• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

DWI MURNI MUJIYANTI. Level of Mother’s Knowledge and Consumption Pattern in Children with Autism in Bogor. Under direction of TIURMA SINAGA and EDDY S. MUDJAJANTO.

Autism is a developing disorder which is caused by brain destruction. Brain destruction makes some disorder in communication, behavior, and social ability. Most children with autism have metabolic problem, such as enzyme deficiencies and leaky gut condition which allows proteins gluten and casein can not be absorbed as in normal children. So, intervention of diet especially diet GFCF (Gluten Free Casein Free) is one of the most common solution given. Mother’s knowledge is one important thing that affects child consumption. The general purpose of this research was to determine the relationship between mother’s knowledge and consumption pattern in children with autism in Bogor. The research uses cross sectional study from April to May 2011. The number of 93% samples have a frequency of eating 3 meals a day and only 17% given cycle menu. The number of 10% samples have an allergy to food served cold, orange, shrimp, and honey. The number of 26,67% samples taking supplement. Most of the samples do not consume foods containing gluten or casein. Food that contain gluten and casein are the most frequently consumed by the samples are biscuit, milk, cheese, and yogurt. Intakes of both calories and proteins were adequate in the majority of children, but the proteins was higher than Recommended Dietary Allowence (RDA). The average intake of vitamin A and magnesium were normal. However, the following nutrients did not meet the RDA requirements at all : vitamins C, calcium, and zinc. The result showed that nutritional status of 30% sample were normal and 40% sample were obesity. The result showed that mother’s knowledge related to the frequency of consumption of food containing gluten and casein in children. Samples which have a less knowledgeable mothers, likely to consume food that contain gluten for more than or equal to 3 times a week. However, samples with less knowledgeable mothers, reducing the consumption of food containing casein to less than 3 times a week. The result showed no relationship between mother’s knowledge with energy and nutrition adequacy level, as well as nutritional status of sample. The result also indicate that there is no relationship between adequacy level of energy and protein with nutritional status.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada pada satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak mengalami rentang pertumbuhan dan perkembangan yang terdiri dari rentang cepat dan lambat. Proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat A 2004). Pada beberapa kondisi terdapat anak-anak yang mengalami masalah perkembangan. Salah satu kelainan yang diderita anak yang menjadi sorotan saat ini adalah autis.

Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, serta perilaku yang luas dan berat. Gejala autis mulai tampak pada anak usia 18-36 bulan. Penyebabnya adalah gangguan pada perkembangan susunan syaraf pusat yang menyebabkan terganggunya fungsi otak. Autis bisa terjadi pada siapapun, tanpa ada perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa (Indiarti MT 2007).

Kasus autis belakangan ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%. Apabila angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun. Jumlah anak laki-laki penyandang autis dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009). Jumlah anak penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000-200.000 anak.

(3)

diet bebas jamur, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), diet bebas bahan aditif, dan diet suplemen.

Diet yang paling sering diberikan adalah diet Gluten Free Casein Free

(GFCF). Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten dan kasein termasuk protein yang tidak mudah dicerna. Enzim pencernaan pada anak autis sangat kurang hingga membuat makanan tidak dicerna dengan sempurna. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur (Suryana 2004). Hasil penelitian Latifah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 68,42% anak autis di Kota Bogor yang menerima diet GFCF menunjukkan adanya perbaikan perilaku terutama dalam hal hiperaktivitas.

Dokter biasanya menyarankan untuk memperhatikan makanan untuk anak yang telah dinyatakan autis. Diet yang dianjurkan yaitu harus bebas gluten dan kasein. Dokter sering lupa bahwa ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang bebas gluten dan kasein, sehingga tidak sedikit orang tua yang akhirnya kebingungan dalam memilih bahan makanan. Anak menjadi memiliki pilihan makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah terserang penyakit atau mengalami gizi kurang (Kusumayanti et al. 2005).

Seorang ibu harus bersikap lebih selektif dalam mengatur pola makan bagi anaknya. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan anak untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pilihan makanan untuk anak autis. Berdasarkan hasil penelitian Mashabi NA dan Tajudin NR pada tahun 2009, diketahui bahwa tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis. Penelitian Kusumayanti et al. tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar anak penyandang autis yang di terapi di RS Sanglah Denpasar belum dapat melaksanakan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Salah satu alasan yang dikemukan ibu dari penyandang autis adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang diet GFCF (Gluten Free Casein Free) bagi anak autis.

(4)

untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak autis khususnya pangan sumber gluten dan kasein dan pengetahuan ibu pada anak autis di kota Bogor.

Perumusan Masalah

Anak penyandang autis jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, bukan hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian Central of Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa perbandingan anak penyandang autis sebesar 1 dari 150 kelahiran. Angka yang sama juga diperkirakan terjadi di tempat lain termasuk Indonesia. Penanganan yang tepat sangat diperlukan baik dari segi psikososial maupun asupan makanan yang sehat dan bergizi. Salah satu terapi diet yang umum dianjurkan pada anak penderita autis adalah diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Ibu memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak, termasuk dalam pemilihan asupan makanan yang tepat sesuai kebutuhan anak. Pengetahuan yang cukup terutama tentang diet yang tepat bagi anak penyandang autis sangat diperlukan agar dapat memberikan penanganan yang tepat dan memastikan anak mendapat asupan makanan yang cukup.

Tujuan Tujuan umum :

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor.

Tujuan khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga.

2. Mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis.

3. Mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis.

4. Menilai status gizi anak autis.

(5)

6. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis.

7. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis.

8. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dan digunakan sebagai dasar dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi contoh.

3. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh.

4. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh.

Kegunaan

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Autis Pengertian dan Gejala

Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata autisme ini digunakan di dalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik diri. Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins. Ia memakai istilah autis yang secara sosial tidak mau bergaul dan tenggelam dengan kerutinan, anak-anak yang harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak jarang menyimpan bakat intelektual tinggi. Berdasarkan penelitian terkini, gejala autis disebabkan beberapa faktor yaitu genetik, infeksi virus rubella atau

galovirus saat dalam kandungan, faktor makanan seperti makanan yang mengandung gluten dan kasein, gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan pada sistem limbik (bagian otak yang mengatur emosi), kondisi ibu yang merokok pada saat hamil, serta pencemaran terhadap logam berat terutama timbal (Kanner L 2007 dalam Latifah 2004).

Sari ID (2009), berpendapat istilah autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunia sendiri. Autis diduga akibat kerusakan saraf otak yang bisa muncul karena beberapa faktor, di antaranya : genetik dan faktor lingkungan. Menurut Sutadi (2003), secara sederhana masalah atau karakteristik yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut: (1) Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa. (2) terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,perabaan dan lain-lain), (3) masalah gerak/motorik. (4) kelemahan kognitif, (5) perilaku yang tidak biasa, dan (6) masalah fisik.

Menurut Yuliana & Emilia (2006), Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kelompok gangguan perkembangan anak yang terdiri dari Attention Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan

(7)

Syndrome adalah bentuk autis yang paling ringan karena mempakan anak-anak yang cerdas. Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara khas, tetapi memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan banyak kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger 's Syndrome bisa sangat ahli mengenai masalah mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya hal yang dibicarakan.

Gejala-gejala yang terlihat pada anak yang menderita autis adalah diare atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, adanya gas dan kembung, buang air besar yang berbau busuk dan bewarna lebih muda, dan kesulitan tidur setiap malam yang disebabkan oleh saluran usus yang mengalami gangguan sepanjang malam akibat asam lambung naik dan membakar esopaghus, yaitu tempat dilaluinya makanan menuju perut (Yuliana & Emilia E2006).

Menurut Acocella (1996) dalam Lubis MU. (2009), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :

1. Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada.

2. Kelemahan kognitif :

Anak autis sebagian besar (± 70%) mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh karena itu, retardasi mental pada anak autis, terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial.

3. Kekurangan dalam bahasa

(8)

dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal

4. Tingkah laku stereotif

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan adanya kerusakan fisik, misalnya adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatan sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik pada bagian-bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

Menurut Handojo (2003), deteksi dini autis pada anak yang dianjurkan untuk diwaspadai oleh para orang tua adalah sebagai berikut :

1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi 2. Hiperaktif dan acuh kepada orang tua dan orang lain 3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya 4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang

Jenis-jenis

Menurut Faisal Y (2003) dalam Hidayat (2004), autisme terdiri dari tiga jenis yaitu persepsi, reaksi, dan yang timbul kemudian.

1. Autisme persepsi

Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat menimbulkan kecemasan.

2. Autisme reaktif

Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh dan mudah terpengaruh oleh dunia luar.

3. Autisme yang timbul kemudian

(9)

Sedangkan menurut Sari ID (2009), autis terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

1. Autisme klasik.

Autis sejak lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika (keturunan) (CDC 2000). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil, ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak janin.

2. Autisme regresif

Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Anak tadinya sudah bisa membuat kalimat dua sampai tiga kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata. Kalangan ahli menganggap autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling disorot.

Klasifikasi Autis

Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008) autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Seringkali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu, Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan

non verbal, aktivitas, konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :

a). Autis ringan

(10)

Tindakan-tindakan yang dilakukan, seperti memukulkan kepalanya sendiri, mengigit kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya.

b). Autis sedang

Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereotipik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

c). Autis berat

Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.

Etiologi dan Patofisiologi

Menurut Sari ID (2009), autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Faktor genetika

(11)

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).

2. Kelainan anatomis otak

Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,

serebelum serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak. Kelainan khas juga ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif.

3. Disfungsi metabolik

(12)

mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan

neurotransmiter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan apel.

4. Infeksi Kandidiasis

Strain Candida ditemukan di saluran pencernaan dalam jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung

yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi

Candida albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. Tetapi Dr Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.

5. Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan gluten.

Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna pasien autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien.

(13)

dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Akan tetapi, semua faktor tersebut mungkin hanya merupakan pemicu, yang bisa terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat genetik. Teori yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan diantara berbagai teori tersebut.

Mekanisme Terjadinya Autis 1) Mekanisme Racun Logam Berat

Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam berat mengubah fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang berhubungan dengan sistem saraf pusat dan sekitamya. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam berat disebabkan oleh perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri dari elektron yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari molekul lainnya. Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi dengan oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila seseorang terpapar logam berat atau anak-anak memiliki defisiensi antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak jaringan di seluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003).

2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi

Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting. Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks antarasistem imun, kelenjar endoktrin, dan saluran pencemaan. Imun tubuh adalah pemimpin pertahanan tubuh menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus.

(14)

sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan.

3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran Cerna Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen, tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri pelindung (probiotik) usus. Diare kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab spektrum autis (McCandless 2003).

4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi

Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, terasuk sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome), sembelit yang kronis atau diare (Walsh 2003 dalam Yuliana & Emilia E 2006). Salah satu racun hasil sampingan ini adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali lubang di dinding usus yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan leaky gut. Racun-racun yang diproduksi oleh jamur ini benar-benar mengebor lubang-lubang pada dinding usus dan meresap ke dalam aliran darah anak. Substansi racun ini dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan rusaknya kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku. Sawar darah otak merupakan suatu dinding yang impermeabel. Sawar darah berfungsi melindungi otak dari berbagai gangguan yang dapat menyebabkan disfungsi otak.

(15)

Lubang-lubang yang berukuran abnormal di antara dinding-dinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat beracun lainnya merembes memasuki aliran darah (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E. 2004). Racun-racun ini tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka sistem imun mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus yang masuk dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan oleh munculnya reaksi imun. Akan tetapi pecahan dinding sel patogen yang telah dihancurkan ini dapat menyebabkan peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri. Substansi racun tersebut dapat merusak bahkan melampaui kemampuan hati untuk membersihkan racun tersebut apabila terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Penumpukan patogen tersebut dapat menimbulkan kehilangan memori dan kebingungan.

Faktor Resiko Kejadian Autis

Penyebab autis secara pasti sampai saat ini belum diketahui. Para ahli hanya meyakini disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti: faktor genetik, abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal), polusi lingkungan, disfungsi imunologi, gangguan metabolisme (inborn error), gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas susunan syaraf pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi. Adapun faktor-faktor resiko yang diduga menjadi penyebab dari autis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tokoplasmosis

Tokoplasmosis yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa tokoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi parasit ini melalui makanan yang mengandung parasit. Ibu hamil yang mengalami keguguran berulang dapat dipastikan penyebabnya tokoplasma. Toplasmosis ibu dapat menyebabkan abortus, kematian janin, pertumbuhan janin terhambat, partus prematus dan kematian neonatal. Bayi yang terkena biasanya berat badan lahirnya rendah, memperlihatkan gejala penyakit neurologi dengan konvulasi, hidrocefalus atau

(16)

terganggu, sehingga di kemudian hari anak akan mengalami hambatan dalam perkembangan otak.

2. Pendarahan antenatal

Pendarahan antenatal adalah kondisi dimana ibu hamil mengalami perdarahan yang dapat disebabkan karena gangguan plasenta. Gangguan pada plasenta akan menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan glukosa pada janin. Suplai yang tidak mencukupi akan membuat perkembangan otak janin terganggu.

3. Hiperemesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang sering pada kehamilan trimester I yang menyebabkan keadaan umum menjadi buruk. Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi, kekurangan cairan yang diminum dan kekurangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraselular dan plasma serta natrium dan klorida dalam darah turun. Dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi sehingga aliran darah ke jaringan berkurang demikian pula aliran darah ke janin berkurang sehingga suplai oksigen dan glukosa untuk otak janin berkurang.

4. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

BBLR adalah suatu kejadian dimana berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR dapat disebabkan karena gizi yang kurang saat dalam kandungan. Bayi BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipoksia, keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga otak mengalami kerusakan pada periode perinatal.

5. Trauma lahir

Trauma lahir adalah trauma akibat pertolongan pada persalinan misalnya trauma karena tindakan forsep dan vakum. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, subdural hematon yang mengakibatkan gangguan otak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi gangguan aliran darah. 6. Asfiksia

(17)

kondisi atau kehamilan yang diderita ibu seperti gizi yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung. Asfiksi dapat terjadi juga secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama persalinan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia dan hipoksia janin dan berkahir dengan asfiksia bayi.

7. Kejang demam

Kejang demam adalah keadaan dimana bayi mengalami kejang yang didahului oleh panas badan karena suatu penyakit infeksi yang diderita bayi. Kejang demam menyebabkan peningkatan metabolisme dalam tubuh, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan glukosa, oksigen, dan berkurangnya aliran darah otak sehingga terjadi gangguan sel. Apabila berlangsung lama dapat terjadi kerusakan neuron. 8. Mump, Measles, dan Rubella (MMR)

Vaksinasi MMR merupakan vaksin kombinasi yang terdiri dari vaksin hidup yang dilemahkan, yaitu vaksin campak, rubella, dan gondongan. Bahan pengawet vaksin menggunakan thimerasol, suatu senyawa merkuri organik yang telah lama digunakan sebagai pengawet dan stabilizer dalam vaksin. Efek kumulatif yang terjadi pada pemberian berbagai macam vaksin yang mengandung thimerasol dalam waktu singkat seperti pada program vaksinasi akan meningkatkan sensitivitas yang tinggi pada beberapa anak terhadap merkuri. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan merkuri adalah demielinisasi dendrit otak.

Berdasarkan hasil penelitian Muhartomo H (2004) dengan melakukan study case control diperoleh hasil bahwa perdarahan antenatal dan asfiksia lahir terbukti sebagai faktor resiko autis.

Jenis-jenis Terapi

Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autis selain terapi biomedis yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi-terapi tersebut diantaranya yaitu:

a. Terapi Wicara

(18)

b. Terapi Perilaku

Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovass (Handojo 2003).

c. Terapi Okupasi

Terapi untuk melatih motorik halus anak autis. Terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan ototnya (Suryana 2004).

d. Terapi Bermain

Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan (Sutadi 2003).

e. Terapi Sensory Integration

Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang bermakna (Sutadi 2003).

f. Terapi Auditory Integration

Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna (Suryana 2004).

g. Terapi Pijat

Terapi pijat anak autis efektif memperlancar peredaran darah yang berfungsi mendistribusikan oksigen, nutrisi, dan mengangkut racun tubuh sehingga tidak mengendap dan menimbulkan penyakit. Fokus pemijatan untuk anak autis terletak di beberapa titik di bagian kepala, seperti seperti puncak kepala, tengkuk dibagian leher, pangkal tulang kepala dan area

(19)

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Data besar keluarga berdasarkan BKKBN 1998 dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu keluarga kecil yang terdiri dari ≤ empat orang, keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga sebanyak ≥ tujuh orang. Besar keluarga didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.

Kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga yang memiliki anggota lebih kecil. Hal ini terjadi karena, jika besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 2003).

Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004).

Tingkat pendidikan orang tua mempunyai korelasi positif dengan cara mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga. Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995).

Pendapatan

Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

(20)

terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan alokasi semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, alokasi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000).

Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk.

Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan akan membuat seseorang mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga meningkatkan pengetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai sesuatu. Jika peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan terjadi perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik.

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Menurut Paterrson dan Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan.

(21)

Satu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kebutuhan energi, (3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003).

Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya kualitas makanan yang dikonsumsi.

Penyuluhan pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan.

Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek terkait di dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk mengetahui dampak intervensi penyuluhan gizi yang berupa berubahnya pengetahuan gizi seseorang. Penggunaan multiple choice test dapat dilakukan untuk mengukur berbagai aspek yang meliputi pemahaman terhadap suatu istilah, fakta yang spesifik, metode dan prosedur, penerapan suatu prinsip, dan sebab akibat (Khomsan 2000).

Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi pada tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategoriaan dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Menurut Khomsan (2000), untuk keseragaman maka digunakan cut off point sebagai berikut :

Tabel 1 Cut off point pengkategorian pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi Skor

Baik >80%

Sedang 60-80%

(22)

Kebiasaan Makan

Model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak yang dikembangkan oleh Lund dan Burk (1969), mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi karena ada motivasi (needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam proses kognitif mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk bertindak. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya mencakup tiga macam yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan sosial. Selain ketiga macam kebutuhan tersebut, ada faktor lain yang berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu pengetahuan dan kepercayaan anak-anak terhadap makanan dan sikap serta penilaian anak terhadap makanan (Suhardjo 1989).

Lund dan Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan keluarga yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Empat variabel utama yang perlu diperhatikan dari lingkungan keluarga mencakup pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan serta sikap keluarga terhadap makanan. Kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh variabel primer sosial ekonomi seperti status ekonomi keluarga. Sementara faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah yang dapat dianggap penting dalam menentukan pola kebiasaan makan anak-anak adalah pengalaman dan pendidikan di sekolah serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarkan (Suhardjo 1989) .

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).

(23)

dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al.

2004).

Cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik, budaya, dan sosial dikenal sebagai kebiasaan makan. Kebiasaan makan kadang-kadang disebut pola makan, kebiasaan pangan, atau pola pangan (Suhardjo 1989). Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh sangat besar terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut memiliki anak autis (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009).

Anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu.

Diet untuk Penderita Autis

Kunci kesembuhan anak autisme yang terbaik ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. ABA dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Salah satu penyebab autis adalah gangguan metabolisme, maka pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebagai salah satu metode intervensi biomedis. Makanan juga berguna untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh kembang (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).

(24)

mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan.

Berdasarkan penelitian oleh Walsh dan Shaw dalam McCandless (2003), anak autis umumnya kekurangan zinc, vitamin B6, GLA (Asam Gamma Linoleat), serta metionin karena buruknya kualitas protein yang dikonsumsi. Biasanya pilihan makanan anak autis sangat terbatas sehingga hampir semua anak memiliki defisisensi vitamin dan mineral yang sudah berlangsung cukup lama. Gangguan gizi lain yang sering ditemukan pada anak autis adalah kekurangan

zinc yang sering ditemui pada hampir 90% anak autis serta kekurangan magnesium. Zinc diperlukan untuk perkembangan mukosa usus yang sehat, pembentukan myelin, dan pengembangan sistem imun yang sempurna. Magnesium memegang peranan penting dalam sistem enzim dan bertindak sebagai katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolisme.

Diet hipoalergenik menyebutkan beberapa jenis makanan dapat menyebabkan reaksi alergi pada anak autis, seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang, maupun ikan. Konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari kerena penyandang autis pada umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).

Diet GFCF (Gluten Free Casein Free)

Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Mashabi NA & Tajudin NR. 2009).

McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Anak-anak yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon yang lebih baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF. Penyembuhan saluran cerna pada anak autis dapat dilakukan paling awal, karena perut tidak akan bisa sehat jika makanan yang tidak tercerna dengan benar tetap menyebabkan berlangsungnya peradangan saluran cerna.

(25)

1. Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil

berangsur-angsur memperkenalkan makanan pengganti yang baru.

2. Membuat makanan dengan variasi dalam bahan dan pengolahan serta

menarik dalam penyajian

3. Gluten lebih lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Tes

urin menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari, sedangkan gluten membutuhkan waktu berbulan-bulan. Dengan demikian, hindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa minggu hindari mengkonsusmsi produk susu atau hasil olahan susu. Setelah itu baru menghindari produk dengan bahan dasar gandum

4. Menghindari produk kedelai kecuali tes hipersensitivitas makanan

menunjukkan bahwa anak tidak alergi terhadap kedelai.

5. Mematuhi pola makan bebas gluten dan kasein dan kedelai ketat, minimal

selam 6 bulan karena pemberian makanann yang mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kemunduran pada kesehatan anak.

6. Membiasakan diri untuk membaca label pada kemasan makanan atau

tandai makanan yang mengandung gluten dan kasein.

Saat ini, terdapat banyak tepung GFCF, yang dapat langsung digunakan sebagai bahan baku makanan atau dibuat biskuit ataupun makanan lainnya yang biasa dijual di pasaran. Selain itu berbagai produk bebas gluten dan kasein telah banyak dijual baik berupa produk yang sudah jadi, antara lain berupa roti atau tepung yang beraneka ragam jenisnya. Hal yang juga penting untuk diperhatikan pada pemilihan makanan anak autis adalah tidak mengandung zat tambahan seperti pewarna, pemanis atau pengawet (Sari ID. 2009).

Penilaian Konsumsi Pangan

(26)

Food Frequency Questinaires (FFQ)

FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi contoh dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari, minggu, bulan, atau dalam satu tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Achadi EL 2007).

Jenis FFQ diantaranya adalah sebagai berikut :

a.) Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi b.) semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya

sepotong roti, secangkir kopi.

c.) quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi contoh, seperti kecil, sedang, atau besar.

Kelebihan FFQ yaitu :

1. Dapat diisi sendiri oleh contoh

2. Machine readable (dapat dibaca oleh mesin) 3. Relatif murah untuk populasi yang besar

4. Dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dengan penyakit 5. Data usual intake lebih representatif dibandingkan diet record beberapa

hari

Keterbatasan FFQ yaitu :

1. Kemungkinan tidak menggambarkan usual food atau porsi yang dipilih oleh contoh

(27)

Food Record

Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan atau minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari. Makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat dijumlahkan dengan estimasi menggunakan ukuran rumah tangga (estimated food record) atau menimbang (weighted food record) (Achadi EL 2007). Kelebihan dari food record yaitu :

1. Tidak tergantung pada memori

2. Mendapatkan data asupan yang detail 3. Mendapatkan data tentang eating habit

4. Multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid sampai lima hari

Keterbatasan food record yaitu :

1. Membutuhkan kerjasama yang tinggi dari contoh 2. Contoh harus dapat membaca dan menulis 3. Dapat mengubah kebiasaan makan

4. Analisis intensif dan mahal

5. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data, harus menimbang dan mencatat

6. Respon rate dapat menjadi rendah karena memberikan beban kepada contoh

Formulir yang telah didesain dan alat tulis diberikan dengan sedikit penjelasan cara pengisian kepada contoh, dan pada waktu yang dijanjikan peneliti datang mengambil sekaligus untuk konfirmasi dari hasil pencatatan.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat makanan. Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sebagai ukuran antropometri yang banyak diterapkan.

(28)

berubah secara dramatis menurut umur selama remaja. Karena berbagai keterbatasan, IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk anak usia sekolah dan remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur dan sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas. Indikator ini sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Selain itu, data referensi yang bermutu tinggi juga sudah tersedia. Walaupun IMT belum sepenuhnya divalidasi dengan indikator kekurusan atau gizi kurang pada anak usia sekolah dan remaja. IMT merupakan indeks massa tubuh tunggal yang dapat diterapkan untuk mengukur keadaan yang sangat kurang dan kelebihan gizi (Riyadi 2001).

Keunggulan antropometri adalah prosedur sederhana, aman, dan bisa untuk sampel yang besar, peralatan murah, mudah dibawa, tahan lama, akurat, dan dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau dan juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu. Kelemahan antropometri seperti tidak sensitif, faktor di luar gizi dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri dan lain-lain (Supariasa et al. 2001).

Status gizi seseorang tidak selalu sama dari masa ke masa karena merupakan interaksi dari berbagai faktor. Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan. Lebih lanjut, akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang (Riyadi 2001).

(29)

KERANGKA PEMIKIRAN

Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku yang luas dan berat. Kunci kesembuhan anak autis ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. Intervensi biomedis salah satunya dapat dilakukan dengan pengaturan pola konsumsi pangan. Hal ini terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu gangguan metabolisme.

Kebiasaan makan sangat ditentukan oleh karakteristik keluarga dan karakteristik dari anak itu sendiri. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan berisiko terhadap kejadian kurang energi protein. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Selain itu, tingkat pendapatan akan menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.

Anak penyandang autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Ibu sebagai pengasuh utama diharapkan memiliki pengetahuan tentang kondisi anaknya dan pemberian makan yang baik. Menurut Paterrson & Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, termasuk yang berhubungan dengan konsumsi pangan, terutama pada keluarga yang memiliki anak autis. Informasi mengenai autis dapat diperoleh dari berbagai media. Media yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi diantaranya seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya serta hasil konsultasi dengan tenaga profesional (dokter, psikolog), ataupun dari hasil penyuluhan dan seminar. Informasi yang diperoleh dapat meningkatkan tingkat pengetahuan ibu mengenai autis.

(30)
[image:30.595.95.551.89.802.2]

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor

Keterangan :

Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Status gizi anak autis

Akses terhadap informasi

Pengetahuan ibu Konsumsi pangan sumber

gluten dan kasein Pola Konsumsi

anak autis Karakteristik contoh :

 Usia

 Jenis Kelamin  Berat Badan  Tinggi badan

Karakteristik sosial ekonomi keluarga :

(31)

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Penelitian dilaksanakan di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu, dan SDN Perwira Kota Bogor. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive dengan pertimbangan (1) belum ada penelitian sebelumnya di tempat tersebut, (2) kemudahan akses, dan (3) ibu bersedia untuk diwawancarai.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi penelitian adalah anak penyandang autis yang terdaftar di dua lokasi penelitian yang berjumlah 60 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah anak yang memenuhi kriteria. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah (1) anak penderita autis, (2) terdaftar di dua lokasi penelitian, (3) bersedia ikut serta dalam penelitian, dan (4) ibu bersedia untuk diwawancarai. Ibu adalah responden yang merupakan sumber informasi untuk menambah data. Penarikan contoh dilakukan secara purposive. Calon contoh sebanyak 36 orang diperoleh berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Contoh sebanyak 30 orang adalah yang memiliki data lengkap.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi (1) karakteristik anak (usia, jenis kelamin, klasifikasi autis, berat badan, dan tinggi badan), (2) karakteristik orang tua (pendapatan, pendidikan, besar keluarga, dan usia), (3) pola konsumsi (frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, konsumsi selama tiga hari, makanan yang sering dikonsumsi, makanan yang disukai, dan alergi. Karakteristik orang tua diperoleh dengan cara pengisian kuesioner. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner oleh ibu dan data sekunder diperoleh dari yayasan atau sekolah.

Pola konsumsi dan konsumsi pangan anak dinilai dengan menggunakan

(32)
[image:32.595.109.501.93.587.2]

Tabel 2 Jenis, variabel dan cara pengumpulan data

No Jenis data Variabel Cara Pengumpulan

1 Data Primer Karakteristik anak :  Usia

 Jenis kelamin  Klasifikasi Autis

Pengisian kuesioner, wawancara

2. Data Primer Karakteristik keluarga :  Pendidikan orang tua  Pendapatan orang tua  Besar keluarga  Usia orang tua

Pengisian kuesioner, wawancara

3. Data Primer Pengetahuan ibu Pengisian kuesioner (20 pertanyaan tentang autis, diet GFCF, dan gizi), wawancara 4. Data Primer Akses terhadap informasi pangan

dan gizi

Pengisian kuesioner (8 pertanyaan mengenai pelayanan kesehatan dan akses informasi), wawancara

5. Data Primer Pola konsumsi pangan :  Konsumsi pangan

 frekuensi konsumsi pangan  kebiasaan makan pangan

sumber gluten dan kasein

Pengisian kuesioner, Metode FFQ, food record 3x24jam, dan wawancara

6. Data Primer Tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Isian tertulis, konversi URT ke dalam gram sesuai dengan yang disajikan (Food Record 3x24 jam)

7. Data Primer Status gizi Pengukuran secara

langsung dengan menggunakan

timbangan injak dan microtoise

8. Data Sekunder

Informasi yayasan dan sekolah Data yayasan dan sekolah

Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah secara manual maupun dengan menggunakan komputer

(33)

digunakan dan frekuensi kunjungan, informasi diet untuk anak autis, sumber informasi yang biasa diakses, serta bagaimana ibu menerapkan informasi tersebut.

Pola konsumsi pangan sumber gluten dan kasein yang juga menunjukkan perilaku makan anak dilihat dari pengisian FFQ yang dikumpulkan dengan cara mencatat jenis dan frekuensi pemberian pangan sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi oleh contoh. Jumlah contoh yang mengonsumsi pangan sumber gluten maupun kasein dengan frekuensi tertentu kemudian dirata-ratakan serta dianalisis secara deskriptif. Selain itu dilihat juga konsumsi suplemen, siklus menu, makanan yang sering dikonsumsi, makanan kesukaan, alergi, dan penggunaan suplemen.

Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil food record selama tiga hari. Jumlah makanan yang dikonsumsi dituliskan dengan menggunakan satuan URT (Ukuran Rumah Tangga). Selanjutnya dilakukan konversi URT ke dalam gram sesuai dengan yang disajikan. Kandungan zat gizi dalam seluruh bahan pangan yang dikonsumsi dijumlahkan dan dirata-ratakan untuk mendapatkan rata-rata konsumsi contoh per tiga hari. Selanjutnya rata-rata konsumsi pangan tersebut digunakan untuk menghitung tingkat kecukupan rata-rata anak berdasarkan angka kecukupan rata-rata contoh.

Kecukupan energi dan zat gizi diacu berdasarkan angka kecukupan energi dan zat gizi dari WKNPG tahun 2004. Kandungan zat gizi dari makanan yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, zinc, magnesium, vitamin A, dan vitamin C. Kandungan zat gizi dari makanan dihitung dengan menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut :

Kgij = (Bj/100)x Gij x (BDD/100) Keterangan :

Kgij = kandungan gizi i dalam bahan makanan j Bj = berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j BDDj = bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Perhitungannya untuk menentukan Angka Kecukupan energi dan protein anak adalah sebagai berikut :

(34)

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi dengan kecukupannya yaitu menggunakan rumus tingkat kecukupan zat gizi dibawah ini :

TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan :

TKG = tingkat kecukupan zat gizi K = konsumsi

AKGI = angka kecukupan zat gizi contoh yang dicari

Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan dengan menggunakan cutt of point Depkes (1996) yang dibedakan menjadi defisit tingkat berat (<70% AKE), defisit tingkat sedang (70-79% AKE), defisit tingkat ringan (80-89% AKE), normal (90-119% AKE), dan berlebihan (≥120% AKE). Sementara tingkat kecukupan untuk vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77% angka kecukupan) dan cukup (≥77% angka kecukupan) (Gibson 2005). Status gizi dihitung berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dan indeks TB/U yang dikategorikan berdasarkan WHO (2007). Pengkategorian status gizi menurut indeks IMT/U yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (<-2 SD s/d -3 SD), normal (-2 SD s/d 1 SD), overweight (1 SD s/d 2 SD), dan obese (>2 SD). Sementara pengkategorian status gizi berdasarkan indeks TB/U yaitu sangat pendek (<-3 SD), pendek (≥-3 SD s/d <-2 SD), dan normal (≥ -2 SD). Status gizi berdasarkan indeks BB/U dikategorikan berdasarkan CDC (2000) menjadi gizi kurang (<-2 SD), gizi baik (-2 SD s/d 2 SD), dan gizi lebih (>2 SD).

Hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta status gizi contoh dianalisis menggunakan uji korelasi

(35)

Definisi Operasional

Autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Gangguan ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan aktivitas sosial ataupun keterampilan penggunaan komunikasi yang mencakup kemampuan bicara, berimajinasi, dan komunikasi.

Autis dan Spektrumnya adalah anak penderita autis dan atau anak dengan gangguan perkembangan dengan gejala yang tampak seperti autis. Misalnya hiperaktif, melakukan gerakan dan ucapan yang berulang-ulang, dan ketertarikan pada satu hal atau minat tertentu.

Contoh adalah anak penyandang autis yang bersekolah atau bimbel di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia, Cimanggu, atau SDN Perwira Kota Bogor yang bersedia ikut serta dalam penelitian.

Karakterisitik Contoh adalah ciri-ciri dan keadaan umum anak penyandang autis yang meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Karakteristik Keluarga adalah kondisi keluarga anak penyandang autis yang

mencakup pendapatan, pendidikan keluarga, besar keluarga, serta usia orang tua

Usia Orang Tua adalah usia ayah dan ibu contoh yang dikelompokkan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun).

Pendidikan Orang Tua adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh ayah dan ibu contoh yang ditandai dengan adanya tanda tamat ijazah yang dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak Tamat SMA, tamat SMA, diploma : 1/2/3, S1, dan S2/S3.

Pendapatan Orang Tua adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan ayah dan ibu dalam satu bulan yang dinilai dalam bentuk rupiah (uang) yang dihasilkan dari pekerjaan utama dan penghasilan tambahan.

(36)

Akses terhadap Informasi adalah sumber informasi ibu terkait autis meliputi artikel koran atau majalah, konsultasi dengan dokter atau tenaga profesional lain, dari sekolah atau tempat terapi anak autis, atau panutan (orang tua, teman) serta penerapan dari informasi yang diperoleh.

Pengetahuan Ibu adalah hal-hal yang diketahui oleh ibu mengenai autis, gizi dan pilihan makanan, serta diet GFCF yang diukur dari skor jawaban pertanyaan. Tingkat pengetahuan dihitung dalam persentase serta dikategorikan menjadi baik, sedang, dan kurang.

Pola Konsumsi Gluten dan Kasein adalah jumlah dan frekuensi bahan pangan yang mengandung gluten dan kasein yang dikonsumsi anak selama sehari, minggu, atau bulan, dinilai dengan menggunakan FFQ.

Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) adalah pengaturan atau pemberian makanan bagi anak autis dengan tidak memberikan makanan yang mengandung gluten dan kasein.

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi adalah perbandingan antara konsumsi dengan angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan menurut umur, jenis kelamin, berta badan, tinggi badan anak berdasarkan WKNPG VIII (2004) dan dinyatakan dalam persen.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII)

Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia merupakan yayasan non profit yang bekerja di bidang sosial dan kemanusiaan serta bersifat kekeluargaan. Yayasan ini berdiri pada tanggal 19 Juni 2009 di Lido, Sukabumi. Yayasan resmi berbadan hukum pada tahun 2008. Sejak saat itu, yayasan bertempat di Bogor hingga saat ini. Anggota dari yayasan ini adalah orang-orang yang menaruh minat dalam pembinaan dan pendidikan warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya).

Yayasan bertujuan untuk mecapai kemandirian warga istimewa dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Adapun visi dari yayasan yaitu memberikan pelayanan, perhatian, pengawasan, dan perlindungan kepada warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya) dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa; menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan (pembinaan) yang layak bagi warga istimewa; menjamin diperolehnya persamaan hak dan kewajiban (kesempatan) warga istimewa dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

Kepengurusan dari yayasan terdiri dari dewan pengawas, dewan pembina, pengurus, dan anggota. Wujud kegiatan yang biasa diadakan oleh yayasan berupa pendidikan bimbel bagi anak istimewa, kegiatan terapi kuda dan lumba-lumba, serta berenang. Selain itu, yayasan juga mengadakan berbagai kegiatan bersama anak dan orang tua bekerjasama dengan lembaga lain seperti sekolah inklusi SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam, misalnya dalam acara perayaan hari autis. Anak-anak yang melakukan bimbel di yayasan sebagian juga bersekolah di SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam.

SDN Perwira

(38)

menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan atau potensi peserta didik.

Karakteristik Contoh Usia

Usia contoh pada penelitian berkisar antara 6 sampai 16 tahun. Contoh sebagian besar (43,3%) berusia 8-9 tahun. Pengelompokkan usia hanya dilakukan untuk melihat sebaran anak penyandang autis pada setiap kelompok usia satu tahun.

Contoh sebagian besar (93,40%) termasuk pada kategori usia anak sekolah. Menurut Hurlock (1999), masa ini merupakan masa akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Golongan umur anak sekolah ini belum mencapai dewasa dan merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam konsumsi pangannya. Pola makan pada masa ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa.

Anak autis yang semakin cepat terdeteksi dan ditangani maka semakin besar kemungkinan untuk membaik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Budhiman (1999) dalam Kusumayanti D et al. (2005) bahwa hal tersebut dimungkinkan karena sel otak pada usia dini masih dapat dirangsang untuk membentuk cabang baru, sehingga modifikasi perilaku yang bersifat positif masih mungkin dikembangkan pada anak penyandang autis.

Tabel 3 Distribusi jenis kelamin contoh berdasarkan usia

Usia (tahun)

Jenis kelamin Total

Laki-laki Perempuan

n % n % n %

6-7 2 6,7 2 6,7 4 13,3

8-9 10 33,3 3 10,0 13 43,3

10-11 4 13,3 2 6,7 6 20,0

12-13 5 16,7 0 0,0 5 16,7

14-15 1 3,3 0 0,0 1 3,3

16-17 1 3,3 0 0,0 1 3,3

Total 23 76,7 7 23,3 30 100,0

Jenis Kelamin

(39)

bahwa prevalensi anak laki-laki penyandang autis tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan.

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).

Karakteristik Keluarga Contoh Besar Keluarga

Besarnya jumlah anggota keluarga mempengaruhi pemenuhan konsumsi makanan dari masing-masing anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan makanan yang dikonsumsi. Jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga (Suhardjo 2003).

Tabel 4 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga. Contoh sebagian besar (70%) berasal dari keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga antara 3-4 orang. Keluarga contoh umumnya terdiri dar

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi
Tabel 2  Jenis, variabel dan cara pengumpulan data
Tabel 10  Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, alasan kedatangan, dan keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan
Tabel 19  Distribusi status gizi (indeks BB/U dan TB/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis
+7

Referensi

Dokumen terkait

73.08 Structures (excluding prefabricated buildings of heading 94.06) and parts of structures (for example, bridges and bridge-sections, lock-gates, towers, lattice masts,

Kepada seluruh Pengurus Dewan Paroki Harian, Para Koordinator Wilayah, Ketua Lingkungan, Ketua Seksi, Kepala Bagian, Ketua Komunitas Kategorial dan Seluruh Pengurus OMK

Pada skripsi ini dirancang wireless air mouse sebagai alat bantu presentasi menggunakan sensor inersia yang terdiri dari akselerometer dan giroskop sebagai

&#34;alam pelayanan, kesan pertama saat penerimaan pasien merupakan hal yang turut menentukan dalam mem#erikan kepuasan kepada masyarakat sesuai dengan prinsip pelayanan

Agar aktifitas yang dilakukannya lebih bermanfaat maka dari itu dengan membiasakan anak – anak membaca buku pop up cerita dongeng Cindelaras, yang diharapkan anak –

Seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pergeseran peran lingkungan keluarga ini berimbas pada proses pendidikan dan hasil pendidikan, dapat dilihat dari

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala keluarga dan minat belajar dengan

PBI tentang Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu pada pasal 1 angka 10 yang