• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3. Proses Persepsi

Proses terjadinya persepsi didasari oleh beberapa tahapan menurut Bimo Walgito (2003: 53) yaitu:

a. Proses penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh alat indera.

b. Proses diteruskannya stimulus oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf.

c. Hasil merupakan suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap suatu objek yang diterima oleh indera.

15 B. Kepala Sekolah dan Guru

1. Pengertian Kepala Sekolah

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa kepala sekolah dapat diartikan sebgai guru yang memimpin suatu sekolah, guru sekolah (Departemen P dan K, 1998: 480). Kepala sekolah sebagai pejabat formal mempunyai peranan sebagai kekuatan sentral dalam menggerakkan kehidupan di sekolah. Seorang kepala sekolah hendaknya mempunyai kepedulian terhadap warga sekolahnya (Wadjosumidjo, 2007: 82).

Dalam konsep pemberdayaan kepala sekolah memegang kunci terpenting dalam pencapaian keberhasilan sekolah, memberikan perhatian mengenai apa yang terjadi pada peserta didik, dan memberikan perhatian mengenai apa yang diinginkan oleh orangtua dan masyarakat. Kimball Wiles yang mengungkapkan bahwa Leadership is any contribution to the

establishment and attainment of group purpose. Kimball menegaskan

bahwa kepemimpinan bukan hanya sebagai sebuah kesiapan dan kemampuan saja melainkan kepemimpinan merupakan sumbangan dari setiap orang yang bermanfaat bagi penetapan dan pencapaian tujuan (Soekarto Indrafachrudin, dkk, 1983: 30). Sedangkan Sondang P. Siagaan mengungkapkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu motor atau penggerak dari semua sumber, plat yang tersedia terhadap suatu organisasi (Abdul Aziz, 2011: 132).

Soekarto Indrafachrudi, dkk, mengungkapkan kepemimpinan pendidikan adalah sebuah kemampuan dan proses dalam mempengaruhi,

16

mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang berhubungan dengan perkembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pembelajaran agar dapat terlaksananya kegiatan-kegiatan pendidikan dengan efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan (Soekarto Indrafachrudi, dkk, 1983: 33).

Berdasarkan uraian di atas, kepala sekolah merupakan guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin bertanggung jawab atas keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. kepala sekolah sebagai seorang pemimpin sekolah mempunyai tugas untuk memotovasi, membimbing, dan menggerakkan warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah.

2. Tipe-Tipe Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepala sekolah memiliki beberapa tipe kepemimpinan. Menurut Soekarto Indrafachrudi,dkk, (1983: 49) ada tiga tipe kepemimpinan kepala sekolah diantaranya adalah:

a. Tipe Otoriter (the outocratic style of leadership). Tipe kepemimpinan otoriter ini pemimpin membuat beberapa kebijakan sendiri, tidak meminta persetujuan bawahan dan membatasi hubungan antara atasan dengan bawahan. Bawahan bertugas untuk menjalankan kebijakan dan tidak diikutsertakan dalam berbagai pengambilan keputusan.

b. Tipe Laissez Faire (laisser-faire style of leadership). Tipe ini sering dikenal dengan tipe otokratis dimana pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada staf atau anggotanya dalam melaksanakan

tugas-17

tugas jabatannya. Pengambilan kebijakan dan keputusan dalam metode, program kerja, menjadi kewenangan penuh staf dalam lembaga pendidikan tersebut.

c. Tipe Demokratis (democratic style of leadership). Kepemimpinan demokratis ini pengambilan dan pembuatan kebijakan atau keputusan sangat memperhatikan situasi lembaga. Selain itu pembuatan, pengambilan, dan penetapan keputusan juga dilakukan bersama-sama antara atasan dengan bawahan.

3. Pengertian Guru

Secara etimologis (asal usul kata) guru berasal dari bahasa India yang berarti orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara (Suparlan, 2005: 11). Arif Rohman (2013: 1) mendefinisikan guru sebagai sosok manusia yang dapat ‘digugu’ (ditaati) dan ’ditiru’ (diikuti). Cooper dalam Suparlan mengungkapkan bahwa guru tidak hanya secara formal dikenal sebagai pendidik, pengajar, pelatih, dan pembimbing, tetapi guru dikenal juga sebagai social agent hired by society to help facilitate

members of society who attend school. Guru selain melaksanakan tugasnya

sebagai pendidik, pengajar, pelatih dan pembimbing juga bertugas sebagai agen sosial yang diminta oleh masyarakat untuk memberikan bantuan kepada para peserta didik yang akan dan sedang berada dalam bangku persekolahan (Suparlan, 2005: 13).

Jabatan guru merupakan suatu jabatan yang memerlukan suatu keahlian khusus, jadi guru tidak boleh berasal dari luar bidang pendidikan

18

yang tidak mengerti akan pendidikan (Hamzah B. Uno, 2007: 15). Oemar Hamalik (2009: 36) menambahkan bahwa guru merupakan jabatan profesional yang membutuhkan berbagai keahlian khusus diantaranya adalah sehat jasmani rohani, berkepribadian Pancasila, berbudi pekerti luhur, berjiwa kreatif, memiliki rasa disiplin yang tinggi, mencintai pekerjaanya, keahlian dalam bidang keilmiahan atau pengetahuan dan keahlian dalam bidang keterampilan. Guru bertanggung jawab untuk mendidik perserta didik dan mengantarkan peserta didik untuk mencapai kedewasaan.

Ngainun Naim mendefinisikan guru sebagai sosok yang seharusnya mempunyai banyak ilmu dan mau mengamalkan dengan sungguh-sungguh ilmu yang dipunyainya untuk mendidik dan mengajar dalam proses pembelajaran dalam makna yang luas toleran, dan senantiasa menjadikan siswanya mempunyai kehidupan yang lebih baik (Ngainun Naim, 2009: 4). Elanie B. Johnson dalam Ngainun Naim mengungkapkan bahwa guru yang bermutu memungkinkan siswanya untuk tidak hanya dapat mencapai standar nilai akademik secara nasional, tetapi juga mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidup mereka (Ngainun Naim, 2009: 15).

Jejen Musfah mengungkapkan bahwa guru yang kompeten adalah guru yang mampu menjalankan proses belajar mengajar dengan baik tanpa adanya kekakuan antara guru dan murid. Sebagai seorang guru juga harus mampu mengarahkan peserta didik pada perilaku yang baik dan

19

bermanfaat, sehingga peserta didik mampu memilih dan melakukan hal- hal yang baik dalam hidup mereka (Jejen Musfah, 2011: 83). Selain kepala sekolah, guru juga mempunyai andil yang sangat besar dalam kemajuan dan pencapaian visi dan misi pendidikan. Peter dalam Isjoni (2006: 16) mengungkapkan bahwa ada tiga tugas dan tanggung jawab guru yakni guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing dan guru sebagai administrator kelas.

Dalam pengertian klasik tugas guru dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Mendidik maksudnya adalah mendorong dan membimbing siswa agar maju menuju kedewasaan yang seutuhnya, sedangkan mengajar maksudnya memberikan bantuan dan pelatihan kepada siswanya agar mau belajar untuk mengetahui sesuatu dan mengembangkan pengetahuan yang ia miliki (Paul Suparno, 2005: 26). 4. Kompetensi Guru

Kompetensi guru yang telah dibakukan oleh Dirjen Dikdasmen Depdiknas tahun 1999 yaitu: a) Mengembangkan kepribadian; b) Menguasai landasan kependidikan; c) Menguasai bahan pelajaran; d) Menyusun program pengajaran; e) Melaksanakan program pengajaran; f) Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan; g) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran; h) Melaksanakan program bimbingan; i) Berinteraksi dengan masyarakat; j) Menyelenggarakan administrasi sekolah (Hamzah B. Uno, 2007: 20).

20 C. Kebijakan Pengarusutamaan Gender

1. Pengertian Gender

Gender merupakan suatu konstruksi dari masyarakat yang

membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Gender berasal dari bahasa inggris yaitu gender yang diartikan sebagai jenis kelamin. Pada prinsipnya konsep tentang gender memfokuskan perbedaan antara peran seorang laki-laki dengan perempuan yang dikonstruksikan oleh norma sosial budaya dalam suatu masyarakat.

Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller yang digunakan untuk memisahkan pencirian manusia berdasarkan pendefinisian sosial budaya yang berasal dari ciri fisik biologis. Sejalan dengan Stoller, Ann Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Riant Nugroho, 2008: 3). Lebih lanjut Sugihastuti, dkk, yang mengatakan bahwa Kelamin merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial, gender merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis manusia (Sugihastuti, dkk, 2007: 5).

Fauzie Ridjal, dkk, menyebutkan bahwa gender adalah interpretasi kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yang dibangun dalam masyarakat. Gender erat kaitannya dengan perbedaan jenis kelamin.

Gender yang berlaku dalam masyarakat sangat tergantung tentang

bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan (Fauzie Ridjal, dkk, 1993: 30). Ismi Dwi juga mengungkapkan bahwa gender

21

merupakan perbedaan peran, kedudukan dan sifat yang diletakkan pada kaum laki-laki dan perempuan melalui konstruksi secara sosial maupun kultural (Ismi Dwi A., 2009: 19).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai gender dapat ditarik kesimpulan bahwa gender merupakan suatu konstruksi yang dibangun oleh masyarakat dalam rangka membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan suatu pembagian peran yang dibangun oleh budaya masyarakat. Gender berbeda dengan jenis kelamin karena jenis kelamin merupakan sebuah kodrat yang tidak dapat diubah, bersifat statis dan jenis kelamin antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai pengertian yang sama. Gender sendiri merupakan sebuah bentukan dari masyarakat yang sifatnya dinamis mengikuti perkembangan jaman, dapat berubah-ubah dan ada perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pada intinya gender merupakan sebuah konstruksi yang dibangun oleh masyarakat tentang bagaimana masyarakat mengintepretasikan laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan kultur mereka.

2. Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming)

Pengarusutamaan gender menjadi sebuah isu global karena adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang telah mendunia. Perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender diawali dengan adanya Deklarasi Hak Azazi Manusia PBB pada tahun 1948 (Riant Nugroho, 2008: 56). KemenPP, BKKBN, dan

22

UNFA mendefinisikan pengarusutamaan gender sebagai suatu proses yang ditempuh untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 6-7).

Dalam konferensi yang telah diadakan oleh PBB muncullah sebuah konsep yang bernama Gender Mainstreaming. Wacana Gender

Mainstreaming merupakan sebuah bentuk perlawanan yang digunakan

untuk menggugah kesadaran para pejabat dan pengambil kebijakan akan perlunya pengimplementasian Gender equality disemua aspek pembangunan. Darwin dalam Ismi Dwi mengungkapkan bahwa gerakan

gender mainstreaming merupakan pematangan dari konsep GAD. Hal ini

bertujuan agar dengan adanya pengarusutamaan gender semua kebijakan dalam bidang pembangunan dapat memberikan perhatian terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan (Ismi Dwi A., 2009: 62).

Riant Nugroho juga mengungkapkan bahwa pengarusutamaan

gender bukan hanya sekedar mengintegrasikan masalah gender dalam

aspek pembangunan, tetapi juga harus memberikan perubahan kepada pembangunan agar lebih responsif dan sensitif terhadap permasalahan

23

mengembangkan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender (Riant Nugroho, 2008: 57).

Pengarusutamaan gender dapat dimaknai dengan bagaimana perempuan dan laki-laki dapat menerima manfaat dari pembangunan. Pengarusutamaan gender bukanlah sebuah program melainkan sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam seluruh bidang pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender dilakukan secara rasional dan sistematik guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup rumah tangga maupun dalam masyarakat dan negara.

Strategi pengarusutamaan gender diharapkan akan dapat merubah sikap masyarakat yang awalnya bias gender, buta gender dan netral

gender menjadi sensitif gender dan pada akhirnya kan menjadi responsif gender. Lilis Widaningsih (2012: 4) mengungkapkan bahwa:

a. Buta gender merupakan suatu kondisi seseorang atau masyarakat dimana sama sekali tidak memahami pengertian gender dan permasalahan gender. Gender dianggap sebagai suatu gerakan untuk menghilangkan peran laki-laki.

b. Bias gender merupakan suatu kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender. Kondisi bias gender ini menganggap bahwa suatu kebijakan/program

24

hanya untuk laki-laki saja atau perempuan saja dan akan menimbulkan streotipe.

c. Netral gender merupakan kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin atau menyamaratakan hak antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dianggap sama persis dan tidak ada pembedaannya.

d. Sensitif gender merupakan kemampuan atau kepekaan dalam melihat dan menilai hasil pembangunan serta aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender. Pada kondisi sensitif gender mulai memperhatikan adanya perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.

e. Responsif gender merupakan kondisi yang sudah memperhatikan berbagai pertimbangan bagi keadilan dan kesetaraan gender pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Memperhatikan semua aspek yang berkaitan, sehingga tercipta kondisi yang nyaman untuk laki-laki dan perempuan.

Kategori sensitif dan responsif gender merupakan salah satu kunci terwujudnya kesetaraan gender. Mami Hajaroh (2011: 4) mengungkapkan adanya strategi pembangunan pengarusutamaan gender dapat memastikan bahwa laki-laki dan perempuan: 1) Berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan; 2) Mempunyai akses yang sama terhadap pembangunan; 3) Memiliki peluang yang sama dalam melakukan kontrol terhadap pembangunan; 4) Memperoleh manfaat yang sama dalam pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender bertujuan untuk

25

mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam semua bidang pembangunan. Kesetaraan gender dapat diukur berdasarkan beberapa indikator yaitu (Ismi Dwi A., 2010: 27):

a. Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang dalam berbagai kegiatan dan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, partisipasi antara kepala sekolah, guru dan siswa mempunyai peran yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan.

b. Akses merupakan kesempatan dalam menggunakan sumber daya tertentu. Dalam kontek ini, akses yang diperoleh guru dan siswa dalam menggunakan segala fasilitas yang ada di sekolah.

c. Kontrol merupakan penguasaan dan wewenang dalam penyelenggraan pendidikan. Dalam hal ini, kontrol yang diberikan oleh kepala sekolah, guru, dan siswa dalam berbagai program penyelenggaraan pendidikan. d. Manfaat merupakan kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal.

Dalam penelitian ini, kebijakan atau keputusan yang diambil oleh sekolah dapat dinikmati oleh laki-laki dan perempuan atau tidak. 3. Pengarusutamaan Gender dalam Bidang Pendidikan

Kebijakan merupakan suatu tindakan yang diambil oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka melakukan tindakan atau aktifitas tertentu. Thomas R. Dye mengungkapkan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, alasannya dan hasil yang diperolehnya. Singkatnya Thomas R. Dye menegaskan bahwa kebijakan publik merupakan segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk

26

dilakukan dan tidak dilakukan (Riant Nugroho, 2008: 32). Secara umum kebijakan dapat diartikan sebagai suatu keputusan yang digunakan untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang disepakati dengan memilih berbagai alternatif yang telah disediakan. Kebijakan merupakan suatu keputusan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang mengenai pedoman atau dasar yang digunakan untuk melakukan aktifitas tertentu.

Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pendidikan sangat diperlukan, karena dengan adanya strategi pengarusutamaan gender (PUG) dapat diidentifikasikan apakah laki-laki dan perempuan: 1) Memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan; 2) Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan dan proses pengambilan keputusan; 3) Memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan; dan 4) Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 8). Sasaran dalam pelaksanaan dan pengimplementasian kebijakan pengarusutamaan gender adalah lembaga-lembaga pemerintahan, LSM/ organisasi perempuan, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi keagamaan, sampai pada unit masyarakat terkecil yaitu keluarga.

4. Landasan Hukum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender dalam segala aspek pembangunan memiliki beberapa landasan hukum diantaranya (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 1-2 ):

27 a. Target Dakar

Target Dakkar merupakan salah satu target yang dikeluarkan oleh UNESCO melalui programnya yaitu Education For All (EFA). Salah satu Target Dakkar menyebutkan bahwa “penghapusan kesenjangan

gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2025 dengan

fokus pada kepastian sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu”.

b. Target Millenium Development Goals (MDGs).

Goal 2 : Mencapai pendidikan dasar bagi semnya dengan tujuan tahun 2015 semua anak baik laki-laki maupun perempuan dapat mengenyam pendidikan dasar.

Goal 3: Mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk disparitas

gender dalam pendidikan dasar dan menengah paling lambat

tahun 2015. c. Inpres No. 9 Tahun 2000

Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini menyebutkan bahwa pengarusutamaan gender adalah sebuah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui berbagai kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan baik laki-laki maupun perempuan dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas

28

seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan.

d. UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJMN

Peningkatan kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJMN) ke-2 tahun 2010- 2014.

e. Permen No. 15 Tahun 2008

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 ini menegaskan mengenai pedoman umum dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah

f. Permendiknas No. 84 Tahun 2008

Dalam Permendiknas ini memberikan acuan bagi Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Satuan Pendidikan dalam memasukkan unsur kesetraan dan keadilan

gender dalam semua dimensi pembangunan pendidikan.

g. Perda No. 4 Tahun 2009

Komitmen pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tertuang dalam Resentra Provinsi Jawa Tengah melalui Perda No. 4 tahun 2009 dimana salah satu isu strategisnya mengenai belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan

gender. Dalam Resentra Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah juga

mengakomodasi isu yang ada dalam MDGs (Millenium Development Goals) salah satunya yaitu mengenai mewujudkan kesetaraan gender

29

bidang pendidikan. Hal ini tercermin jelas dalam misi ke dua yang menyatakan bahwa pemerintah menjamin peyelenggaraan pendidikan bermutu, berkelanjutan, merata dan berkeadilan sesuai otonomi daerah dan pembantuan ( Ismi Dwi A., dkk, 2010: 3).

D. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Ariefa Efianingrum dan Y. Ch. Nany Sutarini Penelitian Dosen Muda Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2008, dengan judul “Persepsi Masyarakat terhadap Citra Perempuan dalam Iklan di Televisi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan ditelevisi dapat semakin memperkuat dan mempresentasikan gambaran perempuan sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat. Sekaligus mengkonstruksi dan menstimulasikan gambaran baru tentang perempuan, baik yang berbeda kenyataan maupun yang bertentangan dengan kenyataan. Adapun citra perempuan didalam iklan menurut penelitian ini: 1) Citra perempuan sesuai dengan nilai gender lama; 2) Citra perempuan sesuai nilai gender transformatif; 3) Citra perempuan sesuai nilai gender baru yang ekstrim. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat gambaran baru mengenai perempuan, tetapi secara umum citra perempuan belum banyak bergeser sehingga kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan.

Penelitian yang dilakukan oleh L. Andriyani Purwastuti, Rukiyati dan Mami Hajaroh Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2004, dengan judul “Persepsi Anggota Badan Perwakilan Desa terhadap Organisasi Peka Gender di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian ini

30

menunjukkan bahwa persepsi anggota BPD terhadap kesetaraan gender dapat dinilai sudah baik, dan persepsi anggota BPD terhadap organisasi peka

gender cenderung baik, tetapi jika dilihat per item ada beberapa indikator

kesetaraan gender dan organisasi peka gender yang menunjukkan persepsi anggota BPD yang keliru. Sebagaian anggota BPD masih beranggapan bahwa perempuan tidak dapat bekerja yang mengandalkan kekuatan fisik. Sebagaian BPD masih tidak rela jika anak perempuannya berpendidikan lebih tinggi dari pada anak laki-lakinya. Sebagian anggota BPD juga menunjukkan bahwa masih keberatan jika anak perempuannya bekerja di bengkel otomotif. Ada sebagian anggota BPD yang berpandangan bahwa jabatan kepemimpinan sebaiknya dijabat oleh anak laki-laki; jabatan resepsionis dipegang oleh anak perempuan dan petugas keamanan juga dipegang oleh laki-laki. Sebagian anggota BPD masih menolak keberadaan tempat penitipan anak di kantor, ada pandangan yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya menggunakan simbol-simbol feminim.

Penelitian yang dilakukan oleh Ina Maulida Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012, dengan judul “Persepsi Siswa terhadap Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) Persepsi siswa terhadap implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 aspek fokus pada pelanggan pada kategori baik, aspek kepemimpinan pada kategori baik, aspek pendekatan proses pada kategori baik, aspek pendekatan sistem pengelolaan pada kategori baik, aspek peningkatan terus-menerus pada

31

kategori baik, aspek pembuatan keputusan berdasarkan fakta pada kategori baik, dan aspek hubungan saling menguntungkan dengan mitra pada kategori baik; 2) Faktor pendukung adalah sosialisasi SMM ISo 9001:2008, kesadaran dan komitmen warga sekolah, sarana dan prasarana yang memadai, dukungan dari stakeholders; 3) Faktor penghambat adalah ketersediaan dana, kualitas

input siswa, kurangnya kesadaran personel untuk mengubah kebiasaan lama.

E. Kerangka Pikir

Inpres Presiden No.9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam segala aspek pembangunan dibutuhkan sebuah strategi pengarusutamaan gender. Tujuannya adalah agar terlaksananya kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi setiap kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaan pendidikan pengarusutamaan gender telah diatur dalam Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) No. 84 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan diharuskan untuk memasukkan kesetaraan dan keadilan gender dalam semua dimensi pembangunan pendidikan.

Satuan pendidikan harus melaksanakan kebijakan pengarusutamaan

gender, termasuk sekolah dasar. Sekolah dasar dianggap sebagai suatu

lembaga yang strategis dalam melaksanakan pengarusutamaan gender. Komponen yang berperan penting dalam pelaksanaan pengarusutamaan

32

gender di sekolah dasar adalah kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah

sebagai pemimpin dalam lembaga sekolah mempunyai peran yang penting, karena ditangan kepala sekolah kebijakan/program/kegiatan dibuat dan disetujui. Guru sebagai penggerak utama dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah juga mempunyai peran penting dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan

gender merupakan interpretasi, pemaknaan kepala sekolah dan guru tentang

strategi dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Persepsi kepala sekolah dan guru tentang strategi mewujudkan keadilan dan kesetaraan

gender mencakup 6 aspek yaitu partisipasi, akses, kontrol, manfaat, sikap

dan komunikasi. Alur kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

33

Gambar 1. Kerangka Pikir Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Kepala Sekolah

Dokumen terkait