• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi

2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini

3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan

pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah

4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!!

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

(2)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung

Disusun Oleh:

Yus Rizki

10050003091

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

NAMA MAHASISWA : YUS RIZKI

NPM : 10050003091

Bandung, Juni 2008

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI

Menyetujui,

Hedi Wahyudi, Drs., M.Psi. Suci Nugraha, Dra., M. Psi.

Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. H. Umar Yusuf, M.Si. Psi Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung

(4)

Sebab sungguh, bersama kesukaran ada keringanan.

Sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Karena

itu, selesai (tugasmu), teruslah rajin bekerja.

Kepada Tuhanmu tunjukkan permohonan.

(5)

ketiga kakakku yang tak pernah lelah berusaha mendidik, menjaga,

dan mendoakanku agar menjadi anak yang solehah dan berilmu demi

masa depanku.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Syukur alhamdulillah , segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul”

“STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG”.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Setiap manusia akan dihadapkan pada ujian dan kesusahan dalam kehidupannya. Begitu juga dengan penulis yang dihadapkan dengan berbagai kesusahan dan ujian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud apabila tidak ada bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu:

1. Kepada Ayahku Ghazali Yus (alm), semoga Ayah berbahagia atas keberhasilan anakmu ini. Begitu pula dengan Ibundaku Chadidjah, yang tidak pernah lelah berdoa demi kesuksesan dan keberhasilan penulis. 2. Kepada kakak-kakakku tersayang: Yusrizal, Yusmaida, dan Yus Amri.

serta kakak-kakak iparku: Saptari Mulyaningsih, Joko Prabowo, dan Santi

 

(7)

Susanto. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, do’a, pengorbanan, dan dukungan yang tiada henti diberikan dalam membesarkan dan mendidik penulis selama ini.

3. Kepada Bapak Drs. Umar Yusuf, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi UNISBA.

4. Kepada Bapak Hedi Wahyudi., Drs., M. Psi., selaku dosen pembimbing pertama. Terimakasih atas waktu, tenaga, serta bantuannya dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Suci Nugraha, M. Psi., selaku dosen pembimbing kedua. Terimakasih atas masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skirpsi.

6. Ibu Sukarti H. Manan., selaku dosen wali yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

7. Kepada segenap pimpinan, guru-guru, dan siswa SMU “X” yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

8. Tetehku Rizki Rudiani, S. Psi., terima kasih atas semua perhatian, kasih sayang, dan bantuannya kepada peneliti. Semoga Allah memberikan segala hal yang terbaik di setiap segi kehidupanmu. Amin.

9. Teman-teman MoonLayers yang sudah mendahului “berkhianat” meninggalkan kosan: Kak Nina, Mba Putri, dan Kak Fitri. Juga buat adik-adik yang masih menikmati “kenyamanan” kosan: Geby, Saka, Icha, Anne, Citra, dan yang lainnya.

 

(8)

10. Teman-teman mantan pengurus BEMF Psikologi 2004-2005: Mbah “dinda” Uyut, Teh Tantri, Teh Day, Yana, Yani Olive, Mak Vidot, Mbe’, Teh Icha, Alpha, Adi, Wendy, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11. Teman-teman seperjuangan: Septi, Nindi, dan Ririe, terus semangat karena perjuangan kita belum berakhir. Untuk Kiki Desiariani, Luthfi, Ully dan Kak Ria, terus berusaha dan jangan mudah menyerah.

12. Teman-teman Psikologi angkatan 2003 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak, karena hal tersebut merupakan alat motivasi penulis untuk berkarya lebih baik lagi di masa yang akan datang. Mudah-mudahan sedikit karya tangan penulis ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, Juni 2008 Penulis, Yus Rizki  

(9)

ABSTRAK

YUS RIZKI. STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG.

Jumlah remaja yang telah melakukan hubungan seksual pranikah semakin meningkat setiap tahunnya. Berbagai pihak baik orangtua, guru, dan juga masyarakat telah berupaya meredusir pertumbuhan angka ini. Adapun usaha yang dilakukan orangtua dan guru yaitu memberikan pengetahuan agama, informasi mengenai dampak buruk dari perilaku tersebut, dan melakukan pengawasan terhadap remaja. Remaja pada penelitian ini adalah siswa SMU “X”, dimana SMU ini merupakan sekolah yang bernuansa islami yang lebih menekankan pendidkan agama dibandingkan dengan sekolah biasa. Akan tetapi, pada SMU ini didapat sebanyak 42% dari 50 siswa mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah. Berbagai faktor dari dalam diri dan juga lingkungan dihayati secara berbeda pada tiap siswa, sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Setiap siswa mempunyai sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku yang berbeda, dimana determinan ini menentukan seberapa kuat intensi (niat) seseorang untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X” dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah.

Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Alat ukur intensi untuk berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini. Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan pengukuran terhadap determinan pembentuk intensi yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan pembentuk intensi, alat ukur yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988).

Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang berskala ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk dilakukannya pengujian statistik analisis regresi. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam alat ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya menjadi berskala interval dengan menggunakan metode succesive interval.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa 43% responden memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang kuat atau hampir sebagian siswa memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, sehingga memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Selain itu determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah adalah norma subyektif dengan koefisien regresi terbesar (0,479). Hal ini berarti orang-orang yang penting bagi siswa, yang paling menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa.

 

(10)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian dan Batasan Usia Remaja... 10

2.1.2 Perkembangan Seksual Remaja ... 10

2.2 Theory of Planned Behavior ... 13

2.3 Faktor-faktor Penentu Intensi 2.3.1 Sikap Terhadap Tingkah Laku ... 16

2.3.1.1 Pengertian Sikap ... 16

2.3.1.2 Obyek Sikap (Attitudinal Objects) ... 18

2.3.1.3 Determinants of Attitude Toward Behavior ... 18

2.3.2 Norma Subyektif ... 20

(11)

2.3.3 Perceived Behavior Control (PBC) ... 24

2.3.3.1 Pengertian PBC ... 24

2.3.3.2 Determinants of Perceived Behavior Control... 25

2.3.4 Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation).... 27

2.3.5 Intensi ... 28

2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi ... 30

2.4 Perilaku Seksual 2.4.1 Pengertian Perilaku Seksual ... 32

2.4.2 Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat ... 33

2.4.3 Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain 36 2.4.4 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual ... 40

2.5 Kerangka Pemikiran ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 48

3.2 Variabel Penelitian ... 49

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian ... 51

3.3.2 Sampel Penelitian ... 51

3.4 Alat Ukur ... 52

3.4.1 Kisi-kisi Alat Ukur... 52

3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur... 56

(12)

3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur ... 60 3.4.6 Validitas Alat Ukur dan Analisis Item ... 62 3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 65 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 68 4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi

menurut Kategori Intensi ... 68 4.1.2 Distribusi Frekuensi Responden menurut

Kategori Intensi ... 69 4.1.3 Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk

Intensi dengan Analisis Statistik Multiple Regression ... 70 4.1.4 Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman

Seksual dan Jenis Kelamin Responden ... 73 4.1.5 Data Penunjang ... 76 4.5 Pembahasan ... 79 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 88 5.2 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA

(13)

DATA TABEL DAN GRAFIK

Tabel 3.4.1a – 3.4.1d : Kisi-kisi alat ukur Tabel 3.4.3a – 3.4.3d : Norma Alat Ukur

Tabel 3.4.5 : Hasil uji reliabilitas alat ukur Tabel 3.4.6 : Kriteria korelasi Guilford

Tabel 4.1.1 : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi

Grafik 4.1 : Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi Tabel 4.1.3 : Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk

intensi

Grafik 4.2 : Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi

Grafik 4.3 : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Pengalaman Seksual

Grafik 4.4 : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1.4.3 : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Tabel 4.1.5.1a : Respon Responden Mengenai Behavioral Belief Tabel 4.1.5.1b : Respon Responden Mengenai Normative belief Tabel 4.1.5.1c : Respon Responden Mengenai Control belief

 

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Skor Interval Untuk Setiap Item Lampiran B : Data Mentah

Lampiran C : Rekapitulasi Data Mentah Lampiran D : Alat Ukur

Lampiran E : Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas dan Analisis Item Lampiran F : Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression

 

(15)

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana setiap tahun jumlah remaja semakin meningkat. Saat ini penduduk berusia 15 sampai 24 tahun dan belum menikah besarnya sudah 40% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Mereka adalah remaja sekolah, yaitu SMP, SMU, dan Universitas. Remaja tidak sekolah, yaitu remaja pekerja, dan remaja jalanan. Termasuk juga remaja dengan perilaku seks beresiko seperti sexually active, seperti pekerja seks remaja, gay, dan waria. (PKBI online, 2006).

Periode remaja diwarnai dengan berbagai perubahan baik biofisik maupun psikologis. Secara biofisik, masa remaja diawali dengan perubahan fungsi fisiologis yaitu meliputi kematangan organ-organ seks dan perubahan penampilan bentuk tubuh. Dari sisi psikologis, masa remaja merupakan masa transisi dalam aspek perkembangan antara lain aspek mental, emosi, sosial, kehidupan seksual dan sebagainya.

Situasi transisi dalam hal fisik dan psikis ini sering timbul adanya kebutuhan-kebutuhan dalam diri remaja yang terkadang tidak ditemuinya pada masa anak-anak. Adanya kebutuhan atau dorongan ini sering menyebabkan remaja menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang mencerminkan kegairahan hidup. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Hal

(16)

ini didukung oleh rasa keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan mengenai misteri seksualitas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent Psychology, 1980).

Informasi yang diterima dari teman sebaya maupun dari aksesbilitas yang sangat mudah terhadap media pornografi seperti situs porno di internet, tabloid dan film porno, serta komik hentai (komik porno Jepang) yang bertebaran di sekeliling remaja, sering kali tidak tepat. Hal ini pula yang menjadi salah satu stimulan pergeseran perilaku seksual para remaja saat ini, dimana rasa keingintahuan tidak terpuaskan maka tidak jarang mereka mengadakan eksperimen dalam kehidupan sekualnya seperti berciuman, bercumbu, dan bahkan bersenggama. Menurut Sudarmadi (Deputi Bidang keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKBN), jumlah remaja Indonesia yang telah melakukan hubungan seksual pranikah telah berada pada “lampu kuning”, karena angkanya berkisar 40%-45% (www.lomboknews.com, 14 Mei 2007).

Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan berbagai pihak, terutama orangtua dan pihak sekolah sebagai orang-orang terdekat dalam kehidupan remaja. Sehingga berbagai upaya dilakukan agar anak remaja yang mereka miliki tidak terjebak pada hal-hal yang membawa dampak buruk. Adapun upaya yang umum dilakukan oleh orangtua adalah melarang anaknya untuk melakukan perilaku seksual pranikah, baik dengan landasan agama ataupun dengan

(17)

penjelasan dampak buruk dari perbuatan tersebut. Selain itu, upaya lainnya ialah menyekolahkan anaknya di sekolah yang memberikan pendidikan agama yang lebih dari sekolah biasa.

SMU “X” Bandung adalah salah satu SMU yang bernuansa islami. Salah seorang pimpinan SMU “X”, mengatakan bahwa sekolah ini memiliki visi bagi terwujudnya siswa yang berprestasi, inovatif, dan kreatif yang berlandaskan pada ahlaqul karimah. Untuk mewujudkannya, sekolah melaksanakan beberapa program mulai dari penambahan jam mata pelajaran pendidikan agama menjadi 6 jam (anjuran pemerintah selama 2 jam), dan sering mengadakan peringatan hari besar seperti Maulid Nabi, Nuzul Qur’an, dan Isra Mi’raj.

Kegiatan keagamaan ini dilakukan selain untuk mewujudkan visi, diharapkan pula sebagai antisipatif terhadap munculnya perilaku yang tidak sepantasnya, namun usaha-usaha yang dilakukan pihak sekolah belum sepenuhnya mencapai visi tersebut, ujar salah seorang guru. Peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa siswa mengenai kegiatan yang sering diadakan oleh sekolah. Mereka mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak menarik dan cenderung membosankan baik dari segi materi yang disampaikan, serta kondisi tempat atau aula yang digunakan tidak nyaman karena panas.

Fakta lain yang didapat melalui angket pra-survei mengenai perilaku seksual yang dibagikan kepada 50 orang siswa SMU “X”, menunjukkan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 42% diantaranya mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu, berdasarkan wawancara sebagian besar diantara siswa mengatakan bahwa perilaku berpegangan tangan,

(18)

berciuman, dan berpelukan merupakan hal yang wajar atau biasa dilakukan ketika berpacaran untuk menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya.

Para siswa yang telah melakukan intercourse menyatakan bahwa mereka cenderung tertarik untuk melakukan hal tersebut, dan tak jarang pula mereka mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Disamping itu, mereka mengungkapkan bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang menimbulkan rasa puas, menyenangkan, dan menambah kedekatan dengan pasangannya.

Selain itu, para siswa baik yang telah melakukan maupun yang belum melakukan hubungan seks pranikah mengaku bahwa orangtua dan juga guru selalu mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam perilaku tersebut, dan dan bahkan melarang perbuatan tersebut. Mereka yang melakukan hubungan seks pranikah mengatakan bahwa, ada orang-orang terdekat lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, bagi siswa putri lebih banyak terpengaruh oleh pasangannya yang meminta, merayu, dan bahkan memaksa mereka untuk melakukan hubungan seksual atas nama cinta. Dipihak lain, beberapa siswa putra mengaku tidak dapat menolak ajakan temannya untuk menonton film porno dan mengikuti pesta seks atau mereka sebut dengan “pesta bujang”.

Sebagian besar siswa mengaku bahwa mereka memiliki hasrat seksual yang terkadang sulit untuk dibendung, terutama ketika sedang berduaan dengan kekasihnya, terlebih lagi ketika terdapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang menjurus kepada intercourse, seperti berciuman hingga petting. Beberapa

(19)

diantara mereka memilih untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk menyalurkan hasratnya, terutama disaat rumah sedang kosong.

Disisi lain, terdapat juga siswa yang belum melakukan hubungan seksual pranikah. Mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan efek negatif, seperti dapat menyebabkan kehamilan, menghancurkan masa depan, dan perasaan berdosa. Disamping itu, bila dihadapkan pada kesempatan untuk melakukan hubungan seksual, maka mereka lebih memilih untuk menghindari kesempatan tersebut dengan cara mengunjungi tempat yang lebih ramai seperti mall atau tempat umum lainnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada umumnya para siswa telah mendapatkan informasi yang sama di sekolah maupun di rumah. Hal ini terkait dengan lingkungan mereka terutama sekolah yang menanamkan nilai religius sehingga mereka sering mendapatkan larangan-larangan dan penjelasan larangan itu sendiri dari guru-guru dan juga orangtua di rumah. Selain itu, hampir seluruh responden mengetahui dampak-dampak negatif (sebagian besar dampak-dampak secara fisik) dari perbuatan seks pranikah. Dampak-dampak ini tampaknya tidak menghalangi beberapa siswa untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Dipihak lain, terdapat siswa yang sampai saat ini belum pernah melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu patut dipertanyakan apa yang mendasari remaja untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual pranikah.

Masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja merupakan permasalahan yang cukup serius dan harus segera ditanggulangi, oleh karena itu masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja perlu untuk dikaji lebih

(20)

dalam sehingga dapat menambah informasi dalam usaha penanggulangan masalah ini.

Menurut Icek Ajzen (2005), kemunculan suatu tingkah laku ditandai dengan adanya niat (intensi) individu untuk bertingkah laku. Dimana intensi ini merupakan kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi ini terbentuk dari beberapa determinan, yaitu bagaimana seseorang menyikapi suatu perilaku, bagaimana significant person mempengaruhi, mengharapkan, ataupun menyetujui suatu perilaku yang muncul, dan juga bagaimana seseorang mengontrol perilakunya. Dengan pertimbangan ini peneliti mengangkatnya dalam judul: “Studi Deskriptif Mengenai Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Pada Siswa SMU “X” Bandung”.

1.2 Identifikasi Masalah

Menurut Ajzen (2005), perilaku dalam hal ini perilaku hubungan seksual pranikah dapat diprediksikan dengan mengukur intensi individu untuk berhubungan seksual. Dimana Ajzen mengemukakan bahwa intensi terbentuk dari tiga determinan yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol perilaku.

Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu objek yang dinyatakan secara konsisten dengan perasaan menyukai atau tidak menyukai. Sedangkan sikap terhadap tingkah laku berarti evaluasi positif atau negatif terhadap hasil dari ditampilkannya tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005). Sehingga jika seorang remaja melakukan perilaku seksual pranikah dan

(21)

menganggap bahwa perilaku itu menyenangkan atau menyukai perilaku tersebut, maka remaja tersebut memiliki sikap yang positif terhadap perilaku seksual pranikah.

Determinan kedua yaitu norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari orang-orang penting baginya (significant person) yang mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (fishbein&Ajzen, 1975:302). Bila significant person seorang remaja adalah teman-temannya yang pernah melakukan hubungan seksual, dan mendukung atau memperbolehkan remaja tersebut ia untuk melakukan hubungan seksual pranikah, maka remaja tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku hubungan seksual pranikah.

Determinan ketiga yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku. Ajzen (1988) mendefinisikannya sebagai persepsi individu terhadap kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan tingkah laku serta diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman masa lalu dan antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul.

Selanjutnya semakin positif sikap dan subjective norms tentang tingkah laku tersebut serta semakin besar kontrol tingkah laku yang dipersepsikan, semakin kuat pula intensi individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Akhirnya, dengan actual behavioral control yang cukup, seorang individu diharapkan untuk merealisasikan intensinya menjadi tingkah laku jika terdapat kesempatan.

Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan data dan mengkaji tentang Intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah

(22)

serta faktor-faktor pembentuk intensi yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif tentang hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah.

Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual dilihat dari sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol tingkah laku terhadap perilaku hubungan seksual pada pada siswa SMU “X” Bandung”.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data empiris mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X” Bandung.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada SMU ”X” dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. x Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan berupa

informasi mengenai gambaran intensi berhubungan seksual pranikah pada mahasiswa. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai data awal untuk

(23)

penelitian-penelitian lain yang terkait dengan intensi berhubungan seksual pranikah.

x Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai informasi untuk orang tua, sekolah, para praktisi dibidang sosial, masyarakat umum, dan para remaja itu sendiri mengenai intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Dengan mengetahui gambaran intensi berhubungan seksual pranikah serta kontribusi dari sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi tentang kontrol tingkah laku terhadap pembentukan intensi, pihak-pihak yang terkait dapat membuat program intervensi yang tepat untuk memberikan upaya preventif yang tepat dalam masalah yang berkaitan dengan perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja.

(24)

Pada bab ini akan akan diuraikan beberapa landasan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu konsep mengenai remaja, theory of planned behavior dan perilaku seksual.

2.1 Remaja

2.1.1 Pengertian dan Batasan Usia

Kata adolescence (remaja) berasal dari bahasa latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Remaja, diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003).

Para peneliti membedakan usia kronologis remaja menjadi tiga bagian yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari 10-13 tahun, masa remaja tengah dari 14-18 tahun, dan masa remaja akhir sejak usia 19-22 tahun (Arnett, 2000; Kagan dan Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977 dalam Steinberg,

2002:4). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan, batasan usia untuk remaja Indonesia berkisar 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah.

2.1.2 Perkembangan Seksual Remaja

Masa remaja adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, bukan hanya secara psikologis, tetapi juga secara fisik. Perubahan-perubahan fisik yang

(25)

terjadi merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis mencul antara lain sebagai akibat fisik.

Perubahan secara fisiologik ini erat kaitannya dengan perkembangan fungsi produksi, yang pada remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama, sedangkan pada pria mengalami wet dream. Perubahan fungsi fisiologik ini menimbulkan perubahan terhadap seksual remaja, dimana remaja merasakan dorongan-dorongan atau hasrat terhadap seksual yang tidak ditemui pada masa anak-anak. Seiring dengan perubahan ini, menurut Elizabeth Hurlock, remaja memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Remaja mulai memiliki minat terhadap kehidupan sosial

Pada saat remaja mulai mencari informasi tentang seksual, tapi kebanyakan remaja merasa malu dan bertanya kepada orangtua atau guru. Sebaliknya orangtua dan guru masih sering merasa canggung dan kesulitan memberikan pengarahan tentang masalah seksual. Sehingga remaja mencari informasi dari sumber-sumber yang terkadang kurang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis

Dalam hal ini remaja selalu berusaha agar dapat menarik perhatian teman lawan jenisnya. Ini berarti penampilan merupakan hal yang utama bagi mereka.

3. Remaja mulai mengenal arti cinta dan mencoba mengekspresikan

perasaan dan cintanya

Dalam mengekspresikan perasaan cintanya dapat berupa non fisik, seperti menjalin hubungan bersifat konstan dan memberi kepercayaan. Perasaan cinta

(26)

dapat diekspresikan pula secara fisik, seperti kissing, petting, atau sexual intercourse pranikah.

Sehubungan dengan terjadinya perubahan kehidupan seksual dan minat remaja untuk mengekspresikan dorongan seksual, remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai kehidupan seksual dewasa. Di bawah ini terdapat beberapa tugas perkembangan remaja dalam kehidupan seksual yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock:

1. Remaja harus mendapatkan pengetahuan tentang seksual dan bagaimana cara berperan berdasarkan jenis kelamin secara baik, jelas, dan benar. Dimilikinya pengetahuan ini akan mendorong remaja bertingkah laku seksual dengan norma-norma susila.

2. Remaja harus memiliki nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat, untuk membimbing dalam menentukan teman hidup atau membina keluarga kelak. 3. Remaja harus belajar mengekspresikan cinta sesuai dengan norma-norma

lingkungan dimana remaja tinggal.

Dengan tercapainya tugas-tugas perkembangan diharapkan dapat menjalani masa transisi dalam kehidupan seksual yang baik. Remaja juga diharapkan dapat mencapai kehidupan seksual secara dewasa, yaitu memiliki kemampuan mengendalikan dorongan-dorongan seksual serta dapat mengekspresikan melalui cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat.

(27)

2.2 Theory of Planned Behavior

Theory of Planned Behavior berpijak pada asumsi bahwa individu pada umumnya bertingkah laku secara rasional, yakni selalu mempertimbangkan informasi-informasi dan implikasi dari tindakannya baik secara implisit maupun eksplisit. Teori ini mempostulatkan niat (intensi) seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku merupakan determinan yang paling dekat dengan tingkah laku yang ditampilkan.

Fishbein dan Ajzen pada tahun 1975 (dalam Ajzen, 1988) mendefinisikan intensi sebagai berikut,

“...as a person’s location on subjective probability dimension on revolving a relation between himself and some action. A behavioral intention, therefore, refers to person’s subjective probability that he will perform some behavior”. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Dari pernyataan di atas, intensi didefinisikan sebagai lokasi dalam suatu dimensi kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975:288). Intensi merupakan indikasi seberapa besar seseorang individu akan berusaha untuk memunculkan tingkah laku tertentu (Ajzen, 1988:113). Intensi akan tetap menjadi kecenderungan untuk bertingkah laku sampai sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk merealisasi intensi menjadi tingkah laku. Intensi merupakan kecenderungan bertingkah laku yang paling dekat dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi intensi dari seorang individu dapat memberikan prediksi yang akurat akan tingkah laku yang muncul.

(28)

Menurut theory of planned behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar. Determinan pertama adalah faktor personal secara alami, yaitu sikap terhadap tingkah laku (Attitude Toward Behavior). Determinan kedua adalah faktor merefleksikan pengaruh sosial, yaitu norma subyektif (Subjective Norms). Determinan terakhir adalah berhubungan dengan kontrol, yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Skema dari Theory of Planned Behavior disajikan pada bagan berikut ini.

Behavioral Beliefs Attitude Toward the Behavior Outcome Evaluation Nomative Beliefs Motivation to Comply Control Beliefs Perceived Power Subjective Norm Perceived Behavioral Control Intention Behavior Bagan 2.1

Seperti ditunjukkan pada bagan, kekuatan intensi ditentukan oleh tiga macam faktor. Faktor-faktor ini adalah sikap terhadap tingkah laku tertentu (Attitude Toward the Behavior), norma subyektif (Subjektif Norms) dan persepsi mengenai kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Ketiga faktor ini

(29)

dipengaruhi oleh belief. Belief adalah informasi yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri dan dunianya (Ajzen, 1988:122). Ketiga belief ini antara lain belief tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral belief), belief harapan tentang orang lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilai-nilai (normative belief) dan belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control belief).

Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, persepsi terhadap kontrol tingkah laku dan intensi dapat digambarkan dengan persamaan bagan 2.1. Pada persamaan ini ATB adalah sikap terhadap tingkah laku, SN adalah norma subjektif, PBC adalah persepsi kontrol tingkah laku. Sedangkan w1, w2,

dan w3 adalah koefisien regresi yang terstandarisasi yang menandakan kekuatan

kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi.

I =ATB.w1+SN.w2+PBC.w3

Pada uraian di bawah ini, kita akan membahas ketiga faktor pembentukan intensi secara satu persatu secara mendetil.

(30)

2.3 Faktor-faktor Penentu Intensi

2.3.1 Sikap Terhadap Tingkah Laku (Attitudes Toward Behavior)

2.3.1.1 Pengertian Sikap

“Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disafavor.” (The

Psychological of Attitude, 1993).

Berdasarkan definisi di atas terdapat dua pengertian mendasar:

a. Sikap sebagai suatu kecenderungan psikologis (psychological tendency) yang merujuk pada suatu keadaan internal dari seorang individu.

b. Sikap sebagai suatu evaluasi (evaluating) yang merujuk pada semua jenis respon evaluatif baik overt atau covert, kognitif, afektif, dan behavioral (konatif).

Sikap sebagai suatu kecenderungan berarti merujuk kepada sikap sebagai suatu keadaan internal yang berlaku untuk jangka waktu pendek. Adapun sikap sebagai suatu disposisi (atau predisposisi) berarti merujuk pada periode yang relatif panjang (Ajzen, 1834; Chein, 1948; D. Davis&Ostrom, 1984).

Sebuah sikap berkembang sebagai dasar dari respon evaluatif. Hal ini berarti seorang individu yang mempunyai sikap pada suatu bentuk tertentu, maka ia akan merespon secara evaluatif bentuk tertentu tersebut dengan dasar afektif, kognitif, atau konatif.

(31)

Respon evaluatif baik itu overt maupun covert dapat menghasilkan kecenderungan psikologis untuk berespon terhadap derajat tertentu terhadap suatu obyek. Jika kecenderungan untuk berespon meningkat, maka individu telah membentuk suatu sikap terhadap obyek tersebut. Representasi mental dari sikap disimpan dalam memori dan dapat diaktifkan melalui kehadiran obyek sikap atau tanda yang berkaitan dengan obyek tersebut.

Ajzen dan Fisbein (1975) mendefinisikan sikap sebagai,

“...learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorableway with respect to a given object.” (Attitudes, personality, and behavior, Icek Ajzen, 1988)

“Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara konsisten dalam perasaan menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tersebut.” (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988).

Dari definisi yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein tersebut, terdapat tiga aspek dasar dari sikap:

1. Sikap merupakan hal yang dipelajari

2. Sikap merupakan predisposisi dari tindakan

3. Tindakan tersebut secara konsisten menunjukan perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu obyek.

Sikap terhadap tingkah laku (Attitudes Toward Behaviors) di definisikan sebagai,

(32)

“...the individual’s positif or negative evaluation of performing the particular of interest.” (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988).

Sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988).

2.3.1.2 Obyek sikap (Attitudinal Objects)

Suatu evaluasi selalu dibuat berdasarkan jumlah bentuk (entity) atau sesuatu yang menjadi obyek dari evaluasi (attitudinal objects). Segala sesuatu yang nyata dapat dibedakan, maka dapat dievaluasi dan berfungsi sebagai obyek sikap. Beberapa obyek sikap adalah abstrak dan beberapa lainnya adalah kongkrit. Bentuk tertentu dapat berfungsi sebagai obyek sikap seperti juga bentuk lainnya, tingkah laku dan jenis-jenis tingkah laku dapat berfungsi sebagai obyek sikap.

2.3.1.3 Determinants of Attitude Toward Behavior

Fishbein (1993:168) menyebutkan attitudes toward behaviors

sebagai,

“...a function of behavioral beliefs, which represents the perceived consequences of the act.”

Dalam model ini, sikap ditentukan oleh dua hal, yaitu keyakinan (beliefs) dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil (outcomes). Beliefs mempresentasikan konsekuensi yang didapat dari suatu tindakan (behavioral

(33)

beliefs), dan beliefs ini berinteraksi dengan evaluasi terhadap konsekuensi dalam memunculkan suatu sikap.

Beliefs yang berhubungan dengan sikap terhadap tingkah laku tertentu disebut behavioral beliefs. Individu yang yakin bahwa jika ia melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang positif, ia akan menganggapnya sebagai suatu tingkah laku yang disukai (favorable attitude). Individu yang yakin bahwa melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang negatif, ia akan menganggapnya sebagai tingkah laku yang tidak disukai (unfavorable attitude).

Lebih jauh Ajzen dan Fishbein (1975) menyatakan bahwa karakteristik utama yang membedakan sikap dengan konsep lainnya adalah dimensi evaluatif, atau lebih spesifik lagi yaitu mengenai aspek afek.

Didapat suatu kesepakatan bahwa afek merupakan bagian paling esensial dari konsep mengenai sikap. Oleh karena itu, Ajzen dan Fishbein menyarankan bahwa pengukuran sikap harus dilakukan dengan cara memposisikan subyek pada dimensi afektif atau evaluatif secara bipolar mengenai suatu obyek (Ajzen dan Fishbein, 1975). Sikap mempresentasikan perasaan seseorang secara umum, mengenai ketertarikan atau ketidaktertarikan terhadap suatu obyek yang menjadi stimulus.

Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku dengan behavioral beliefs dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil, dapat diformulasikan sebagai berikut:

(34)

A

B

v ¦ b

i

e

i

Keterangan:

AB : Sikap terhadap tingkah laku (Attitudinal toward behavior)

bi : Behavioral beliefs yang menunjukkan suatu tingkah laku

yang mengarahkan pada suatu konsekuensi i. ei : Evaluasi terhadap konsekuensi i

Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa sikap individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa melakukan tingkah laku tersebut akan mengarahkan individu pada hasil tertentu dan juga ditentukan oleh evaluasi terhadap hasil tersebut.

2.3.2 Norma Subyektif

2.3.2.1 Pengertian Norma Subyektif

Norma subyektif berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial. Ajzen dan Fishbein (1975) mendefinisikan norma subyektif sebagai berikut:

“...is the person’s perception that most people who important to him think he should or not perform the behavior in question.”

Norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu menampilkan atau tidak menampilkan suatu tingkah laku.

(35)

Tekanan sosial ini dapat berasal dari orang-orang yang dianggap penting bagi individu (significant person) dan menjadi acuan (referent) yang memunculkan motivasi individu untuk memenuhi harapan orang-orang tersebut, misalnya orangtua, teman dalam kelompok, pasangan, dan sebagainya.

Individu akan memiliki intensi untuk menampilkan suatu tingkah laku ketika ia mengevaluasi bahwa melakukan tingkah laku tersebut merupakan suatu hal yang positif dan ketika ia yakin bahwa orang-orang yang penting baginya (secara perorangan maupun kelompok) mengharapkan ia menampilkan tingkah laku tersebut.

Menurut Ajzen dan Fishbein, norma subyektif berkaitan dengan keyakinan individu akan norma yang berlaku (normative belief). Lebih lanjut, Fishbein (Eagle, 1993:171) menyatakan bahwa norma subyektif adalah:

“A function of normative beliefs, which represent perceptions of significant others preferences about whether one should engage in a behavior.”

Berdasarkan definisi di atas terdapat pengertian mendasar mengenai adanya orang yang menjadi panutan (significant person) bagi seorang individu dalam membentuk normative beliefs tertentu untuk bertingkah laku. Significant person yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di sekitar individu yang setiap perkataanya dapat memberikan tekanan sosial bagi individu tersebut. Penghayatan individu akan harapan-harapan ini

(36)

menimbulkan tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku tertentu.

Normative beliefs sendiri merupakan keyakinan individu bahwa orang-orang tertentu dalam hidupnya berpikir bahwa individu tersebut harus melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Individu yang berpikir bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukannya beranggapan ia seharusnya tidak melakukan tingkah laku tertentu, akan memiliki norma subyektif yang menekan individu untuk menghindari tingkah laku tersebut, demikian juga sebaliknya.

Norma subyektif dapat langsung diketahui dengan cara menanyakan kepada subyek, sejauh mana orang yang dianggap berarti baginya akan setuju atau mengharapkan ditampilkannya suatu tingkah laku.

2.3.2.2 Determinan of Subjective Norm

Dalam model ini, norma subyektif adalah fungsi dari normative beliefs dan motivasi. Normative beliefs mempresentasikan persepsi terhadap persetujuan orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ditampilkan dalam suatu tingkah laku. Anggota keluarga (orangtua), teman dekat, pasangan, dan guru bisa menjadi rujukan seorang individu (remaja) dalam bertingkah laku.

Seorang individu akan mempersepsikan harapan atau keyakinan dari orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan. Individu akan mencoba mempersepsikan apakah dirinya telah sesuai dengan harapan dari orang-orang yang signifikan bagi

(37)

dirinya atau dipersepsikan memberi kesetujuan untuk bertingkah laku tertentu, maka hak tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu tersebut dalam melakukan tingkah laku tertentu.

Begitu pula sebaliknya, jika kebanyakkan orang yang signifikan dipersepsi seorang individu memberikan ketidaksetujuannya untuk bertingkah laku tertentu, maka hal tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut.

Norma subyektif juga ditentukan oleh motivasi seorang individu untuk melakukan sesuatu mengikuti harapan atau persetujuan dari orang yang menjadi rujukannya tersebut. Normative beliefs yang dimiliki seorang individu akan berinteraksi dengan motivasinya untuk membentuk norma subyektif. Jika disimbolkan ke dalam formula menjadi:

SN

v ¦ n

i

m

i

Keterangan :

SN : Norma subyektif (Subjective Norms)

ni : Normative beliefs

mi : Motivasi untuk patuh pada referent/significant person

Dari formulasi ini dapat dilihat bahwa norma subyektif yang dimiliki individu ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang significant person pikirkan, tentang apakah ia harus melakukan tingkah laku tersebut atau tidak, juga ditentukan oleh motivasinya, apakah ia mau mematuhi orang tersebut atau tidak.

(38)

2.3.3 Perceived Behavior Control (PBC) 2.3.3.1 Pengertian PBC

Ajzen (1988) mendefinisikan PBC sebagai berikut,

“...this factor refers to the perceived ease or difficulty of performing the behavior and it assumed to reflect past experience as well as anticipated impediment and abstracles.”

Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi.

PBC ditentukan oleh sejumlah control belief tertentu yang memberikan sarana bagi terbentuknya perilaku. Misalnya keyakinan mengenai adanya faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi munculnya suatu tingkah laku tertentu. Lebih fokus lagi kekuatan dari masing-masing control belief dipengaruhi oleh kekuatan dari adanya kesadaran akan faktor-faktor yang mampu dikontrol dan hasil-hasil yang mampu diperoleh (perceived power).

PBC merupakan refleksi yang akurat dari actual behavior control. Actual behavior cantrol sendiri adalah tingkatan keterampilan, sumber daya, dah hal-hal lain yang dibutuhkan untuk terbentuknya suatu perilaku. Untuk menyatakan bahwa PBC merupakan refleksi akurat dari actual behavioral control, adalah PBC dapat bersama-sama dengan intensi digunakan untuk memprediksi munculnya suatu perilaku.

(39)

2.3.3.2 Determinan of Perceived Behavioral Control (PBC)

Pada dasarnya perceived behavioral control ditentukan oleh dua faktor yaitu control belief dan perceived power. PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana tingkat kesulitan dari suatu perilaku yang disadari menjadi nyata, sebagaimana persepsi mengenai bagaimana seorang individu yang sukses mampu menampilkan suatu perilaku. Jika seseorang memiliki control belief mengenai keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasinya untuk menampilkan suatu perilaku, maka individu tersebut akan memiliki perceived control yang tinggi terhadap perilaku tersebut.

Hubungan antara perceived behavioral control dengan control beliefs dan perceived power dapat diformulasikan sebagai berikut:

PBC

v ¦ c

i

p

i

Keterangan:

PBC : Perceived Behavioral Control

ci : control belief yang menunjukkan suatu tingkah laku

yang mengarah pada suatu konsekuensi i pi : Perceived power terhadap konsekuensi i

Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa PBC individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa ia dapat melakukan tingkah laku tersebut berdasarkan keahlian (skill) dan sumber daya

(40)

yang ia miliki. Hal ini juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang disadari (perceived power) dalam menampilkan perilaku tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBC terbentuk dari keyakinan-keyakinan (belief) yang disebut control belief dan persepsi individu terhadap hambatan realistis yang ada ketika menampilkan tingkah laku tertentu. Semakin banyak kondisi yang memfasilitasi (kemampuan dan kesempatan) dan semakin banyak hambatan atau rintangan yang diantisipasi, maka persepsi mengenai kontrol terhadap tingkah laku semakin positif.

PBC diasumsikan mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi. Individu yang meyakini dirinya tidak memiliki kemampuan maupun kesempatan-kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung memiliki intensi yang rendah meskipun mereka memiliki sikap positif terhadap tingkah laku dan meyakini bahwa orang-orang yang penting bagi dirinya menyetujui ditampilkannya tingkah laku tersebut.

Penjelasan selanjutnya mengenai PBC adalah kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC dan tingkah laku. Menurut Ajzen (1988), PBC dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui intensi dan dapat juga digunakan untuk memprediksi tingkah laku secara langsung. Hal ini dikarenakan PBC dapat dianggap sebagai pengganti dari pengukuran kontrol yang sesungguhnya. Garis panah yang putus-putus pada bagan 2.1 mengindikasikan adanya hubungan antara PBC dan tingkah laku ketika ada kesamaan atau kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol individu terhadap tingkah laku sebenarnya.

(41)

2.3.4 Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation)

Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) keyakinan atau belief mengenai suatu objek merupakan dasar dari pembentukan sikap terhadap obyek yang pada akhirnya akan menentukan intensi perilakunya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keyakinan merupakan peluang penilaian individu terhadap aspek-aspek khusus dalam dunia yang dihayatinya. Secara khusus disebutkan bahwa keyakinan merupakan hubungan probabilitas subyektif antara individu dengan suatu obyek keyakinan seperti nilai-nilai, konsep-konsep, atau atribut-atribut tertentu.

Dari definisi tersebut dapat dinilai bahwa pembentukan keyakinan melibatkan kaitan antara dua aspek dari dunia individu. Pembentukan keyakinan tergantung pada informasi yang diperoleh dan pengolahan informasi tersebut oleh individu. Keyakinan-keyakinan yang terbentuk berbeda, sesuai dengan informasi yang diperoleh.

Proses pembentukkan beliefs atau keyakinan ini dapat dibedakan menjadi tiga proses (Ajzen dan Fishbein, 1975).

1. Melalui pengalaman langsung dengan obyek yang berhubungan yang akan membentuk descriptive beliefs. Descriptive beliefs diperoleh melalui observasi langsung bahwa suatu obyek memiliki atribut tertentu mengenai indera-indera yang dimiliki, misalnya seorang dapat merasakan atau melihat bahwa cincin itu bulat, atau dapat mencium sate kambing yang sedang dibakar, atau melihat wanita cantik.

2. Melalui suatu proses penyimpulan dari data atau fenomenik yang ada (logika berpikir individu) yang akan membentuk inferential beliefs. Beliefs

(42)

yang dibentuk melalui proses ini biasanya berupa beliefs mengenai karakteristik yang tidak diobservasi langsung, misal jujur, ramah, tertutup, sopan, atau pintar. Kesimpulan yang diambil mengenai beliefs tersebut didasarkan pada descriptive beliefs yang sudah ada, atau didasarkan pada inferential beliefs yang sudah ada.

3. Melalui penerimaan informasi yang tersedia di luar dirinya yang akan membentuk informational beliefs. Informasi yang diterima bisa berasal dari koran, buku, majalah, televisi, radio, pengajar, teman, saudara, rekan kerja. Informasi yang tersedia juga menghasilkan descriptive beliefs artinya bahwa individu akan meyakini bahwa sumber tersebut akan menyediakan informasi mengenai hubungan suatu obyek dengan beberapa atribut tertentu.

Dapat disimpulkan bahwa beliefs dapat dibentuk melalui setidaknya dua cara yaitu melalui pengalaman langsung dalam suatu situasi sehingga individu menyadari atau mengetahui adanya hubungan antara obyek dengan suatu atribut, dan atau individu dapat diberi tahu melalui sumber yang ada di luar dirinya bahwa suatu obyek memiliki hubungan dengan atribut tertentu.

2.3.5 Intensi

Ajzen dan Fisbein mendefinisikan intensi atau niat sebagai beliefs

seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku, atau harapan seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku

(43)

atau harapan seseorang mengenai tingkah laku mereka sendiri dalam setting yang ada (Eagly, 1993: 184).

Berangkat dari theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi merupakan determinan langsung dari tingkah laku maka dapat disebutkan bahwa tingkah laku individu tertentu akan konsisten dengan intensinya terhadap tingkah laku tersebut. Jika ada intensi untuk bertingkah laku tertentu, maka ia akan melakukan tingkah laku tersebut.

Dalam mekanismenya, sikap dan norma subyektif yang dimiliki individu menumbuhkan intensi terhadap tingkah laku. Hubungan intensi dengan kedua komponen dasar menentukan ini dapat diformulasikan sebagai berikut:

B ~ I = (A

B

)w

B 1

+ (SN)w

2

Keterangan:

B : Tingkah laku (behavior)

I : Intensi untuk melakukan tingkah laku B AB : Sikap terhadap tingkah laku B

SN : Norma subyektif

w1 : Bobot penentu secara empiris dari variabel sikap

w2 : Bobot penentu secara empiris dari variabel norma subyektif

Variabel atau komponen sikap dan norma subyektif terhadap tingkah laku tertentu mempunyai bobot tersendiri. Bobot ini sendiri merupakan kepentingan yang relatif (relative important) yang akan dapat menentukan variabel sikap atau variabel norma subyektifkah yang lebih besar pengaruhnya dalam membentuk suatu intensi untuk bertingkah laku tertentu. Variabel sikap yang dilambangkan

(44)

dengan w1 mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel sikap terhadap

terbentuknya niat (intention) untuk melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula halnya dengan variabel norma subyektif, variabel ini dilambangkan dengan w2

yang mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel norma subyektif terhadap terbentuknya intensi untuk melakukan tingkah laku tertentu, dan intensi ini yang kemudian menentukan tingkah laku tersebut muncul.

Walaupun demikian terdapat variabel eksternal (external variables). Variabel eksternal ini dapat berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosioekonomi, pendidikan, kepribadian, dan sikap terhadap target tertentu.

Variabel ini dapat mempengaruhi beliefs seseorang terhadap pertimbangan relatif individu pada sikap dan pertimbangan normatif yang dipegang. Konsekuensinya memang variabel ini dapat mempengaruhi tingkah laku. Akan tetapi tidak ada hubungan yang penting atau kuat antara variabel eksternal ini dengan tingkah laku. Dengan kata lain, variabel ekternal akan memiliki efek terhadap tingkah laku sebagai perluasan variabel tersebut mempengaruhi determinan dari tingkah laku (Ajzen dan Fishbein, 1975).

2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sikap terhadap target, sifat-sifat kepribadian, dan karakteristik-karakteristik demographic sering kali berhubungan dengan tingkah laku. Walaupun mengakui arti penting faktor tersebut. Ajzen dan Fishbein tidak memasukkan faktor-faktor tersebut sebagai bagian yang menyatu dalam teorinya, tetapi menempatkannya sebagai variabel eksternal.

(45)

Menurut Ajzen dan Fishbein, secara tidak langsung variabel eksternal dapat mempengaruhi belief yang dipegang oleh individu atau relativitas derajat kepentingan belief yang berhubungan dengan sikap dan pertimbangan normatif.

Variabel eksternal dan mempengaruhi pembentukan belief dengan beberapa cara:

1. Mempengaruhi individu untuk memiliki belief tertentu,

2. Mempengaruhi kekuatan satu atau beberapa belief yang dipegang oleh individu,

3. Mempengaruhi penilaian atau evaluasi individu terhadap hasil tingkah laku.

Selain bagan 2.1 di atas, Ajzen dan Fishbein (1980) menggambarkan hubungan tidak langsung antara berbagai variabel eksternal dengan sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, intensi, dan tingkah laku melalui bagan berikut:

(46)

Bagan di atas mengilustrasikan bagaimana berbagai tipe variabel eksternal dapat mempengaruhi intensi dan tingkah laku secara tidak langsung melalui efeknya terhadap behavioral beliefs, outcome evaluations, normative beliefs, motivation to comply atau pada relative weight of the attitudinal and normative component.

2.4 Perilaku Seksual

2.4.1 Pengertian Perilaku Seksual

Menurut Sarlito Wirawan (2004:140), yang dimaksud perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan

(47)

jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah kedekatan fisik yang melibatkan penyatuan alat kelamin (coitus) sebelum menikah (Hurlock, 1973:289).

2.4.2 Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat

Bertingkah laku heteroseksual yang disetujui secara sosial merupakan tugas yang ketiga untuk mencapai kematangan seksualitas. Untuk menguasai tugas ini, remaja melewati fase-fase perilaku heteroseksual yang cukup jelas. Setiap fase memberikan pelajaran-pelajaran yang digunakan pada fase selanjutnya. Jika seorang remaja tidak melewati salah satu fase prilaku heteroseksual ini, maka ia akan melewatkan kesempatan untuk belajar sehingga akan mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang akan timbul dari fase berikutnya.

Fase-fase tingkah laku heteroseksual adalah: 1. Crushes and hero worship.

Crushes adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap individu yang lebih tua dan memiliki hubungan personal dengan remaja. Sedangkan hero worship adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap seseorang yang dikagumi dari jauh.

(48)

Mempunyai orang yang dikagumi membantu remaja untuk menjadi lebih mandiri dan membuat keputusan akan menjadi seperti apa dirinya kelak. Menurut Gallagher, dengan memiliki orang yang dikagumi di luar lingkup keluarga, remaja akan mendapatkan keuntungan dalam melalui perkembangan emosinya. Remaja akan mendapatkan kemandirian dengan cara yang lebih menyenangkan (Gallagher dalam Hurlock,1973:282).

Sedangkan hero worship mendorong remaja untuk berusaha mencapai kesuksesan. Hal ini membantunya untuk merumuskan tujuan dan nilai-nilai. Pada fase ini remaja mencoba untuk mengembangkan gambaran kepribadian yang menurutnya paling ideal.

2. Puppy love.

Remaja menunjukkan afeksi terhadap remaja seusianya dengan menggoda, bertindak kasar dan hal-hal lain yang berlawanan dengan perasaannya.

Fase ini merupakan pengalaman awal remaja yang melibatkan lawan jenisnya. Remaja belajar untuk menilai anggota lawan jenisnya dengan standar penilaian tertentu sehingga menjadi lebih selektif. Pada fase ini, biasanya remaja sangat memfokuskan diri dengan urusan percintaan sehingga menelantarkan sekolah dan tanggung jawab di rumah. Hal ini dapat memunculkan kritik dari orang tua dan hubungan anak-orang tua menegang.

(49)

3. Dating.

Berkencan (dating) adalah aktivitas sosial yang dilakukan bersama tanpa adanya komitmen. Hal ini biasanya bermula dari aktivitas suatu kelompok bermain lalu berkembang menjadi aktivitas yang dilakukan secara berpasangan.

Remaja yang tidak berkencan pada umumnya menjadi remaja yang kurang bisa bertingkah laku dalam situasi sosial dimana terdapat kedua jenis kelamin. Hal ini menyebabkan perasaan inferior dan frustrasi saat memasuki lingkungan kuliah atau pekerjaan.

4. Going steady.

Setelah melalui proses berkencan dengan beberapa remaja lawan jenis, seorang remaja memilih satu orang yang dianggap sebagai “pacar”. Fase ini menuntut adanya komitmen sehingga anggotanya dilarang berkencan dengan orang lain kecuali dengan pasangannya.

5. Pinning.

Pada fase ini, remaja sudah mulai memikirkan arah dari hubungan mereka menuju pernikahan, namun belum disosialisasikan secara formal (tunangan).

6. Engagement.

Saat pasangan remaja telah sepakat untuk menikah, maka diadakan upacara pemberian cincin atau simbolisasi lain.

(50)

7. Marriage.

Pernikahan merupakan persatuan dari dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda dengan komitmen yang permanen terhadap satu sama lain dan kepada anak-anak mereka.

Banyak remaja menghadapi masalah saat melalui fase-fase ini. Masalah yang pertama adalah beberapa remaja berada pada satu fase terlalu lama sehingga saat mereka memutuskan untuk beralih ke fase yang berikutnya, mereka terlihat tidak dewasa jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang telah berada pada fase tersebut lebih dahulu. Masalah yang kedua adalah remaja terlalu cepat melewati fase tertentu. Hal ini akan menyebabkan seorang remaja tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyerap semua keterampilan yang harus dikuasainya.

2.4.3 Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain

Untuk menjalani transisi heteroseksualitas, seorang remaja harus belajar untuk berorientasi kepada orang lain, untuk mengekspresikan dan menerima rasa cinta dengan orang lain. Seorang remaja harus menunjukkan bagaimana menunjukkan penghargaan terhadap rasa cinta yang diberikan oleh orang lain. Perubahan ini cukup mendasar dan diperlukan waktu bagi remaja untuk berubah.

Untuk menjadi remaja yang berorientasi kepada orang lain, diperlukan dua kemampuan dasar. Kemampuan yang pertama adalah seorang remaja harus mengetahui metode-metode untuk mengekspresikan afeksi yang disetujui oleh masyarakat. Seorang remaja belajar cara yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya dengan mengobservasi orang dewasa, teman sebayanya dan cara-cara yang dikemas oleh media massa. Kemampuan yang kedua adalah seorang remaja

(51)

harus mengetahui sampai sejauh mana masyarakat mengizinkan seorang individu untuk menunjukkan perasaannya. Terlepas dari seberapa besar cintanya terhadap seseorang, seorang remaja harus mengendalikan tingkah laku pengekspresian cintanya.

Pada fase awal hubungan heteroseksual, terutama pada crushes dan hero worship, ekspresi cinta yang ditunjukkan tidak bersifat fisik. Secara perlahan, sejalan dengan meningkatnya dorongan seksual setelah pubertas, perasaan kasih sayang digantikan oleh perasaan cinta. Cinta adalah keterkaitan emosi antara individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengan disertai oleh dorongan seksual dan kasih sayang. Dengan munculnya dorongan seksual ini, ekspresi cinta secara fisik mulai dimunculkan di samping ekspresi non-fisik. Tingkah laku pengekspresian cinta yang melibatkan dorongan seksual sehingga terjadi kontak fisik disebut dengan perilaku seksual. Ekspresi cinta yang umumnya dimunculkan oleh remaja adalah (Hurlock,1973:289):

1. Keepsakes

Setiap hal yang berhubungan dengan pasangan dianggap sesuatu yang berharga karena memiliki arti simbolis tertentu.

2. Constant association

Setiap perpisahan, walaupun hanya sebentar menimbulkan perasaan sedih. Usaha dikerahkan untuk berhubungan dengan pasangan seperti menelpon, sms, e-mail dan lain sebagainya)

(52)

3. Confidence

Keinginan untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan keinginan, serta prinsip dan perasaan.

4. Creative expressions

Membuat sesuatu untuk pasangan seperti surat cinta, puisi, diary, makanan dan lain sebagainya.

5. Jealousy

Orang lain yang menunjukkan perhatian kepada pasangan menimbulkan perasaan cemburu.

6. Necking

Kedekatan fisik yang ditandai dengan ciuman ringan dan belaian pada bagian tubuh tidak lebih rendah daripada leher.

7. Petting

Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan sensasi erotis tanpa menyatukan alat kelamin (coitus) dan memungkinkan terjadinya pelepasan seksual (orgasme).

8. Premarital intercourse

Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin (coitus) sebelum menikah.

Semua ekspresi hubungan heteroseksual di atas pada dasarkan membawa perasaan puas bagi yang memberikan maupun yang menerima. Semua ekspresi di atas memberikan perasaan aman, dan memberikan pemenuhan kebutuhan seksual

(53)

pada tingkat tertentu. Ekspresi yang terbilang sederhana seperti keepsakes dan keinginan untuk terus berhubungan tidak menyebabkan permasalahan secara psikologis, bahkan dapat membantu remaja untuk lebih berorientasi kepada orang lain mengingat pada pubertas cenderung membuat remaja menjadi egosentris.

Ekspresi cinta yang dianggap berpengaruh buruk adalah necking dan petting. Hal ini disebabkan karena ekspresi ini cenderung mendorong kepada perilaku seksual yang lebih jauh yaitu premarital intercourse yang dapat mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan penyakit menular seksual. Selain itu, pengalaman yang tidak menyenangkan saat remaja melakukan petting dapat membuat remaja menjadi trauma terhadap petting maupun pada pernikahan. Apakah petting akan membawa pengaruh positif atau negatif tergantung dari petting seperti apa yang dilakukan serta alasannya. Petting yang dilakukan dengan “cinta” akan mengarah pada hubungan heteroseksual yang memuaskan baik sebelum maupun sesudah menikah.

Akibat dari premarital intercourse ditentukan dari nilai moral dan keyakinan remaja terhadap keamanan dari perilaku tersebut. Saat remaja melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sesuatu yang salah, remaja tersebut akan merasa bersalah dan malu. Rasa menyesal karena memulai berhubungan seksual sebelum menikah kerap dialami remaja perempuan maupun laki-laki, sekali mereka memulai berhubungan seksual maka akan sulit untuk menghentikannya. Beberapa remaja perempuan takut jika mereka menolak untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya maka mereka akan

(54)

ditinggalkan. Para remaja juga takut jika perilaku seksual mereka diketahui orang lain, mereka akan diasingkan.

Reaksi orang tua terhadap perilaku seksual anak mereka pada masa sekarang lebih positif dibandingkan pada masa lalu. Saat ini, anak yang diketahui telah melakukan hubungan seksual atau hamil sebelum menikah biasanya dinikahkan secepatnya, berbeda dengan masa lalu dimana anak yang telah berhubungan seksual diasingkan dan tidak dianggap lagi sebagai keluarga. Sebuah perkawinan yang dimasuki karena keadaan yang memaksa atau karena rasa takut lebih besar kemungkinannya untuk menghadapi berbagai masalah (Hurlock,1973:289). Hal ini disebabkan karena pernikahan membutuhkan banyak penyesuaian dari kedua belah pihak, sehingga rasa takut, tekanan karena kehamilan di luar nikah atau tekanan karena keadaan keluarga atau hal lainnya akan menambah tekanan dalam memulai rumah tangga.

2.4.4 Bentuk-bentuk perilaku seksual

Perilaku seksual remaja biasanya sifatnya meningkat atau progresif (Broderick & Rowe, 1968; DeLamater & MacCorquodale, 1979). Terdapat beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan. Setiap individu melakukan bentuk perilaku yang berbeda, namun mengikuti pola-pola yang dapat diprediksikan. Bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh seseorang mempengaruhi self-concept dari individu tersebut. Semakin tingkah lakunya berbeda atau menyimpang dibandingkan dengan masyarakat disekitarnya, semakin buruklah penilaian masyarakat terhadap dirinya dan semakin buruk pula

(55)

ia menilai dirinya sendiri (Hurlock,1976:316). Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perilaku seksual menurut Hurlock.

Salah satu bentuk perilaku seksual yang paling awal adalah exploration. Keingintahuan selalu mengarah kepada eksplorasi. Eksplorasi dapat berupa berbagai macam bentuk. Bentuk yang pertama adalah eksplorasi yang sepenuhnya bersifat intelektual, contohnya saat anak-anak bertanya kepada orangtua mengenai seksualitas atau saat seorang individu membaca buku tentang seksualitas untuk memuaskan keingintahuannya. Bentuk yang kedua adalah eksplorasi yang bersifat manipulatif, misalnya mengeksplorasi bagian-bagian tubuh sendiri atau orang lain. Jika anak-anak diajarkan bahwa perilaku eksplorasi terutama yang bersifat manipulatif adalah hal yang salah dan dilarang, perilaku ini biasanya dilakukan secara diam-diam dengan perasaan takut tertangkap atau dihukum. Jika hal ini dibiarkan, maka lambat laun akan menjadi perasaan cemas dan perasaan bersalah setiap melakukan perbuatan terlarang ini.

Bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan oleh anak-anak dan remaja adalah masturbasi. Walaupun tidak ada dampak fisik yang buruk, penilaian masyarakat mengenai perilaku ini sangat negatif. Penilaian negatif ini menyebabkan sebagian besar anak-anak memiliki perasaan bersalah dan malu dan dapat berkembang menjadi kegelisahan akut akan akibat yang akan mereka terima jika melakukan masturbasi.

Perilaku masturbasi mencapai puncaknya saat anak memasuki masa pubertas dimana tubuh seorang anak mengalami perubahan. Pada masa ini terdapat perilaku yang disebut dengan homosexual play dimana anak bermain

(56)

dengan sesama jenisnya. Masturbasi dan homosexual play mendahului perasaan erotis yang muncul dari kontak fisik dengan lawan jenis. Pada masa ini pada umumnya anak mengalami crushes and heroworship.

Saat anak memasuki masa remaja dan telah mencapai kematangan seksual, dorongan seksnya diarahkan kepada lawan jenis. Saat dorongan seks remaja diarahkan pada lawan jenis, terjadi penurunan pada perilaku masturbasi dan homosexual play. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada perilaku heterosexual play yang bentuknya berupa necking, petting dan sexual intercourse. Saat dorongan seksual meningkat bersamaaan dengan kematangan seksual, pada beberapa kasus terdapat remaja yang melakukan pemaksaan kepada pasangannya untuk berhubungan seksual. Perilaku ini disebut dengan aggressive sex play.

2.5 Kerangka Pemikiran

Remaja pada umumnya telah mencapai kematangan seksual, yang ditandai dengan terjadinya mimpi basah oleh remaja laki-laki dan menstruasi pada remaja perempuan yang menandakan telah mampu untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Selain itu remaja juga telah mengalami perkembangan ciri seks sekunder yang membuat keadaan tubuh mereka mulai menyerupai tubuh orang dewasa. Kematangan seksual ini menimbulkan ketertarikan antar remaja dengan lawan jenis kelaminnya (Hurlock, 1980). Ketertarikan yang muncul menimbulkan dorongan kepada remaja untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya. Interaksi remaja dengan lawan jenisnya disebut dengan relasi heteroseksual.

Gambar

Tabel 3.4.1a Kisi-kisi alat ukur sikap terhadap perilaku berhubungan seksual  pranikah
Tabel 3.4.1b Kisi-kisi alat ukur norma s byektif  tentang perilaku berhubungan
Tabel 3.4.1c Kisi-kisi alat ukur persepsi terhadap kontrol perilaku (PBC)  berhubungan seksual pranikah
Tabel 3.4.1d Kisi-kisi alat ukur intensi berhubungan seksual pranikah
+7

Referensi

Dokumen terkait

All praises belong to Allah SWT to his blessing and mercies given to the researcher, she can complete her research paper entitled CLASSROOM TECHNIQUES USED BY

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada berbagai pihak mengenai pentingnya pendidikan seks bagi remaja. 2)

Bulan Juni : petugas rawat inap mendapatkan konfirmasi kembali dari perawat ruangan dikarenakan Risperidone 2 mg dan clozapine 25mg salah seorang pasien masih disiapkan, padahal

Apabila dalam masa pemulihan mata anda menjadi lebih sakit dari biasanya atau penglihatan anda tiba-tiba menjadi kabur kembali, anda harus segera datang ke Klinik Mata

Pemeriksaan bakteriologi dilakukan pada seluruh pasien yang telah dipasang kateter epidural, pada saat pencabutan kateter diberi tindakan aseptik serta antiseptik pada daerah

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum mengandung 70% hijauan dengan komposisi beragam dan 30% konsentrat meng- hasilkan asam propionat

 Pengaruh Estimasi Pertumbuhan Ekonomi (ŷ) Terhadap Kemiskinan dapat dijelaskan bahwa jika terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 1 unit akibat adanya perubahan

Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta. Cara Penggunaan Wikipedia. Jakarta: