• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi, dimana rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi – pribadi penguasa.

Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasinya suatu Negara. Dapat kita lihat dari pengertian demokrasi itu sendiriyang secara normatif adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ungkapan ini diterjemahkan dalam setiap negara yang menganut demokrasi, di Indonesia tercantum di dalam UUD 1945 (setelah Amandemen) pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang – Undang Dasar, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana – sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar – benar mulus lurus, benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan tidak dimanipulasikan untuk

kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruh keuntungan dan memperkaya diri.1

Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum), yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak menduduki kursi dilembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu, rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang di nilai sesuai dengan aspirasinya.2

Pembahasan mengenai partisipasi politik masyarakat adalah persoalan menarik untuk diperbincangkan. Melalui partisipasi politik yang diartikan sebagai:

Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi – pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat individual maupun kolektif, terorganisir ataupun spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.3

Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah – daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam Undang – undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintah daerah, pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan disentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang – undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit – unit sub nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok – kelompok fungsional

1

Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158. 2

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007,h.173-174. 3

Samuel P. Hungtington; Joan M. Nelson, Partisipasi Politik diNegara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. hal.5.

atau organisasi atau non-pemerintahan swasta.4 Otonomi daerah merupakan bagian dari sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreatifitasnya.5

Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.6

Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang meliputi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan,7 sehingga dilakukanlah pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintahan N0. 6 Tahun 2005 mengenai tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah, yang merupakan tonggak baru penegakkan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia.

Partisipasi politik merupakan kehendak sukarela masyarakat baik individu maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan umum. Sebagaimana dikemukakan oleh ‘Herbert Miclosky” (1991:9) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui dimana mereka mengambil bagian dalam proses pemulihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

4

Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.20. 5

M. Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu lokal, Medan:USU Press, 2005, h.63. 6

Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h.ix-x. 7

Dalam hal ini setiap sikap dan perilaku politik individu seyogyanya mendasari pada kehendak hati nurani secara suka rela dalam konstest kehidupan politik. Partisipasi politik amat urgen dalam kontes dinamika perpolitikan di suatu masyarakat. Sebab dengan partisipasi politik dari setiap individu maupun kelompok masyarakat maka niscaya terwujud segala yang menyangkut kebutuhan warga masyarakat secara universal. Sehingga demikian, keikutsertaan individu dalam masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kepentingan umum. Dan paling ditekankan dalam hal ini terutama sikap dan perilaku masyarakat dalam kegiatan politik yang ada. Dalam artian setiap individu harus menyadari peranan mereka dalam mendirikan kontribusi sebagai insan politik. Dalam hal ini peranan meliputi pemberian suara, kegiatan menghadiri kampanye serta aksi demonstrasi. Namun kegiatan-kegiatan sudah barang tentu harus dibarengi rasa sukarela sebagai kehendak spontanitas individu maupun kelompok masyarakat dalam partisipasi politik.

Dengan kegiatan-kegiatan politik ini pula, intensitas daripada tingkat partisipasi politik warga masyarakat dapat termanifestasi. Oleh karena itu, sikap dan perilaku warga masyarakat dalam kegiatan politik berupa pemberian suara dan kegiatan kampanye dalam pemilihan kepala daerah merupakan parameter dalam mengetahui tingkat kesadaran partisipasi politik warga masyarakat. Paling tidak warga masyarakat ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik sekaligus mengambil bagian untuk mempengaruhi pemerintah dalam keputusan politik. Pemilihan kepala daerah sebagai wahana menyalurkan segala aspirasi masyarakt melalui suksesi dalam pemilihan kepala daerah, peran warga masyarakat terutama dalam mempengaruhi keputusan politik sangat prioritas.

Dengan adanya pemilihan kepala daerah setiap individu maupun kelompok masyarakat dapat memanifestasikan kehendak mereka secara sukarela, tanpa pengaruh dari siapapun. Dalam hal ini setiap anggota masyarakat secara langsung dapat memberikan suara dalam pemilihan serta aktif dalam menghadiri kegiatan-kegiatan politiknya, seperti kampanye. Namun keaktifan anggota masyarakat baik dalam memberikan suara maupun kegiatan kampanye tentu harus didorong oleh sikap orientasi yang begitu tinggi. Dan disamping itu pula kesadaran dan motivasi warga masyarakat dalam kegiatan politik sebagaimana di kemukakan tadi sangat penting untuk menopang tingkat partisipasi politik terhadap pemilihan kepala daerah. Karena dengan adanya sikap antusias dari warga masyarakat dalam partisipasi politik tentu membawa pada konsekuensi pada tatanan politik yang stabil.

Oleh karena kesadaran dan pemahaman politik merupakan penunjang dalam mewujudkan stabilitas politik masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman politik pula setiap sikap dan perilaku masyarakat secara partisipasi dapat terwujud sebagaimana mestinya. Namun demikian sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam partisipasi politik kadang kala mengarah pada sikap apatis, sinisme, dan arogan sehingga yang demikian ini mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan kepala daerah, yang akhirnya mereka enggan memberikan suara dalam pemilihan dan juga tidak menghadiri kegiatan-kegiatan politik (kampanye). Fenomena-fenomena ini selalu muncul dimana-mana lebih-lebih lagi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Pilkada Kota Medan sudah dilaksanakan secara langsung sebanyak 2 (dua kali) yaitu tahun periode 2005 -2010 yang dimenangkan oleh Abdillah – Ramli dan periode 2010-2015. Tanggal 12 Mei 2010 adalah pilkada kedua yang dilaksanakan secara langsung, 1,9 juta lebih warga Kota Medan akan memberikan suaranya untuk memilih

Wali Kota dan wakil Wali Kota Medan untuk periode 2010-2015. Ada sepuluh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan yang ikut serta dalam pemilukada Kota Medan dan telah lulus dalam verifikasi oleh pihak KPUD Medan. Calon tersebut adalah:

1. Pasangan Sjahrial – Yahya 2. Sigit – Nurlisa Ginting

3. Indra Sakty Harahap – Delyuzar 4. Bahdin Nur Tanjung – Kasim 5. Joko – Amir

6. Rahudman – Eldin

7. Prof. Arief Nasution – Supratikno 8. Maulana Pohan – Arif

9. Ajib Syah – Binsar Situmorang 10.Sofyan Tan – Nelly

KPUD sebagai pelaksana pemilukada Kota medan telah mempersiapkan beberapa tahapan proses dari verifikasi Calon, sosialisasi tentang cara pemilihan Umum di Kota Medan sampai dengan mempersiapkan keperluan logistik yang digunakan dalam pemilukada Kota Medan. Ketua KPU Medan, Evi Novida Ginting menjelaskan jika seluruh persiapan Pilkada hampir rampung. Dijelaskannya, saat ini sebanyak 1.961.155 kartu pemilih dan kartu undangan C6 KWK untuk warga yang namanya terdaftar dalam DPT telah didistribusikan, telah memastikan seluruh logistik Pilkada yang meliputi tinta coblos, busa, paku, kertas suara dan logistik lainnya telah disampaikan ke KPPS sejak beberapa waktu lalu. “2.011.121 kertas suara yang sudah termasuk dengan kertas tambahan telah sampai ke KPPS. (kutipan dari Surat Kabar Waspada Medan).

Tanggal 12 Mei 2010 dilakukanlah Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan yang dilaksanakan di 21 Kecamatan. Dari hasil perolehan suara pada putaran I, terdapat dua pasangan yang unggul dan maju pada putaran II karena perolehan suara tidak mencapai 30% yaitu pasangan dengan nomor urut 6 Rahudman Harahap – Dzulmi Eldi dan pasangan nomor urut 10 Sofyan Tan – Nelly Armayanti.

Pilkada dua putaran ini sesuai UU No 12 tahun 2008 perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Bila merujuk pada Keputusan KPU Medan nomor 35 perubahan ke 2 tahun 2009 tentang tahapan Pilkada, putaran kedua berlangsung 16 Juni 2010, diikuti dua pasangan peraih suara terbanyak. Pilkada Medan putaran kedua sebanyak 1.961.155 pemilih. Jumlah ini menunjukkan ada sebanyak 641,199 pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Medan 2010 ini. Partisipasi pemilih Pilkada Medan ini meningkat dari putaran pertama yang hanya 34,7 persen menjadi 45 persen. Dan hasil terakhir yang diperoleh pasangan Rahudman Harahap - dzulmi Eldin memenangkan pilkada Medan periode 2010 – 2015 dengan mengalahkan pasangan Sofyan Tan – Nelly Armayanti.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada disebutkan oleh Mawardi (2008) disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut; Pertama, masyarakat secara sadar dan mandiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan pertimbangan yang didasari sikap apatis, yakni mereka meyakini bahwa para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka. Selain itu, mereka menyadari bahwa mencoblos dan tidak mencoblos memiliki makna yang sama, yakni tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan mereka. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, diakibatkan persoalan tekhnis dalam pilkada. Dalam hal ini, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggugurkan hak mereka sebagai pemilih. Persoalan DPT selama pelaksanaan pilkada menjadi masalah krusial yang sepertinya tidak memiliki solusi. Sebab serangkaian pilkada sudah berlangsung, masalah DPT yang tidak akurat tetap menyisakan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Ketiga, partisipasi juga dipengaruhi oleh kepentingan individual pemilih.

Pada penelitian ini, agar lebih objektif, peneliti memilih Kecamatan Medan Denai yang terdiri dari enam Kelurahan, yang berada di Kota Medan sebagai tempat penelitian. Kecamatan Medan Denai adalah salah satu dari Kecamatan yang ada di Kota Medan, dengan populasi penduduk sebesar 156.342 Kepala Keluarga yang ada dienam Kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Sari Mandala I, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kelurahan Denai, Kelurahan Binjai dan Kelurahan Medan Tenggara. Dari keenam Kelurahan tersebut terdapat berbagai macam Etnis yang berbeda termasuk adanya etnis Tionghoa. Pekerjaan yang berbeda sehingga menghasilkan pendapatan perekonomian yang berbeda pula. Dari berbagai ragam baik dari etnis dan lain sebagainya maka akan juga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih calon Walikota dan Wakil Walikota sesuai dengan keinginan individu masing – masing. Adapun pertimbangan yang diperhatikan peneliti dalam melakukan penelitian dengan memilih Kecamatan Medan Denai adalah karena pertimbangan subjektif. “Pertimbangan subjektif adalah pertimbangan berkisar tentang kredibilitas peneliti terhadap apa yang ditelitinya”8, yang mencakup antara lain: 1. penelitian sesuai dengan minat peneliti; 2. penguasaan teori seputar masalah; 3. sesuai disiplin ilmu yang dipelajari; 4. cukup banyak penelitian sebelumnya tentang masalah tersebut; 5. berdasarkan pertimbangan waktu; 6. pertimbangan biaya; 7. situasional masyarakat menyambut baik masalah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota MedanTahun 2010-2015 di Kecamatan Medan Denai”

8

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010-2014 di Kecamatan Medan Denai”

1.3 Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang dicapai. Pada penelitian ini penulis hanya membahas masalah :

“Menganalisa factor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010-2014 di Kecamatan Medan Denai”.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh gambaran bagaimana partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala daerah Kota Medan Tahun 2010-2014 di Kecamatan Medan Denai.

1. Untuk mengetahui bagaimana faktor Sosial Ekonomi. Kondisi Sosial Ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga pada Pilkada Kota Medan Periode 2010 – 2014.

2. Untuk mengetahui bagaimana faktor politik. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir meliputi komunikasi politik, kesadaran politik, pengetahuan masyarakat, kontrol masyarakat pada Pilkada Kota Medan Periode 2010 – 2014.

3. Untuk mengetahui bagaimana faktor nilai budaya. Kondisi nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan sikap dan kepercayaan politik pada Pilkada Kota Medan Periode 2010 - 2014

1.5 Manfaat penelitian

1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya penelitian dibidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya mengenai partisipasi politik. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi

peneliti lain yang ingin meneliti partisipasi politik, khususnya mengenai partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala Daerah.

3. Bagi Peneliti, sebagai penelitian dan memperluas khasanah dan menambah pengetahuan di bidang ilmu politik, khususnya mengenai partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah.

1.6 Kerangka Teori

Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.

Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.9 Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subagyo pada buku Metode Penelitian

dalam Teori dan Praktek, teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang

berhubungan satu sama lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.10

9

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1989, h.37. 10

Oleh sebab itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan beberapa teori-teori yang relevan dengan subjek penelitian.

1.6.1 Partisipasi Politik

Partisipasi yang meluas ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah diartikan dalam berbagai arti, apakah partisipasi politik itu hanya perilaku atau mencakup pula sikap- sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi perilaku partisipasi.

Partisipasi politik pada hakekatnya merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan sebagai warga negara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik.11

Di negara- negara yang proses modrenisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.12

Berdasarkan buku Samuel P. Huntington dan Joan Nelson13 penulis merangkum defenisi inti yang perlu dicatat dalam partisipasi politik, yakni sebagai berikut:

1. Ia mencakup kegiatan –kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap. Dimana kegiatan politik adalah yang objektif dan sikap-sikap politik yang subjektif.

11

Sudijono Sastroatmojo, Perilaku Politik, Semarang:IKIP Semarang Press, 1995, h.67. 12

Ibid 13

2. yang diperhatikan dari partisipasi politik adalah kegiatan politik warga negara preman, atau lebih tepat lagi perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara preman. Dengan demikian ada hubungan antara partisipasi-partisipasi politik dan orang – orang profesional di bidang politik. 3. yang menjadi pokok perhatian dalam partisipasi politik adalah kegiatan yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi pengembilan keputusan pemerintah. Usaha – usaha untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dapat melibatkan usaha membujuk atau menekan pejabat-pejabat untuk bertindak (atau tidak bertindak) dengan cara-cara tertentu.

4. Menurutnya bahwa partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah,tak peduli apakah kegiatan itu benar – benar mempunyai efek. Seorang partisipan politik dapat berhasil atau tidak akan dapat berkuasa atau tidak. Dalam pengertian ini, maka kebanyakan partisipan politik mempunyai kekuasaan yang kecil saja, dan hanya beberapa partisipan saja yang mencapai sukses yang cukup besar dalam politik

Pada era saat ini kita dapat melihat, bahwa tingkat partisipasi masyarakat tidak lagi dipengaruhi dimana ia tinggal atau dalam artian pedesaan atau perkotaan. “kesemuanya bergantung pada tingkat perekonomian setiap daerah apabila kita mengetahui bahwa tingkat partisipasi politik disuatu negara bervariasi sejalan dengan tingkat pembangunan ekonominya”.

Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan lebih lanjut, bahwa partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai arti, adapun pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

Partisipasi politik itu hanya perilaku, atau mencakup sikap-sikap dan persepsi-persepsi (misalnya persepsi-persepsi seseorang tentang relevansi politik bagi urusannya sendiri). Jika ditelusuri lagi secara spesifik, di dalam bukunya akhirnya didefenisikan bahwa partisipasi politik tidak hanya mencakup kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar sipelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dapat dinamakan partisipasi otonom, yang terakhir partisipasi yang dimobilisasikan. Masalah niat, dan persoalan yang berkaitan dengannya, yakni motivasi-motivasi partisipasi politik merupakan hal yang kompleks dan kontroversial.14

Banyak orang bertindak, seperti: memberikan demonstrasi, yang merupakan jenis partisipasi tetapi tidak merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan keinginan sendiri melainkan dikarenakan adanya perintah orang lain yang disebut istilah “Ward Boss”, istilah ini digunakan untuk orang-orang yang dengan menggunakan paksaan, persuasi atau dengan rangsangan-rangsangan materi mereka yang digunakan untuk memobilisasi orang-orang lain dalam usaha mengejar sasaran mereka. Dalam beberapa studi secara eksplisif tidak menganggap tindakan yang dimobilisasi atau yang dimanipulasi sebagai partisipasi politik.

Banyak tanggapan mengenai apa itu partisipasi politik, jadi jelaslah banyak partisipasi di dalam sistem – sistem politik yang demokratis dan kompetitif mengandung suatu unsur tekanan dan manipulasi. Dalam penelitian ini, partisipasi yang dimobolisasi dan yang otonom bukan merupakan kategori-kategori dikotomis

14

yang dapat di bedakan dengan satu tujuan satu sama lain. Yang benar keduanya adalah satu spectrum, terdapat perbedaan yang bersifat arbiter dan batas – batasnya tidak jelas. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan melihat partisipasi politik masyarakat yang terlihat atau yang dilakukan baik secara otonom maupun dimobilisasi yang ukurannya dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik itu sendiri.

Sebagai defenisi umum, sesuai dengan yang diartikan oleh Miriam Budiarjo 15, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Partisipasi politik juga, senantiasa mengacu pada semua bentuk kegiatan yang dilakukan dengan cara terorganisir maupun tidak.

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam buku Partisipasi Politik di Negara Berkembang mendefenisikan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal.16

Galen A. Irwin dalam tulisannya mengenai “Polotical Efficacy, Statisfaction and Participation”, partisipasi politik adalah suatu bentuk proses yang sistematis

15

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politi, PT Gramedia, Jakarta, 1982, h.12. 16

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

Dokumen terkait