• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. LATAR BELAKANG

“Indonesia merupakan negara yang sudah merdeka sejak 1945, namun posisi Indonesia saat ini belum merdeka secara hakiki, Indonesia yang sudah berumur 69 tahun seharusnya semakin mantap kematangannya dalam mengambil tindakan dan juga seharusnya Indonesia lebih kuat dalam membangun dan menciptakan bargaining position (daya tawar ) kepada negara lain agar tidak dikerdilkan dengan negara lain” (Hasan dalam Antara News,2014).

Kuncoro (2010:71) menyatakan “Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk kategori The Asian Miracle. Pertumbuhan Indonesia selama empat dekade (1961-2000) dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat”. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya tingkat pertumbuhan perekonomian negara-negara The Asian Miracle. Pertama, negara-negara tersebut menerapkan kebijakan outward-looking dengan penekanannya pada peningkatan nilai ekspor dan Foreign Direct Investment (FDI). Kedua, kebijakan makro ekonomi yang tepat dan peran pemerintah yang efektif di dalam proses alokasi sumber daya ekonomi. Ketiga, semakin membaiknya sektor pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja, dan produktifitas kerja. Keempat, adanya fleksibilitas pasar tenaga kerja yang mendorong

2

pertumbuhan semakin cepat . Selanjutnya, dibalik pertumbuhan ekonomi di negara Asia tersebut, terdapat kerapuhan. Kerapuhan tersebut baru disadari setelah terjadinya krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 silam. Kerapuhan tersebut dikarenakan, kebijakan perekonomian hanya dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan pembangunan fundamental diabaikan. Hal tersebut yang menyebabkan bubble economy, dimana pertumbuhan tinggi namun secara fundamental rendah. Padahal fundamental perekonomian sangat penting dalam menopang akselerasi pertumbuhan yang sangat cepat.

Widharma, Budhi, dan Marhaeni (2008: 3-4) menambahkan “krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terdepresiasi sangat tajam”. Hal ini membuat Indonesia kesulitan dalam hal ekonomi, salah satunya dalam hal pinjaman luar negeri, karena beban utang yang dirasa semakin tinggi.

Krisis keuangan juga terjadi pada tahun 2008, yang lebih dikenal dengan krisis keuangan global. Thahjono, dkk (2009:41), mengatakan “pada triwulan III pada tahun 2008 , perekonomian dunia dihadapkan pada satu babak baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, yang mulai muncul pada Agustus 2007, yaitu pada saat salah satu bank terbesar Perancis BNP Paribas mengumumkan pembekuan beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan beresiko tinggi AS”. Krisis keuangan dunia tersebut telah berimbas ke perekonomian Indonesia yang tercermin dari gejolak pasar modal

3

dan pasar uang. Arus keluar kepemilikan asing di saham, surat utang negara (SUN),maupun SBI masih terus berlangsung.

Purna, dkk (2009:2) menyebutkan bahwa krisis keuangan global 2008 menyebabkan naiknya laju inflasi di Indonesia, dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Tekanan inflasi terjadi karena harga komoditi global yang terus naik. Pada akhir 2008 inflasi berangsur-angsur menurun dan harga komoditi serta harga bahan bakar minyak juga berangsur-angsur menurun. Hal ini bisa dilihat dalam gambar 1.1 dibawah ini :

Gambar 1.1

Laju Inflasi Kuartal I-2006 – Kuartal IV-2010

Sumber : Bank Indonesia, SEKI 2014 (data diolah)

Dari gambar 1.1 terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga kuartal II-2008 yaitu Maret 2008. Hal ini dikarenakan oleh kenaikan harga komoditas dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan tersebut

4

berdampak pada kenaikan harga yang ditentukan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Pada kuartal IV-2008, tingkat inflasi mulai menurun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia dan juga kebijakan pemerintah dalam menurunkan harga bahan bakar minyak jenis solar dan premium pada akhir 2008 serta produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus.

Kuncoro, (2010:76-77) mengatakan “dampak krisis keuangan global terbukti menggoncang tiga pasar di Indonesia. Pertama krisis keuangan global memorakporandakan pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dari 2.830 menjadi 1.111, atau turun lebih dari 60 %. Setelah Febuari 2009, IHSG mulai pulih bahkan mencapai tingkat sebelum krisis keuangan global hingga di atas 2.800. Pasar kedua yang terkena dampak dalam krisis keuangan global adalah pasar kurs, dimana kurs rupiah terhadap dolar melemah cukup dramatis dan pasar ketiga yang terkena dampak krisis keuangan global adalah pasar ekspor”. Hal ini bisa dilihat dalam gambar 1.2 dibawah .

5

Gambar 1.2

Kurs Rupiah/USD dan IHSG, Januari 2008-Oktober 2009

Sumber : Bank Indonesia, SEKI 2009 (data diolah)

Gambar 1.2 memperlihatkan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi dari Rp 9.076,00 hingga hampir menembus Rp 13.000,00 atau mengalami depresiasi lebih dari 30% sejak Januari 2008. Lemahnya kurs mata uang rupiah terhadap dollar berdampak pada utang luar negeri pemerintah, jika rupiah terdepresiasi, maka utang luar negeri pemerintah akan meningkat drastis.

Manuhutu (2010:84) mengatakan bahwa “hubungan yang terjadi antara nilai kurs dan pinjaman luar negeri adalah hubungan satu arah. Hubungan satu arah yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai kurs berpengaruh terhadap pinjaman luar negeri. Ia menambahkan adanya shock variabel nilai tukar berpengaruh negatif terhadap pergerakan variabel pinjaman luar negeri Indonesia”.

6

Purna,dkk (2009:1) menyebutkan bahwa menurunnya tingkat kurs, juga berdampak pada menurunnya kinerja neraca pembayaran yang menunjukkan penurunan sejak triwulan III-2008. Sebagaimana tercermin dari peningkatan defisit transaksi berjalan (current account) dan mulai meningkatnya defisit neraca transaksi modal dan finansial (financial account). Peningkatan defisit transaksi berjalan terutama bersumber dari anjloknya kinerja ekspor sejalan dengan kontraksi perekonomian global yang diiringi dengan merosotnya harga berbagai komoditas ekspor. Hal ini bisa dilihat dari Tabel 1.1 berikut :

Tabel 1.1

Perkembangan Transaksi Berjalan Kuartal I 2007 – Kuartal IV (dalam juta US$),2009

Periode DTB ( Juta USD) 2007 Q1 2.638 Q2 2.27 Q3 2.144 Q4 3.438 2008 Q1 2.742 Q2 -1.013 Q3 -967 Q4 -637 2009 Q1 2.691 Q2 2.377 Q3 1.781 Q4 3.781

Sumber : Bank Indonesia, SEKI 2010 (data diolah)

Berdasarkan tabel 1.1 diatas dapat dilihat bahwa mulai dari quartal II-2008 defisit transaksi berjalan sudah mendekati angka minus. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut sudah dimulainya krisis keuangan global

7

yang menyebabkan anjloknya harga barang-barang ekspor. Sehingga ekspor menurun pada waktu tersebut. Pada awal 2009, defisit transaksi berjalan kembali ke angka 2691 juta US$ karena sudah terjadi pemulihan paska krisis keuangan global .

Tambunan, (2008:249) mengatakan “sejak krisis pada awal 1980-an, masalah utang luar negeri yang dialami negara berkembang tidak semakin baik. Banyak negara-negara debitur terjerumus dalam krisis utang luar negeri sehingga tidak sanggup membayar dan mengharuskan mereka melakukan program penyesuaian struktural atas desakan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasioal (IMF) untuk mendapatkan pinjaman baru”. Selanjutnya, tingginya utang luar negeri di negara berkembang disebabkan terutama oleh tiga jenis defisit : defisit transaksi berjalan atau yang biasa disebut trade gap, yakni ekspor lebih sedikit dibandingkan impor ; defisit investasi atau I-S gap, yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi (I) di dalam negeri lebih besar daripada tabungan domestik ; dan defisit fiskal atau fiscal gap. Dari faktor-faktor tersebut defisit transaksi berjalan sering disebut pada literatur sebagai penyebab utama membengkaknya utang luar negeri di negara berkembang.

Widharma, Budhi, dan Marhaeni (2008:2) mengatakan “tingginya utang luar negeri di negara berkembang mengharuskan pemerintah harus mengambil utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama. Hal tersebut membuat cicilan pokok dan bunga utang bertambah

8

dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan jumlah utang luar negeri”. Hal ini bisa dilihat dari tabel 1.2 berikut:

Tabel 1.2

Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia

Tahun ULNp (Juta USD) Persentase (%) 2007 80,609 --- 2008 86,600 7,43 2009 99,265 14,62 2010 118,624 19,50 2011 118,642 0,01 2012 126,119 6,30

Sumber : Bank Indonesia, SEKI 2014 ( data diolah)

Dari tabel 1.2 diatas terlihat bahwa persentase utang luar negeri pemerintah cenderung meningkat dari tahun ketahun. Hal ini merupakan hal wajar yang terjadi pada negara berkembang karena kebutuhan pembangunan. Namun, apakah utang luar negeri ini digunakan untuk kegiatan yang produktif ataukah hanya digunakan untuk kegiatan konsumtif sehingga pemerintah tidak terpacu dalam berproduksi agar utang luar negeri semakin berkurang.

Chenery dan Carter, (1973:460) mengatakan “negara sedang berkembang dapat memanfaatkan sumber dana eksternal atau modal asing sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi”. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perubahan strukur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana ataupun transformasi struktural.

9

Keempat, kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktural benar-benar terjadi ( meskipun modal asing dimasa selanjutnya lebih produktif).

Kuncoro,(2010:359) mengatakan “terdapat beberapa ahli yang berpendapat tentang teori ketergantungan, bahwa utang luar negeri berpengaruh positif terhadap perekonomian suatu negara. Para penganut teori itu adalah Samir Amin, Paul Baran, Cardoso, Gunder Frank, Prebish dan Dos Santos”. Hipotesis mereka adalah :

 PMA dan bantuan luar negeri dalam jangka pendek memperbesar pertumbuhan ekonomi, namun dalam jangka panjang (5-20 tahun) menghambat pertumbuhan ekonomi.

 Makin banyak negara bergantung pada PMA dan bantuan luar negeri, makin besar perbedaan penghasilan dan pada gilirannya tujuan pemerataan tidak tercapai.

Widharma, Budhi, dan Marhaeni (2008:2) berpendapat bahwa “Utang Luar Negeri Indonesia membuat pemerintah kurang terpacu dalam meningkatan pendapatan dalam negerinya. Hal ini ditunjukkan dengan kekurangan dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah dalam APBN yang selalu ditutup dengan utang, teutama utang luar negeri. Utang luar negeripun sering kurang fokus dan tidak jelas pemanfaatannya”.

10

Alternatif lain sebuah negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap Utang Luar Negeri adalah dengan kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintahan. GBHN 1999-2004 secara khusus membahas soal utang luar negeri dalam empat butir yang tercakup dalam arah kebijakan bidang ekonomi. Selain di GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (APBN) terhadap utang luar negeri juga dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 mengenai program atau pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasarannya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk keperluan pembangunan secara optimal dan menurunnya beban utang luar negeri (Tambunan, 2008: 267).

Seperti yang sudah disinggung diatas, kondisi perekonomian seperti krisis keuangan global 2008 juga dapat mempengaruhi besarnya utang luar negeri pemerintah. Gejolak finansial yang terjadi karena krisis akan segera diikuti oleh kontraksi ekonomi secara menyeluruh (Prasetyantoko,2008:12).

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul:

“ Pengaruh Defisit Transaksi Berjalan, Kurs, dan Inflasi terhadap Utang Luar Negeri Pemerintah Sebelum dan Sesudah Krisis Global 2008”.

11

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, bahwa secara teoritis utang luar negeri pemerintah dipengaruhi oleh defisit transaksi berjalan. Disamping itu utang luar negeri pemerintah juga dipengaruhi oleh kurs dan inflasi dimana variabel ini rentan terhadap perekonomian dalam dan luar negeri.

Dalam melakukan pembangunannya, negara berkembang wajar jika melakukan utang luar negeri. Jika pendapatan suatu negara tidak cukup untuk membiayai pembangunan, pemerintah dapat meminjam modal dari negara kreditur, namun yang menjadi masalah adalah utang luar negeri pemerintah yang selalu merangkak naik tiap tahunnya, apakah masalah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin membaik, lantas apa penyebab nainya utang luar negeri dari tahun ke tahun di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang dan pemaparan sebelumnya, permasalahan pokok dalam penelitian ini diarahkan untuk menganalisa variabel- variabel ekonomi seperti defisit transaksi berjalan, kurs, dan inflasi terhadap utang luar negeri pemerintah. Pokok permasalahan yang diajukan adalah :

1. Berapa besar pengaruh defisit transaksi berjalan, kurs, inflasi, dan krisis global 2008 terhadap utang luar negeri pemerintah periode 2004 – 2012 secara parsial?

2. Berapa besar pengaruh defisit transaksi berjalan, kurs, inflasi, dan krisis global 2008 terhadap utang luar negeri pemerintah periode 2004 – 2012 secara simultan?

12

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan penulis dalam rumusan masalah, maka dalam penelitian kali ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh defisit transaksi berjalan, kurs, inflasi, dan krisis global 2008 terhadap utang luar negeri pemerintah di Indonesia periode tahun 2004 – 2012 secara parsial .

2. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh defisit transaksi berjalan, kurs, inflasi, dan krisis global 2008 terhadap utang luar negeri pemerintah di Indonesia periode 2004 – 2012 secara simultan .

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi penulis

Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis agar dapat mengembangkan ilmu yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selain itu penulis dapat membandingkan antara teori dan praktek yang terjadi di lapangan.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini dijadikan sumbangan pemikiran studi banding bagi mahasiswa atau pihak yang melakukan penelitian yang sejenis. Disamping itu, berguna untuk meningkatkan, memperluas, dan memantapkan wawasan

13

dan keterampilan yang membentuk mental mahasiswa sebagai bekal memasuki lapangan kerja.

14

Dokumen terkait