PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HAM harus dianggap sebagai salah satu dari beberapa pencapaian utama filsafat modern yang menjadi penentu jalan sejarah selama ratusan tahun terakhir. Alasannya adalah bahwa HAM merupakan satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal dimana sistem tersebut menawarkan seperangkat standar minimum dan aturan prosedural terhadap hubungan antar manusia yang diaplikasikan, baik dalam pemerintahan, lembaga-lembaga hukum/militer, badan usaha/bisnis, organisasi, maupun individu.1 Dewasa ini, hampir setiap negara mulai memahami akan pentingnya keterlibatan terhadap persoalan HAM dan setahap demi setahap mengupayakan terciptanya perlindungan HAM di negeri masing-masing. Setidaknya, apabila persoalan HAM tidak diperhatikan secara serius oleh suatu negara, bisa menjadi pergunjingan di antara negara-negara, bahkan dapat dikucilkan oleh dunia internasional.2
Masalah mengenai kebebasan dan HAM hingga kini masih menjadi topik pembicaraan diseluruh dunia. Hal ini mungkin karena masih banyak pelanggaran yang terjadi. Masalah hak asasi adalah masalah kemanusiaan yang terkait dengan ketidakadilan, kemelaratan, kesewenang-wenangan, dan bentuk lainnya yang mengandung unsur ketidakpedulian sosial. Salah satu masalah HAM yang menjadi topik hangat adalah isu terorisme. Pada abad 21, keamanan global sangat
1Manfred Nowak. 2003. Introduction to the International Human Rights Regime. Leiden: Martinus Nijhoff, halaman 1
2M. Afif Hasbullah. 2005. Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Di Indonesia: Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis. Lamongan: Universitas Islam Darul Ulum, halaman 1-2
Universitas Sumatera Utara ditandai dengan meningkatnya aksi teror, baik dari segi jumlah, ruang lingkup, maupun dampaknya. Contohnya, berdasarkan laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS perihal terorisme menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat hampir 13.500 serangan teror yang menewaskan hampir 33.000 orang, dengan kata lain ada peningkatan dimana pada tahun 2013 terdapat hampir 10.000 serangan teror yang menewaskan tak kurang dari 18.000 orang.3
Isu terorisme sebenarnya bukanlah masalah yang baru namun sejak serangan 11 September 2011 yang menghancurkan bangunan WTC oleh kelompok teroris membuat dunia tersentak bahwa tidak tertutup kemungkinan pada waktu yang akan datang terjadi aksi teror mengerikan lainnya, yang pada perkembangannya terbukti bahwa aksi teror terus berlanjut. Semua peristiwa teror yang terjadi menyadarkan umat manusia bahwa bahaya terorisme tidak bisa dipandang sebelah mata sehingga perlu perhatian serius untuk memeranginya, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional.4 Negara yang paling aktif memerangi terorisme adalah AS. Pada 13 November 2001, Presiden Bush memerintahkan untuk mendirikan komisi militer untuk melawan teroris. Presiden menemukan bahwa teroris internasional, termasuk anggota al Qaeda, telah melakukan serangan terhadap personil dan fasilitas diplomatik dan militer AS di luar negeri serta terhadap masyarakat dan properti di dalam wilayah AS, yang telah menciptakan keadaan konflik bersenjata yang membutuhkan penggunaan pasukan bersenjata AS.5 Tragedi serangan teroris tehadap WTC dan reaksi anti terorisme AS menjadi puncak yang menandai pergeseran sistem HI, dimana HI
3Surat Kabar Kompas. AS:Terorisme Melonjak. 21 Juni 2015, halaman 5 4
I Wayan Parthiana. 2003. Hukum Pidana Internasional & Ekstradisi. Bandung: Yrama Widya, halaman 70-71
5John C. Yoo dan James C. Ho. 2003. The Status of Terrorists. UC Berkeley School of Law Public Law and Legal Theory Research Paper. No. 136, halaman 4
Universitas Sumatera Utara yang pada hakekatnya mengatur hubungan antar negara, pada perkembangannya juga mengatur hubungan dengan non-negara.6
Sementara itu, kekhawatiran atas terorisme internasional memicu keinginan dari masyarakat yang merasa ketakutan untuk mengorbankan beberapa hak-hak untuk mendapatkan keamanan yang lebih besar. Hal ini ditandai dengan adanya operasi intelijen yang mengawasi dan mengumpulkan informasi untuk mencegah serangan teroris.7 Operasi intelijen tersebut telah dilancarkan AS melalui CIA dengan cara rahasia yang dilakukan di seluruh dunia. Namun, operasi yang bertujuan untuk mencegah terorisme malah menimbulkan pelanggaran HAM yang lain dimana berdasarkan laporan investigasi yang dilakukan oleh Komite Intelijen Senat AS menyebutkan bahwa terdapat pelanggaran HAM terhadap tahanan teroris dalam metode penahanan dan interogasi yang dilakukan oleh CIA. Laporan tersebut termuat dalam dokumen yang berjudul “Committee Study of the Central Intelligence Agency’s Detention and Interrogation Program”. Dalam dokumen tersebut termuat salah satu bentuk pelanggaran HAM adalah penyiksaan terhadap tahanan teroris. Mengenai penyiksaan tersebut sebelumnya bahwa penggunaan penyiksaan resmi oleh organ pemerintah adalah fenomena kuno yang masih banyak dipraktekkan saat ini. Penyiksaan bahkan diakui oleh banyak pemerintah sampai abad ke-19 menjadi metode resmi interogasi. Walaupun banyak pemerintah yang menghapuskan penyiksaan resmi namun berdasarkan dokumentasi laporan dari PBB dan berbagai organisasi terutama Amnesty
Internasional, tetap ada sebuah perbedaan yang mengkhawatirkan antara
6
Boer Mauna. 2008. HI: Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, halaman 728
7Michael Haas. 2008. International Human Rights: A Comprehensive Introduction. Oxon: Routledge, halaman 351
Universitas Sumatera Utara penghapusan penyiksaan resmi dan frekuensi penyiksaan sebenarnya, padahal penyiksaan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mencolok.8
Terlepas dari apa pun masalah HAM atau perdebatan terkait HAM, yang utama adalah bagaimana menjamin hak-hak asasi sekaligus memberikan bantuan langsung kepada korban pelanggaran HAM.9 Mempertimbangkan banyaknya pelanggaran HAM sistematik di hampir seluruh dunia, sudah sepantasnya timbul pemikiran bahwa perlindungan HAM tidak hanya menjadi objek kedaulatan negara, namun dalam kasus pelanggaran HAM berat atau sistematik, masyarakat internasional berwenang untuk menuntut dan mendesak pemberian hukuman bagi pelanggaran HAM tersebut, baik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh non-pemerintah.10 Pemikiran ini memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku pelanggaran HAM, dalam kasus ini berarti meminta pertanggungjawaban dari para pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM dalam metode penahanan dan interogasi CIA. Setiap masyarakat wajib memiliki hak untuk melindungi dirinya dan setiap masyarakat memiliki alasan untuk mendapat perlindungan yang layak.11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hak asasi manusia ditinjau menurut hukum internasional?
8Lyal S. Sunga. 1991. Individual Responsibility In International Law For Serious Human Rights Violations. Dordrecht: Martinus Nijhoff, halaman 80
9A. Masyhur Effendi. 1993. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia, halaman 68
10Manfred Nowak. Op.Cit., halaman 3
11Paul H. Robinson. 2001. Crime, Punishment, and Prevention. The Public Interest. VOL.142: 61-71, halaman 62
Universitas Sumatera Utara 2. Bagaimanakah program penahanan dan interogasi CIA (Central
Intelligence Agency) terhadap tahanan teroris?
3. Bagaimanakah pelanggaran hak asasi manusia dalam program penahanan dan interogasi CIA (Central Intelligence Agency) terhadap tahanan teroris?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan berdasarkan rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hak asasi manusia ditinjau menurut hukum internasional.
2. Untuk mengetahui program penahanan dan interogasi CIA (Central
Intelligence Agency) terhadap tahanan teroris.
3. Untuk mengetahui pelanggaran hak asasi manusia dalam program penahanan dan interogasi CIA (Central Intelligence Agency) terhadap tahanan teroris.
D. Manfaat Penulisan
Selain tujuan penulisan tersebut, hasil daripada penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, pembahasan atas masalah-masalah yang dirumuskan dalam penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pemahaman mengenai hukum internasional secara umum maupun hukum hak asasi manusia internasional secara khusus dan dapat menjadi sumber bahan bagi penulisan lebih lanjut. Secara praktis, pembahasan atas masalah-masalah yang dirumuskan dalam penulisan ini
Universitas Sumatera Utara diharapkan dapat menjadi kajian bagi para praktisi hukum internasional terutama bidang hukum hak asasi manusia internasional dan dapat memberikan masukan terkait pengaturan hak asasi manusia untuk pengembangan dan perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik. Selain itu juga untuk melahirkan sifat dan sikap kritis terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran kepustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan penulisan sebelumnya dengan judul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Program Penahanan Dan Interogasi CIA (Central Intelligence Agency) Terhadap Tahanan Teroris Menurut Hukum Internasional”.
Namun, sebelumnya pernah ada penulisan dari mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memiliki tema penulisan yang sama dengan tema penulisan ini, yaitu sebagai berikut:
1. Edy Syahputra Mtd., mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 990200042, dengan judul “Perlindungan Tawanan Perang Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 Sebagai Landasan Hukum Humaniter Internasional (Sebagai Suatu Tinjauan Tentang Perlakuan Tawanan Perang Di Teluk Guantanamo)”.
2. Akbar Nugraha, mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 010222011, dengan judul
Universitas Sumatera Utara “Pelanggaran HAM Berat Terhadap Tawanan Irak Di Dalam Penjara Abu Gharib”.
3. Andrew Maulia Sembiring, mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 030200131, dengan judul “Masalah Status Tawanan Perang Taliban Dan Al Qaeda Menurut Hukum Humaniter”.
Akan tetapi, penulisan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan bukti pengesahan dari pihak administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
F. Tinjauan Kepustakaan
Dalam tinjauan kepustakaan, dikemukakan beberapa pengertian dan batasan-batasan dalam membuat studi kepustakaan. Hal ini tentunya akan sangat berguna untuk membantu penulisan sesuai ruang lingkup pembahasan agar tetap berada di dalam koridor topik yang diangkat dalam permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya sehingga memudahkan pembaca untuk dapat lebih memahami apa-apa saja yang dituangkan dalam penulisan ini.
Pertama, HI menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara; negara dengan negara, negara dengan subjek non-negara, dan subjek non-negara satu sama lain.12 Hukum intemasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dan
12Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, halaman 3-4
Universitas Sumatera Utara prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa terikat untuk menaatinya, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan meliputi juga:
1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu.
2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara apabila hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.13
Mengenai sumber HI, pasal 38(1) statuta Mahkamah Internasional memuat bahwa Mahkamah dalam menyelesaikan perselisihan yang diajukan kepadanya sesuai HI berdasarkan:
1. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus.
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional, yang merupakan praktek-praktek umum yang diterima sebagai hukum.
3. Prinsip-prinsip hukum yang diakui bangsa beradab.
4. Keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi) dan ajaran-ajaran para ahli hukum yang terpandang(doktrin) sebagai bahan pelengkap.14
Selain itu, yang menjadi subjek dari HI adalah negara, organisasi internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, pemberontak, dan individu. Dewasa ini juga berkembang opini yang menyatakan bahwa perusahaan multinasional dan transnasional menjadi subjek HI.
Mengenai status individu sebagai subyek HI menjadi sebuah perdebatan karena perbedaan pendapat terhadap satus individu sebagai subyek HI. Namun, tidak dapat disangsikan bahwa individu mempunyai kepentingan atas ketentuan-ketentuan HI, dan pada perkembangannya terutama pasca Perang Dunia, terdapat
13J. G. Starke. 1992. Pengantar Hukum Internasional1: Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 3
Universitas Sumatera Utara pengakuan terbatas terhadap individu sebagai subjek HI dalam hal pelanggaran HAM dan HI yang dilakukan oleh individu, sehingga individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban.15 Ada tiga unsur penting untuk menjadi subyek dari sistem hukum:
1. Subyek memiliki kewajiban, sehingga menimbulkan tanggung jawab atas tindakan yang bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh sistem. 2. Subyek mampu mengklaim manfaat dari hak.
3. Subyek memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya yang diakui oleh sistem hukum tertentu.16
Menurut Hugo de Groot, HI mengikat karena HI itu tidak lain adalah hukum alam yg diterapkan pada kehidupan masyrakat bangsa-bangsa.17 Menurut Zorn, kekuatan mengikat HI karena atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada HI sedangkan menurut Triepel, bukan karena kehendak negara melainkan karena kehendak bersama.18 Menurut mazhab Vienna, kekuatan mengikat suatu kaedah HI didasarkan pada suatu kaedah yang lebih tinggi yang pada puncaknya ada kaedah dasar (grundnorm) dimana Kelsen mengemukakan asas pacta sund
servanda sebagai grundnorm HI.19 Sedangkan menurut mazhab Perancis, salah
satunya oleh Duguit, kekuatan mengikat HI karena faktor sosial, biologis, dan sejarah kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hasrat bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas.20
15Boer Mauna. Op.Cit., halaman 57-58 16Max Sorensen. Op.Cit., halaman 249 17
Mochtar Kusumaatmadja. Op.Cit., halaman 43-44 18Ibid., halaman 45-47
19Ibid., halaman 48 20Ibid., halaman 49-50
Universitas Sumatera Utara Menurut tradisi ada dua doktrin yang berhubungan dengan keharusan negara-negara untuk patuh pada kaedah-kaedah HI. Menurut doktrin hak-hak asasi bahwa setiap negara mempunyai hak asasi masing-masing salah satunya adalah hak untuk melakukan hubungan internasional, sedangkan menurut doktrin positivisme bahwa kaedah-kaedah HI tersebut adalah hasil persetujuan negara yang mengikat negara yang menyetujuinya.21 Tujuan utama HI lebih mengarah kepada upaya untuk menciptakan ketertiban daripada menciptakan sistem hubungan internasional yang adil, walaupun pada perkembangannya telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin keadilan bagi negara-negara dan umat manusia.22
Kedua, HAM merupakan sistem nilai kontemporer yang diakui secara universal dan secara bertahap telah dikembangkan oleh semua negara dalam kerangka HI. Konsep HAM pada hakekatnya berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih sejahtera, aman, tentram, tenang, adil, dan makmur dan sehubungan dengan itu, pandangan lama yang menganggap individu bukanlah subyek HI sudah usang.23 HI yang umum hanya mengatur negara sebagai subyek HI sedangkan hukum HAM internasional, walaupun belum sempurna mengatur individu sebagai subyek HI, namun sudah mengakui individu sebagai subyek HI.24
Hak asasi dimiliki sejak lahir oleh semua orang tanpa memandang ras, warna kulit, keyakinan, jenis kelamin, dan sejenisnya. Meskipun tidak ada konsensus tentang makna yang tepat dari istilah HAM, hampir semua orang setuju
21J. L. Brierly. 1963. Hukum Bangsa-Bangsa. Jakarta: Bhratara, halaman 52&54 22
J. G. Starke. Op.Cit., halaman 6
23A. Masyhur Effendi. Op.Cit., halaman 112
24Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman 14-15
Universitas Sumatera Utara bahwa HAM melibatkan kemampuan untuk menuntut dan menikmati kualitas hidup, keadilan yang sama di depan hukum, dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan budaya, ekonomi, dan sosial dasar. Selain itu juga mensyaratkan tanggung jawab dimana semua manusia harus saling menghormati hak dalam setiap kegiatannya.25 Setiap manusia dilahirkan merdeka mempunyai martabat dan hak yang sama, serta setiap manusia berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.26 Berdasarkan beberapa instrumen HI mengenai HAM, terdapat hak yang penerapannya tidak dapat dikecualikan meskipun dalam keadaan yang luar biasa, jadi hak-hak yang dianggap sebagai intisari HAM selalu terjamin. Berarti, setiap negara yang mengakui instrumen tersebut, apapun alasannya, tidak dapat melakukan tindakan yang mengurangi hak-hak yang menjadi intisari HAM tersebut. Adapun intisari (hard-core) HAM yang dimaksud meliputi hak untuk hidup, larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, larangan perbudakan, larangan penerapan hukum pidana dengan efek retroaktif serta hukuman yang dijatuhkan sesuai penerapan tersebut.27 Di samping hak-hak individu tersebut, terdapat juga hak-hak kolektif yang dimiliki kelompok masyrakat, tidak hanya kelompok mayoritas tapi kelompok minoritas pun memiliki hak-hak kolektif tersebut.28
Menimbang bahwa pada perkembangannya terdapat evolusi ancaman dan pelanggaran HAM serta meluasnya definisi perdamaian dan keamanan dunia, adalah tugas pokok komunitas internasional untuk menjaga perdamaian
25Michael Haas. Op.Cit., halaman 3
26Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen. Op.Cit., halaman 85&88 27
Fadillah Agus. 1997. Hukum Humaniter: Suatu Perspektif. Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter FH Universitas Trisakti, halaman 91
28J. G. Starke. 1992. Pengantar Hukum Internasiona l 2: Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 490 (selanjutnya disebut Starke)
Universitas Sumatera Utara internasional dan melindungi HAM.29 Sejak Perang Dunia II, komunitas internasional telah mengembangkan kerangka normatif untuk perlindungan HAM universal dan regional, dimana komunitas internasional yang terdiri dari pemerintah, organisasi antar pemerintah, perusahaan transnasional, dan masyarakat dunia, bertanggung jawab secara bersama untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran HAM.30 Saat ini tampak jelas bahwa di antara tujuan utama dan mungkin titik penting dari HI adalah untuk melindungi hak-hak asasi, setidaknya untuk banyak teori dan praktisi, telah dipahami tidak lagi hukum negara namun adalah hukum hak asasi manusia.31 Walaupun, ada perbedaan pendapat dan ideologi dalam memandang HAM namun tetap ada dorongan untuk mendirikan tatanan global berdasarkan HAM universal.32
Ketiga, isu terorisme dalam beberapa tahun terakhir telah menyita perhatian dunia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang telah memakan banyak korban jiwa. Terorime sudah ada sejak dulu, bahkan pada masa sebelum masehi, dan terus berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Istilah teror berasal dari bahasa latin, yaitu terrere, yang artinya kegiatan atau tindakan yang dapat membuat ketakutan.33
Tidak ada definisi tentang terorisme yang diakui secara universal, namun beberapa pihak mencoba memberi definisi terorisme sebagai berikut:
29
Manfred Nowak. Op.Cit., halaman 42 30Ibid., halaman 366
31Samuel Moyn. 2010. The Last Utopia: Human Rights in History. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, halaman 176
32
Roger Normand dan Sarah Zaidi. 2008. Human Rights at The UN: The Political History of Universal Justice. Bloomington: Indiana University Press, halaman 143
33Luqman Hakim. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, halaman 9
Universitas Sumatera Utara 1. Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.(CIA)34
2. Penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menanamkan rasa takut, dimaksudkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat untuk mengejar tujuan yang umumnya politik, agama, atau ideologi.(Departemen Pertahanan AS)
3. Penggunaan kekuatan yang melanggar hukum atau kekerasan terhadap orang atau properti untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah, penduduk sipil, atau lainnya, untuk tujuan politik atau sosial.(FBI)35
4. terencana, kekerasan bermotif politik ditujukan terhadap target non-kombatan oleh kelompok subnasional atau agen rahasia, biasanya ditujukan untuk mempengaruhi masyarakat.(Departemen Dalam Negeri AS)
5. Terorisme adalah semua tindakan kriminal langsung terhadap negara dan berniat dan memperhitungkan untuk menciptakan rasa ngeri dalam pikiran orang tertentu, kelompok, atau masyarakat umum.(LBB)36
6. Tindakan teror dirumuskan sebagai tindak pidana politik yang memuat motif politik.(European Convention on the Suppression of Terrorism) 7. Terorisme berarti penggunaan atau ancaman tindakan di mana:
a. melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, melibatkan kerusakan serius pada properti, membahayakan kehidupan seseorang, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian dari publik, dirancang untuk mengganggu atau merusak dengan serius sistem elektronik.
34
Abdul Wahid dkk. 2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: Refika Aditama, halaman 24
35David J. Whittaker. 2007. The Terrorism Reader: Third Edition. Oxon: Routledge, halaman 3 36I Wayan Parthiana. Op.Cit., halaman 72
Universitas Sumatera Utara b. dirancang untuk mempengaruhi pemerintah(atau organisasi antar pemerintah), atau untuk mengintimidasi publik atau bagian dari publik.
c. dibuat dengan tujuan untuk mencapai sebab politik, agama, ras, atau ideologi.
Termasuk di dalamnya yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.(UK)37
8. Setiap tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi atas agenda individu atau kelompok kriminal dan berusaha untuk menunjukkan kepanikan di tengah masyarakat, menyebabkan rasa takut dengan merugikan mereka, atau menempatkan hidup, kebebasan, dan perlindungan mereka dalam bahaya, atau berusaha untuk menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan atau untuk instalasi atau properti milik publik atau pribadi, atau untuk menduduki atau menguasainya, atau berusaha untuk membahayakan sumber daya nasional.(The Arab
Convention of the Suppression of Terrorism)
Motivasi terorisme adalah karena tujuan politik, agama, atau ideologi. Kurang lebih tujuan terorisme selalu bersifat politik, seperti para ekstremis yang di dorong karena alasan agama atau keyakinan ideologi biasanya mencari kekuatan politik untuk memaksa masyarakat untuk mengikuti pandangan mereka. Esensinya, terorisme itu lebih bermaksud untuk menimbulkan rasa takut kepada seseorang daripada kepada korban, untuk membuat pemerintah atau pendengar lainnya untuk mengubah tindakan politik mereka.38
Namun, terlepas dari definisi dan motif terorisme, aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma agama, serta menjadi tragedi atas HAM. Bahwa terorisme itu faktanya lebih sebagai pelanggaran atas HAM karena apa yg dilakukan oleh teroris bukan hanya melanggar hukum, tapi