• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan cenderung meningkat. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor (BNPB, 2007).

Menurut Wassenhove (2006), setiap tahun terjadi sekitar 500 bencana alam yang membunuh 75.000 manusia dan berdampak pada 200 juta orang lainnya. Bertambahnya jumlah populasi yang menyebabkan masuknya manusia ke daerah-daerah rawan bencana serta adanya perubahan iklim membuat jumlah bencana alam ke depannya menjadi semakin banyak (Whybark, 2007). Bencana dapat dipicu oleh perbuatan manusia termasuk di dalamnya kecelakaan, perang, dan lainnya (Danieli, 1996).

Indonesia berpotensi besar mengalami bencana dimasa mendatang karena berbagai faktor, misalnya letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang dilingkari oleh jalur gempa paling aktif di dunia, yaitu Cincin Api Pasifik. Cincin Api merupakan akibat langsung dari pertemuan lempeng tektonik, dimana Indonesia terletak di pertemuan 3 lempeng, yaitu Lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa bumi maupun letusan gunung berapi. Selain itu,

bencana hidrometeorologi yang terkait dengan cuaca juga sangat sering melanda wilayah nusantara (Gempa BNPB, 2014). Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif (Lavigne, dkk, 2007).

Salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia berada di Kabupaten Karo . Letak geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah Sumatera, di Kabupaten Karo ada 2 dari 129 gunung berapi yang aktif berada di Indonesia yaitu Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini berstatus siaga (level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), catatan letusan Gunung berapi Sinabung pada tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran lahar yang mengalir ke arah Selatan. Kemudian pada tahun 1912, gunung ini mengeluarkan aktivitas solfatara yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun, gunung berapi berjenis strato ini kembali meletus. Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi Gunung Sinabung yang cukup mengejutkan pada tahun 2010, terjadi beberapa kali letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada tanggal 7 april 2010 sampai pada tanggal 27 agustus 2010 menyebabkan status Gunung Sinabung berubah dari tipe B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, Gunung Sinabung menunjukkan aktivitas vulkanik selama 15 September 2013 dan terakhir 24 oktober 2013. Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19-24 Oktober 2013, PVMBG sebagai bagian dari Badan Geologi menetapkan status

Gunung Sinabung masih pada waspada, Level III atau siaga (Gempa BNPB, 2013).

Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan

pernyataan: “Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe

A. Masyarakat agar mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung”

(Anshari, 2014).

Gunung Sinabung, tanggal 29 Januari 2014 Status level IV (Awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari 2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus terjadi sampai hari berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk mengungsi, hingga melebihi 20 ribu orang. Setelah kondisi ini bertahan terus, pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat dipulangkan. Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang luka-luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya I (Berita Satu, 2014).

Tercatat sebanyak 3.287 jiwa atau 1.019 kepala keluarga pengungsi Sinabung yang masih tinggal di penampungan. Mereka berasal dari zona merah (daerah berbahaya), yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem (Berita Satu, 2014). Sebanyak 19.478 jiwa (5.675 KK) telah dipulangkan ke

rumahnya, sedangkan pengungsi yang tinggal di hunian sementara 6.179 jiwa (2.053 KK). Pengungsi ini berasal dari Desa Sukameriah, Bekerah, Simacem, Kutatonggal, Gamber, Berastepu, dan Gurukinayan (Assifa, 2014)

Data sementara yang diperoleh Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD), kerusakan infrastruktur pasca-erupsi Gunung Sinabung mulai September 2013 hingga Oktober 2014 ini mencapai lebih dari 5.000 bangunan. Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, bangunan itu terdiri dari rumah, sekolah, rumah ibadah, dan pasar. Kerusakan lainnya mencakup infrastruktur jalan dan irigasi (Liputan 6, 2014).

Erupsi Gunung Sinabung berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan perkebunan seluas 60 hektare. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban meninggal sebanyak dua orang (KeMenKes RI, 2010). Lahan pertanian milik masyarakat yang mengalami kerusakan dan terancam gagal panen akibat erupsi Gunung Sinabung di enam kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan mencapai 2.924 hektare. Kerusakan komoditas pertanian milik masyarakat di sana itu meliputi tanaman cabai yang mengalami kerusakan seluas 367 hektare, kentang sebanyak 230 hektare, sayur kembang kol mencapai 222 hektare, sisanya tomat dan sayuran lainnya. (Berita Satu, 2014)

Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak luas hingga turunnya kualitas perkembangbiakkan ternak serta penurunan drastis kunjungan wisata alam Berastagi yang dikenal sebagai penghasil sayur dan buah terbesar di Pulau

Sumatera. Kerugian total yang diakibatkan bencana panjang itu mencapai lebih dari Rp. 1 Triliun (Liputan 6, 2014)

Fenomena yang telihat di lapangan semakin memperjelas bahwa erupsi Gunung Sinabung berdampak pada kehidupan penyintas. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun, yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Tanah di kampung sudah hancur semua, jadi keadaan kami sehari-hari disini ee.. kadang kerja di ladang orang dibayar upahan. kalau balik lagi ke kampung sudah tidak bisa lagi ladangnya digunakan karena banyak batu di situ. kampung kami yang dekat gunung itu, mulutnya itu ke arah kampung kami. Jadi awan panas sama ee.. lahar dingin dari situlah lewat. Waktu musibah itu tepatlah di ladang kami, itulah ladang berastepu. Rata... semua, pohon-pohon sudah tidak ada lagi...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...Kalau sudah terkena tanaman, masak semua dibuatnya, mati semua tanaman kita, jeruk itu berjatuhan lah semua buah-buah yang masih kecil, yang belum besar. Kalau daun kentang gosong dibuatnya gitu. Kita gatal-gatal kena abu itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban, namun individu yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive

dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan, baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa, tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut (Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (penyintas) menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat erupsi Gunung Sinabung adalah hal yang sulit dilakukan, meskipun terasa lebih ringan karena

bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima oleh penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, dan tragis suatu bencana, semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan goncangan batin yang dirasakan oleh para penyintas (Wiryasaputra, 2006).

Bencana alam membuat penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya. Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan secara optimal, namun dampak negatif pada sosio-ekonomi dan psikologis jangka panjang dari bencana dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama setelah bencana tersebut terjadi. Fenomena yang telihat dilapangan memperjelas bahwa bencana alam Gunung Sinabung berdampak negatif. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun, yang tinggal di pengungsian kota Kabanjahe:

“...Kalau perubahan ekonomi ya jelas lah, merosot jauh kayak mana pun

kalau seandainya dulu kita menanam sekarang enggak menanam lagi, apa yang kita jual ke pasar, kan enggak ada lagi, yang ditanampun enggak ada lagi. Seandainya pun dulu masih ada modal sudah kita tanam. Modal ada, datang gunung enggak kita panen, kan ekonomi pasti merosot. Itulah

makanya beban kami sangat berat.”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“... Kalau perekonomian gimana kalau di pengungsian, sudah itu tadi lah menurun karena kerjaan enggak ada...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Bencana yang terjadi dapat berdampak secara umum yaitu baik nature dan

manmade meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur

secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991). Bencana yang berdampak pada psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala psikologis lainnya (Salzer & Bickman. 2005).

Fenomena yang telihat dilapangan semakin memperjelas bahwa erupsi Gunung Sinabung berdampak pada psikologis mereka. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Banyak, banyak yang stress. Ada juga yang gantung diri, ada juga

yang minum racun. Itu lah makanya karena sudah stressnya...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...wihh..kalau aku dulu kan, waktu meletus itu, aku kalau ngomong kita gitu kan, baju ku terus basah.. aku sudah apa.. sudah trauma. kalau ngomong sama orang begitu terus apa air mata ku, basah semua baju ku.. begitu terus hari itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Dampak psikologis yang terjadi berupa trauma ataupun stres tidak dapat dihindari dari bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut. Bencana yang dahsyat membuat para penyintas merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Beberapa orang akan mengalami duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat. Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain, sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian tersebut akan terulang lagi, merasa kehilangan makna hidup, dan pesimis

menghadapi masa depan. Situasi bencana yang demikian muncul sebagai hasil interaksi antara satu atau kombinasi beberapa fenomena fisik dan komunitas manusia sebagai korban yang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi (Danieli, 1996). Dari situasi bencana yang terjadi akan memunculkan perasaan menerima kondisi yang sudah terjadi pada kehidupannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan, Ibu J berusia 45 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe:

“...Kita harus banyak berdoalah, kalau enggak, enggak bisa nak. selalu

berdoa..kalau kita enggak berdoa kita enggak kuat. Berserah, pasti ada

jalan keluar yang dikasih Yang Maha Kuasa...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014). Beberapa penyintas bencana alam yang mengalami gangguan kurang tidur, mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, dan akan mengalami perubahan pada kehidupan sosial. Keadaan ini akan menjadi stressful bagi mereka. Social support akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy & Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

Fenomena yang telihat dilapangan bahwa social support akan membantu beban mereka. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Pertamanya memang ya menderita juga, kalau pertamanya itu, tapi

sudah lama kelamaan banyak lah bantuan yang datang. Jadi, beban yang kami rasa sangat berat, jadi terangkat sedikit-sedikit. Jadi, anak sekolah diluar pun kalau ada yang membantu, ada ngasih uang. Jadi, untuk anak sekolah itu enggak terhalang. Jadi, beban itulah yang selama ini kami

rasa berat jadi terangkat oleh kalian semua...”

“...Kalau dikasihnya begitu mau nangis rasanya aku. Karena gembiranya, sedih juga nya. Orang enggak berapa kenal pun mau dia ngasihnya. Kan gembira kita itu, dikasihnya duit begitu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014) Bantuan yang diberikan orang lain kepada penyintas dapat meringankan beban mereka dan bantuan ini dapat berupa dukungan sosial. Social support

adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006). Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others

bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi (DiMatteo, M. Robin, 1991).

Bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti dengan menunjukkan perhatian, empati dan dukungan secara emosional (emotional or esteem support), sumber-sumber fisik dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat anak, dll (instrumental or tangible support), bantuan berupa saran-saran, petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di lapangan diketahui bahwa adanya social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung dalam bentuk instrumental or tangible support yaitu bantuan seperti makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup penyintas selama di pengungsian (Observasi, 15 November 2015).

Selain itu, peneliti juga melihat dalam bentuk lain yaitu companionship support seperti bantuan pendampingan, psikologis untuk anak-anak yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa psikologi yang bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan dan instansi dalam program “Heal Sinabung”.

Bantuan-bantuan lainya juga diberikan terlihat dari pemerintah, instansi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), komunitas motor, organisasi mahasiswa dari universitas lain dan bantuan secara pribadi (Observasi, 13 Desember 2014).

Social support yang diterima dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social support mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres akan membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatannya (Baron & Byrne, 2000).

Social Support dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi dampak dari bencana yang membuat penyintas menjadi merasa tidak berdaya, duka mendalam, depresi, gelisah, rasa bersalah, sulit mengontrol kemarahan dan sebagainya (Danieli, 1996). Individu yang mendapat social support merasa bahwa dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi individu, menolong secara psikologis maupun secara fisik. Social support dapat melindungi individu dari macam-macam bentuk patologi (Taylor, 2009).

Baron & Bryne (2000) social support diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk, 2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat social support memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi.

Individu yang memiliki Psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman yang buruk dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,1989).

Berdasarkan pemaparan diatas, seorang penyintas bencana alam Gunung Sinabung diperhadapkan dengan lingkungan yang baru yaitu tinggal di pengungsian. Tinggal di pengungsian menjadi tantangan hidup bagi penyintas karena mereka terpaksa harus meninggalkan harta benda mereka di kampung halaman akibatnya dapat membuat penyintas merasa stressful. Sebagai upaya untuk mengatasinya, penyintas membutuhkan bentuk dukungan dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belaang diatas, maka terdapat masalah yang bisa dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam gunung sinabung?

2. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang dibutuhkan pada penyintas bencana alam gunung sinabung dan mengapa mereka membutuhkan social support tersebut?

3. Bagaimana psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan mengenai social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung melalui bentuk-bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan

companionship support; dan dimensi psychological well-being seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumber informasi yang bermanfaat untuk pengembangan terhadap ilmu psikologi, khususnya dibidang psikologi sosial, berkenaan dengan social support dan

psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain :

a. Untuk penyintas bencana alam

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada penyintas bencana alam mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas sehingga dirinya mampu menyikapi setiap tantangan yang dihadapi secara positif serta dengan adanya social support ini diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dirasakan sehingga meningkatkan harapan untuk hidup lebih baik.

b. Untuk keluarga dan masyarakat

a) Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas bencana alam sehingga keluarga mampu memberikan social support kepada penyintas bencana alam, untuk tetap merasakan kehidupan yang lebih baik

b) Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk mengetahui masalah yang dihadapi pada penyintas bencana alam, apa dampak secara fisik terutama psikologis yang dirasakan oleh penyintas, dan bagaimana social support yang harus diberikan dan mengetahui kenapa mereka membutuhkan social support tersebut. Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara yang mengalami bencana alam dapat mengetahui hal apa yang dilakukan pada penyintas tersebut.

c. Untuk Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh penyintas dan masukan mengenai social support seperti apa yang harus segera diberikan untuk mengurangi tekanan psikologis pada penyintas bencana alam

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa bencana alam gunung sinabung, aspek psikologis yang ditemukan pada penyintas, penjelasan mengenai social support, dan juga penjelasan mengenai

psychological well-being, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan bencana alam gunung sinabung, masalah yang dihadapi peyintas, social support, dan psychological well-being.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data dan pembahasan berisi pendeskripsian data partisipan, analisa data partisipan dan pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai

social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologi untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.

Dokumen terkait