• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak merupakan individu yang berada pada satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak mengalami rentang pertumbuhan dan perkembangan yang terdiri dari rentang cepat dan lambat. Proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat A 2004). Pada beberapa kondisi terdapat anak-anak yang mengalami masalah perkembangan. Salah satu kelainan yang diderita anak yang menjadi sorotan saat ini adalah autis.

Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, serta perilaku yang luas dan berat. Gejala autis mulai tampak pada anak usia 18-36 bulan. Penyebabnya adalah gangguan pada perkembangan susunan syaraf pusat yang menyebabkan terganggunya fungsi otak. Autis bisa terjadi pada siapapun, tanpa ada perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa (Indiarti MT 2007).

Kasus autis belakangan ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%. Apabila angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun. Jumlah anak laki-laki penyandang autis dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009). Jumlah anak penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000-200.000 anak.

Langkah untuk mengurangi gejala dari autis salah satunya adalah dengan memberikan intervensi diet. Intervensi diet dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala autisme, meningkatkan kualitas hidup, serta memberikan status nutrisi yang baik. Intoleransi dan alergi makanan merupakan salah satu faktor pencetus yang perlu diperhatikan terhadap anak autis. Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku. Terdapat beberapa terapi diet autis yang telah diajukan untuk memperbaiki atau menyembuhkan gangguan ini. Strategi diet autis yang telah diusulkan sebagai penanganan diantaranya yaitu:

diet bebas jamur, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), diet bebas bahan aditif, dan diet suplemen.

Diet yang paling sering diberikan adalah diet Gluten Free Casein Free

(GFCF). Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten dan kasein termasuk protein yang tidak mudah dicerna. Enzim pencernaan pada anak autis sangat kurang hingga membuat makanan tidak dicerna dengan sempurna. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur (Suryana 2004). Hasil penelitian Latifah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 68,42% anak autis di Kota Bogor yang menerima diet GFCF menunjukkan adanya perbaikan perilaku terutama dalam hal hiperaktivitas.

Dokter biasanya menyarankan untuk memperhatikan makanan untuk anak yang telah dinyatakan autis. Diet yang dianjurkan yaitu harus bebas gluten dan kasein. Dokter sering lupa bahwa ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang bebas gluten dan kasein, sehingga tidak sedikit orang tua yang akhirnya kebingungan dalam memilih bahan makanan. Anak menjadi memiliki pilihan makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah terserang penyakit atau mengalami gizi kurang (Kusumayanti et al. 2005).

Seorang ibu harus bersikap lebih selektif dalam mengatur pola makan bagi anaknya. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan anak untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pilihan makanan untuk anak autis. Berdasarkan hasil penelitian Mashabi NA dan Tajudin NR pada tahun 2009, diketahui bahwa tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis. Penelitian Kusumayanti et al. tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar anak penyandang autis yang di terapi di RS Sanglah Denpasar belum dapat melaksanakan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Salah satu alasan yang dikemukan ibu dari penyandang autis adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang diet GFCF (Gluten Free Casein Free) bagi anak autis.

Oleh karena itu pengetahuan ibu tentang pangan apa saja yang boleh dikonsumsi oleh anak autis sangat penting bagi terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik

untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak autis khususnya pangan sumber gluten dan kasein dan pengetahuan ibu pada anak autis di kota Bogor.

Perumusan Masalah

Anak penyandang autis jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, bukan hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian Central of Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa perbandingan anak penyandang autis sebesar 1 dari 150 kelahiran. Angka yang sama juga diperkirakan terjadi di tempat lain termasuk Indonesia. Penanganan yang tepat sangat diperlukan baik dari segi psikososial maupun asupan makanan yang sehat dan bergizi. Salah satu terapi diet yang umum dianjurkan pada anak penderita autis adalah diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Ibu memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak, termasuk dalam pemilihan asupan makanan yang tepat sesuai kebutuhan anak. Pengetahuan yang cukup terutama tentang diet yang tepat bagi anak penyandang autis sangat diperlukan agar dapat memberikan penanganan yang tepat dan memastikan anak mendapat asupan makanan yang cukup.

Tujuan Tujuan umum :

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor.

Tujuan khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga.

2. Mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis.

3. Mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis.

4. Menilai status gizi anak autis.

5. Menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak autis.

6. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis.

7. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis.

8. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dan digunakan sebagai dasar dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi contoh.

3. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh.

4. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi atau diet yang selama ini telah dilakukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para orang tua anak penyandang autis tentang pentingnya pengetahuan dan pemberian makanan yang tepat bagi anak autis. Penulis dan masyarakat umumnya diharapkan dapat mengetahui lebih banyak tentang permasalahan-permasalahan anak autis, serta bagi terapis atau pengajar dapat menjadikan sebagai bahan masukan untuk orang tua tentang cara pemberian makan yang tepat untuk anak autis.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait