• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Pengarusutamaan gender merupakan suatu usaha dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam semua aspek pembangunan. Kebijakan pengarusutamaan gender mulai diterapkan dengan adanya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Inpres No. 9 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengarusutamaan gender adalah sebuah strategi yang dilakukan dengan berbagai kebijakan dan program dalam rangka pencapaian kesetaraan dan keadilan gender yang didalamnya memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 2)

Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2000, pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 yang di dalamnya memuat Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah. Disahkanya Permen No. 15 Tahun 2003 berarti bahwa semua bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah harus berlandaskan keadilan dan kesetaraan gender, termasuk pembangunan pendidikan. Komitmen pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pembangunan pendidikan dituangkan dalam kebijakan pendidikan. Pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan merupakan suatu strategi yang digunakan pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan pendidikan yang berkesetaraan dan berkeadilan. Untuk mengoptimalkan dan

2

memperlancar pelaksanaaan pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan disahkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008.

Pembuatan Permendiknas tersebut mengacu pada UUD 1945 pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa semua warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, Undang-Undang tersebut diperkuat dengan SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 Pasal 4 dan Pasal 5, serta salah satu Target Dakar (EFA) yaitu penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah serta mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015 yang difokuskan pada pemenuhan dan kepastian terhadap hak perempuan dalam memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu. Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 memberikan acuan bagi Kementrian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan untuk memasukkan kesetaraan gender dalam pembangunan pendidikan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 1-2).

Berdasarkan pada Pemendiknas No. 84 Tahun 2008, upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender diperkuat dengan adanya RESENTRA 2010-2014 dengan misi antara lain: meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; memperluas keterjangkauan layanan pendidikan; meningkatkan kualitas, mutu, dan relevansi layanan pendidikan; mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan dan menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 2). Keberhasilan strategi pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan sangat ditentukan

3

mengenai bagaimana penanaman keadilan dan kesetaraan gender di lingkungan sekolah dasar.

Penanaman keadilan dan kesetaraan gender pada sekolah dasar dirasa sangat efektif. Pada dasarnya sekolah dasar merupakan jenjang yang strategis dalam penanaman dan pembentukan sikap terhadap pengetahuan dan keterampilan dasar. Jika dalam pelaksanaan pendidikan mencerminkan sikap yang berkeadilan gender, maka dalam kehidupan sehari-hari juga akan mencerminkan sikap berkeadilan gender. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah ada beberapa unsur yang berperan dalam penanaman dan pembentukan sikap diantaranya adalah kepala sekolah, guru, dan siswa.

Kepala sekolah merupakan guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin didalam sekolah bertanggung jawab atas tercapainya semua tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah. Wahjosumidjo (1999: 4) menegaskan bahwa kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dalam sekolah harus mampu menumbuhkan semangat dan keyakinan para warga sekolah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya guna kemajuan sekolah. Guru merupakan tenaga pendidik profesional yang tugasnya mendidik, membimbing, mengajar, dan mengevaluasi peserta didik. Guru memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.

Peran kepala sekolah dan guru dalam pelaksanaan pendidikan juga mengharuskan kepala sekolah dan guru peka terhadap kebijakan pengarusutamaan gender. Setiap kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah

4

dan guru harus memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu tujuan penanaman pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan adalah meningkatkan mutu dan efisiensi dengan pemberdayaan potensi laki-laki dan perempuan serta memperkecil adanya ketimpangan gender dalam pendidikan.

Keberhasilan pengimplementasian kebijakan perngarusutamaan gender terutama dalam bidang pendidikan sangat ditentukan oleh bagaimana persepsi kepala sekolah dan guru mengenai kebijakan pengarusutamaan gender. Hal ini ditegaskan oleh P. Sondang Siagian (2004: 105) bahwa persepsi seseorang akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku orang tersebut termasuk didalamnya ada motivasi. Persepsi yang responsif gender dari kepala sekolah dan guru sangat diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang adil dan berkesetaraan gender. Persepsi kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan pengarusutamaan gender merupakan interpretasi kepala sekolah dan guru dalam memahami strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan

gender.

Data dari Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar pada tahun 2009 laki-laki 94,49% sedangkan APM perempuan 94,24%. Pada tahun 2010 APM mengalami kenaikan yaitu laki-laki 94,79% dan perempuan sebesar 94,65%. Pada tahun 2011 APM SD mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu pada laki- laki 91,48% dan pada perempuan 90,37%. Pada tahun 2012 APM mengalami kenaikan walaupun hanya sedikit yaitu laki-laki 92,50% dan perempuan 92,34%. Deskripsi data APM SD dari tahun 2009 sampai 2012 tersebut

5

menunjukkan terdapatnya perbedaan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan dasar terutamana Sekolah Dasar, walaupun perbedaan partisipasinya hanya sedikit namun hal itu menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan pemerolehan hak untuk mengakses pendidikan antara laki-laki dengan perempuan.

Masih adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan disebabkan karena beberapa faktor, faktor pertama adalah kebudayaan yang menganggap bahwa laki-laki mempunyai peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Hal ini menyebabkan peran perempuan dianggap tidak terlalu penting. Paulus Mujiran (2002:169) mengungkapkan bahwa masalah ketimpangan dan ketidakadilan gender bersumber pada konstruksi sosial (dan kultur) yang memberikan sikap atau ciri kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki. Selain itu konstruksi kebudayaan (tradisi) warisan feodal yang menyatakan bahwa perempuan masih mewarisi tradisi feodal bertumpu pada corak produksi agraris yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Mansour Fakih (2005: 10) menyebutkan bahwa konstruksi sosial dalam masyarakat menyebabkan seorang laki-laki harus sesuai dengan konstruksi yang dibuat oleh lingkungan sosialnya dan konstruksi sosial tersebut juga menempatkan seorang perempuan harus mempunyai sikap dan sifat yang lemah lembut.

Kedua faktor ekonomi, masalah perekonomian menjadi suatu masalah yang mempunyai dampak pada segala bidang pembangunan, terutama pada sektor pembangunan pendidikan. Pendidikan dan perekonomian merupakan

6

hal yang saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan, pendidikan selalu memberikan pengaruh pada perkembangan perekonomian di suatu negara begitupun sebaliknya. Sebagian masyarakat terutama masyarakat golongan menengah ke bawah masih beranggapan bahwa biaya pendidikan relatif mahal, walaupun pemerintah sudah mengalokasikan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pembiayaan pendidikan. Sebagaian besar masyarakat pedesaan belum banyak yang menyadari arti dari pendidikan bagi kehidupan sehingga, mereka belum menempatkan pendidikan sebagai suatu kebutuhan dan belum merasakan manfaat pendidikan sebagai salah satu cara peningkatan keterampilan.

Faktor ketiga adalah kurangnya pemahaman terhadap kebijakan pengarusutamaan gender menyebabkan kebijakan yang dibuat masih netral

gender dan cenderung bias gender. Kebijakan yang dibuat baik oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lembaga persekolahan mempunyai pengaruh besar terhadap terlaksananya keadilan dan kesetaraan

gender terutama dalam bidang pendidikan. Akan tetapi sebagian kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga persekolahan masih netral gender dan cenderung bias gender. Menurut Paulus Mujiran (2002: 137) pengambilan keputusan baik di kalangan Dinas Pendidikan atau di tingkat satuan pendidikan masih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini juga menyebabkan masih terjadinya bias gender dalam bidang pendidikan.

7

Dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pendidikan, maka sekolah dasar menjadi lembaga sekolah pertama yang mempraktekkan konsep keadilan dan kesetaraan gender. Sekolah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menempatkan sekolah sebagai salah satu cara untuk mentransfer nilai kepada peserta didik. Jika nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tersebut masih bias gender, maka secara tidak langsung peserta didik diajarkan untuk bersikap bias gender. Untuk itu diharapkan sekolah mengupayakan terwujudnya keadilan dan kesetaraan

gender, karena pada dasarnya pendidikan merupakan kunci terwujudnya

keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat. Dalam sekolah dasar lebih banyak terdapat guru perempuan dari pada guru laki-laki, hal ini disebabkan oleh pandangan yang memandang bahwa perempuan lebih cocok untuk menjadi seorang pengasuh anak-anak dari pada laki-laki (Sugihastuti dan Itsna Hadi, 2007: 68).

Hasil observasi yang telah dilakukan peneliti terhadap beberapa kepala sekolah di Kecamatan Jatinom menunjukkan bahwa ada beberapa kepala sekolah tidak mengerti konsep pengarusutamaan gender. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban mereka yang tidak mengetahui mengenai adanya kebijakan pengarusutamaan gender terutama dalam pendidikan. Selain itu, ada beberapa kepala sekolah yang mengartikan gender sebagai pendidikan agama yang ditanamkan kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Guna mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, maka perlu

8

dilakukan suatu penelitian. Dengan penelitian mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan dapat diketahui persepsi kepala sekolah dan guru

Penelitian ini dilakukan di semua Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten, dimana sebagian besar masyarakat masih menjunjung tinggi adat istiadat yang mengindikasikan adanya bias gender. Objek dalam penelitian ini adalah sekolah dasar negeri di Kecamatan Jatinom yang berjumlah 37 sekolah, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru sekolah dasar negeri di Kecamatan Jatinom. Dari hasil data observasi awal yang dilakukan pada tanggal 19 Februari 2014 di UPTD Kecamatan Jatinom diketahui jumlah kepala sekolah sebanyak 37 orang, sedangkan jumlah guru di Kecamatan Jatinom sebanyak 178 orang guru.

B. Identifikasi Masalah

1. Masih adanya kesenjangan dalam mengakses pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan dengan perbedaan APM dari laki-laki (92,50%) dan perempuan (92,34%) pada tahun 2012.

2. Ada beberapa kepala sekolah yang kurang memahami kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, sehingga diidentifikasikan adanya bias gender dalam pelaksanaan pendidikan.

3. Masih kentalnya budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

9

4. Sekolah dasar dominan guru perempuan dari pada guru laki-laki. C. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti yaitu mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Jatinom.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah yang ada dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah persepsi kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan dan adakah perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru sekolah dasar?

2. Adakah perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru berdasarkan jenis kelamin tentang kebijakan pengarusutamaan gender?

3. Bagaimanakah persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia dan adakah perbedaan persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia? E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masasalah yang ada, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah

1. Untuk mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru dan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender.

10

2. Untuk mengetahui perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru berdasarkan jenis kelamin tentang kebijakan pengarusutamaan gender. 3. Untuk mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia dan

untuk mengetahui perbedaan persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan paparan di atas, manfaat dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas bidang keilmuan terutama bagi pengembangan program studi Kebijakan Pendidikan b. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi terutama yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender. 2. Praktis

a. Bagi Dinas Pendidikan

Memberikan informasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengaruutamaan gender (PUG) dalam satuan pendidikan dasar. b. Bagi Sekolah

Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk tinjauan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang berlangsung di semua Sekolah Dasar Kecamatan Jatinom.

11 c. Bagi Kepala Sekolah

Dengan adanya penelitian ini diharapkan kesadaran kepala sekolah mengenai pengarusutamaan gender (PUG) di tingkat sekolah semakin meningkat, sehingga tidak terjadi kesenjangan atau bias

gender dalam pelayanan pendidikan.

d. Bagi Guru

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan guru sebagai bahan evaluasi pemahaman terhadap konsep PUG, sehingga guru dapat melakukan tindakan lebih lanjut untuk mengoptimalkan pemahaman dan implementasinya di sekolah.

12 BAB II

Dokumen terkait