• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Social Support 1. Pengertian Social Support - Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Social Support 1. Pengertian Social Support - Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Social Support

1. Pengertian Social Support

Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik

pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga

individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian

dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan

yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman,

hubungan sosial dan komunikasi.

Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau

kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997)

mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu

keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan

(2)

diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan

perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara

umum.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain.

Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan

kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan

hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan

anggota kelompok masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Social Support

House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu :

a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan

b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif

untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau

perasaan individu.

c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan

bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.

d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk,

(3)

Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk

social support, yaitu:

a) Emotional or esteem supporrt

Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang

sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif,

dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009)

berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam

perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa

dicintai dan dihargai.

b) Tangible or instrumental Support

Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau

nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau

langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut

Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo

(1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.

c) Informational Support

Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti

atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat

dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya

(4)

mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa

dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti

memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna

untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan

penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang

dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.

d) Companionship Support

Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan

orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok

orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat

mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran

akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan

Wills dalam Orford, 1992)

Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support.

3. Dampak Social Support

Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari

bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya

(5)

secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian

yang dapat mengakibatkan stres.

Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang

mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya

tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000).

Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain

dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut,

dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang

berkepanjangan.

Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk

menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:

1. Buffering Hypotesis

Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan

efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan

yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor

2. Direct effect hypotesis

Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan

(6)

individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada

gaya hidup yang sehat.

Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan

memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan

beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:

1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.

Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup,

individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional

sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan

individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti

melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu

yang diinginkannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu

hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).

Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan

(7)

B. Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychological well-being

Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.

Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat

menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki

psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995).

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang

positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan

kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain,

mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu

mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu

mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989).

Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada

(8)

Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi

psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi

secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002).

2. Dimensi Psychological Well-Being

Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi

psychological well-being, yakni :

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima

setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan

mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan

karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan

diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan

kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk

menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan

menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan

dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang

(9)

terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik

aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif.

Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi

penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan

dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan

keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes,

1995).

b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others).

Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai

kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan

penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor

tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang

hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang

lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam

perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain.

Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan

positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak

memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk

bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa

terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki

keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan

(10)

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk

menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya

berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada

dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap

mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku

dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya

berdasarkan standar pribadi

Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu

cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga

bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga

membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan

berpikir (Ryff dan Keyes, 1995).

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk

menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh

lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor

tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu

memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya,

menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan

(11)

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan

menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola

kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki

lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu

mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).

e. Tujuan Hidup (Purpose in life).

Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi

secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan

memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor

tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan

yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu

tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak

dicapai dalam kehidupannya.

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna

hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak

memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini

berarti (Ryff dan Keyes, 1995).

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari

pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk

dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor

tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki

(12)

tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi

diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu,

serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan

efektif.

Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi

menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat

perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan

merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru

(Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu :

A. Faktor Demografis

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor

demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut :

1. Usia

Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer

(1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda,

dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa

dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan

(13)

Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi

memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa

madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan

orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama

usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis Kelamin

Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria,

wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan

orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang

lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih

sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan

pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi.

3. Status Sosial Ekonomi

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup

pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat

hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan

individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng

membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang

(14)

Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer

1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan

yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang

berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya

psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996).

4. Budaya

Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh

suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak

terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau

otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih

berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif

dengan orang lain.

Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan

psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian

tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif

dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan

(15)

penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai

diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari

dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi.

B. Dukungan Sosial

Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu

memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan

psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam

(Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan

sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan

diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan

komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih,

kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub

(Taylor, 1999).

C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup.

Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan

evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh

(16)

C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas

Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya

bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para

pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata

yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak

harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman,

2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa

penyintas berasal dari kata “sintas” yang mempunyai makna “terus bertahan

hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”. Kemudian dalam

pemakaiannya diberikan awalan “pe-“, sehingga menjadi penyintas.

Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang

selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005).

Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari

suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat

berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007).

2. Pengertian Bencana Alam

Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1

Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

(17)

Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana

didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian

traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas

waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang

disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006).

Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman

tradisional’ seperti gejala‐gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan

gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Sementara itu timbul pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan

terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman

dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan‐bahan

berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan

untuk tujuan damai maupun peperangan.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi

dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan

oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang

meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror

(18)

3. Bencana Alam Gunung Sinabung

Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang

mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut yang berada pada

koordinat 30 10 menit LU dan 980 23 menit BT. Letaknya cukup dekat dengan

kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya.

Satu-satunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,R, 2008)

Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28

Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010,

sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian 1.500

meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga yang

tinggal di sekitar gunung diungsikan. Berikut hasil pantauan Pusat Vulkanologi

dan Mitigasi Bencana Geologi yaitu aktivitas tanggal 28 Agustus 2010 pada

pukul 08.00-16.00 WIB, secara visual terpantau asap putih tipis, ketinggian

sekitar 20 meter dengan tekanan lemah hingga sedang. Pada pukul 16.00 - 19.00

WIB, Gunung Sinabung tertutup kabut dan pada pukul Pukul 19.00 - 24.00 WIB,

tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. Dengan demikian Gunung Sinabung

tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan.

Aktivitas yang terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 adalah pukul 00.08

WIB, terdengar suara gemuruh. Dengan aktivitas tersebut maka Gunung Sinabung

diubah tipenya dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan AWAS

terhitung pukul 00.10 WIB tanggal 29 Agustus 2010, pada Pukul 00.10 WIB

berkoordinasi dengan tim di lapangan, diputuskan dilakukan pengungsian

(19)

dan pada Pukul 00.12 WIB, tampak asap letusan dengan ketinggian 1500 meter

dari bibir kawah. Pada saat ini sejumlah warga yang masih bertahan karena

menjaga rumahnya di zona bahaya pun akhirnya ikut mengungsi. karena hutan di

sekeliling desa mereka sudah rata dihujani debu vulkannik. Kumpulan debu

vulkanik keluar lagi dari kawah Gunung Sinabung, pukul 06.27 WIB, pada hari

Senin, 30 Agustus 2010, Gunung yang semula tenang tiba-tiba saja kembali

memuntahkan letusannya. Walaupun tidak disertai lava namun terlihat munculnya

debu vulkanik disertai gemuruh dan getaran hebat (Wikipedia B, 2010).

4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung

Dampak umum bencana baik nature dan manmade dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan

hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan

keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara

nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional,

dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).

Adapun dampak bencana terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis

kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat

mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan

kecacatan dalam jumlah besar. (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi

sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat

terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko

(20)

Menurut American Psychological Association (2006), setiap individu

mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana.

Faktor-faktornya adalah: (1) Tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan,

akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) Kemampuan individu secara

umum untuk menghadapi situasi emosional, (3) Peristiwa lain yang menimbulkan

stress mengikuti peristiwa traumatic yang baru dialaminya.

Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang

bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi (

shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya,

merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi,

tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi,

hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi

fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak

jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa

terganggu, menarik diri, diabaikan).

Bencana dapat menyebabkan dampak psikologis, yang meliputi shock,

stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan

gejala-gejala psikologis lainnya. Dari kumpulan gejala-gejala-gejala-gejala tersebut dapat

dikategorikan dalam posttraumatic stress disorder (Salzer & Bickman, 2005).

Bencana alam yang terjadi akan memunculkan dampak positif dan dampak

negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak

positifnya adalah tanah di sekitar daerah tersebut subur setelah berapa tahun

(21)

Gunung Sinabung terdapat banyak pohon tinggi yang dapat menjadi tempat

penampungan air, sehingga daerah sekitarnya tidak kekurangan air. Kondisi udara

yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung.

Sementara dampak negatifnya adalah berjatuhan korban yang terkena lava panas,

dan dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit karena terhirup butiran abu

vulkanik.

Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat ditemukan

karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan, 2004):

1. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan tersebut

biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari kejadian yang mendadak

dan tidak terduga serta luasnya cakupan akan dampak dari bencana.

2. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat langsung maupun

tidak. Biasanya dapat berupa kematian, kesengsaraan, maupun akibat

negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem pemerintahan,

bagunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum

lainnya.

Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau

penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pelayanan sosial, yang

(22)

D. Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

Bencana alam dapat diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang

disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, kekeringan, angin topan,

tanah longsor, dan gunung meletus. Indonesia yang memiliki sejarah bencana dan

potensi bencana dimasa mendatang dikarenakan berbagai faktor, seperti letak,

kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia memiliki gunung berapi dengan

jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif. Salah

satu gunung berapi yang aktif berada di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung

Bencana alam gunung sinabung yang terjadi akan memunculkan dampak

positif maupun dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah

satu contoh dari dampak positif yaitu akan menyuburkan tanah yang terkena

erupsi Gunung Sinabung pada jangka waktu panjang sehingga tanah yang menjadi

subur di sekitar daerah Gunung Sinabung akan tumbuh pohon-pohon yang dapat

menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya juga tidak

kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari

keberadaan Gunung Sinabung.

Sementara dampak negatif adalah adanya korban yang terkena lava panas

saat erupsi terjadi, menimbulkan berbagai penyakit, kerusakan infrastruktur jalan

dan irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, penurunan terjadi pada

perkembangbiakan ternak, penurunan terjadi pada kunjungan wisata, penurunan

(23)

Keadaan ini dirasakan langsung oleh penyintas bencana alam Gunung

Sinabung khususnya penyintas yang tinggal di pengungsian. Penyintas adalah

orang yang selamat dari suatu peristiwa yang kemungkinan dapat mengancam

nyawa melayang atau sangat berbahaya. Penyintas yang berada di pengungsian

Gunung Sinabung adalah penyintas yang tinggal di desa yang dinyatakan zona

merah atau tidak aman untuk ditempati, penyintas yang tinggal di pengungsian

terdiri dari dua penyintas, pertama penyintas adalah orang-orang yang akan di

relokasi ke desa yang baru yaitu siosar. Hal ini karena tempat tinggal mereka

sudah tidak dapat ditempati kembali dan mengancam nyawanya, dan kedua

penyintas adalah orang-orang yang tidak di relokasi artinya mereka dapat pulang

ke rumah mereka kembali. Hal ini karena desa tempat mereka tinggal masih layak

untuk ditempati.

Selama tinggal di pengungsian, terbatasnya sumber-sumber personal

material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian

psikologis individu pasca-bencana berupa kemampuan individu dalam melakukan

penyesuian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal,

interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca-bencana. Oleh karena itu, pentingnya

social support terhadap pemulihan pada penyintas bencana alam.

Bentuk-bentuk social support yang tepat diberikan kepada penyintas bencana alam dengan berbagai permasalahan, baik fisik maupun psikologis,

menjadi suatu pertanyaan yang perlu diketahui sehingga dapat menghasilkan

kemampuan untuk dapat bertahan, bangkit dari keterpurukan tersebut. Tidak

(24)

mempengaruhi apakah individu menerima atau tidak menerima dukungan seperti

ketersediaan sarana pendukung di pengungsian.

Bentuk social support yang diperoleh dan dibutuhkan oleh individu tergantung pada keadaan tertekan yang dihadapi.. Bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support memiliki peran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang tiap individu. Social support diperoleh dari teman-teman dan keluarga atau instansi lainnya. Social support tersebut bertujuan untuk

memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu yang

merasakan dampak akibat erupsi Gunung Sinabung.

Pemberian social support yang sesuai dengan kebutuhan setiap penyintas akan memberikan manfaat bagi mereka. Social Support yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis

yang dialami oleh penyintas. Social support yang diperoleh akan membantu penyintas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Hal ini akan

mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Psychological well-being merupakan perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang

terdapat dalam dirinya.

Seorang penyintas dituntut untuk mampu beradaptasi dengan situasi

pasca-bencana alam Gunung Sinabung dan mampu menghadapi dampak negatif yang

dirasakan pada kehidupan meraka saat ini. Seseorang yang mampu beradaptasi

(25)

mampu memenuhi kebutuhannya. Kemampuan beraptasi dan menghadapi kondisi

ini merupakan kunci penting penentu psychological well-being, yakni perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan

potensi yang terdapat dalam dirinya. Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan

hidup. Setelah mengalami bencana alam, banyak tantangan hidup yang harus

dihadapi dan akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti penerimaan diri, memiliki hubungan yang

baik dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, mempunyai tujuan

hidup, dan pertumbuhan pribadi. Social support dan Psychological well-being ini

akan menunjukkan gambaran yang kompleks mengenai penyintas bencana alam

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pengumuman ini disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Sekayu, 9 September 2015 Pejabat

Hasil penelitian ini menunjukkan ada Hubungan Peran Keluarga Dengan Kemandirian Lansia Dalam Pemenuhan Aktivitas Sehari-hari Di di Dusun Ngudirejo Desa Ngudirejo

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA.. berbobot  dan  tidak  memerlukan  j ural.ah  sample  yang  banyak,  lagi  pu La  tidak  memex- lukan  banyak  tenaga 

Saya menyatakan bahwa data yang saya isikan dalam formulir pendaftaran Seleksi Jalur Tulis UIN SUSKA Riau TA. Saya bersedia menerima sanksi pembatalan penerimaan di UIN SUSKA

Terdapat peningkatan jumlah tingkat pengetahuan baik menjadi 16,7% setelah dilakukan penyuluhan dibandingkan sebelum penyuluhan yaitu tidak ada satupun responden

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

To fulfill the minimum Capital Adequacy Ratio (CAR) stipulated by Bank Indonesia as a consequence of the legal transfer of all assets and liabilities from the ) 4 BUR to the

Untuk menciptakan sistem informasi yang bisa mengatur atau memanajemen pemakaman di kota Surabaya dengan diaplikasikan ke suatu sistem komputerisasi online dalam manajemen