• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan sumber daya manusia seutuhnya diarahkan dalam rangka perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial, termasuk didalamnya adalah pembangunan kesejahteraan sosial yang betujuan untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi oleh individu, kelompok dan masyarakat yang diakibatkan oleh situasi yang berubah-ubah.

Penyandang cacat merupakan salah satu bagian dari masyarakat Indonesia seluruhnya, terdiri dari : Penyandang cacat netra, Penyandang cacat tubuh, Penyandang cacat akibat penyakit kronis, Penyandang cacat mental atau yang biasa disebut Keterbelakangan mental dan Penyandang cacat rungu wicara.

Padahal dalam perjalanan hidup manusia, setelah melalui fase-fase kehidupan dan sampai pada tahap perkawinan, memiliki anak yang sehat secara fisik dan psikologis menjadi harapan berikutnya yang sangat besar. Namun, tidak semua harapan itu dapat menjadi kenyataan.

Sebagian kecil dari orang tua di dunia khususnya di Indonesia, memiliki anak yang sejak kecil telah memiliki kelainan. Kelainan bawaan semacam itu bisa terjadi karena selama masa kehamilan kondisi kesehatan ibu secara fisik dan atau psikologis kurang terjaga, sehingga mengganggu dan menghambat perkembangan janin di dalam kandungan. Selain itu, penyebab lain seringkali juga tidak diketahui dengan pasti, sehingga terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia

xlvii

untuk mencegahnya. Salah satu bentuk kelainan bawaan anak adalah Down Syndrome.

Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB), Bogor tahun 2007, terdapat lebih dari 300 ribu anak di Indonesia penyandang down syndrome. Angka penderita itu diseluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa.1

Down Syndrom merupakan salah satu kelainan bawaan yang terjadi karena adanya kelainan kromosom pada saat terjadinya pembuahan. Anak penyandang down syndrom selain terlihat dari penampilan fisik dengan ciri-ciri tertentu, juga disertai dengan keterbatasan kemampuan. Sehingga dengan keterbatasannya tersebut memang sulit diharapkan perkembangan yang normal seperti anak yang lahir normal.2

Anak penyandang down syndrome biasanya disertai dengan redertasi mental. Mereka memiliki penampilan wajah yang mirip satu dengan yang lainnya. Wajah mereka lebih rata daripada anak-anak normal dan mata mereka yang cenderung sipit. Mereka biasanya memiliki hidung dan mulut yang kecil, rambut lurus dan lemas serta leher yang pendek dan lebar. Ukuran tubuhnya lebih pendek daripada anak-anak seusianya yang normal dan banyak diantara mereka yang mengalami obesitas (kegemukkan). Oleh karena memiliki karakteristik seperti orang-orang asia, anak down syndrome sering disebut ”Anak-anak Mongol”.3

Dari segi kognitif atau kemampuan berfikir, mereka juga terlambat. Kebanyakan dari mereka masuk dalam golongan keterbelakangan mental ringan

1

“Keterbelakangan Mental, Mayoritas Anak Syndroma Down Karena Fakor Genetik”, Tabloid Mom and Kiddie, Edisi 08 03-16 Desember 2007, h 10

2

Http ://www.mail-archive.com/balita-anda@balita-anda.com/msg122805. html

3

Sari, Intan. Dinamika Sikap Penerimaan Orang Tua yang memiliki anak Down Syndrome. (Jakarta :Fakultas Psikologi UIN, 2007), h. 2.

xlviii

sampai sedang. Namun ini bukan berarti mereka tidak bisa apa-apa. Anak-anak ini bisa belajar mengembangkan keterampilan yang mereka punya, hanya saja mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguasai kemampuan tertentu dibandingkan anak pada umumnya. Sekarang ini banyak anak penyandang down syndrome yang tumbuh dengan baik, bisa bersekolah meski disekolah khusus dan bisa menikmati aktivitas yang sama menyenangkannya sebagaimana anak lain. Ketika dewasa, ada juga yang bisa meneruskan sekolah dan punya pekerjaan yang layak semua itu bisa terjadi dengan dukungan dan pengertian dari orang-orang yang menyayanginya.4

Di dalam kehidupan sosial, tidak semua masyarakat dapat dengan mudah menerima kehadiran anak down syndrom. Karakteristik kelainan yang jelas terlihat pada anak penyandang down syndrome dapat mengundang reaksi negatif masyarakat. Penampilan fisik mereka yang tampak jelas berbeda dapat menjadi masalah tersendiri bagi orang tua anak down syndrome dibandingkan dengan anak cacat yang lainnya yang secara fisik tidak terlihat jelas. Padahal didalam lingkungan masyarakat ini yang menimbulkan adanya interaksi individu satu dengan individu lain. Keadaan masyarakat pun akan memberikan pengaruh tertentu terhadap perkembangan individu.5 Selain mempengaruhi pembentukkan kedekatan hubungan antara orang tua dengan anak, penampilan fisik anak yang berbeda ini juga dapat mempengaruhi interaksi orang tua dengan lingkungan sekitar.

4

Hadiwidjojo. K, Vera Itibiliana. Seputar Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008) h. 128-129

5

Prof.Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum Edisi keempat (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), h.51

xlix

Hampir semua orang yang pertama kali melihat si anak akan menyadari adanya suatu kejanggalan yang membuat mereka bertanya-tanya baik dalam hati atau menanyakan secara langsung. Dan pada saat seperti ini orang tua dan si anak akan menghadapi reaksi lingkungan sekitar yang tidak umum dan terkadang terasa kurang menyenangkan bagi mereka jika harus memberikan penjelasan. Dan kenyataannya, seringkali anak yang memiliki kelainan seperti ini diasingkan dan dianggap tidak berguna karena dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya, serta adanya perbedaan fisik yang sangat menonjol. Padahal seseorang yang memiliki kelainan atau berbeda dengan yang lainnya secara fisik maupun psikis, tidak boleh diasingkan atau dikucilkan.

Hal ini sesuai dengan Surah Al-Hujuraat/49:11 berikut : 6

Artinya :

” Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-(mengolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. 49:11)

6

Al-Quran Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h.847

l

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Allah sangat melarang kaum muslimin untuk mencaci, menghina, berburuk sangka, bergunjing atau lainnya terhadap kaum muslimin lainnya, walaupun seseorang itu memiliki perbedaan fisik maupun psikis.

Perbedaan perilaku yang diterima oleh anak penyandang down syndrom, berpengaruh terhadap kepercayaan diri dan kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial atau bersosialisasi di lingkungan masyarakat, karena interaksi sosial merupakan sarana atau alat dalam mencapai kehidupan sosial. Adanya interaksi sosial merupakan naluri manusia yang sejak lahir membutuhkan pergaulan dengan sesamanya (gregoriousness).

Perlakuan yang diterima oleh anak penyandang down syndrome ini salah satu masalah didalam kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak sebagaimana yang tedapat didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Bab I Pasal I ayat 1a dan 1b adalah sebagai berikut :7

Pasal 1 (a) ”Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jamani maupun sosial.”

(b) ”Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.”

Hal ini sesuai dengan Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tentang Kesejahteraan Sosial yang tercantum dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial, pasal 2 ayat 1 adalah sebagai berikut :

Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan,dan ketentraman lahir dan bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara

7

Undang-undang Perlindungan Negara (UU RI No. 23 Th. 2002) ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h.97

li

untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan falsafah kita, yaitu pancasila.”8

Dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3039 tentang Penjelasan atas UU No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, menerangkan bahwa guna mencapai terwujudnya tujuan kesejahteraan sosial tersebut, perlu disusun berbagai program dan kegiatan yang kemudian disebut sebagai Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial. Definisi usaha-usaha kesejahteraan sosial itu sendiri adalah sebagai berikut :9

”Usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditunjukkan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial.”

Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial ini mempunyai ruang lingkup yang khusus tertuju kepada manusia sebagai perseorangan, manusia dalam kehidupan masyarakat yang karena faktor-faktor dalam dirinya sendiri atau faktor-faktor dari luar, mengalami kehilangan kemampuan melaksanakan peranan sosialnya (disfungsi sosial). Jadi, sudah sangat jelas bahwa setiap anak termasuk anak yang mengalami kecacatan mental atau keterbelakangan mental memiliki hak-hak yang sama untuk mencapai suatu kesejahteraan sosial . Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Bab II Pasal 2 ayat 1 Tentang Hak Anak, adalah sebagai berikut :10

” Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.”

8

Syarif Muhidin, Pengantar Kesejahteraan Sosial (Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997), cet. Ke-VII, h.5

9

Lembaran Negara RI Tahun 1974, No 53 : UU RI No. 6 Tahun 1974, Pasal 2 (2)

10

Undang-undang Perlindungan Negara (UU RI No. 23 Th. 2002) ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h.97

lii

Anak penyandang down syndrom yang memiliki keterbatasan intelektual belum tentu memiliki adaptasi sosial yang buruk. Perkembangan sosial anak penyandang down syndrom tidak bergantung pada kemampuan abstraksi dan integrasi, tetapi bergantung pada keahlian hidup sehari-hari sehingga adaptasi sosial mereka lebih baik daripada perkembangan kognitifnya. Hubungan dengan teman-teman usia sebaya (peer group) juga faktor yang mempengaruhi adaptasi sosial dari individu penyandang down syndrom11.

Berdasarkan pada kondisi dan permasalahan yang saat ini dialami oleh anak penyandang down syndrom, maka diperlukan sekolah khusus untuk anak down syndrom. Karena di dalam tahap menjalin hubungan interaksi sosial atau dalam tahap bersosialisasi, selain dari peranan intervensi keluarga juga tidak terlepas dari peranan intervensi sekolah atau lembaga khusus ini agar tercipta hubungan interaksi sosial yang baik.

Memang selama ini anak penyandang down syndrom penanganannya masih sering digabung dengan anak berkebutuhan khusus lain. Karena, di Indonesia khususnya di Jakarta masih sangat jarang sekali di temukan sekolah yang benar-benar khusus menangani anak penyandang down syndrome.

Salah satu sekolah luar biasa yang menangani anak penyandang down syndrom dan anak-anak yang mengalami kebutuhan khusus lainnya adalah SLB Dharma Asih. Adapun tujuan pendidikan di SLB Dharma Asih adalah untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus supaya dapat berbicara dan berkomunikasi serta beradaptasi berinteraksi, berpartisipasi aktif secara produktif

11

Kurniati, Dewi. Perbedaan Penerimaan Orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak penyandang Down Syndrome. (Jakarta : Fakultas Psikologi UIN, 2005) h. 22

liii

dengan lingkungannya dikemudian hari dapat hidup mandiri dan memiliki kecakapan hidup (life Skill).

Dan disini peneliti berusaha mempelajari sejauh mana SLB Dharma Asih menjalankan perannya sebagai sekolah luar biasa yang menangani anak penyandang down syndrome dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk membantu meningkatkan hubungan interaksi sosial mereka.

Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk memperdalam pembahasan dalam skripsi ini yang berjudul ”PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME DI SLB DHARMA ASIH”

Dengan menempatkan SLB Dharma Asih yang beralamat di Jl. Bangau Raya, Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok sebagai sampel penelitian karena pertimbangan sebagai berikut : SLB Dharma Asih sebagai sekolah luar biasa yang membantu anak-anak berkebutuhan khusus supaya dapat memiliki lifesklill, sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah sangat menunjang dalam masalah yang diteliti, tempatnya tidak terlalu jauh, keterbatasan waktu, biaya dan tenaga.

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

1.

Pembatasan Masalah

Skripsi ini hanya mengkaji pelaksanaan program di sekolah luar biasa Dharma Asih dalam meningkatkan hubungan interaksi sosial anak penyandang down syndrome dengan anak yang di observasi usia 14 tahun sampai dengan 20 tahun.

liv 2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan penulis jabarkan adalah sebagai berikut: a. Gambaran pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan oleh SLB

Dharma Asih dalam meningkatkan hubungan interaksi sosial anak penyandang down syndrome ?

b. Apa hambatan yang telah dilalui oleh SLB Dharma Asih dalam pelaksanaan program kegiatannya?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

Setelah memahami permasalahan yang diteliti, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain :

a. Untuk mengetahui gambaran program kegiatan yang dilakukan oleh SLB Dharma Asih dalam meningkatkan hubungan interaksi sosial anak penyandang down syndrome.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan kegiatan peningkatan interaksi sosial anak penyandang down syndrome.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis adalah :

1) Memberikan sumbangan pengetahuan tentang anak penyandang down syndrome terutama penjelasan dari karakteristik sosial.

lv

2) Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesejahteraan sosial pada khususnya untuk mengetahui permasalahan sosial dari segala aspek dalam membantu mencegah dan mengatasinya (kontrol sosial).

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga sebagai bahan pembelajaran untuk terus menyayangi dan mencintai anak-anak, khususnya anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Karena sejatinya agama mana pun, khususnya agama Islam melarang semua umatnya untuk menjauhi, melecehkan atau mengasingkan anak yang memiliki kelainan tersebut.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Pokok-pokok bahasan dari seluruh rangkaian penulisan skripsi terdiri dari 5 bab, yang setiap 5 bab terdiri dari sub bahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, yang meliputi Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Landasan Teori, yang meliputi Program (pengertian program,

Dokumen terkait