penampilan
tingkah laku individu selain dipengaruhi oleh faktor genetik tetua juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan internal atau status fisiologis (misal umur, sex, lapar, sehat)
dan faktor ekternal seperti lingkugan fisik (nutrisi, temperature, pembatasan gerakan,
panjang hari) dan lingkungan social, misal ukuran kelompok, kelompok sexual,
parental contact (Craig, 1981).
Menurut Craig (1981) sistem tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku
rangkaian, yaitu fase hasrat (appetitive behaviour), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behaviour) dan fase respon kelanjutan yang menguntungkan (refractory behaviour). Selanjutnya Scott (1972) membagi sistem tingkah laku berdasarkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kenyamanan
hewan, yaitu ingestive (tingkah laku makan dan minum); eliminative (tingkah laku kencing dan membuang kotoran); shelter seeking (tingkah laku mencari tempat berlindung); investigatory (tingkah laku penyelidikan terhadap keadaan bahaya di sekitarnya); allelomimetic (tingkah laku berkelompok); agonistic (tingkah laku yang berkaitan dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan); sexual (tingkah laku kawin); epimeletic (care-giving), tingkah laku keindukan; et-epimeletic (care-seeking), tingkah laku melindungi anak atau interaksi dengan hewan dari kelompok lain; play (tingkah laku bermain).
Tingkah laku bandikut di alam (in-situ) selalu menandai dan mempertahankan daerah teritorinya. Bandikut mempunyai kelenjar bau di telinga, mulut, kantung dan
kloaka yang mensekresikan bau spesifik (Fisherman, 2001) sehingga dapat menandai
melalui urin dan fesesnya. Satwa ini termasuk satwa marsupial yang soliter yaitu tidak hidup dalam kelompok kecuali induk dan anaknya, nocturnal (lebih banyak aktif pada malam hari) dan oportunis (selalu mencari kesempatan dan menghabiskan waktu untuk mencari makan).
Pada siang hari bandikut lebih banyak berada di sarangnya dan hanya muncul
dari sarangnya pada senja atau bila terancam untuk melarikan diri dengan cepat. Saat
akan meninggalkan sarang, bandikut akan memastikan keadaan sekelilingnya dengan
berjalan pelan, mengendus dan bergerak kemudian masuk kembali ke sarang.
Beberapa saat setelah yakin aman, bandikut akan keluar dan lari cepat setelah
menutupi lubang sarang dengan serasah di sekitarnya.
Bandikut secara gigih akan melindungi diri sendiri dan mempertahankan
teritorinya dari bandikut jantan yang lain, terutama bila terdapat betina yang sedang
birahi. Paling sedikit ada dua jantan akan saling berkelahi satu sama lain untuk
menguasai teritori. Selanjutnya akan ada satu jantan yang dibunuh atau menjadi
(takut). Konsekuensi dari jantan subordinat harus menyerahkan semua bandikut
betinanya kepada jantan dominan.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Istilah pertumbuhan sudah banyak didefinisikan. Pertumbuhan tubuh hewan
adalah pembentukan jaringan baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan berat,
bentuk dan komposisi tubuh (Hammond, 1982), perubahan ukuran atau bentuk tubuh
yang dapat dinyatakan dengan ukuran panjang, volume ataupun berat (Williams,
1982), peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu (Maynard
et al, 1982), peningkatan bobot badan sampai mencapai ukuran dewasa (Taylor, 1984), peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada
hewan muda yang sehat, diberi pakan, minum dan tempat berlindung yang layak
(Swatland, 1984). Lebih khusus Boggs & Markel (1984) menjelaskan bahwa
pertumbuhan merupakan suatu bagian integral dari produksi daging hewan karena
tingkat pertumbuhan mempengaruhi efisiensi produksi dan secara luas mencerminkan
keuntungan atau kerugian selama produksi.
Tidak semua bagian tubuh berkembang sama selama pertumbuhan. Perbedaan
pertumbuhan bagian tubuh ini disebut perkembangan. Perkembangan adalah
progress, suatu kemajuan kekompleksitas yang lebih tinggi dan ekspansi ukuran
(Forrest et al, 1975). Perkembangan terjadi dari tahap embrio sampai hewan dewasa (Boggs & Markel, 1984).
Pertumbuhan sering dijelaskan sebagai suatu peningkatan dalam struktur
jaringan, yaitu tulang, otot dan jaringan ikat yang berkaitan dengan otot. Jaringan
tersebut akan dibedakan dari lemak yang berkembang kemudian selama fase
perlemakan. Perlemakan terjadi selama pertumbuhan dan perkembangan normal otot
dan tulang. Sebagian besar perlemakan terjadi setelah perkembangan tulang
sempurna dan perototan mencapai maksimum. Jaringan otot sangat penting bagi ahli
ternak karena komponen ini akhirnya akan dikonsumsi sebagai daging. Sedangkan
memaksimumkan efisiensi produksi selama pertumbuhan. Lemak juga penting karena
dapat menentukan citarasa/kualitas daging.
Pola pertumbuhan hewan pada kondisi lingkungan ideal, bentuk kurve
pertumbuhan untuk semua spesies mengikuti pola kurve pertumbuhan sigmoid
(Gambar 2). Pada tahap awal, pola pertumbuhan terjadi lambat, kemudian cepat
hingga umur pubertas dan secara berangsur lambat kembali dan berhenti setelah
mencapai kedewasaan (Forrest et al. 1975).
Gambar 2 Kurve pertumbuhan normal dan laju pertumbuhan (Forrest et al. 1975)
Titik belok
Laju pertumbuhan maksimum lahir
pubertas Pertumbuhan
Umur Laju Pertumbuhan
Dewasa tubuh
Lahir
Titik belok (point of inflection) umumnya dicapai pada awal masa pubertas dan selanjutnya diikuti peningkatan konversi pakan (Williams, 1982), semua jaringan
juga menurun lambat dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangannya (Boggs &
Markel, 1984). Selama pertumbuhan sampai dewasa, komposisi tubuh akan
mengalami perubahan. Kerangka berkembang relatif lebih baik setelah lahir dan
setelah pertumbuhan hampir mendekati konstan. Pertumbuhan otot lebih cepat dari
pada tulang setelah lahir sehingga rasio antara otot dan tulang mengalami
peningkatan yang progresif, sedangkan pertumbuhan jaringan lemak pada mulanya
berlangsung lambat tetapi selama periode penggemukan pertumbuhannya meningkat
secara drastis (Kempster et al. 1982). Peningkatan deposit lemak dengan cepat dimulai saat pertumbuhan dan perkembangan otot mulai menurun (Boggs & Markel,
1984). Kurve pertumbuhan postnatal dari tulang, otot dan lemak digambarkan pada
Gambar 3.
Gambar 3 Kurve pertumbuhan tulang, otot, dan lemak
Pertumbuhan Alometri
Pertumbuhan alometri merupakan kajian pertumbuhan relatif yaitu
perubahan-perubahan proporsional tubuh terhadap peningkatan ukuran tubuh. Hal ini atas dasar
konsep bahwa selama pertumbuhan dan perkembangan serta peningkatan berat tubuh Otot
Lemak
juga akan terjadi perubahan komponen tubuh seperti proporsi organ dan jaringan
(tulang, otot dan lemak) yang berbeda (Soeparno, 1992).
Secara prinsip pertumbuhan merupakan kumpulan dari pertumbuhan
bagian-bagian dari komponennya dan berlangsung dengan kecepatan yang berbeda.
Perubahan ukuran komponen tersebut akan menghasilkan diferensiasi karakteristik
organ dan jaringan termasuk komponen kimia penyusunnya (air, lemak, protein dan
abu). Berat jaringan atau organ suatu spesies pada dasarnya ditentukan oleh berat
tubuhnya. Cara menentukan dan mengukur hubungan alometrik antara berat tubuh
dan komponen-komponen tubuh selama pertumbuhan dapat digunakan persamaan
alometri Huxley : Y = a Xb, dimana Y adalah berat jaringan atau organ, X adalah berat ternak atau variable tidak bebas lain, a adalah konstanta dan b adalah koefisien pertumbuhan relatif atau ratio pertumbuhan alometrik dari variable bebas Y.
Alometri Huxley pada penggunaannya ditransformasikan dalam bentuk
logaritma sehingga menghasilkan garis lurus untuk setiap komponen tubuh (variable
bebas Y) terhadap berat tubuh (variable tidak bebas X). Bentuk transformasi
logaritma persamaan alometri Huxley tersebut adalah log Y = log a + b log X atau ln Y = ln a + b ln X. Nilai b (slope) menunjukkan besar koefisien pertumbuhan Y relatif
terhadap X. Jika nilai b < 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variable Y lebih
lambat dari pada variable X, b = 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variable Y
sama dengan variabel X, dan bila b > 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variabel
Y lebih cepat dari pada variabel X. Menurut Forrest et al. (1975), pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, maka slope kurva pertumbuhan hampir
tidak berubah, dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting
lainnya mulai berhenti, sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat.
Interpretasi terhadap nilai b menurut Natasasmita (1978; 1979), dimana jika
nilai b<1 berarti : (1) persentase Y akan menurun dengan meningkatnya X, (2)
kecepatan pertumbuhan Y dibandingkan X adalah kecil, (3) waktu perkembangan Y
adalah masak dini dan (4) potensi pertumbuhan Y rendah atau sudah berhenti
bertumbuh. Jika nilai b>1 berarti : (1) persentase Y akan meningkat dengan
waktu perkembangan Y adalah masak lambat dan (4) potensi pertumbuhan Y tinggi
atau sedang bertumbuh. jika nilai b=1 berarti : (1) persentase Y konstan dengan
meningkatnya X, (2) kecepatan pertumbuhan Y dibandingkan X adalah sama, (3)
waktu perkembangan Y adalah masak sedang dan (4) potensi pertumbuhan Y sedang
atau bertumbuh konstan.
Sifat Fisik dan Kimia Daging
Daging merupakan sumber pangan bermutu gizi tinggi yang berasal dari hewan.
Bergizi tinggi karena mudah dicerna dan mengandung asam amino esensial yang
lengkap dan seimbang (Forrest et al., 1975), berperan penting untuk hidup dan penampilan fisiologis yang optimum (Levie, 1979).
Daging adalah komponen utama karkas. Komponen utama daging terdiri atas
otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin dan elastin) di samping
terdapat juga sejumlah pembuluh darah dan saraf (Lawrie, 1988). Kolagen adalah
komponen terpenting, merupakan protein yang paling banyak terdapat dalam tubuh
hewan (Swatland, 1984). Menurut Lister (1980), semakin tua seekor hewan,
kolagennya semakin bertambah besar dan jaringan ikat yang bersilang lebih banyak
sehingga daging menjadi tidak empuk dan liat.
Otot merupakan penyusun utama daging berisi berkas otot (muscle bundle), berkas otot berisi serat otot (muscle fibre), serat otot berisi serabut otot (myofibril) dan serabut otot berisi sarkomer (sarcomere). Di dalam sarkomer terdapat
myofilament actin dan myifilament myosin merupakan unsur terkecil yang membentuk daging (Forrest et al., 1975).
Penilaian terhadap kualitas daging selain dipengaruhi oleh selera, ditentukan
pula oleh sifat fisik dan kimia daging.
Sifat Fisik Daging
Sifat fisik daging yang merupakan kriteria penentu kualitas daging, di antaranya
Keempukan (tenderness) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan palatabilitas. Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging
adalah jaringan ikat, serat daging, lemak intra muskular, daya ikat air oleh protein
daging, tingkat kontraksi miofibril, tipe otot, lama dan suhu pemanasan (Forrest et al.,
1975; Soeparno, 1992; Lawrie, 2003). Kesan keempukan mencakup tekstur yang
melibatkan aspek kemudahan awal penetrasi gigi, mudah dikunyah menjadi fragmen
kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie, 1988). Tingkat
keempukan dapat bervariasi di antara spesies, bangsa, potongan karkas, diantara otot
dan pada otot yang sama (Preston & Willis, 1982).
Susut masak (cooking loose) adalah kondisi daging mengalami penyusutan atau kehilangan berat selama pemasakan. Secara umum, makin tinggi suhu
pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar kadar cairan daging
yang hilang sampai mencapai tingkat konstan. Lemak intramuskuler dapat
menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan dan
meningkatkan daya ikat air karena dapat melonggarkan mikrostruktur daging
sehingga protein daging dapat lebih banyak mengikat air (Lawrie, 1988). Susut
masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Jus daging
termasuk komponen tekstur yang turut menentukan keempukan daging. Daging
dengan susut masak lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik karena
kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Menurut Swatland (1984) susut
masak dapat meningkat dengan panjang serabut yang lebih pendek dan pemanasan
yang lama dapat menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.
Susut masak berhubungan erat dengan daya ikat air dan keempukan daging. Makin
tinggi daya ikat air makin rendah susut masak daging.
Daya ikat air oleh protein daging (water-holding capacity-WHC/water-binding capacity-WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, seperti pemotongan,
daging mentah yang dibekukan atau dreep pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak (Lawrie, 1988). Jumlah air yang terikat dalam
daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi
protein (Forrest et al., 1975). Secara umum, daya ikat air dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi dalam otot, seperti spesies, umur dan fungsi
otot itu sendiri.
Sifat Kimia Daging
Nilai nutrisi daging bervariasi tergantung spesies, bangsa dan jenis otot (Lawrie,
1988). Secara umum, daging hewan mamalia mengandung air 75%, protein 19%,
lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, substansi non-protein soluble 2,3% dan vitamin dalam jumlah sedikit (Lawrie, 2003).
Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa kolagen terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Kolagen jaringan ikat mempunyai
peranan penting terhadap kualitas daging. Nilai nutrisi jaringan ikat lebih rendah dari
pada protein otot sebab sulit untuk diserap dan tidak memiliki asam amino yang
lengkap. Kadar kolagen berbeda pada setiap otot dan tingkatan umur hewan. Keadaan
tersebut dapat dipengaruhi oleh aktivitas gerak urat daging. Di dalam otot, proporsi
protein terbesar terdapat pada myofibril, yaitu lebih dari 50% dan sisanya dalam
jumlah kecil berupa protein regulator. Miofibril mengandung 55-60% protein myosin
dan sekitar 20% protein aktin (Forrest et al., 1975; Swatland, 1984). Protein terdiri atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino
merupakan senyawa yang mengandung gugus fungsional, yaitu gugus amino dan
asam karboksilat dan terikat pada atom karbon yang sama (Gaman & Sherrington,
1991). Asam amino dapat berperan pula sebagai pembentuk citarasa (flavour) pada daging. Asam inosinat, glikoprotein adalah komponen senyawa asam amino yang
sangat aktif terhadap citarasa.
Lemak hewan sebagian besar komponennya dipengaruhi oleh unsur-unsur nutrisi pakan yaitu trigliseria, fosfolipid dan sejumlah kecil vitamin yang larut dalam
trigliserida dan phospolipid. Kemampuan hewan memanfaatkan energi pakan yang
lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula. Sebagian lemak
tubuh disimpan didalam depot lemak dan lemak otot (intramuskuler) yang didominasi
oleh lemak netral, terdapat dalam bentuk ester gliserol dan asam lemak rantai panjang
(Forrest et al., 1975). Lemak tubuh banyak didominasi oleh trigliserida yang mengandung satu molekul asam palmitat dan dua molekul asam oleat (palmitodiolin) dan trigliserida yang mengandung satu molekul asam oleat, palmitat dan stearat
disebut oleopalmitostearin. Trigliserida berfungsi menyimpan kalor dan sebagai bantalan untuk melindungi organ vital tubuh, sedangkan phospolipid dan sterol
(kolesterol) berperan untuk pembentukan membrane sel dan substrat dalam
pembentukan asam empedu (Linder, 1992). Menurut Lawrie (1988) Lemak yang
lebih banyak mengandung ikatan rangkap tidak jenuh akan lebih mudah mengalami
oksidasi. Tingkat kejenuhan lemak banyak dipengaruhi oleh kondisi pakan hewan
dan keadaan ini akan mempengaruhi kualitas daging hewan sendiri.
Abu (mineral) yang terkandung dalam daging relatif konstan di antara otot, umur dan jenis kelamin. Menurut Moran & Wood (1986), pakan konsentrat tinggi
dapat meningkatkan kadar abu dan energi daging tetapi menurunkan kadar air dan
proteinnya. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar protein dan kadar air
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 5 lokasi, yaitu : (1) Lokasi pemeliharaan bandikut
(Echymipera sp.) untuk pengamatan morfometri, tingkah laku dan percobaan pakan dilakukan di Taman Ternak FPPK Unipa dan dilanjutkan dengan pengujian
organoleptik warna, bau dan rasa daging bandikut di laboratorium Teknologi Hasil
Ternak, Jurusan Produksi Ternak, FPPK Unipa, Manokwari, (2) Analisis fisik daging
bandikut di laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Fapet IPB, (3)
Analisis proksimat pakan di Laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak Bogor, (4)
Analisis kimia daging bandikut di Laboratorium Pengujian, Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor, dan (5) Identifikasi
spesimen bandikut di Laboratorium Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2005 sampai dengan Maret 2007.
Bahan Penelitian
Materi hewan yang digunakan dalam penelitian adalah bandikut dewasa dari
jenis Echymipera sp., diperoleh dari hutan di daerah Manokwari Papua Barat, sebanyak 68 ekor, terdiri dari 38 ekor jantan dan 30 ekor betina. Untuk pengamatan
karakteristik eksternal dan morfometri bandikut digunakan 30 ekor (16 jantan dan 14
betina), pengamatan tingkah laku digunakan 8 ekor (6 jantan 2 betina), percobaan
pakan digunakan 6 ekor (3 jantan dan 3 betina), pengamatan karakteristik karkas dan
daging digunakan 20 ekor (10 jantan dan 10 betina), untuk pengujian organoleptik
daging digunakan 2 ekor jantan, dan 2 ekor (1 jantan dan 1 betina) untuk keperluan
identifikasi spesimen jenis bandikut.
Pengamatan tingkah laku serta preferensi dan konsumsi pakan bandikut
menggunakan sebuah bangunan kandang besar yang disekat menjadi 8 petak
kandang, masing-masing berukuran 2 x 1.8 meter, tinggi sekat 1.5 meter. Dinding
kandang diberi tanah dan serasah rumput. Semua kandang yang digunakan dilengkapi
tempat pakan dan tempat air minum dari plastik serta tempat sarang bandikut. Setiap
kandang diisi seekor bandikut (sistem individual) yang ditempatkan secara acak.
Model kandang dan perlengkapannya ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Kandang besar yang disekat dan perlengkapannya
Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan yang disesuaikan
dengan kebiasaan makan bandikut dihabitatnya, yaitu berupa pisang, kelapa, serangga
(belalang), cacing tanah, jambu biji masak, papaya, ikan, daging cincang dan
konsentrat sebagai pakan percobaan selanjutnya. Perlengkapan lain yang disiapkan di
bimetal, peralatan masak serta seperangkat alat untuk analisis proksimat, asam amino,
asam lemak dan trapper (alat perangkap).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode eksploratif dan teknik
observasi. Teknik pengambilan sampel bandikut ditentukan secara purposif
berdasarkan informasi penduduk setempat tentang keberadaan bandikut. Data yang
terkumpul di analisis secara deskriptif dan secara statistik. Perhitungan analisis data
dibantu dengan menggunakan program perangkat lunak SAS release 6.12.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap kajian. Kajian yang dilakukan
meliputi karakteristik eksternal dan morfometri bandikut; tingkah laku dan konsumsi
pakan; karakteristik dan distribusi karkas dan daging; sifat fisik dan kimia daging dan
uji organoleptik daging bandikut.
Tahap I : Persiapan
Bandikut yang terkumpul, secara acak ditempatkan dengan sistem individual di
dalam kandang percobaan. Jumlah sampel yang digunakan adalah 8 ekor bandikut
dewasa, terdiri dari 6 ekor jantan dan 2 ekor betina. Tahap persiapan ini merupakan
masa adaptasi untuk membiasakan bandikut dalam lingkungan baru di dalam kandang,
dan untuk mengetahui jenis pakan alami yang paling disukai dan selanjutnya
ditentukan sebagai pakan alami yang akan digunakan untuk percobaan pakan pada
percobaan selanjutnya. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan yang biasa
dikonsumsi bandikut sesuai keterangan dari masyarakat setempat yang mengenal
bandikut, yaitu serangga (belalang), invertebrata (cacing tanah), buah-buahan (pisang,
jambu biji masak, papaya, kelapa muda dan tua), dan sebagai pakan tambahan adalah
kacang tanah, ikan, daging cincang dan pakan konsentrat. Selama pemeliharaan
pakan dan air minum diberikan secara kafetaria dan tak terbatas (ad libitum).
Pada tahap persiapan (selama 2 minggu) dilakukan identifikasi jenis bandikut
Menzies, 1991; Flannerry, 1995a,b). Pembuatan model specimen jenis bandikut
berupa specimen kering.
Tahap II : Karakteristik Eksternal dan Morfometri Bandikut
Penelitian tentang karakteristik eksternal dan morfometri bandikut ini
menggunakan sampel sebanyak 30 ekor bandikut dewasa , terdiri dari 16 ekor jantan
dan 14 ekor betina yang di pilih secara acak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh data dasar tentang karakteristik eksternal dan morfometri tubuh bandikut
dan ukuran-ukuran beberapa organ visceral berdasarkan jenis kelamin dan spesies.
Pengamatan identifikasi karakteristik eksternal tubuh bandikut menurut jenis kelamin
maupun jenis spesies dan pengukuran morfometri dilakukan pada bandikut yang telah
mati karena tidak memungkinkan dilaksanakan pada keadaan masih hidup.
Identifikasi karakteristik eksternal dilakukan secara deskriptif dan teknik pengukuran
bagian tubuh menurut panduan Payne (2000) dan Suyanto (2006)
Peubah yang diamati dan teknik pengukuran adalah
1. Karakteristik eksternal, meliputi pengamatan terhadap ciri-ciri dan bentuk
tubuh serta warna bulu, berdasarkan jenis kelamin dan spesies.
2. Morfometri, mencakup :
- Berat badan (BB) dilakukan dengan penimbangan (g).
- Panjang badan dan kepala (BK) : jarak anus sampai ujung hidung (cm).
- Panjang badan (B) : Jarak anus sampai atlas (cm).
- Panjang kepala (K) : jarak ujung hidung sampai atlas (cm).
- Panjang moncong (M) : jarak ujung hidung sampai sudut celah mulut (cm).
- Lingkar leher (L) : tali meter dililitkan rapat melingkar dibagian tengah leher
(cm).
- Lingkar dada (D) : tali meter dililitkan rapat melingkar dibagian tepat di
belakang benjolan tulang bahu (cm).
- Lebar dada (LD) : jarak antara benjolan tulang rusuk kiri dan kanan, diukur
- Dalam dada (DD) : jarak antara bagian tertinggi pundak dan bagian dada tepat
di belakang kaki depan (cm).
- Panjang telinga (T) : diukur dari pangkal telinga ke titik terjauh di daun
telinga (cm)
- Lebar telingan (LT) : jarak antara kedua titik terjauh dari lebar daun telinga
(cm)
- Tinggi bahu (B) : jarak tegak lurus antara ujung kaki depan sampai tepat di
depan benjolan tertinggi tulang bahu (cm).
- Tinggi pinggul (P) : jarak tegak lurus antara ujung kaki belakang sampai tepat
di belakang benjolan tertinggi tulang pinggul (cm).
- Lingkar paha kaki depan (PD) : tali ukur dililitkan melingkari bagian pangkal
paha depan (cm).
- Lingkar paha kaki belakang (PB) : tali ukur dililitkan melingkari bagian
pangkal paha belakang (cm).
- Lingkar perut (LP) : tali ukur dililitkan melingkari bagian perut di depan kaki
belakang (cm).
- Panjang ekor (E) : diukur dari pangkal sampai ke ujung ekor (cm).
- Panjang telapak kaki depan (TD) : diukur dari ujung tumit sampai ujung jari
kaki depan (cm).
- Lebar telapak kaki depan (LTD) : Jarak antara titik terjauh dari lebar telapak
kaki depan (cm)
- Panjang telapak kaki belakang (TB) : diukur dari ujung tumit sampai ujung
jari kaki belakang (cm).
- Lebar telapak kaki belakang (LTB) : Jarak antara titik terjauh dari lebar
telapak kaki belakang (cm)
- Panjang kuku kaki depan (KD) : diukur dari pangkal sampai ke ujung kuku
kaki depan (cm).
- Panjang kuku kaki belakang (KB) : diukur dari pangkal sampai ke ujung kuku
- Ukuran organ visceral seperti berat jantung, paru-paru, hati, ginjal dan limfa
diukur dengan penimbangan (g)
- Panjang oesophagus (O) : diukur dari pangkal tenggorokan (larynx) sampai
ujung oesophagus dekat ventrikulus (cm).
- Panjang usus halus (intestinum tenue) (UH) : diukur dari pangkal duodenum (profundus) sampai ujung terminal ileum (osteum ileale) (cm).
- Panjang kolon (intestinum crasum) (K) : diukur dari bagian pangkal kolon (osteum ileale) sampai anus.
- Panjang caecum (C) : diukur dari pangkal sampai ke ujung caecum (cm).
Semua data yang terkumpul ditabulasi. Analisis varians (GLM) digunakan ntuk
melihat pengaruh jenis kelamin atau jenis warna dada bandikut. Uji-t (LSD)
dilakukan untuk membandingkan ukuran-ukuran tubuh antara bandikut jantan dan
betina, dan ukuran-ukuran tubuh antara jenis bandikut. Keeratan hubungan antara
ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut dilakukan analisis korelasi
Pearson. Perhitungan analisis data dibantu dengan menggunakan program perangkat
lunak SAS release 6.12.
Tahap III: Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut
Pada penelitian tahap ini ada dua percobaan, yaitu percobaan pertama
pengamatan tentang tingkah laku dan konsumsi pakan segar bandikut, dan percobaan
kedua yaitu pengamatan konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan konsentrat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkah laku bandikut di dalam lingkungan
kandang (ex situ), konsumsi segardan preferensi pakan pada keadaan kandang diterangi lampu maupun gelap tanpa penerangan lampu serta untuk mengetahui
konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan konsentrat.
Materi bandikut yang digunakan untuk penelitian tingkah laku (percobaan
pertama) merupakan kelanjutan dari materi bandikut yang digunakan pada penelitian
pendahuluan, yaitu menggunakan bandikut 8 ekor, terdiri dari 6 ekor jantan dan 2
ekor betina. Bandikut ditempatkan secara acak didalam kandang individu berukuran