BAB II
LANDASAN TEORI A. Social Support
1. Pengertian Social Support
Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik
pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga
individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian
dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan
yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman,
hubungan sosial dan komunikasi.
Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau
kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997)
mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu
keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan
diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan
perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara
umum.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain.
Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan
kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan
hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan
anggota kelompok masyarakat.
2. Bentuk-Bentuk Social Support
House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu :
a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan
b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif
untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu.
c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan
bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.
d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk,
Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk
social support, yaitu:
a) Emotional or esteem supporrt
Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang
sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif,
dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009)
berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam
perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa
dicintai dan dihargai.
b) Tangible or instrumental Support
Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau
nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau
langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut
Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo
(1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.
c) Informational Support
Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti
atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat
dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya
mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa
dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti
memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna
untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan
penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang
dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.
d) Companionship Support
Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan
orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok
orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat
mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran
akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan
Wills dalam Orford, 1992)
Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support.
3. Dampak Social Support
Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya
secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian
yang dapat mengakibatkan stres.
Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang
mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya
tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000).
Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain
dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut,
dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang
berkepanjangan.
Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk
menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:
1. Buffering Hypotesis
Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan
efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan
yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor
2. Direct effect hypotesis
Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan
individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada
gaya hidup yang sehat.
Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan
memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan
beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.
Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup,
individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional
sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan.
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
individu.
3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu
yang diinginkannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu
hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).
Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan
B. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychological well-being
Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.
Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat
menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki
psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995).
Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang
positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan
kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain,
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu
mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu
mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989).
Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada
Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi
psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi
secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002).
2. Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi
psychological well-being, yakni :
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima
setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan
mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan
karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan
diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan
kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).
Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan
menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan
dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang
terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik
aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif.
Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi
penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan
dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan
keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes,
1995).
b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others).
Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai
kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan
penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor
tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang
hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang
lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam
perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain.
Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak
memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk
bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa
terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki
keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan
c. Otonomi (Autonomy)
Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk
menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya
berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada
dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap
mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku
dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya
berdasarkan standar pribadi
Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu
cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga
bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga
membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan
berpikir (Ryff dan Keyes, 1995).
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk
menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh
lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu
memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya,
menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan
menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola
kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki
lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu
mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).
e. Tujuan Hidup (Purpose in life).
Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi
secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan
memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan
yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu
tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak
dicapai dalam kehidupannya.
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna
hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak
memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini
berarti (Ryff dan Keyes, 1995).
f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari
pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk
dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor
tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki
tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi
diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu,
serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan
efektif.
Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi
menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat
perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan
merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru
(Ryff dan Keyes, 1995).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu :
A. Faktor Demografis
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut :
1. Usia
Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer
(1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda,
dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa
dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan
Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa
madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan
orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama
usia dewasa muda hingga dewasa akhir.
2. Jenis Kelamin
Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria,
wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan
orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang
lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih
sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan
pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi.
3. Status Sosial Ekonomi
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup
pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat
hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan
individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng
membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang
Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer
1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan
yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang
berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya
psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996).
4. Budaya
Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak
terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau
otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih
berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif
dengan orang lain.
Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan
psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian
tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif
dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan
penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai
diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari
dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi.
B. Dukungan Sosial
Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu
memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan
psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam
(Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan
sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan
diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih,
kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub
(Taylor, 1999).
C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup.
Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan
evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh
C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas
Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya
bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para
pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata
yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak
harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman,
2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa
penyintas berasal dari kata “sintas” yang mempunyai makna “terus bertahan
hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”. Kemudian dalam
pemakaiannya diberikan awalan “pe-“, sehingga menjadi penyintas.
Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang
selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005).
Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari
suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat
berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007).
2. Pengertian Bencana Alam
Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1
Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana
didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian
traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas
waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang
disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006).
Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman
tradisional’ seperti gejala‐gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan
gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Sementara itu timbul pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan
terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman
dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan‐bahan
berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan
untuk tujuan damai maupun peperangan.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror
3. Bencana Alam Gunung Sinabung
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang
mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut yang berada pada
koordinat 30 10 menit LU dan 980 23 menit BT. Letaknya cukup dekat dengan
kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya.
Satu-satunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,R, 2008)
Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28
Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010,
sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian 1.500
meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga yang
tinggal di sekitar gunung diungsikan. Berikut hasil pantauan Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi yaitu aktivitas tanggal 28 Agustus 2010 pada
pukul 08.00-16.00 WIB, secara visual terpantau asap putih tipis, ketinggian
sekitar 20 meter dengan tekanan lemah hingga sedang. Pada pukul 16.00 - 19.00
WIB, Gunung Sinabung tertutup kabut dan pada pukul Pukul 19.00 - 24.00 WIB,
tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. Dengan demikian Gunung Sinabung
tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan.
Aktivitas yang terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 adalah pukul 00.08
WIB, terdengar suara gemuruh. Dengan aktivitas tersebut maka Gunung Sinabung
diubah tipenya dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan AWAS
terhitung pukul 00.10 WIB tanggal 29 Agustus 2010, pada Pukul 00.10 WIB
berkoordinasi dengan tim di lapangan, diputuskan dilakukan pengungsian
dan pada Pukul 00.12 WIB, tampak asap letusan dengan ketinggian 1500 meter
dari bibir kawah. Pada saat ini sejumlah warga yang masih bertahan karena
menjaga rumahnya di zona bahaya pun akhirnya ikut mengungsi. karena hutan di
sekeliling desa mereka sudah rata dihujani debu vulkannik. Kumpulan debu
vulkanik keluar lagi dari kawah Gunung Sinabung, pukul 06.27 WIB, pada hari
Senin, 30 Agustus 2010, Gunung yang semula tenang tiba-tiba saja kembali
memuntahkan letusannya. Walaupun tidak disertai lava namun terlihat munculnya
debu vulkanik disertai gemuruh dan getaran hebat (Wikipedia B, 2010).
4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung
Dampak umum bencana baik nature dan manmade dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan
hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan
keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara
nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional,
dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).
Adapun dampak bencana terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis
kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat
mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan
kecacatan dalam jumlah besar. (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi
sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat
terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko
Menurut American Psychological Association (2006), setiap individu
mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana.
Faktor-faktornya adalah: (1) Tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan,
akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) Kemampuan individu secara
umum untuk menghadapi situasi emosional, (3) Peristiwa lain yang menimbulkan
stress mengikuti peristiwa traumatic yang baru dialaminya.
Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang
bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi (
shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya,
merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi,
tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi,
hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi
fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak
jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa
terganggu, menarik diri, diabaikan).
Bencana dapat menyebabkan dampak psikologis, yang meliputi shock,
stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan
gejala-gejala psikologis lainnya. Dari kumpulan gejala-gejala-gejala-gejala tersebut dapat
dikategorikan dalam posttraumatic stress disorder (Salzer & Bickman, 2005).
Bencana alam yang terjadi akan memunculkan dampak positif dan dampak
negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak
positifnya adalah tanah di sekitar daerah tersebut subur setelah berapa tahun
Gunung Sinabung terdapat banyak pohon tinggi yang dapat menjadi tempat
penampungan air, sehingga daerah sekitarnya tidak kekurangan air. Kondisi udara
yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung.
Sementara dampak negatifnya adalah berjatuhan korban yang terkena lava panas,
dan dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit karena terhirup butiran abu
vulkanik.
Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat ditemukan
karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan, 2004):
1. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan tersebut
biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari kejadian yang mendadak
dan tidak terduga serta luasnya cakupan akan dampak dari bencana.
2. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat langsung maupun
tidak. Biasanya dapat berupa kematian, kesengsaraan, maupun akibat
negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem pemerintahan,
bagunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum
lainnya.
Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau
penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pelayanan sosial, yang
D. Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung
Bencana alam dapat diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, kekeringan, angin topan,
tanah longsor, dan gunung meletus. Indonesia yang memiliki sejarah bencana dan
potensi bencana dimasa mendatang dikarenakan berbagai faktor, seperti letak,
kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia memiliki gunung berapi dengan
jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif. Salah
satu gunung berapi yang aktif berada di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung
Bencana alam gunung sinabung yang terjadi akan memunculkan dampak
positif maupun dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah
satu contoh dari dampak positif yaitu akan menyuburkan tanah yang terkena
erupsi Gunung Sinabung pada jangka waktu panjang sehingga tanah yang menjadi
subur di sekitar daerah Gunung Sinabung akan tumbuh pohon-pohon yang dapat
menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya juga tidak
kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari
keberadaan Gunung Sinabung.
Sementara dampak negatif adalah adanya korban yang terkena lava panas
saat erupsi terjadi, menimbulkan berbagai penyakit, kerusakan infrastruktur jalan
dan irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, penurunan terjadi pada
perkembangbiakan ternak, penurunan terjadi pada kunjungan wisata, penurunan
Keadaan ini dirasakan langsung oleh penyintas bencana alam Gunung
Sinabung khususnya penyintas yang tinggal di pengungsian. Penyintas adalah
orang yang selamat dari suatu peristiwa yang kemungkinan dapat mengancam
nyawa melayang atau sangat berbahaya. Penyintas yang berada di pengungsian
Gunung Sinabung adalah penyintas yang tinggal di desa yang dinyatakan zona
merah atau tidak aman untuk ditempati, penyintas yang tinggal di pengungsian
terdiri dari dua penyintas, pertama penyintas adalah orang-orang yang akan di
relokasi ke desa yang baru yaitu siosar. Hal ini karena tempat tinggal mereka
sudah tidak dapat ditempati kembali dan mengancam nyawanya, dan kedua
penyintas adalah orang-orang yang tidak di relokasi artinya mereka dapat pulang
ke rumah mereka kembali. Hal ini karena desa tempat mereka tinggal masih layak
untuk ditempati.
Selama tinggal di pengungsian, terbatasnya sumber-sumber personal
material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian
psikologis individu pasca-bencana berupa kemampuan individu dalam melakukan
penyesuian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal,
interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca-bencana. Oleh karena itu, pentingnya
social support terhadap pemulihan pada penyintas bencana alam.
Bentuk-bentuk social support yang tepat diberikan kepada penyintas bencana alam dengan berbagai permasalahan, baik fisik maupun psikologis,
menjadi suatu pertanyaan yang perlu diketahui sehingga dapat menghasilkan
kemampuan untuk dapat bertahan, bangkit dari keterpurukan tersebut. Tidak
mempengaruhi apakah individu menerima atau tidak menerima dukungan seperti
ketersediaan sarana pendukung di pengungsian.
Bentuk social support yang diperoleh dan dibutuhkan oleh individu tergantung pada keadaan tertekan yang dihadapi.. Bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support memiliki peran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang tiap individu. Social support diperoleh dari teman-teman dan keluarga atau instansi lainnya. Social support tersebut bertujuan untuk
memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu yang
merasakan dampak akibat erupsi Gunung Sinabung.
Pemberian social support yang sesuai dengan kebutuhan setiap penyintas akan memberikan manfaat bagi mereka. Social Support yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis
yang dialami oleh penyintas. Social support yang diperoleh akan membantu penyintas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Hal ini akan
mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Psychological well-being merupakan perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya.
Seorang penyintas dituntut untuk mampu beradaptasi dengan situasi
pasca-bencana alam Gunung Sinabung dan mampu menghadapi dampak negatif yang
dirasakan pada kehidupan meraka saat ini. Seseorang yang mampu beradaptasi
mampu memenuhi kebutuhannya. Kemampuan beraptasi dan menghadapi kondisi
ini merupakan kunci penting penentu psychological well-being, yakni perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan
potensi yang terdapat dalam dirinya. Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan
hidup. Setelah mengalami bencana alam, banyak tantangan hidup yang harus
dihadapi dan akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti penerimaan diri, memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, mempunyai tujuan
hidup, dan pertumbuhan pribadi. Social support dan Psychological well-being ini
akan menunjukkan gambaran yang kompleks mengenai penyintas bencana alam