• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIO TRACE

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkembangan industri berbasis hayati termasuk hayati laut dengan memanfaatkan senyawa biologi seperti enzim yang berasal dari mikroorganisme seperti bakteri dan kapang saat ini terus ditingkatkan di berbagai negara. Telah banyak peneliti yang mengisolasi bakteri baru dan memanfaatkan senyawa metabolit bakteri tersebut. Salah satu sumber yang dapat dimanfaatkan pada sektor Kelautan dan Perikanan yaitu limbah hasil pengolahan rumput laut. Mengingat bahwa 75% wilayah Indonesia terdiri atas perairan laut, maka berbagai jenis rumput laut telah banyak dimanfaatkan untuk produk pangan seperti agar- agar maupun karagenan. Pengolahan agar-agar memanfaatkan rumput laut jenis Glacilaria sp., sedangkan karagenan menggunakan rumput laut jenis Eucheuma sp. Berbagai industri rumput laut akan menghasilkan limbah sekitar 65-70% dari bahan baku segar yang masuk dan diolah (Kim et al. 2008).

Peningkatan pengolahan rumput laut Glacilaria sp. untuk diolah menjadi agar-agar tentu saja akan meningkatkan jumlah limbah rumput laut sehingga akan menjadi masalah pencemaran karena limbah tersebut mengandung selulosa yang sulit larut dalam air. Limbah rumput laut Glacilaria sp. mengandung selulosa sebanyak 15-25% (Kim et al. 2008). Salah satu alternatif pemanfaatan yang dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan bakteri asal limbah rumput laut tersebut. Bakteri yang hidup pada limbah ini diduga dapat menghasilkan enzim yang dapat menguraikan limbah selulosa menjadi sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. Enzim yang dihasilkan oleh bakteri tersebut dapat menghidrolisis limbah selulosa menjadi glukosa, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk fermentasi dalam memproduksi bioetanol. Pemanfaatan limbah selulosa dan bakteri penghasil enzim penghidrolisis selulosa dapat memberikan peluang pada pengembangan bioenergi dari bahan hayati laut.

Enzim selulase adalah suatu sistem enzim yang terdiri atas tiga tipe enzim utama yaitu kompleks endo-β-1,4-glukanase (CMCase, Cx selulase endoselulase, atau carboxymethyl cellulase), kompleks ekso-β-1,4-glukanase (aviselase, selobiohidrolase, C1 selulase), dan β-1,4-glukosidase atau selobiase (Crueger &

Crueger 1984). Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis mendegradasi selulosa dan melepaskan gula reduksi (selobiosa dan glukosa) sebagai produk akhirnya (Deng & Tabatabai 1994). Enzim selulase akan memutuskan ikatan glikosidik β- 1,4 di dalam selulosa yang memiliki ikatan β-1,4-glikosidik pada polimer glukosanya (Jeong et al. 2004) sehingga menjadi gula sederhana turunannya.

Proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan asam dan suhu tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang besar serta dapat mengakibatkan degradasi produk monosakarida yang dihasilkan sehingga produk yang akan dihasilkan rendah. Riyanti (2008) juga melaporkan efisiensi proses hidrolisis dengan asam masih rendah karena proses yang dilakukan cukup panjang dan membutuhkan banyak tahap. Kekurangan lain dari proses ini antara lain penanganan limbah asam yang tidak mudah. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase (Coral et al. 2002). Hidrolisis secara enzimatik akan berjalan spesifik dan efisien sehingga produk yang akan dihasilkan lebih tinggi dan menghasilkan produk monosakarida dengan biaya produksi rendah.

Pemanfaatan mikrob dalam menghasilkan enzim selulase akan menjadi alternatif yang akan terus dikembangkan karena produksi enzim dari mikrob memiliki beberapa keuntungan. Jika dibandingkan dengan sel hewan maupun tumbuhan, sel mikrob relatif mudah ditumbuhkan, relatif lebih singkat kecepatan pertumbuhannya, skala produksi sel besar dan lebih mudah ditingkatkan, biaya produksi relatif rendah disebabkan waktu yang dibutuhkan untuk produksi enzim lebih singkat, dan kondisi selama produksi tidak tergantung musim (Poernomo & Djoko 2003). Beberapa contoh bakteri penghasil enzim selulase, yaitu Bacillus amyoliquefaciens DL-3 (Jung et al. 2008), B. pumilus EB3 (Arifin 2006), B. flexus (Trivedi et al. 2011), B. licheniformis C108 (Aygan et al. 2011), Cellulomonas biazotea (Rajoka & Malik 1997), C. flavigena (Ponce & Torre 2001), Streptomyces sp. galur J2 (Jaradat et al. 2008), S. ruber (El-Sersy et al. 2010), Pseudomonas sp (Gautam et al. 2010), P. fluorescens sub sp. cellulosa (Shimada et al. 1994). Beberapa isolat bakteri penghasil enzim selulase untuk bioetanol yaitu Escherichia coli KO11 (Jong et al. 2011), Zymomonas mobilis

NRRL-B-14023 (Ruanglek et al. 2006), Z. mobilis ATCC 10988 (Tanaka et al. 1999).

Selain dalam bidang industri, pemanfaatan enzim selulase dari bakteri dapat memberikan solusi dalam masalah pencemaran yakni mengurangi jumlah limbah selulosa, salah satunya dari industri pengolahan agar-agar dan karagenan, dan mendapatkan produk bernilai tambah dari pemanfaatan limbah rumput laut tersebut. Balai Besar Penelitian Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan (BBP4BKP) telah melakukan eksplorasi mikrob dari rumput laut termasuk limbah pengolahan rumput laut. Beberapa isolat bakteri yang memiliki aktivitas selulase ekstraseluler yaitu isolat PMP 0126y berhasil diisolasi dari limbah pengolahan agar-agar rumput laut Glacilaria sp. dari daerah Pameungpeuk, Garut Jawa Barat (Munifah et al. 2011).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi, melakukan pemurnian parsial, dan mengkarakterisasi enzim selulase yang dihasilkan oleh isolat PMP 0126y penghasil enzim selulase dari limbah pengolahan rumput laut Glacilaria sp., serta melakukan identifikasi secara molekuler bakteri tersebut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai bakteri penghasil enzim selulase dari limbah rumput laut dan enzim yang dihasilkan nantinya diharapkan dapat diaplikasikan dalam proses produksi bioetanol berbahan dasar limbah rumput laut.

TINJAUAN PUSTAKA

Selulosa

Selulosa merupakan polimer karbohidrat terbanyak yang terdapat di alam (Han & Chen 2007). Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan bersama-sama dengan hemiselulosa dan pektin. Komposisi selulosa dalam tumbuhan dapat mencapai 40-50% dari massa tumbuhan sehingga selulosa merupakan biopolimer terbarukan yang paling berlimpah di alam (Milala et al. 2005). Classen (1999) menambahkan bahwa diperkirakan 50% dari biomassa tumbuhan berupa selulosa dan jumlahnya sekitar 50 milyar ton. Selulosa merupakan polimer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4-D-glukosidik (Gambar 1).

Gambar 1 Struktur serat selulosa (Beguin & Aubert 1994).

Polimer glukosa tersusun secara paralel dan berikatan silang membentuk struktur kristalin yang disebut mikrofibril. Panjang mikrofibril ini bervariasi dari 2.000-15.000 unit glukosa, tergantung organismenya. Bentuk mikrofibril selulosa ditentukan oleh kompleks geometri sintase dan lingkungan lokal. Pada tumbuhan, unit mikrofibril mempunyai jumlah sekitar 3-4 unit dan terdiri atas sekitar 36 rantai selulosa dan seringkali dikemas dalam bentuk lebih besar (Doblin et al. 2002).

Mikrofibril pada selulosa memiliki orientasi beragam, tersusun secara pararel, dan setiap molekul glukosa dapat berotasi hingga 1800 (Beguin & Aubert 1994; Brown 1996). Mikrofibril ini pada tempat-tempat tertentu memiliki struktur yang teratur (crystalin) dan pada tempat-tempat tertentu memiliki struktur yang

kurang teratur (amorphous). Struktur amorphous terjadi karena proses kristalisasi yang berlangsung secara tidak sempurna pada mikrofibril yang terbentuk (Gambar 2). Dimensi serat selulosa dan proporsi dari bagian kristalin dan amorf sangat tergantung pada keadaan alaminya (Linder & Teeri 1997). Setiap serat selulosa tersusun oleh kira-kira 3.000 molekul glukosa dan berat molekulnya diperkirakan mencapai 500.000 (Hardjo et al. 1984).

Gambar 2 Struktur selulosa teratur (kristalin) dan kurang teratur (amorphous) (Beguin & Aubert 1994).

Secara alamiah molekul selulosa tersusun dalam fibril yang terdiri atas beberapa molekul glukosa yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen yang kuat mengakibatkan dapat tahan terhadap tarikan tinggi. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin, oleh karena itu sumber selulosa dari tumbuh-tumbuhan sulit sekali dihidrolisis secara langsung oleh katalis asam. Molekul selulosa berbentuk lurus dan tidak pernah bercabang, serta gugus hidroksilnya bebas membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil molekul selulosa lainnya yang terletak sejajar (paralel) dengannya (Beguin & Aubert 1994).

Rumput Laut

Selulosa juga diproduksi oleh tanaman laut yaitu rumput laut (Linder & Teeri 1997). Rumput laut merupakan makroalga laut yang dapat digolongkan ke dalam alga merah, alga hijau, dan alga coklat. Rumput laut tidak memiliki daun, batang, dan akar sejati. Akan tetapi, bagian tubuhnya disebut dengan talus, dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak, persegi dengan kulit keras, dan lumut raksasa. Uji proksimat yang dilakukan pada ampas rumput laut kering

didapatkan presentase masing-masing komponen kadar air sebesar 11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1,86%, kadar serat kasar 8,96% dan karbohidrat 41,43% (Harvey 2009).

Jenis rumput laut yang telah banyak dimanfaatkan berasal dari marga Euchema, Gelidium, Gracilaria, Hypnea, dan Sargassum. Selain itu, terdapat jenis lainnya seperti Caulerpa dan Dictosphaeria masih dimanfaatkan dalam skala kecil untuk konsumsi lokal (Atmadja et al. 1996). Beberapa jenis rumput laut memiliki komposisi kandungan selulosa maupun kandungan senyawa kimia lainnya yang berbeda. Berikut ini komposisi kimia dari beberapa jenis rumput laut (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut (Kim et al. 2008)

Jenis alga Selulosa

(%) Galaktan (%) Karbo- hidrat (%) Protein (%) Lipid (%) Alga merah Gelidium amansii, marocco

Gelidium amansii, joju Glacilaria E. cottonii 16,8 23 19,7 7,1 55,2 56,4 54,4 43,4 72,0 79,4 74,1 50,5 21,1 11,8 11 4,9 6,9 8,8 14,9 44,6 Alga hijau Codium fragile 10,9 47,8 58,7 34,7 6,6 Alga coklat Undaria pinattinda Laminaria japonica 2,4 6,7 38,7 40,0 41,1 46,7 24,2 12,2 34,7 38,1

Rumput laut Glacilaria sp. banyak dimanfaatkan dalam industri pengolahan agar-agar. Limbah industri agar-agar yang dihasilkan mengandung selulosa sebesar 15-25% (Kim et al. 2008). Selain itu, limbah agar-agar Glacilaria sp. merupakan salah satu sumber bakteri yang berpotensi menghasilkan enzim selulase. Pemanfaatan limbah agar-agar dan enzim selulase dari bakteri tersebut memegang peranaan yang sangat penting dalam pengembangan bioenergi.

Enzim Selulase

Enzim selulase atau enzim yang dikenal dengan nama sistematik β-1,4 glukan-4-glukano hidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis selulosa

dengan memutus ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodektrin, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya menjadi gula sederhana atau glukosa. Sistem

pemecahan selulosa menjadi glukosa terdiri atas tiga jenis enzim selulase yaitu endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-glukosidase. Endo-β-1,4- glukanase menyerang bagian tengah rantai secara random, ekso-β-1,4-glukanase (selobiohidrolase) memecah unit-unit disakarida (selobiosa) dari ujung rantai, dan

β-glukosidase memecah selobiosa menjadi glukosa (Da silva et al. 2005) (Gambar 3).

Gambar 3 Pemecahan selulosa menjadi glukosa oleh enzim selulase.

Menurut Enari (1983) (Tabel 2) demikian pula Prescott dan Dunns (1981) (Gambar 4) mengelompokkan enzim utama selulase berdasarkan kespesifikan substrat masing-masing enzim yaitu :

1. Endo-β-1,4-glukanase (β-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase, EC 3.2.1.4)

menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak. Enzim ini dapat bereaksi dengan selulosa kristal tetapi kurang aktif. Enzim ini secara umum dikenal sebagai CMC-ase atau selulase Cx.

2. β -1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91) atau secara umum dikenal dengan selulase C1, menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan membebaskan selobiosa.

3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74) menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan membebaskan glukosa. Enzim ini menghidrolisis selulosa yang telah dilunakkan dengan asam fosfat, selo- oligosakarida dan CMC.

4. β-1,4-glikosidase (β-1,4-D-glukosida glukohidrolase, EC 3.2.1.21) menghidrolisis selobiosa dan rantai pendek selo-oligosakarida yang menghasilkan glukosa. Enzim ini tidak dapat memecah selulosa dan selodekstrin.

Gambar 4 Klasifikasi enzim selulase (Prescott & Dunns 1981).

Tabel 2 Hidrolisis berbagai substrat oleh enzim selulase (Enari 1983)

Jenis Enzim selulolitik Substrat Selulosa kristalin CMC Selulosa amorf Selotetraosa Selobiosa Endoglukanase - + + + - Selobiohidrolase + - + + - β- Glukosidase - - - + +

Berdasarkan kelarutannya, selulosa dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu substrat yang larut dalam air dan substrat yang tidak dapat larut dalam air beserta enzim selulase yang menghidrolisis substrat tersebut (Tabel 3).

Enzim selulase β-1,4 glukanase β-1,4-glukan glukohidrolase β-1,4-glukan selobiohidrolase (=C1 selulase) Endo-β-1,4-glukanase (=Cx-selulase) Ekso-β- 1,4, glukanase β-1,4 glukosidase

Tabel 3 Substrat selulosa berdasarkan kelarutan air dan jenis enzim selulase (Zhang et al. 2006)

Substrat Selulosa Enzim Selulase

Larut dalam air

-Rantai pendek (derajat polimerisasi rendah) Silodekstrin

Radio-labeled selodekstrin -Turunan silodekstrin

β-methyllumberlliferil oligosakarida p-nitrofenol oligosakarida

-Turunan selulosa dengan rantai panjang Carboxymethylecellulose (CMC) Dye CMC

Tidak larut dalam air -Selulosa kristalin

Katun, selulosa mikrokristalin (Avisel), selulosa bakteri

-Selulosa Amorf – PASC -Dyed Selulosa

-Kromogenik dan turunan fluoreforik Trinitrofenil-karboksimetilselulase (TNP-CMC) -Flurant Selulosa -α-selulosa Endo, ekso, BG Endo, ekso, BG Endo, ekso, BG Endo, ekso, BG Endo Endo Total,endo, ekso Total, endo.ekso Total, endo Endo Endo, total Total

Endo ; endoglukanase, Ekso ; eksoglukanase, BG ; glukosidase, Total ; ketiga tipe enzim selulase.

Perbedaan antara masing-masing enzim selulase terletak pada kespesifikan struktur di sekeliling substrat. Perbedaan kespesifikan dari enzim endoglukanase dan selobiohidrolase bersifat tidak mutlak karena kedua enzim tersebut dapat menghidrolisis ikatan β-1,4 glukosida dari selulosa amorf. Penentuan aktivitas enzim selulase akan sulit apabila filtrat yang akan diukur aktivitas enzimnya merupakan campuran dari berbagai enzim selulase. Enzim-enzim ini tidak hanya dapat menghidrolisis substrat yang sama tetapi juga dapat bekerja secara sinergis memecah substrat yang sama, sehingga menyebabkan aktivitas yang diukur dipengaruhi oleh proporsi dari masing-masing enzim yang ada (Enari 1983).

Aktivitas enzim endoglukanase pada umumnya dapat diuji dengan substrat CMC (Carboxymethyl cellulose) sehingga enzim endoglukanase juga disebut dengan istilah CMCase, sedangkan aktivitas enzim selobiohidrolase atau

eksoglukanase seringkali diuji dengan substrat avisel sehingga enzim eksoglukanase disebut dengan aviselase (Zhang et al. 2006).

Tahapan hidrolisis selulosa tergantung kepada struktur selulosa, interaksi antara enzim selulase dengan serat selulosa, mekanisme hidrolisis enzim tersebut di alam dan inhibitor yang terbentuk. Fase adsorbsi dan pembentukan kompleks enzim substrat adalah fase kritis di dalam hidrolisis selulosa. Glukosa dan selobiosa adalah inhibitor enzim dalam menghidrolisis selulosa. Selobiosa menghambat enzim selobiohidrolase dan glukosa menghambat enzim

penghidrolisis selobiosa yaitu β-glukosidase pada kompleks enzim selulase. Selobiosa mempunyai potensi lebih kuat menjadi inhibitor dibandingkan dengan glukosa (Coughlan 1985). Laju hidrolisis enzim selulase ditentukan oleh struktur substrat (Mandels 1985). Struktur kristal lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur amorf maka hidrolisis dilakukan oleh enzim endoselulase atau endoglukanase (Coughlan 1985) (Gambar 5).

Gambar 5 Mekanisme degradasi selulosa (Beguin & Aubert 1994).

Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain derajat keasaman (pH), suhu, dan senyawa penghambat. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH sehingga apabila terjadi perubahan pH maka akan menyebabkan denaturasi enzim dan menghilangkan aktivitas enzim. Suhu memiliki peranan yang sangat penting dalam reaksi enzimatik. Ketika suhu

bertambah sampai suhu optimum, kecepatan reaksi enzim naik karena energi kinetik bertambah. Bertambahnya energi kinetik enzim akan mempercepat gerak vibrasi, translasi, dan rotasi baik enzim maupun substrat. Hal ini akan memperbesar peluang enzim dan substrat bereaksi. Ketika suhu lebih tinggi dari suhu optimum, protein enzim berubah konformasi sehingga gugus reaktif terhambat. Perubahan konformasi ini dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Substrat juga dapat berubah konformasinya pada suhu yang tidak sesuai, sehingga substrat tidak dapat masuk ke dalam sisi aktif enzim (Ottaway 1984).

Selain pH dan suhu, faktor lain yang mempengaruhi aktivitas selulase yaitu adanya senyawa penghambat berupa ion logam. Penghambatan tersebut dapat dinetralkan dengan menambahkan sistein sehingga aktivitas enzim dapat berlangsung kembali (Kulp 1975). Beberapa senyawa logam dan senyawa lainnya yang dapat menghambat aktivitas selulase ialah Hg2+, Ag2+, dan Cu2+ (Deng & Tabatai 1994; Oikawa et al. 1994), glukanolakton (Kulp 1975), surfaktan, senyawa pengkelat khususnya Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetyc Acid (EDTA) (Oikawa et al. 1994), laktat dalam konsentrasi agak rendah (Chesson 1987), dan etanol serta alkohol lainnya (Ooshima et al. 1985). Senyawa penghambat tersebut dapat menekan seluruh kecepatan hidrolisis dengan menghambat adsorbsi eksoglukanase dan endoglukanase pada selulosa, dan menghambat aksi sinergis eksoglukanase dan endoglukanase yang bekerja pada permukaan selulosa.

Mikroorganisme Penghasil Enzim Selulase

Mikroorganisme didefinisikan sebagai organisme yang berukuran sangat kecil (biasanya kurang dari 1 milimeter) sehingga untuk mengamatinya diperlukan bantuan mikroskop atau alat pembesar. Mikroorganisme dapat berupa sel tunggal atau kelompok sel yang mempunyai kemampuan untuk mengatur proses hidupnya tanpa bergantung sel lainnya. Mikroorganisme terdiri atas bakteri, virus, dan cendawan (fungi) yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik secara morfologi, ekologi, dan fisiologi. Bakteri merupakan sel prokariot dengan rRNA bakteri yang dihubungkan oleh ikatan ester dan membran lipid yang merupakan diasil gliserol dieter (Madigan et al. 2000).

Beberapa contoh genus bakteri yang diketahui mempunyai aktivitas selulolitik ialah Acetobacter, Bacillus, Clostridium, Cellulomonas, Pseudomonas, Cytophaga, Sarcina, dan Vibrio, sedangkan contoh genus cendawan yang mempunyai aktivitas selulolitik ialah Bulgaria, Chaetomium, Helotium, Coriolus, Phanerochaete, Poria, Schizophyllum, Serpula, Aspergillus, Cladosporium, Fusarium, Geotrichum, Myrothecium, Paecilomyces, Penicillium, dan Trichoderma (Rao 1994). Beberapa jenis organisme juga dapat menghasilkan enzim selulase seperti rayap (Watanabe & Tokuda 2001), remis (Xu et al. 2000), dan arabidopsis.

Di alam, degradasi selulosa kebanyakan dilakukan oleh mikroorganisme aerobik. Mikroorganisme aerobik menghasilkan enzim selulase nonkompleks yang terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase, dan glukosidase yang bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis selulosa. Mikroorganisme anaerobik menghasilkan enzim selulase kompleks yang disebut selulosom (Doi et al. 2003; Bayer et al. 2004). Meskipun mikroorganisme anaerobik hanya menyumbang sekitar 5-10% dari biodegradasi total selulosa di alam, namun peranannya sangat penting karena bertanggung jawab terhadap degradasi daerah anoksik pada danau, laut, dan saluran pencernaan hewan pemamah biak maupun rayap, yang tidak dapat dilakukan oleh mikroorganisme aerobik (Zhang et al. 2006).

Pemekatan Enzim

Pada tahap awal pemurnian enzim biasanya dilakukan klarifikasi dan pengendapan protein enzim. Klarifikasi berfungsi memisahkan larutan enzim dari partikel-partikel yang tidak larut, misalnya debris sel dan partikel substrat. Klarifikasi dapat dilakukan dengan penyaringan atau sentrifugasi. Pemekatan protein enzim merupakan tahap awal dari prosedur pemurnian enzim sebelum tahap pemurnian berikutnya atau dapat pula digunakan untuk keperluan analisis enzim. Pemekatan protein enzim berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi protein enzim, mereduksi volume larutan enzim, dan memisahkan protein enzim dengan protein pengotor yang lain (Harris 1989).

Pemekatan protein dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu analitik dan preparatif (penyiapan). Metode analitik menggunakan pengendapan asam (misalnya asam trikloroasetat), pengendapan organik (misalnya aseton atau

etanol), dan imunopresipitasi yang dapat menyebabkan denaturasi protein. Pemekatan protein dengan metode preparatif tetap mempertahankan aktivitas protein misalnya dengan menggunakan pengendapan garam, pengendapan dengan pelarut organik, pengendapan dengan polimer organik, ultrafiltrasi, liofilisasi, dan dialisis (Harris 1989).

Metode pengendapan protein yang biasa dilakukan dalam pengendapan selulase ialah dengan menggunakan amonium sulfat (Jung et al. 2008) dan ultrafiltrasi (Arifin 2006). Amonium sulfat merupakan garam yang paling sering digunakan untuk mengendapkan protein karena memiliki daya larut tinggi di dalam air, relatif tidak mahal, dan kestabilan protein di dalam larutan amonium sulfat (2M- 3M) tahan bertahun-tahun (Scopes 1987).

Prinsip pengendapan dengan garam berdasarkan pada kelarutan protein yang berinteraksi polar dengan molekul air, interaksi ionik protein dengan garam, dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama. Kelarutan protein (pada pH dan suhu tertentu) meningkat pada kenaikan konsentrasi garam (salting in). Kenaikan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Pada penambahan garam dengan konsentrasi tertentu menyebabkan kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein. Peristiwa ini mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian mengendap (Harris 1989; Scopes 1987).

Garam berlebih yang terdapat di dalam larutan enzim setelah tahap fraksinasi dapat dihilangkan dengan cara dialisis. Pada tahap dialisis, protein ditempatkan di dalam kantung (membran) semipermeabel yang direndam di dalam larutan bufer tertentu. Molekul yang berukuran kecil akan ke luar melalui membran, dan molekul yang berukuran besar akan tertahan di dalam membran dialisis. Ukuran pori kantung dialisis yang terbuat dari bahan selulosa asetat berdiameter 1-20 nm. Ukuran ini menunjukkan berat molekul minimum yang dapat tertahan di dalam membran. Selain dengan dialisis, penghilangan garam dapat dilakukan dengan filtrasi gel. Metode ini biasanya diterapkan untuk sampel yang sedikit, yaitu tidak melampaui 25-30% volume kolom untuk mendapatkan resolusi yang memadai antara protein dan garam. Matriks filtrasi gel memiliki

pori yang berukuran kecil, misalnya Sephadex G-25 buatan Phamacia. Kekurangan metode ini adalah terjadi pengenceran sampel protein (Harris 1989). Ultrafiltrasi merupakan suatu metode untuk mengkonsentrasikan protein dengan menekan cairan larutan protein enzim supaya tertahan di dalam membran. Ukuran cairan yang akan ditahan (retentat) dan yang dikeluarkan (permeat) sesuai dengan ukuran membran yang digunakan. Prinsip pemisahan dengan ultrafiltrasi adalah pemisahan komponen berdasarkan berat molekul (Bollag & Edelstein 1991). Pemisahan komponen ini terjadi karena adanya membran ultrafiltrasi. Membran ultrafiltrasi berfungsi sebagai penghalang (barrier) tipis yang sangat selektif di antara dua fasa, hanya dapat melewatkan komponen tertentu dan menahan komponen lain dari suatu aliran fluida yang dilewatkan melalui membran (Mulder 1996). Proses membran ultrafiltrasi merupakan upaya pemisahan dengan membran yang menggunakan gaya dorong beda tekanan yang dipengaruhi oleh ukuran dan distribusi pori membran (Malleviale 1996).

Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom pada prinsipnya yaitu pengaliran suatu cairan melalui kolom yang mengandung bahan pengisi dan substanta yang ingin dipisahkan menjadi beberapa komponen dengan adanya perbedaan terhadap daya ikat bahan pengisi (Tabel 4).

Tabel 4 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein (Ersson et al. 1998)

Sifat Protein Jenis Kromatografi

Ukuran dan bentuk Filtrasi gel

Muatan neto dan distribusi grup bermuatan

Penukar ion

Titik isoelektris Kromatofokusing

Hidrofobisitas Interaksi hidrofobik dan fase balik Pengikatan logam Afinitas ion logam terimobilisasi Kandungan tiol yang terbuka Kovalen

Afinitas biospesifik terhadap ligan, inhibitor, reseptor, antibodi, dsb

Afinitas

Teknik kromatografi kolom banyak digunakan dalam bioteknologi untuk mengamati tingkat kemurnian dan stabilitas protein (Neville 1998). Beberapa peneliti melakukan pemurnian enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dengan berbagai teknik kromatografi kolom (Tabel 5).

Tabel 5 Teknik kromatografi yang digunakan pada pemurnian selulase

Selulase Metode Kromatografi Sumber

Endoglukanase dari Sinorhizobium fredii

Penukar ion, interaksi hidrofobisitas

Po et al. (2004)

Endoglukanase dari Mucor circinelloides

Gel filtrasi Saha (2003)

Endoglukanase dari Bacillus sp

Penukar ion, gel filtrasi Mawadza et al. (2000)

Endoglukanase dari Bacillus sp

Penukar ion Singh et al. (2004)

Endoglukanase dari Pseudomonas fluorescens

Penukar ion, gel filtrasi Bakare et al. (2005)

Endoglukanase dari Bacillus sp

Penukar ion Ji et al. (2005)

Endoglukanase dari Bacillus pumilus

Gel filtrasi, penukar ion Christakopoulus et al. (1999)

Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom (Scopes 1987). Kromatografi penukar ion memisahkan protein berdasarkan muatan bersih protein dan kekuatan relatif dari muatan bersih protein tersebut. Kromatografi penukar ion memerlukan

Dokumen terkait