Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr.Ir. Mohamad Yamin, MAgr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Bram Brahmantiyo, M.Si.
Konsumsi protein khususnya protein hewani, merupakan salah satu faktor pembangun kecerdasan bangsa. Namun, masih banyak negara yang mempunyai konsumsi protein hewani yang rendah karena masih tingginya harga produk peternakan. Oleh karena itu, alternatif sumber protein baru sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya adalah daging kelinci. Kelinci memiliki reproduksi tinggi, interval kelahiran pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis tinggi serta harga daging yang relatif murah. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa (produktivitas) karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dan kelinci lokal sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani.
Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dengan faktor pertama adalah jenis bangsa dan faktor kedua ialah jenis kelamin. Materi yang digunakan masing- masing 6 ekor kelinci Rex dan kelinci lokal (3 jantan dan 3 betina). Peubah yang diamati adalah karakteristik karkas, sifat fisik dan kimia daging. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa kelinci Rex jantan memiliki nilai yang lebih baik terhadap semua jenis kelinci pada peubah bobot jantung, saluran pencernaan, persentase karkas (P<0.01), persentase offal dan daya mengikat air (DMA) (P<0.05). Kelinci Rex betina unggul pada peubah bobot foreleg (P<0.05), kepala, kadar air dan kadar lemak kasar (P<0.01). Kelinci lokal jantan unggul pada peubah pH daging (P<0.05) dan gross energi (P<0.01), sedangkan kelinci lokal betina hanya unggul pada peubah keempukkan daging (P<0.05). Variasi perbedaan tersebut dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan terutama pengaruh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, perlakuan sebelum dan sesudah pemotongan serta aktivitas ternak (perilaku). Secara umum, kelinci Rex lebih baik daripada kelinci lokal, tetapi kelinci lokal, baik jantan maupun betina, berpotensi besar pula sebagai alternatif sumber protein hewani baru.
ABSTRACT
Characteristic of Carcass, Physical and Chemical Traits of Rex and Local Rabbit (Oryctolagus cuniculus)
Setiawan, M. A., M. Yamin, and B. Brahmantiyo
Rabbits have potency as alternative source of animal protein. Rabbit meat contain higher protein with less fat content compared with other livestock meat. Nowadays, data about performance of Rex and local rabbit's carcass is still lack on its research. The aims of this research were to determine performance of carcass, physical and chemical traits of Rex and local rabbit meat. Statistical analysis which was used in this research was factorial design 2x2 with three times replication. First factor was represent the breed and the second was sex. Six Rex and local rabbit were used in this research (3 males and 3 females). Carcass, physical and chemical traits were observed. The result show that the male Rex rabbit had highest value in heart weight, full gastro-intestinal tract weight, carcass and offal percentage (P<0.01) and water holding capacity (P<0.05). The female Rex rabbit show highest foreleg weight (P<0.05), head weight, moisture and fat content (P<0.01). Local male rabbit had highest value in pH (P<0.05) and gross energy (P<0.01). The female local breed highest just for meat tenderness (P<0.05). The differences between treatment were influenced by maintenance management (feed quality and quantity), treatment before antemortem and postmortem, also their activities (behavior). In generally, the Rex rabbit had better result than local breed. But the local rabbit also have big potency as new alternative source of animal protein.
MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
KARAKTERISTIK KARKAS, SIFAT FISIK DAN KIMIA
DAGING KELINCI REX DAN LOKAL
(Oryctolagus cuniculus)
Oleh:
MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 24 Juli 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc. Dr. Bram Brahmantiyo, M.Si. NIP. 19630928 198803 1 002 NIP. 19650506 199003 1 002
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
adalah anak keenam dari enam bersaudara, pasangan Usin Maman Setiana dan Damirah. Riwayat Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Pagi Jakarta Timur (1992-1998), Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Jakarta (1998-2001) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 93 Jakarta (2001-2004). Penulis kemudian masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2004 dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bulutangkis 2004-2009 serta kepanitiaan kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi anggota dari organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMPRO).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat serta karuniaNya. Perjuangan yang sangat besar, serta tekad yang kuat atas karenaNya dan Atas ridho dari Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu baik secara moril maupun materil sehingga skripsi dengan judul “ Karakteristik Karkas, Sifat Fisik Dan Kimia Daging Kelinci Rex Dan Lokal (Oryctolagus cuniculus) dapat diselesaikan. Semoga Alloh SWT akan membalas dukungan dan bantuan dengan imbalan pahala yang lebih.
Konsumsi protein hewani merupakan salah satu faktor pembangun kecerdasan bangsa. Indonesia memiliki konsumsi protein hewani yang rendah dibandingkan negara lain. Hal tersebut disebabkan daya beli dan pemenuhan kebutuhan daging yang belum terpenuhi. Oleh karena itu, alternatif sumber protein hewani mudah diperoleh dan bernutrisi tinggi sangat dibutuhkan. Kelinci diharapkan menjadi alternatif pilihan tersebut. Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dengan interval kelahiran yang pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis yang tinggi. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah jika dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan tafakur atas ciptaan Allah SWT.
Bogor, September 2009
RINGKASAN ... i
Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging ... 3
Kelinci Rex ... 3
Kelinci Lokal ... 4
Pertambahan Bobot Hidup ... 4
Karkas dan Komponen Karkas Kelinci ... 5
1. Kandungan Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak ... 13
2. Rataan Nilai Bobot Potong Dan Bobot Karkas Kelinci ... 24
3. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Karkas Kelinci ... 26
4. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci ... 26
5. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Kelinci ... 28
6. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Jantung) Kelinci... 28
7. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Saluran Pencernaan) Kelinci ... 29
8. Rataan Nilai Bobot Komponen Karkas Kelinci ... 30
9. Rataan Nilai Rasio Daging : Tulang Karkas Kelinci ... 31
10. Rataan Nilai Persentase Karkas Kelinci ... 32
11. Rataan Nilai Persentase Offal Kelinci ... 33
12. Rataan Nilai Persentase Potongan Komersial Karkas Kelinci ... 34
13. Rataan Nilai Uji pH Daging Kelinci ... 35
14. Rataan Nilai Nilai Keempukkan Daging Kelinci ... 36
15. Rataan Nilai Uji Susut Masak Daging Kelinci ... 38
16. Rataan Nilai Uji DMA Daging Kelinci ... 39
17. Rataan Nilai Uji Kadar Air Daging Kelinci Segar ... 40
18. Rataan Nilai Uji Kadar Abu Daging Kelinci Segar ... 41
19. Rataan Nilai Uji Kadar Protein Kasar Daging Kelinci Segar ... 42
20. Rataan Nilai Uji Kadar Lemak Kasar Daging Kelinci Segar ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Bobot Potong Kelinci ... 52
2. Hasil Sidik Ragam Bobot Karkas Kelinci ... 52
3. Hasil Sidik Ragam Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci ... 52
4. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci 52 5. Hasil Sidik Ragam Bobot Jantung Kelinci ... 53
6. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Jantung Kelinci ... 53
7. Hasil Sidik Ragam Proporsi Karkas Kelinci ... 53
8. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Karkas Kelinci ... 53
9. Hasil Sidik Ragam Proporsi Offal Kelinci ... 54
10. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Offal Kelinci ... 54
11. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Daging Kelinci ... 54
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai pH Daging Kelinci ... 54
13. Hasil Sidik Ragam Nilai Keempukan Daging Kelinci ... 55
14. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Keempukan Kelinci ... 55
15. Hasil Sidik Ragam Nilai DMA Daging Kelinci ... 55
16. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai DMA Daging Kelinci ... 55
17. Hasil Sidik Ragam Nilai Kadar Air Daging Kelinci ... 56
18. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci ... 56
19. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 56
20. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 56
21. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 57
Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr.Ir. Mohamad Yamin, MAgr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Bram Brahmantiyo, M.Si.
Konsumsi protein khususnya protein hewani, merupakan salah satu faktor pembangun kecerdasan bangsa. Namun, masih banyak negara yang mempunyai konsumsi protein hewani yang rendah karena masih tingginya harga produk peternakan. Oleh karena itu, alternatif sumber protein baru sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya adalah daging kelinci. Kelinci memiliki reproduksi tinggi, interval kelahiran pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis tinggi serta harga daging yang relatif murah. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa (produktivitas) karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dan kelinci lokal sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani.
Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dengan faktor pertama adalah jenis bangsa dan faktor kedua ialah jenis kelamin. Materi yang digunakan masing- masing 6 ekor kelinci Rex dan kelinci lokal (3 jantan dan 3 betina). Peubah yang diamati adalah karakteristik karkas, sifat fisik dan kimia daging. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa kelinci Rex jantan memiliki nilai yang lebih baik terhadap semua jenis kelinci pada peubah bobot jantung, saluran pencernaan, persentase karkas (P<0.01), persentase offal dan daya mengikat air (DMA) (P<0.05). Kelinci Rex betina unggul pada peubah bobot foreleg (P<0.05), kepala, kadar air dan kadar lemak kasar (P<0.01). Kelinci lokal jantan unggul pada peubah pH daging (P<0.05) dan gross energi (P<0.01), sedangkan kelinci lokal betina hanya unggul pada peubah keempukkan daging (P<0.05). Variasi perbedaan tersebut dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan terutama pengaruh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, perlakuan sebelum dan sesudah pemotongan serta aktivitas ternak (perilaku). Secara umum, kelinci Rex lebih baik daripada kelinci lokal, tetapi kelinci lokal, baik jantan maupun betina, berpotensi besar pula sebagai alternatif sumber protein hewani baru.
ABSTRACT
Characteristic of Carcass, Physical and Chemical Traits of Rex and Local Rabbit (Oryctolagus cuniculus)
Setiawan, M. A., M. Yamin, and B. Brahmantiyo
Rabbits have potency as alternative source of animal protein. Rabbit meat contain higher protein with less fat content compared with other livestock meat. Nowadays, data about performance of Rex and local rabbit's carcass is still lack on its research. The aims of this research were to determine performance of carcass, physical and chemical traits of Rex and local rabbit meat. Statistical analysis which was used in this research was factorial design 2x2 with three times replication. First factor was represent the breed and the second was sex. Six Rex and local rabbit were used in this research (3 males and 3 females). Carcass, physical and chemical traits were observed. The result show that the male Rex rabbit had highest value in heart weight, full gastro-intestinal tract weight, carcass and offal percentage (P<0.01) and water holding capacity (P<0.05). The female Rex rabbit show highest foreleg weight (P<0.05), head weight, moisture and fat content (P<0.01). Local male rabbit had highest value in pH (P<0.05) and gross energy (P<0.01). The female local breed highest just for meat tenderness (P<0.05). The differences between treatment were influenced by maintenance management (feed quality and quantity), treatment before antemortem and postmortem, also their activities (behavior). In generally, the Rex rabbit had better result than local breed. But the local rabbit also have big potency as new alternative source of animal protein.
MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
KARAKTERISTIK KARKAS, SIFAT FISIK DAN KIMIA
DAGING KELINCI REX DAN LOKAL
(Oryctolagus cuniculus)
Oleh:
MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 24 Juli 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc. Dr. Bram Brahmantiyo, M.Si. NIP. 19630928 198803 1 002 NIP. 19650506 199003 1 002
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
adalah anak keenam dari enam bersaudara, pasangan Usin Maman Setiana dan Damirah. Riwayat Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Pagi Jakarta Timur (1992-1998), Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Jakarta (1998-2001) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 93 Jakarta (2001-2004). Penulis kemudian masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2004 dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bulutangkis 2004-2009 serta kepanitiaan kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi anggota dari organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMPRO).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat serta karuniaNya. Perjuangan yang sangat besar, serta tekad yang kuat atas karenaNya dan Atas ridho dari Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu baik secara moril maupun materil sehingga skripsi dengan judul “ Karakteristik Karkas, Sifat Fisik Dan Kimia Daging Kelinci Rex Dan Lokal (Oryctolagus cuniculus) dapat diselesaikan. Semoga Alloh SWT akan membalas dukungan dan bantuan dengan imbalan pahala yang lebih.
Konsumsi protein hewani merupakan salah satu faktor pembangun kecerdasan bangsa. Indonesia memiliki konsumsi protein hewani yang rendah dibandingkan negara lain. Hal tersebut disebabkan daya beli dan pemenuhan kebutuhan daging yang belum terpenuhi. Oleh karena itu, alternatif sumber protein hewani mudah diperoleh dan bernutrisi tinggi sangat dibutuhkan. Kelinci diharapkan menjadi alternatif pilihan tersebut. Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dengan interval kelahiran yang pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis yang tinggi. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah jika dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan tafakur atas ciptaan Allah SWT.
Bogor, September 2009
RINGKASAN ... i
Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging ... 3
Kelinci Rex ... 3
Kelinci Lokal ... 4
Pertambahan Bobot Hidup ... 4
Karkas dan Komponen Karkas Kelinci ... 5
1. Kandungan Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak ... 13
2. Rataan Nilai Bobot Potong Dan Bobot Karkas Kelinci ... 24
3. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Karkas Kelinci ... 26
4. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci ... 26
5. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Kelinci ... 28
6. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Jantung) Kelinci... 28
7. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Saluran Pencernaan) Kelinci ... 29
8. Rataan Nilai Bobot Komponen Karkas Kelinci ... 30
9. Rataan Nilai Rasio Daging : Tulang Karkas Kelinci ... 31
10. Rataan Nilai Persentase Karkas Kelinci ... 32
11. Rataan Nilai Persentase Offal Kelinci ... 33
12. Rataan Nilai Persentase Potongan Komersial Karkas Kelinci ... 34
13. Rataan Nilai Uji pH Daging Kelinci ... 35
14. Rataan Nilai Nilai Keempukkan Daging Kelinci ... 36
15. Rataan Nilai Uji Susut Masak Daging Kelinci ... 38
16. Rataan Nilai Uji DMA Daging Kelinci ... 39
17. Rataan Nilai Uji Kadar Air Daging Kelinci Segar ... 40
18. Rataan Nilai Uji Kadar Abu Daging Kelinci Segar ... 41
19. Rataan Nilai Uji Kadar Protein Kasar Daging Kelinci Segar ... 42
20. Rataan Nilai Uji Kadar Lemak Kasar Daging Kelinci Segar ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Bobot Potong Kelinci ... 52
2. Hasil Sidik Ragam Bobot Karkas Kelinci ... 52
3. Hasil Sidik Ragam Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci ... 52
4. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci 52 5. Hasil Sidik Ragam Bobot Jantung Kelinci ... 53
6. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Jantung Kelinci ... 53
7. Hasil Sidik Ragam Proporsi Karkas Kelinci ... 53
8. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Karkas Kelinci ... 53
9. Hasil Sidik Ragam Proporsi Offal Kelinci ... 54
10. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Offal Kelinci ... 54
11. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Daging Kelinci ... 54
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai pH Daging Kelinci ... 54
13. Hasil Sidik Ragam Nilai Keempukan Daging Kelinci ... 55
14. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Keempukan Kelinci ... 55
15. Hasil Sidik Ragam Nilai DMA Daging Kelinci ... 55
16. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai DMA Daging Kelinci ... 55
17. Hasil Sidik Ragam Nilai Kadar Air Daging Kelinci ... 56
18. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci ... 56
19. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 56
20. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 56
21. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ... 57
Kelinci dikenal sebagai ternak yang mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dengan interval kelahiran yang pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis yang tinggi. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah jika dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain (Farrel dan Raharjo, 1984 ; Lebas et al., 1986).
Kelinci jenis Rex merupakan salah satu jenis kelinci yang dikenal sebagai penghasil fur. Kelinci jenis Rex juga memiliki proporsi tubuh yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai penghasil daging (dwiguna). Beberapa penelitian potensi kelinci Rex telah dilakukan pada produksi kulit bulu (Widjaja, 1999 dan Purnomo, 1999), pertumbuhan (Mardiah, 1999 dan Rofiah, 2001) dan sifat kualitatif (warna bulu) dan kuantitatif (sifat reproduksi) (Fafarita, 2006). Namun, data tentang performa karkas dari jenis kelinci Rex masih sedikit sekali (Brahmantiyo, 2008).
Kelinci yang umum dipelihara peternak sebagai penghasil daging adalah kelinci lokal. Kelinci dipelihara dengan manajemen yang sesuai kondisi lingkungan setempat. Pemotongan kelinci untuk menghasilkan daging sebagian besar berasal dari kelinci yang diafkir karena tua, betina tidak produktif atau kelinci sakit. Karakter produksi karkas, daging dan sifat fisik dan kimia kelinci lokal masih sangat terbatas. Penelitian menggali informasi produktivitas kelinci lokal dan Rex dilakukan sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai penghasil daging.
Perumusan masalah
penghasil daging membutuhkan data menyeluruh mengenai karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci yang belum tersedia mendorong dilaksanakannya penelitian ini.
Tujuan
Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivora non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant).
Klasifikasi kelinci secara ilmiah sebagai berikut (Damron, 2003) : Kingdom : Animalia (hewan)
Phylum : Chordata (mempunyai notochord) Subphylum : Vertebrata (bertulang belakang) Class : Mammalia (memiliki kelenjar air susu)
Ordo : Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas) Family : Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah) Genus : Oryctolagus (morfologi yang sama)
Species : Cuniculus forma domestica (nama spesies)
Hewan in dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekumnya (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah hijauan berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan, menjadi protein hewani yang benilai tinggi. Hewan ini mampu mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al, 1986). Selain itu, ternak ini mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembangbiak, interval kelahiran yang pendek dan tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya (Templeton, 1968). Farrel dan Raharjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun.
Kelinci Rex
Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Jenis Rex ini kemudian diketahui sebagai hasil dari mutasi gen. mutasi gen ini menyebabkan bulu sebelah dalam sama panjang dengan bulu luarnya, sehingga bulunya lebih padat dan panjangnya seragam (Sandford, 1980). Cheeke et al. (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci Rex sifatnya halus, panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan fur (kulit bulu).
Kelinci Rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Bobot badan ideal untuk kelinci Rex jantan adalah 3.6 kg, sedangkan untuk betina adalah 4.08 kg (ARBA, 1996). Kelinci Rex sangat bervariasi dengan produksi daging berkualitas sangat baik (exellent), tetapi produktivitas daging pada kelinci Rex lebih rendah dibandingkan dengan kelinci pedaging jenis New Zealand (Raharjo, 1994).
Kelinci Lokal
Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci – kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Raharjo,1984).
Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan pun mempunyai kualitas yang cukup baik.
Pertambahan Bobot Hidup
hingga dewasa tubuh, sedangkan perkembangan merupakan perubahan dalam komposisi, bentuk serta tinggi tubuh (Lawrie, 2003). Pertumbuhan pada ternak umumnya mengikuti kurva berbentuk sigmoid yang merupakan hubungan antara bobot tubuh, umur dan pola pertumbuhan tersebut. Hal ini juga didapati pada pertumbuhan kelinci setelah lahir (Sanford, 1980). Kurva tersebut memperlihatkan fase petumbuhan yang dipercepat (accelerating) terjadi pada umur remaja, sedangkan fase pertumbuhan yang diperlambat (decelerating) dimulai dari umur remaja sampai dewasa (Hammond dan Browman, 1983). Rao et al. (1979) menyatakan bahwa kelinci muda memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan puncak pertumbuhan accelerating dicapai pada umur delapan minggu.
Pertumbuhan meliputi pertambahan bobot badan per waktu tertentu dan perubahan konformasi dari jaringan tubuh, sesuai umur dan fungsinya sehingga dinyatakan tumbuh-kembang (Hammond dan Browman, 1983). Templeton (1968) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas ransum. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh bangsa, umur , jenis kelamin, bobot sapih dan suhu lingkungan.
Periode pertumbuhan mulai dari penyapihan hingga pemotongan merupakan fase paling efisien dalam mengkonversikan pakan untuk mencapai bobot badan yang diinginkan. Oleh karena itu diperlukan pakan dengan kandungan karbohidrat (energi), protein, lemak vitamin dan mineral yang sesuai untuk pertumbuhannya. Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa kelinci membutuhkan enegi metabolisme 2400 Kkal, lemak 3%, protein kasar 15% dan serat kasar 14% untuk
pertumbuhannya.
Laju pertumbuhan pada anak kelinci akan meningkat cepat pada satu bulan pertama sejak lahir dan akan terus bertambah sampai disapih. Bobot kelinci yang dicapai pada umur delapan minggu adalah 1.38 – 2.1 kg, umur 12 minggu adalah 2.12 - 2.85 kg dan umur 16 minggu adalah 3.28 – 3.83 kg (Chen et al., 1987).
Karkas dan Komponen Karkas Kelinci
dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka, kemudian di susul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti kerangka dan lemak tumbuh terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan Lukefahr, 1993). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986).
Herman (1986) menyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis mampu menghasilkan karkas sebesar 47.96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82 - 85% dari karkasnya dapat di konsumsi. Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.
Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potong irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan kaki depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan pinggang (loin) dan potongan irisan kaki belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977). Herman (1986) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang ± 40 %, pinggang ± 22.10 %, dada ± 11.68 % dan kaki depan ± 29 %.
Otot
Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72-73% air, 18% protein, 1-2% BETN, 1-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida (Zobrisky, 1969).
Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase otot sebesar 35.2% ± 5.25 untuk kelinci betina berbobot badan 0.55-3.3 kg dan untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0.6-3.3 kg. Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1.8-2.7 kg dengan produksi daging karkas 0.9-1.4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang adalah 5 : 1.
Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan (foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan bobot hidup sebesar 990 g diperoleh rataan otot sebesar 36.7%.
Tulang
Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta 80% phosfor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zobrisky, 1969).
Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976).
Lemak
Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup. Depot lemak meupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu sebagai cadangan untuk menjaga panas homeostatis tubuh (De Blass et al., 1977).
Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas sebab proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar 1.5-2.0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung (Bogart, 1981).
Sifat Fisik Daging Daya Mengikat Air (DMA) Daging
Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak. Sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003).
mengalami kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak Soeparno (1992).
Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992).
Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik (5,0-5,1) protein miofibril, filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat sehingga ruang diantara filamen-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (adiposa Triphospat) serta pembentukan aktamiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno,1992).
Keempukan Daging
Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992). Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua, mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).
penggantungan karkas pre-rigor pada pelvik atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada temperatur 10-20 0C (Bouton et al., 1978).
Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak – ternak yang digemukkan di dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak yang digembalakan.
Bouton et al., (1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasikan akan lebih empuk.
Susut Masak Daging
Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.
Nilai pH Daging
Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat,daya ikat daging protein terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot yang mempunyuai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001).
Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentui, spesies, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi gliokolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh termperatur terhadap perubahan pH postmotem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 1992).
Peningkatan pH akan menyebabkan meningkatnya daya ikat air daging dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003). Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi didalam otot akan diubah melalui proses glikolisis menjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan membuat pH daging menjadi rendah.
Komposisi Kimia Daging
pakan secara relatif berbeda di antara bangsa dan perlakuan pakan, tetapi tidak selalu direfleksikan terhadap perbedaan komposisi kimia daging (Soeparno, 1992). Komposisi kimia dalam daging yang berhubungan erat dengan nilai gizi adalah kadar air, mineral, protein, lemak dan vitamin. Berikut adalah komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak berdasarkan bahan segar.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak
Daging Protein Lemak Kadar Air Kandungan
(%) (%) (%) Energi (MJ/kg)
Kelinci 20.80 10.20 67.90 7.30
Ayam 20.00 11.00 67.60 7.50
Anak Sapi 18.80 14.00 66.00 8.40
Kalkun 20.10 22.00 58.30 11.90
Sapi 16.30 28.00 55.00 13.30
Domba 15.70 27.70 55.80 13.10
Babi 11.90 45.00 42.00 18.90
Sumber : State 4-H Rabbit Programming Committee (1992) Analisa Proksimat
Informasi umum mengenai makanan didapat dari hasil analisa berupa komposisi kimia makanan yang merupakan hasil penggunaan sistem analisa proksimat yang telah digunakan lebih dari 100 tahun lalu. Sistem analisa proksimat membagi makanan ke dalam enam fraksi zat makanan yaitu kadar air, abu, protein, ektrak lemak, serat kasar dan bahan ektrak tanpa nitrogen (McDonald et al., 2002).
yang biasa digunakan adalah analisa proksimat dikarenakan informasi yang ada cukup menggambarkan sebuah materi bahan dengan tujuan spesifik.
Analisa proksimat merupakan analisis yang telah lama ada dan dapat digunakan untuk menduga nilai nutrisi termasuk nilai energi dari contoh bahan/campuran pakan/sampel yang berasal dari bagian komponennya (NRC, 1994). Air
Air adalah zat yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen dengan rumus molekul H2O (Fardiaz, 1992). Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa kadar air tubuh erat hubungannya dengan usia. Kadar air tubuh berkurang dengan kegiatan metabolisme. Hewan yang muda akan lebih mampu menggunakan zat – zat makanan yang diperolehnya untuk membangun tubuhnya sedangkan hewan yang lebih tua, akan menimbun kelebihan energi yang diperolehnya untuk menjadi lemak tubuh.
Lemak
Lemak termasuk di dalam kelompok ester yang terbentuk dari reaksi alkohol dalam asam organik. Komponen pembentuk lemak pada umumnya terdiri dari satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak, dikenal sebagai trigliserida (Fardiaz, 1992).
Protein
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien yang mempunyai peranan lebih penting dalam pertumbuhan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Struktur protein selain mengandung unsur N, C, H, O juga mengandung S, P, Fe, dan Cu yang membentuk senyawa kompleks Sudarmadji et al. (1989). Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai asam – asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-CHHOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil (Fardiaz, 1992).
Secara fisiologis, tubuh manusia rata – rata membutuhkan 55 g protein per hari yang terdiri atas 35 g protein nabati, 15 g protein hewani asal ikan dan 5 g protein hewani asal ternak. Protein sangat esensial bagi kehidupan karena sebagai penyusun komponen jaringan lunak seperti otot, tenunan pengikat, kolagen, kulit, rambut dan kuku (Ensminger et al., 1990).
Protein bahan makanan dalam analisi proksimat ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini menganut asumsi bahwa semua nitrogen bahan makanan berasal dari protein dan semua protein bahan makanan mengandung N sebesar 16%. Protein bahan makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan nitrogennya. Hasil yang diperoleh dikalikan dengan 6.25 yaitu faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16 (Ensminger et al., 1990). Komposisi protein dalam tubuh tidak banyak dipengaruhi oleh usia maupun kondisi tubuh, dalam hal ini bobot hidupnya.
Abu (Mineral)
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral suatu bahan organik. Mineral tersebut dapat merupakan garam organik maupun anorganik. Penentuan abu total digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu selain sebagai parameter nilai gizi dalam bahan makanan juga untuk mengetahui baik tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan (Sudarmadji et al., 1989).
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak (BPT), Bagian Kelinci,
Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan April 2008
sampai dengan bulan Juni 2008. Balai Penelitian Ternak (Balitnak) merupakan
instansi Pemerintah yang turut berperan dalam penelitian pengembangan ternak
kelinci di Indonesia. Balitnak terletak pada ketinggian 500 m dpl dengan rataan curah
hujan tahunan mencapai 3500-4000 mm. Balitnak menempati lahan seluas 24 ha
yang terletak di desa Banjar Waru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Jenis
kelinci yang terdapat di Balitnak meliputi Rex, Satin, RS (persilangan Rex dengan
Satin), Angora, English Giant, Loop, New Zealand White, Lion dan banyak hasil
persilangan dari jenis lain.
Materi Ternak
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci Rex dan kelinci
lokal, masing-masing sebanyak 6 ekor, jadi total ternak yang digunakan adalah 12
ekor. Kelinci Rex diperoleh dari BPT. Kelinci lokal didapat dari peternakan kelinci
di sekitar BPT.
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah kandang pemeliharaan, tempat pakan dan
air minum, borang penelitian, timbangan berkapasitas 5 kg dengan merk Nagata,
pisau, dan alat tulis.
Rancangan
Penelitian ini mengunakan rancangan RAL faktorial 2 x 2 dengan 3 ulangan.
Faktor pertama adalah jenis (bangsa) kelinci dan faktor kedua adalah jenis kelamin.
Model matematikanya menurut Steel and Torrie (1991) adalah
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Yijk : nilai parameter pada ulangan ke-k dari faktor I (jenis kelinci) ke-i dan faktor
ke II (jenis kelamin kelinci) ke-j
αi : pengaruh bangsa (jenis) kelinci ke-i terhadap parameter
βj : pengaruh jenis kelamin kelinci ke-j terhadap parameter
(αβ)ij : interaksi antara bangsa kelinci ke-i dan jenis kelamin kelinci ke-j terhadap
parameter
εijk : pengaruh galat percobaan
Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan mengunakan Analysis of variance
(ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan nyata atau sangat nyata, maka dilakukan
uji perbandingan nilai tengah dengan menggunakan uji Duncan.
Peubah
1. Bobot potong
Bobot potong kelinci ditimbang pada saat kelinci sebelum dipotong (g),
2. Bobot karkas
Bobot karkas ditimbang setelah kelinci dipotong, dikuliti lalu dikurangi
darah, kepala, hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada kecuali
ginjal (g) (Rao et al.,1979),
3. Bobot potongan komersial (g)
Bobot potongan komersial didapat dengan cara memotong karkas kelinci
menjadi potongan komersialnya yang meliputi foreleg, rack, loin dan hindleg
(Blasco et al., 1992) lalu ditimbang dengan alat timbangan,
4. Bobot nonkarkas (kulit kepala, kaki dan offal)
Bobot kulit segar didapat dengan cara menguliti kelinci yang telah dipotong
lalu kulitnya tersebut segera ditimbang (g),
5. Bobot komponen karkas, meliputi bobot daging, lemak dan tulang (g)
Bobot komponen karkas ditimbang dengan cara memisahkan masing-masing
komponen karkas terlebih dahulu lalu bobotnya ditimbang dengan alat
timbangan,
6. Rasio daging : tulang, yaitu perbandingan bobot daging dengan tulang (g).
Rasio daging : tulang dihitung dengan cara membandingkan antara bobot
7. Proporsi karkas, offal dan potongan komersial (%)
Proporsi karkas dihitung dengan cara bobot karkas yang ditimbang
sebelumnya dibagi dengan bobot potongnya lalu dikalikan dengan 100%.
Proporsi potongan komersial dihitung dengan cara bobot masing-masing
potongan komersial dibagi dengan bobot karkas lalu dikalikan dengan 100%,
8. Uji fisik bahan segar (pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan)
9. Uji kimia/proksimat bahan segar (kadar air, protein kasar, lemak, abu, energi
kotor)
Prosedur
Penelitian ini menggunakan data primer. Kelinci penelitian yang akan
digunakan adalah kelinci yang berumur 3 – 4 bulan. Kelinci penelitian dipisahkan
terlebih dahulu berdasarkan bangsa (breed) dan jenis kelamin (sex) sebelum
penelitian dimulai. Kelinci penelitian yang sudah dipisahkan tersebut diberi pakan
dengan kualitas yang sama selama periode pemeliharaan lalu setelah mencapai umur
3-4 bulan, kelinci-kelinci tersebut dipotong untuk dilhat performa produksi
karkasnya. Data yang diambil mencakup produksi karkas dan potongan
komersialnya.
Pemeliharaan
Pemeliharaan di Balai Penelitian Ternak
Kelinci penelitian dipelihara sampai berada pada umur potong atau 4 bulan.
Kelinci Rex dipelihara di BPT. Ransum diberikan secukupnya (100 – 150 g/hari) dan
air minum diberikan secara ad libitum. Ransum yang diberikan berbentuk pelet
dengan kandungan nutrisi protein 18% dan energi 2700 Kkal. Kandang yang
digunakan ialah kandang individu yang terbuat dari kawat.
Pemeliharaan di Masyarakat
Kelinci penelitian dipelihara sampai berada pada umur potong atau 4 bulan.
Kelinci yang dipelihara ialah kelinci lokal. Ransum diberikan secukupnya (100 – 150
g/hari) dan air minum diberikan secara ad libitum. Ransum yang digunakan adalah
hijauan dan sedikit campuran dari dedak dan ampas tahu dengan perkiraan
kandang individu yang terbuat dari bambu dengan sisi bagian depan terbuat dari
kawat.
Pemotongan
Pemotongan dilakukan saat kelinci mencapai kisaran bobot potong 1600 –
2400 g. Kelinci dipotong pada pagi hari tanpa dipuasakan terlebih dahulu. Kelinci
disembelih dengan cara memotong leher, sehingga semua pembuluh darah terpotong
dan diperoleh pendarahan yang sempurna. Setelah dipotong, kelinci digantung pada
salah satu kaki belakang, dengasn membuat irisan pada kulit antara tulang dan tendo
sendi kaki belakang. Kepala dipisahkan pada sendi occipito atlantis. Kemudian kaki
depan bagian bawah dan kaki belakang bagian bawah dipotong pada sendi sikunya
dan ditimbang, ekor juga dilepaskan dari pangkalnya. Lalu ditimbang. Setelah selesai
dikuliti, semua isi rongga perut dan dada dikeluarkan dan ditimbang tiap
bagian-bagiannya. karkas kemudian ditimbang. Setelah itu, karkas dipotong menjadi 4
potongan komersial, yaitu foreleg, rack, loin dan hindleg dan ditimbang.
Potongan-potongan komersial kecuali hindleg dibungkus dengan plastik lalu disimpan di dalam
alat pendingin. Hindleg dibawa ke labolatorium untuk digunakan sebagai bahan
untuk analisis proksimat dan uji fisik daging. Uji Fisik
Nilai pH
Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter dikalibrasi
terlebih dahulu pada pH 4 dan 7. pH meter ditusukkan ke dalam daging hingga
sensor pHnya tertutupi semua. Nilai pH didapat setelah angka tertera di pH meter
konstan.
Susut Masak
Susut masak daging adalah perbedaan berat daging sebelum dan sesudah
dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram
dengan panjang 7 cm ditusukkan dengan termometer bimetal sampai menembus
bagian dalam daging, lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82 0C.
antara berat segar dan berat masak merupakan nilai susut masak yang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut
% Susut Masak = Bobot sampel awal – Bobot sampel akhir x 100%
` Bobot sampel awal
Keempukan Daging
Daging dipotong ukuran persegi kira-kira 100 g, kemudian ditusukkan
dengan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging lalu direbus
dengan air hingga mencapai duhu 80-82 0C. Setelah itu, daging diangkat dan
didinginkan. Sampel daging dibentuk silinser (tabung) dengan menggunakan curer
berdiameter 1,27 mm sebanyak tiga buah. Daging dipotong secara melintang pada
alat warner blatzler dan hsasil pengukuran keempukan / shear foce daging (kg/cm2)
dapat dilhat pada skala alat warner blatzler tersebut.
Daya Mengikat Air (DMA)
Daya mengikat air (DMA) dihitung dengan cara menghitung jumlah mg H2O
pada daging. Kandungan mg H2O yang tinggi pada daging akan menyebabkan DMA
yang semakin rendah dan sebaliknya. Daging segar dipotong dengan berat 0,3 g,
kemudian disimpan di antara dua kertas saring Whatman 41 yang berdiameter 9 mm.
selanjutnya sampel daging tersebut dipres dengan menggunakan caver press dengan
tekanan 35 kg/cm2 selam 5 menit. Luas area basah yang tertera pada kertas saring
diukur dengan menggunakan planimeter. Besarnya daya mengikat air ditentukan
dengan cara menggunakan rumus Hamm (1972) dalam Soeparno (1992) adalah
mg H2O = { luas area basah (cm2) / 0,0948 } – 8,0
kemudian mg H2O dikonversi dalam persen dengan rumus sebagai berikut
Uji Kimia (Proksimat)
Kadar Air (AOAC, 1999)
Kadar air diukur dengan metode Gravimetri secara pemanasan langsung,
yaitu menghitung banyaknya air yang hilang dengan pemanasan ±105oC
menggunakan oven selama 4-6 jam. Terlebih dahulu botol timbang dikeringkan
kira-kira 1 jam dalam alat pengering pada suhu 105oC dan didinginkan dalam eksikator,
lalu ditimbang (x) gram. Sejumlah daging ditimbang dengan teliti ± 5 gram dalam
botol timbang sebagai (y) gram. Botol timbang dan sampel yang berada di dalamnya
dimasukkan dalam alat pengering selama 4-6 jam pada suhu 105 oC. Kemudian
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pekerjaan ini diulangi sampai tiga kali,
sampai berat konstan (z) gram. Kadar air ditentukan dengan rumus berikut:
Kadar Air = (y – x - z) x 100% (y – x)
Kadar Protein Kasar (AOAC, 1999)
Kadar protein kasar dapat dihitung dengan metode Kjeldahl yang secara garis
besar terbagi menjadi tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Jumlah protein
didapat sebagai jumlah nitrogen dalam bahan yang tertitrasi dikalikan dengan faktor
konversi protein (6,25).
Ditimbang ± 1 gram sampel daging dan 1 gram campuran Selen dengan kertas
saring lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kering yang telah berisi batu didih.
Ditambahkan 25 ml H2SO4 pekat mutu teknis dan dilakukan destruksi dengan
peningkatan suhu bertahap di dalam ruang asam hingga larutan jernih dan berwarna
kuning kehijauan dan kemudian didinginkan. Larutan yang terbentuk dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 ml dan diimpitkan. Dipipet 10 ml larutan dan dimasukkan ke
dalam alat destilasi, ditambahkan NaOH 0,3 N dan indikator fenol ftalein (PP)
hingga warna larutan menjadi merah muda. Destilat ditampung dengan Erlenmeyer
berisi 25 ml H2SO4 0,3 N. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua analat
tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam Erlenmeyer atau bila 2/3 dari cairan dalam
Hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4 dititar kembali dengan
menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi
perubahan warna dari ungu menjadi hijau yang menandakan titik akhir titrasi.
Setelah itu volume NaOH dicatat sebagai (z) ml dan dibandingkan dengan titar
blanko (y) ml. Penentuan kadar protein kasar dapat ditentukan dengan rumus berikut:
% Protein Kasar = 100/10 x (y - z) x titar NaOH x 14 x 6,25 x 100% Berat sampel (x)
Kadar Lemak (AOAC, 1999)
Kadar Lemak ditetapkan dengan metode Soxhlet dimana lemak diekstraksi
dengan pelarut nonpolar yang cocok pada suhu sedikit di atas titik didih pengekstrak
(60-80oC). Lemak daging yang terukur yaitu lemak yang terekstrak oleh pelarut
lemak nonpolar dan telah dipisahkan dari pelarutnya melalui evaporasi.
Ditimbang ± 1 gram daging (x), dimasukkan ke dalam selongsong yang
terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak (hulls). Hulls
dimasukkan ke dalam Soxhlet yang telah terhubung dengan labu lemak kering yang
telah ditimbang berat kosongnya, (a) gram. Ditambahkan heksan sebagai pengekstrak
dan dipanaskan dengan alat FATEX-S yang diatur suhunya pada 60oC, proses
ekstraksi dilakukan sampai larutan di dalam Soxhlet sebening heksan murni atau
selama ± 2 jam.
Heksan (pengekstrak) dipisahkan dengan cara destilasi dan evaporasi. Labu
lemak berisi hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan (b) gram. Kadar lemak kasar dapat
dihitung dengan rumus berikut :
Kadar Lemak Kasar = (b-a) x 100% x
Kadar Abu (AOAC, 1999)
Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen yang
sebelumnya telah diukur beratnya. Cawan berisi sampel tersebut dimasukkan ke
abu. Sesudah abu menjadi putih seluruhnya, cawan diangkat dan didinginkan dengan
cara memasukkan ke dalam desikator selama ± 1 jam. Lalu ditimbang. Kada rabu
ditentukan dengan cara
Kadar abu (%) = Berat sampel awal – berat sampel hilang X 100% Berat sampel awal
Kadar Gross energi (AOAC, 1999)
Kadar gross energi atau energi kotor diperoleh dengan menggunakan bom
kalorimeter. Sampel daging sebanyak 500 mg dibuat seperti pellet dengan cara
dipress lalu ditimbang (X). Sampel tersebut dimasukkan kedalam cawan yang sudah dipasang elektroda sehingga menyentuh sampel daging. Cawan dimasukkan ke
dalam bom yang berisikan 5.0 ml Methyl orange lalu bom ditutup rapat dan diisi
dengan oksigen berkekuatan 35 atm. Bom tersebut dimasukkan ke dalam buket yang
berisi air sebanyak 2000 ml. Bom dan buketnya dimsaukkan ke dalam jaket
kemudian ditutup dan diputar selama 5 menit untuk mencari suhu awal yang konstan
(a). Selanjutnya dibakar untuk mendapatkan suhu akhir yang konstan (b). Setelah itu, bom dikeluarkan dan dibilas dengan methyl orange. Air bilasan di tampung ke dalam
tabung erlenmeyer lalu dititar dengan natrium karbonat sampai warna orange tercipta
dan dicatat penggunaan natrium karbonat (ti). Ukur berapa panjang kawat yang terbakar. Rumus perhitungan gross energi adalah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Karkas Kelinci
Definisi karkas kelinci yaitu bagian dari tubuh ternak kelinci setelah
dipotong, dikurangi darah, kepala, kulit, kaki, ekor, saluran pencernaan beserta isinya
dan isi rongga dada. Karakteristik karkas yang diamati adalah bobot potong, bobot
karkas, bobot kulit bulu, kepala, kaki, organ saluran pencernaan, hati, jantung,
paru-paru, ginjal dan potongan komersial (foreleg, rack, loin dan hindleg), bobot daging
total, bobot tulang total dan bobot lemak total.
Bobot Potong dan Bobot Karkas
Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum
dipotong/disembelih. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas
yang tinggi pula. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin
tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini
disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah
selaras dengan ukuran bobot tubuh.
Tabel 2. Rataan Nilai Bobot Potong Dan Bobot Karkas Kelinci
Karakteristik Karkas
Bangsa Kelinci
Rex Lokal
Jantan Betina Jantan Betina
---g---
Bobot potong 1818.00 ± 157.23 2068.67 ± 317.42 1894.33 ± 185.70 1885.33 ± 271.71
Bobot karkas 939.00 ± 151.561 1061.33 ± 200.87 885.33 ± 127.71 824.33 ± 114.35
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Tabel 3. menunjukkan bahwa bangsa dan jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap rataan nilai bobot potong. Rataan nilai bobot potong pada kelinci Rex
adalah 1943.33 ± 98.69 dan kelinci lokal ialah 1889.83 ± 98.69. Hal ini disebabkan
bobot potong yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kisaran bobot yang
sama. Kisaran bobot potong yang digunakan adalah 1600 – 2400 g untuk kedua jenis
bangsa dan jenis kelamin. Hernandez et al. (2001) menunjukkan bahwa rex dengan
Bobot karkas menjadi salah satu hal yang menarik dalam karakteristik karkas.
Hal ini karena terkait nilai ekonomis yaitu jumlah karkas yang dihasilkan
menentukan harga dari karkas tersebut. Bobot karkas merupakan salah satu peubah
yang penting dalam evaluasi karkas (Priyanto et al., 1993). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa bangsa (breed) dan jenis kelamin (sex) maupun interaksinya,
tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas. Rataan nilai bobot karkas pada
kelinci Rex (1000.16 ± 62.15) tidak berbeda dengan kelinci lokal (854.83 ± 62.15).
Pengaruh yang tidak nyata dari jenis bangsa dan kelamin pada penelitian ini dapat
disebabkan rataan bobot potong untuk semua kelinci yang tidak berbeda nyata,
sehingga bobot karkas yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini
tidak berbeda dengan hasil yang didapat oleh Hernandez et al. (2001) yang
menggunakan 4 jenis bangsa kelinci (California, Chinchilla, New Zealand umur 80
hari dan Rex umur 90 hari) pada rataan bobot potong yang sama (1900-2000 g) dan
menghasilkan bobot karkas yang sama pula (1100-1180 g). Hal ini menunjukkan
bahwa bobot potong yang tidak berbeda nyata menghasilkan bobot karkas yang tidak
berbeda nyata pula.
Bobot Potongan Komersial
Blasco et al. (1992) menyatakan bahwa potongan komersial pada kelinci
meliputi paha depan ( foreleg), dada (rack), pinggang (loin) dan paha belakang
(hindleg). Brahmantiyo (1995) menyebutkan bahwa perdagingan pada potongan
komersial ternak sapi tergantung pada intensitas kontraksi otot pada bagian
komersial tersebut. Aktivitas yang semakin besar akan menyebabkan kontraksi otot
yang semakin besar pula. Rataan nilai potongan komersial pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 4 dan 5.
Hasil bobot potongan komersial pada penelitian ini menunjukkan bahwa
bangsa (breed) hanya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap potongan komersial
foreleg. Hasil rataan menunjukkan bahwa kelinci Rex memiliki bobot potongan
komersial foreleg (287.66 ± 38.84) yang lebih tinggi dibandingkan nilai rataan
Tabel 3. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Karkas Kelinci
Jantan Betina Jantan Betina
---g---
Rack 96.33 ± 18.58 112.00 ± 32.23 94.33 ± 17.24 85.00 ± 19.75
Loin 198.00 ± 66.56 228.00 ± 65.38 156.00 ± 26.62 147.33 ± 21.59
Hindleg 371.33 ± 45.00 408.33 ± 56.58 347.00 ± 47.03 331.00 ± 35.51
Tabel 4. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci
Jenis Kelamin Bangsa Kelinci Rataan
Rex Lokal
---g---
Jantan 266.66 ± 29.16 242.66 ± 27.59 254.66 ± 56.75
Betina 308.66 ± 48.52 230.33 ± 31.00 269.49 ± 39.76
Rataan 287.66 ± 38.84a 236.495 ± 29.29b
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Kelinci tipe medium memiliki kisaran bobot badan dewasa 3.5-4.5 kg.
Contoh beberapa kelinci tipe medium adalah Belgian hare, Rex, Anggora, dan
Chinchilla. Kelinci tipe kecil (ringan) memiliki kisaran bobot badan 2.5-3 kg seperti
Himalayan, Small Chinchilla, Dutch dan French Havana (Lebas et al., 1986).
Kelinci tipe medium memiliki kemampuan pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelinci tipe kecil, sehingga pertumbuhan kelinci Rex lebih baik
dari kelinci lokal. Pertumbuhan yang lebih baik akan meningkatkan bobot potong
yang lebih baik dan akhirnya menghasilkan bobot karkas yang lebih baik pula.
Soeparno (1992) menyatakan bahwa bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat,
tumbuh lebih cepat dan lebih berat saat mencapai kedewasaan daripada bangsa
ternak yang kecil. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin
tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Potongan
komersial merupakan potongan-potongan bagian karkas, sehingga semakin tinggi
yang paling banyak memiliki tulang sehingga bobotnya akan lebih besar jika
tulang-tulangnya juga lebih besar. Penelitian Metzger (2005) menyatakan bahwa perbedaan
pada bagian foreleg disebabkan bagian tersebut paling banyak memiliki tulang.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Brahmantiyo (2008) yang
menggunakan kelinci Rex jantan dan betina dengan rataan bobot potong 2711.44 dan
3017.19 g. Penelitian tersebut menghasilkan rataan bobot potongan komersial yang
lebih tinggi (foreleg 422.89 dan 466.38 g; rack 166.89 dan 181.12 g; loin 327.22 dan
352.38 g; hindleg 487.72 dan 530.69 g) dibandingkan penelitian ini. Hal ini
disebabkan bobot dan umur potong yang digunakan Brahmantiyo (2008) lebih tinggi
dibandingkan penelitian ini, sehingga menghasilkan potongan komersial yang lebih
tinggi pula.
Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal)
Bobot nonkarkas merupakan bobot yang berasal dari bagian selain karkas
seperti kulit, kepala, kaki, hati, jantung, paru-paru, ginjal, dan saluran pencernaan.
Organ dalam dan saluran pencernaan disebut dengan offal. Bagian nonkarkas pada
ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ternak kecil. Hasil rataan nilai bobot nonkarkas dapat dilihat
pada tabel 6, 7 dan 8.
Penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap offal (hati, ginjal, paru-paru, jantung dan saluran pencernaan)
yaitu pada bagian jantung dan saluran pencernaan. Rataan nilai bobot jantung pada
kelinci Rex (6.16 ± 0.78) lebih besar daripada kelinci lokal (5.16 ± 0.28). Pengaruh
bangsa (breed) terhadap jantung ini disebabkan kelinci Rex merupakan tipe kelinci
medium, sehingga secara genetik mempunyai kemampuan untuk tumbuh lebih baik
dibandingkan kelinci lokal. Hal ini menyebabkan jantung pada kelinci Rex lebih
berat dibandingkan dengan kelinci lokal. Dewyarsih (2004) menyatakan bahwa
perbedaan bangsa berhubungan dengan perbedaan genetik dalam mencapai ukuran
dewasa, sehingga proporsi bagian-bagian tubuh beberapa bangsa tidak sama. Rataan
Tabel 5. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Kelinci
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Tabel 6. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Jantung) Kelinci
Jenis
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
ini disebabkan bobot dan umur potong yang digunakan Brahmantiyo (2008) lebih
besar (2711.44 g dan 3017.19 g) dibandingkan penelitian ini, sehingga ukuran/bobot
daging, tulang dan organ-organ dalam akan lebih berat.
Bangsa juga mempengaruhi rataan bobot saluran pencernaan dengan nilai
rataan kelinci lokal (448.66 ± 77.57) yang lebih besar dibandingkan dengan kelinci
Rex (340.83 ± 35.63). Hal ini terkait dengan pakan yang diberikan kepada kedua
jenis kelinci ini. Kelinci Rex diberikan pakan dalam bentuk pellet, sedangkan kelinci
lokal adalah hijauan. Pellet memiliki kandungan serat yang lebih rendah
dibandingkan dengan hijauan, sehingga pellet membutuhkan waktu yang lebih
Rex Lokal
---g---
Jantan 304.66 ± 6.65 416.00 ± 53.39 360.33 ± 29.94
Betina 377.00 ± 64.62 481.33 ± 101.75 429.16 ± 83.18
Rataan 340.83 ± 35.63a 448.66 ± 77.57b
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mencerna makanannya (waktu retensi
lebih cepat), sehingga saluran pencernaannya lebih ringan dibandingkan dengan
kelinci lokal. Martinez (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perbedaan
bobot saluran pencernaan dapat disebabkan oleh waktu retensi. Hal lain yang dapat
menyebabkan variasi ini adalah banyaknya pakan yang dimakan kelinci lokal
sebelum dikumpulkan dari peternak sekitar sebelum dipotong.
Interaksi bangsa dan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat pada bobot
kepala. Nilai rataan bobot kepala pada kelinci Rex betina (184.66 ± 1.15) lebih besar
dibandingkan dengan kelinci lokal betina (146.66 ± 17.03). Hal ini sesuai dengan
Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa bangsa dan jenis kelamin mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan relatif nonkarkas, kecuali kepala dan
usus kecil. Interaksi jenis bangsa dengan jenis kelamin terhadap bobot kepala pada
penelitian ini mempunyai arti bahwa kelinci jenis bangsa Rex memiliki bobot kepala
yang lebih tinggi dibandingkan jenis bangsa lokal hanya pada betina saja. Bobot
kepala yang sama untuk kelinci jantan, baik bangsa Rex maupun lokal. Penelitian
Hernandez et al. (2001) menunjukkan bahwa interaksi bangsa dan jenis kelamin
terjadi pada kepala.
Bobot Komponen Karkas
Bobot komponen karkas meliputi bobot daging, bobot tulang dan bobot
lemak. Bobot komponen karkas dapat menunjukkan bagian yang dapat di makan.
Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas