SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
ANGGITA WINDY MARPAUNG
101301103
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG
Anggita Windy dan Ari Widiyanta
ABSTRAK
Penyintas yang merasakan dampak khususnya yang tinggal di pengungsian memperoleh dan membutuhkan social support dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung, sebanyak enam partisipan perempuan dimana tiga partisipan di relokasi dan tiga partisipan tidak di relokasi. Pekerjaan partisipan yaitu empat partisipan bekerja sebagai petani, satu partisipan bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan satu partisipan bekerja sebagai bidan. Partisipan diperoleh melalui sampel kasus tipikal dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memperoleh social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. Hasil penelitian juga terlihat bahwa partisipan yang di relokasi lebih membutuhkan emotional or esteem support dan tangible or instrumental support
sedangkan partisipan yang tidak direlokasi membutuhkan tangible or instrumental support dan informational support. Hal ini karena kebutuhan dan kehilangan yang dirasakan berbeda. Hasil penelitian juga terlihat bahwa psychological well-being
yang cukup baik dimana penyintas memiliki penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup yang jelas namun beberapa penyintas kurang dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan kurang dapat bertumbuh. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, social support dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.
SOCIAL SUPPORT AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN NATURAL DISASTER SURVIVORS SINABUNG
Anggita Windy and Ari Widiyanta
ABSTRACT
Survivors who feel the impact especially those living in refugee camps to obtain and requires social support from others and survivors demanded to realize himself to overcome every challenge of life and fulfill everything their need. This study used a qualitative approach that aims to identify and understand the social support and psychological well-being in a natural disaster survivors Sinabung, as many as six participants were women, where three participants in the relocation and three participants were not relocated. There are four participants work as a farmer, one of others participants work as farmers and self-employed, and another participants work as a midwife. Participants obtained through sample typical cases with in-depth interview. The results showed that participants acquire social support such as emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, and companionship support. The results also shown that the participants in the relocation are more in need of emotional or esteem support and tangible or instrumental support, while participants who are not relocated require tangible or instrumental support and informational support. These are caused the loss and perceived need different. The results also shown that psychological well-being is good enough where survivors have self-acceptance, autonomy, environmental mastery, and purpose in life, but some survivors are less able to establish a positive relationship with others and personal growth. These are influenced by economic factor, social support and evaluation of the experience of life.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan karunia dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul penelitian dalam skripsi ini adalah
“Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam
Gunung Sinabung”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka bertujuan
memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucap rasa syukur tidak henti-hentinya karena kasih-Nya
yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan
bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis.
Ucapan terimakasih tersebut dipersembahkan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara,
2. Bapak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis selama proses mengerjakan skripsi ini. Terima kasih
atas bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, dan tenaga yang telah bapak
berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini,
3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd, selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan Ibu selama saya mengikuti
perkuliahan di Fakultas Psikologi USU,
4. Ibu Mutia Nauly, M.Si., psikolog dan Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih.,
waktu untuk menguji skripsi ini dan memberikan informasi dan kritik serta
saran demi penyempurnaan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar khususnya dosen di Departemen Psikologi Sosial, yang
telah membagikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis dan kepada seluruh
staf pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, terima kasih
atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi,
6. Keluarga tersayang, Papa Edwin Marpaung, Mama Budi Rahayu Tambunan,
Abang Martin Maulana Marpaung, Abang Joenari Anthony Marpaung, dan
Kakak Hetti Citra Marbun yang selalu menaruh kasih setiap waktu. Terima
kasih atas doa, kesabaran, dukungan moral serta material yang telah diberikan
selama ini kepada penulis,
7. Sahabat terkasih HF (Happy Family). Mona Sriukur Meliala, Putri Olwinda Sianipar, Yosephine Allysa Mendrofa, Christian Yosie Wahyuni Simbolon,
Martina Lydia, dan Selvia Veronika Tarigan, yang menemani dan
mendukung. Terima kasih telah menjadi bagian keluarga penulis selama di
kampus,
8. Sahabat kelompok kecil, Godwin. Abang Hitler Manik, Mentari Manik dan
Rocky Sihite, yang senantiasa memberikan dukungan serta doa kepada
penulis,
9. Sahabat terbaik penulis, “Partner in Crime”. Rina, Yossica dan Manna, yang
10.Teman-teman khususnya Teissa, Martha, Momo, Owl, Anggun, Riri, dan
Rika yang memberikan semangat, kritik, dan bantuan dalam menyelesaikan
skripsi ini,
11.Abang Syahta, yang selalu sabar dan setia memberikan dukungan, doa, serta
perhatian kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini,
12.Seluruh teman angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU, terima kasih atas
kebersamaan dan semangat yang diberikan,
13.Kepada para partisipan penelitian, yang telah memberikan waktu dan
mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya dengan penulis. Terima
kasih atas bantuan serta semangat yang kalian berikan kepada penulis.
Semoga Tuhan memberikan berkat berkelimpahan kepada kalian.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala
kebaikan saudara-saudara semua. Penulis mengharapkan segala kritik maupun
saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini.
Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi banyak pihak.
Medan, 26 Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Penelitian ... 12
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Sistematika Penelitian ... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16
A. Social Support ... 16
1. Pengertian Social Support ... 16
2. Bentuk-bentuk Social Support ... 17
3. Dampak Social Support ... 19
B. Psychological Well-being ... 22
1. Pengertian Psychological Well-being... 22
2. Dimensi Psychological Well-being ... 23
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being... 27
1. Pengertian Penyintas ... 31
2. Pengertian Bencana Alam ... 31
3. Bencana Alam Gunung Sinabung ... 33
4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung ... 34
D. Social Support dan Psychological Well-being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung ... 37
E. Paradigma Berpikir ... 41
BAB III METODE PENELITIAN ... 42
A. Penelitian Kualitatif Fenomenologis ... 42
B. Partisipan Penelitian ... 44
1. Karakteristik Partisipan ... 44
2. Jumlah Partisipan ... 44
3. Teknik Pengambilan Partisipan ... 46
4. Lokasi Penelitian ... 46
C. Metode Pengumpulan Data ... 46
D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 47
1. Pedoman Wawancara ... 47
2. Alat Perekam (Handphone) ... 47
3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat ... 47
E. Prosedur Penelitian ... 48
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 48
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 50
4. Prosedur Analisa dan Interpretasi Data ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55
A. HASIL ANALISA DATA ... 55
1. Partisipan A (Ibu R.A) ... 55
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan A ... 55
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan A ... 64
c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan A ... 68
2. Partisipan B (Ibu R.B) ... 75
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan B ... 75
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan B ... 83
c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan B ... 87
3. Partisipan C (Ibu R.C) ... 93
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan C ... 93
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan C .... 103
c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan C ... 106
4. Partisipan D (Ibu R.D) ... 114
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan D ... 114
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan D .... 122
c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan D ... 124
5. Partisipan E (Ibu R.E) ... 130
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan E ... 130
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan E ... 137
6. Partisipan F (Ibu R.F) ... 145
a. Gambaran Social Support yang diperoleh Pada Partisipan F ... 145
b. Gambaran Social Support yang dibutuhkan Pada Partisipan F ... 154
c. Gambaran Psychological Well-being Pada Partisipan F ... 157
B. PEMBAHASAN ... 167
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 235
A. Kesimpulan ... 235
B. Saran ... 241
1. Saran Metodologis... 241
2. Saran Praktis ... 242
DAFTAR PUSTAKA ... 243
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
3.1. Gambaran Data Keenam Partisipan ... 45
4.1. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan A ... 63 4.2. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan A ... 67
4.3. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan A ... 74 4.4. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan B ... 82 4.5. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan B ... 86
4.6. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan B ... 92 4.7. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan C .... 101 4.8. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan C ... 105
4.9. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan C ... 113 4.10. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan D .... 121 4.11. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan D ... 123
4.12. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan D ... 129 4.13. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan E .... 136 4.14. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan E ... 139
4.16. Rangkuman Analisis Social Support yang diperoleh Pada Partisipan F .... 153 4.17. Rangkuman Analisis Social Support yang dibutuhkan Pada
Partisipan F ... 156
4.18. Rangkuman Analisis Psychological Well-being Pada Partisipan F ... 165 4.19. Gambaran Kemunculan Social Support dan Psychological Well-being Pada
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... 248
SOCIAL SUPPORT DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENYINTAS BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG
Anggita Windy dan Ari Widiyanta
ABSTRAK
Penyintas yang merasakan dampak khususnya yang tinggal di pengungsian memperoleh dan membutuhkan social support dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung, sebanyak enam partisipan perempuan dimana tiga partisipan di relokasi dan tiga partisipan tidak di relokasi. Pekerjaan partisipan yaitu empat partisipan bekerja sebagai petani, satu partisipan bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan satu partisipan bekerja sebagai bidan. Partisipan diperoleh melalui sampel kasus tipikal dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memperoleh social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. Hasil penelitian juga terlihat bahwa partisipan yang di relokasi lebih membutuhkan emotional or esteem support dan tangible or instrumental support
sedangkan partisipan yang tidak direlokasi membutuhkan tangible or instrumental support dan informational support. Hal ini karena kebutuhan dan kehilangan yang dirasakan berbeda. Hasil penelitian juga terlihat bahwa psychological well-being
yang cukup baik dimana penyintas memiliki penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup yang jelas namun beberapa penyintas kurang dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan kurang dapat bertumbuh. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, social support dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.
SOCIAL SUPPORT AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN NATURAL DISASTER SURVIVORS SINABUNG
Anggita Windy and Ari Widiyanta
ABSTRACT
Survivors who feel the impact especially those living in refugee camps to obtain and requires social support from others and survivors demanded to realize himself to overcome every challenge of life and fulfill everything their need. This study used a qualitative approach that aims to identify and understand the social support and psychological well-being in a natural disaster survivors Sinabung, as many as six participants were women, where three participants in the relocation and three participants were not relocated. There are four participants work as a farmer, one of others participants work as farmers and self-employed, and another participants work as a midwife. Participants obtained through sample typical cases with in-depth interview. The results showed that participants acquire social support such as emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, and companionship support. The results also shown that the participants in the relocation are more in need of emotional or esteem support and tangible or instrumental support, while participants who are not relocated require tangible or instrumental support and informational support. These are caused the loss and perceived need different. The results also shown that psychological well-being is good enough where survivors have self-acceptance, autonomy, environmental mastery, and purpose in life, but some survivors are less able to establish a positive relationship with others and personal growth. These are influenced by economic factor, social support and evaluation of the experience of life.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.
Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan
cenderung meningkat. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor (BNPB, 2007).
Menurut Wassenhove (2006), setiap tahun terjadi sekitar 500 bencana
alam yang membunuh 75.000 manusia dan berdampak pada 200 juta orang
lainnya. Bertambahnya jumlah populasi yang menyebabkan masuknya manusia ke
daerah-daerah rawan bencana serta adanya perubahan iklim membuat jumlah
bencana alam ke depannya menjadi semakin banyak (Whybark, 2007). Bencana
dapat dipicu oleh perbuatan manusia termasuk di dalamnya kecelakaan, perang,
dan lainnya (Danieli, 1996).
Indonesia berpotensi besar mengalami bencana dimasa mendatang karena
berbagai faktor, misalnya letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia
juga merupakan negara kepulauan yang dilingkari oleh jalur gempa paling aktif di
dunia, yaitu Cincin Api Pasifik. Cincin Api merupakan akibat langsung dari
pertemuan lempeng tektonik, dimana Indonesia terletak di pertemuan 3 lempeng,
yaitu Lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Kondisi ini menyebabkan
bencana hidrometeorologi yang terkait dengan cuaca juga sangat sering melanda
wilayah nusantara (Gempa BNPB, 2014). Indonesia memiliki gunung berapi
dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif
(Lavigne, dkk, 2007).
Salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia berada di Kabupaten
Karo . Letak geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah Sumatera, di
Kabupaten Karo ada 2 dari 129 gunung berapi yang aktif berada di Indonesia
yaitu Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini
berstatus siaga (level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), catatan
letusan Gunung berapi Sinabung pada tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik
berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran lahar yang mengalir ke arah
Selatan. Kemudian pada tahun 1912, gunung ini mengeluarkan aktivitas solfatara
yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun, gunung berapi
berjenis strato ini kembali meletus. Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi
Gunung Sinabung yang cukup mengejutkan pada tahun 2010, terjadi beberapa
kali letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada tanggal 7 april
2010 sampai pada tanggal 27 agustus 2010 menyebabkan status Gunung Sinabung
berubah dari tipe B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, Gunung Sinabung
menunjukkan aktivitas vulkanik selama 15 September 2013 dan terakhir 24
oktober 2013. Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19-24
Gunung Sinabung masih pada waspada, Level III atau siaga (Gempa BNPB,
2013).
Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung
Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan
pernyataan: “Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe
A. Masyarakat agar mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung”
(Anshari, 2014).
Gunung Sinabung, tanggal 29 Januari 2014 Status level IV (Awas) ini
terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan
awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari
2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus
terjadi sampai hari berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk
mengungsi, hingga melebihi 20 ribu orang. Setelah kondisi ini bertahan terus,
pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan
direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat
dipulangkan. Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3
orang luka-luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa
Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya I (Berita Satu,
2014).
Tercatat sebanyak 3.287 jiwa atau 1.019 kepala keluarga pengungsi
Sinabung yang masih tinggal di penampungan. Mereka berasal dari zona merah
(daerah berbahaya), yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem
rumahnya, sedangkan pengungsi yang tinggal di hunian sementara 6.179 jiwa
(2.053 KK). Pengungsi ini berasal dari Desa Sukameriah, Bekerah, Simacem,
Kutatonggal, Gamber, Berastepu, dan Gurukinayan (Assifa, 2014)
Data sementara yang diperoleh Badan Penanggulan Bencana Daerah
(BPBD), kerusakan infrastruktur pasca-erupsi Gunung Sinabung mulai September
2013 hingga Oktober 2014 ini mencapai lebih dari 5.000 bangunan. Seperti
ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, bangunan itu terdiri dari rumah, sekolah,
rumah ibadah, dan pasar. Kerusakan lainnya mencakup infrastruktur jalan dan
irigasi (Liputan 6, 2014).
Erupsi Gunung Sinabung berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan
perkebunan seluas 60 hektare. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar
masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi
ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban meninggal sebanyak dua
orang (KeMenKes RI, 2010). Lahan pertanian milik masyarakat yang mengalami
kerusakan dan terancam gagal panen akibat erupsi Gunung Sinabung di enam
kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan mencapai
2.924 hektare. Kerusakan komoditas pertanian milik masyarakat di sana itu
meliputi tanaman cabai yang mengalami kerusakan seluas 367 hektare, kentang
sebanyak 230 hektare, sayur kembang kol mencapai 222 hektare, sisanya tomat
dan sayuran lainnya. (Berita Satu, 2014)
Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak luas hingga turunnya kualitas
perkembangbiakkan ternak serta penurunan drastis kunjungan wisata alam
Sumatera. Kerugian total yang diakibatkan bencana panjang itu mencapai lebih
dari Rp. 1 Triliun (Liputan 6, 2014)
Fenomena yang telihat di lapangan semakin memperjelas bahwa erupsi
Gunung Sinabung berdampak pada kehidupan penyintas. Ini terbukti dari hasil
wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun, yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :
“...Tanah di kampung sudah hancur semua, jadi keadaan kami sehari-hari disini ee.. kadang kerja di ladang orang dibayar upahan. kalau balik lagi ke kampung sudah tidak bisa lagi ladangnya digunakan karena banyak batu di situ. kampung kami yang dekat gunung itu, mulutnya itu ke arah kampung kami. Jadi awan panas sama ee.. lahar dingin dari situlah lewat. Waktu musibah itu tepatlah di ladang kami, itulah ladang berastepu. Rata... semua, pohon-pohon sudah tidak ada lagi...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“...Kalau sudah terkena tanaman, masak semua dibuatnya, mati semua tanaman kita, jeruk itu berjatuhan lah semua buah-buah yang masih kecil, yang belum besar. Kalau daun kentang gosong dibuatnya gitu. Kita gatal-gatal kena abu itu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena
dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban, namun individu
yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive
dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah
penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan,
baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa,
tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut
(Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (penyintas) menerima
kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat erupsi Gunung
bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan
berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima oleh penyintas
bencana alam Gunung Sinabung. Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, dan
tragis suatu bencana, semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan
goncangan batin yang dirasakan oleh para penyintas (Wiryasaputra, 2006).
Bencana alam membuat penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya.
Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan secara optimal, namun
dampak negatif pada sosio-ekonomi dan psikologis jangka panjang dari bencana
dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama
setelah bencana tersebut terjadi. Fenomena yang telihat dilapangan memperjelas
bahwa bencana alam Gunung Sinabung berdampak negatif. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun, yang tinggal di pengungsian kota Kabanjahe:
“...Kalau perubahan ekonomi ya jelas lah, merosot jauh kayak mana pun
kalau seandainya dulu kita menanam sekarang enggak menanam lagi, apa yang kita jual ke pasar, kan enggak ada lagi, yang ditanampun enggak ada lagi. Seandainya pun dulu masih ada modal sudah kita tanam. Modal ada, datang gunung enggak kita panen, kan ekonomi pasti merosot. Itulah
makanya beban kami sangat berat.”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“... Kalau perekonomian gimana kalau di pengungsian, sudah itu tadi lah menurun karena kerjaan enggak ada...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Bencana yang terjadi dapat berdampak secara umum yaitu baik nature dan
manmade meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari,
secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi
nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).
Bencana yang berdampak pada psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas,
takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala
psikologis lainnya (Salzer & Bickman. 2005).
Fenomena yang telihat dilapangan semakin memperjelas bahwa erupsi
Gunung Sinabung berdampak pada psikologis mereka. Ini terbukti dari hasil
wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :
“...Banyak, banyak yang stress. Ada juga yang gantung diri, ada juga
yang minum racun. Itu lah makanya karena sudah stressnya...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“...wihh..kalau aku dulu kan, waktu meletus itu, aku kalau ngomong kita gitu kan, baju ku terus basah.. aku sudah apa.. sudah trauma. kalau ngomong sama orang begitu terus apa air mata ku, basah semua baju ku.. begitu terus hari itu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Dampak psikologis yang terjadi berupa trauma ataupun stres tidak dapat
dihindari dari bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut. Bencana yang dahsyat
membuat para penyintas merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian
mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Beberapa orang akan
mengalami duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat.
Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan
mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain,
sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian
menghadapi masa depan. Situasi bencana yang demikian muncul sebagai hasil
interaksi antara satu atau kombinasi beberapa fenomena fisik dan komunitas
manusia sebagai korban yang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi
(Danieli, 1996). Dari situasi bencana yang terjadi akan memunculkan perasaan
menerima kondisi yang sudah terjadi pada kehidupannya. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh partisipan, Ibu J berusia 45 tahun yang tinggal di pengungsian
kota kabanjahe:
“...Kita harus banyak berdoalah, kalau enggak, enggak bisa nak. selalu
berdoa..kalau kita enggak berdoa kita enggak kuat. Berserah, pasti ada
jalan keluar yang dikasih Yang Maha Kuasa...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014).
Beberapa penyintas bencana alam yang mengalami gangguan kurang tidur,
mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, dan akan mengalami perubahan
pada kehidupan sosial. Keadaan ini akan menjadi stressful bagi mereka. Social support akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy & Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).
Fenomena yang telihat dilapangan bahwa social support akan membantu beban mereka. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu
J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota
kabanjahe :
“...Pertamanya memang ya menderita juga, kalau pertamanya itu, tapi
sudah lama kelamaan banyak lah bantuan yang datang. Jadi, beban yang kami rasa sangat berat, jadi terangkat sedikit-sedikit. Jadi, anak sekolah diluar pun kalau ada yang membantu, ada ngasih uang. Jadi, untuk anak sekolah itu enggak terhalang. Jadi, beban itulah yang selama ini kami
rasa berat jadi terangkat oleh kalian semua...”
“...Kalau dikasihnya begitu mau nangis rasanya aku. Karena gembiranya, sedih juga nya. Orang enggak berapa kenal pun mau dia ngasihnya. Kan gembira kita itu, dikasihnya duit begitu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Bantuan yang diberikan orang lain kepada penyintas dapat meringankan
beban mereka dan bantuan ini dapat berupa dukungan sosial. Social support
adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang
diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006).
Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others
bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua,
pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi
(DiMatteo, M. Robin, 1991).
Bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada penyintas bencana
alam Gunung Sinabung seperti dengan menunjukkan perhatian, empati dan
dukungan secara emosional (emotional or esteem support), sumber-sumber fisik dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat
anak, dll (instrumental or tangible support), bantuan berupa saran-saran, petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di lapangan diketahui
bahwa adanya social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung dalam bentuk instrumental or tangible support yaitu bantuan seperti makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup penyintas selama di
Selain itu, peneliti juga melihat dalam bentuk lain yaitu companionship support seperti bantuan pendampingan, psikologis untuk anak-anak yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa psikologi yang bekerja sama dengan
organisasi kemahasiswaan dan instansi dalam program “Heal Sinabung”.
Bantuan-bantuan lainya juga diberikan terlihat dari pemerintah, instansi, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), komunitas motor, organisasi mahasiswa dari
universitas lain dan bantuan secara pribadi (Observasi, 13 Desember 2014).
Social support yang diterima dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social support mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk
kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres akan
membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan
kesehatannya (Baron & Byrne, 2000).
Social Support dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi dampak dari bencana yang membuat penyintas menjadi merasa tidak berdaya,
duka mendalam, depresi, gelisah, rasa bersalah, sulit mengontrol kemarahan dan
sebagainya (Danieli, 1996). Individu yang mendapat social support merasa bahwa dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi
Baron & Bryne (2000) social support diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal
tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk, 2005) yang
menunjukkan bahwa individu yang mendapat social support memiliki tingkat
psychological well-being yang tinggi.
Individu yang memiliki Psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif,
mampu melalui pengalaman-pengalaman yang buruk dapat menghasilkan kondisi
emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,1989).
Berdasarkan pemaparan diatas, seorang penyintas bencana alam Gunung
Sinabung diperhadapkan dengan lingkungan yang baru yaitu tinggal di
pengungsian. Tinggal di pengungsian menjadi tantangan hidup bagi penyintas
karena mereka terpaksa harus meninggalkan harta benda mereka di kampung
halaman akibatnya dapat membuat penyintas merasa stressful. Sebagai upaya untuk mengatasinya, penyintas membutuhkan bentuk dukungan dari orang lain
dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi
setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Oleh karena itu,
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belaang diatas, maka terdapat masalah yang bisa
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam gunung sinabung?
2. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang dibutuhkan pada penyintas bencana alam gunung sinabung dan mengapa mereka membutuhkan social support tersebut?
3. Bagaimana psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan
mengenai social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung melalui bentuk-bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan
companionship support; dan dimensi psychological well-being seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
sumber informasi yang bermanfaat untuk pengembangan terhadap ilmu psikologi,
khususnya dibidang psikologi sosial, berkenaan dengan social support dan
psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain :
a. Untuk penyintas bencana alam
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
penyintas bencana alam mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan
oleh penyintas sehingga dirinya mampu menyikapi setiap tantangan yang
dihadapi secara positif serta dengan adanya social support ini diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dirasakan sehingga
meningkatkan harapan untuk hidup lebih baik.
b. Untuk keluarga dan masyarakat
a) Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang
dirasakan oleh penyintas bencana alam sehingga keluarga mampu
b) Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk
mengetahui masalah yang dihadapi pada penyintas bencana alam, apa
dampak secara fisik terutama psikologis yang dirasakan oleh
penyintas, dan bagaimana social support yang harus diberikan dan mengetahui kenapa mereka membutuhkan social support tersebut. Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara yang
mengalami bencana alam dapat mengetahui hal apa yang dilakukan
pada penyintas tersebut.
c. Untuk Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pemerintah mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh
penyintas dan masukan mengenai social support seperti apa yang harus segera diberikan untuk mengurangi tekanan psikologis pada penyintas
bencana alam
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa bencana alam
gunung sinabung, aspek psikologis yang ditemukan pada penyintas,
penjelasan mengenai social support, dan juga penjelasan mengenai
BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang
berhubungan dengan bencana alam gunung sinabung, masalah yang
dihadapi peyintas, social support, dan psychological well-being.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi
penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang
dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan data.
BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data dan pembahasan
berisi pendeskripsian data partisipan, analisa data partisipan dan
pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan
pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai
social support dan psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang
telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai
dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologi untuk
BAB II
LANDASAN TEORI A. Social Support
1. Pengertian Social Support
Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik
pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga
individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian
dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan
yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman,
hubungan sosial dan komunikasi.
Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau
kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997)
mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu
keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan
diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan
perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara
umum.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain.
Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan
kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan
hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan
anggota kelompok masyarakat.
2. Bentuk-Bentuk Social Support
House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu :
a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan
b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif
untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu.
c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan
bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.
d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk,
Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk
social support, yaitu:
a) Emotional or esteem supporrt
Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang
sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif,
dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009)
berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam
perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa
dicintai dan dihargai.
b) Tangible or instrumental Support
Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau
nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau
langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut
Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo
(1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.
c) Informational Support
Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti
atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya
mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa
dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti
memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna
untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan
penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.
d) Companionship Support
Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan
orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok
orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat
mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran
akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan
Wills dalam Orford, 1992)
Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support
menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support.
3. Dampak Social Support
Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari
secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.
Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya
tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000).
Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain
dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut,
dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang
berkepanjangan.
Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk
menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:
1. Buffering Hypotesis
Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan
yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor
2. Direct effect hypotesis
Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan
individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada
gaya hidup yang sehat.
Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan
memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan
beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.
Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup,
individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional
sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan.
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
individu.
3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu
yang diinginkannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu
hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).
B. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychological well-being
Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat
menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki
psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995).
Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang
positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan
kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain,
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu
mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu
mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989).
Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada
Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being
yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi
psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi
secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002).
2. Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi
psychological well-being, yakni :
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima
setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan
mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan
karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan
diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan
kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan
menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan
dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang
terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik
aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif.
Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi
penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan
dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan
keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes,
1995).
b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others). Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai
kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan
penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor
tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang
hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang
lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam
perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain.
Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak
memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk
bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa
terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki
keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan
c. Otonomi (Autonomy)
Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk
menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya
berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada
dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap
mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku
dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya
berdasarkan standar pribadi
Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu
cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga
bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga
membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan
berpikir (Ryff dan Keyes, 1995).
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk
menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh
lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu
memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya,
menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan
menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola
kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki
lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu
mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).
e. Tujuan Hidup (Purpose in life).
Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi
secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan
memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan
yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu
tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak
dicapai dalam kehidupannya.
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna
hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak
memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini
berarti (Ryff dan Keyes, 1995).
f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari
pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk
dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki
tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi
diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu,
serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan
efektif.
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi
menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat
perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan
merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru
(Ryff dan Keyes, 1995).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu :
A. Faktor Demografis
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut :
1. Usia
Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer
(1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda,
dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa
dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan
Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa
madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan
orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama
usia dewasa muda hingga dewasa akhir.
2. Jenis Kelamin
Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria,
wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan
orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang
lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih
sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan
pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi.
3. Status Sosial Ekonomi
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup
pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat
hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan
individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng
membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang
Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer
1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan
yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya
psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996).
4. Budaya
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak
terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih
berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif
dengan orang lain.
Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan
psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian
tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif
dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan
penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai
diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari
dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi.
B. Dukungan Sosial
Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu
memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan
psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam
(Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan
sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan
diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih,
kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub
(Taylor, 1999).
C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup.
Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan
evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh
C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas
Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya
bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para
pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata
yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak
harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman,
2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa
penyintas berasal dari kata “sintas” yang mempunyai makna “terus bertahan hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”. Kemudian dalam
pemakaiannya diberikan awalan “pe-“, sehingga menjadi penyintas.
Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang
selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005).
Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari
suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat
berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007).
2. Pengertian Bencana Alam
Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1
Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana
didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian
traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas
waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang
disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006).
Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman
tradisional’ seperti gejala‐gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan
gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Sementara itu timbul pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan
terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman
dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan‐bahan
berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan
untuk tujuan damai maupun peperangan.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror