MENGHADAPI BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG
DI KABUPATEN KARO
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
NISSA AZTARID SEMBIRING DEPARI
111301076
FAKULTAS PSIKOLOGI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung
di Kabupaten Karo
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, April 2015
NISSA AZTARID S
Sinabung di Kabupaten Karo
Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis
ABSTRAK
Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.
Karo Regency
Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis
ABSTRACT
Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).
The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT ataskarunia,
kejutan hidup yang begitu indah, jalanan hidup yang tidak tertebak dan membawa
peneliti dalam pencapaian yang berarti. Skripsi.
Sumber semangat hidup. Sumber motivasi terbesar dalam mengerjakan
skripsi. Ayah dan Bunda. Berjuta terima kasih untuk semua kasih sayang yang
tiada batas. Untuk kakakku Nurul, Adikku Nadilla dan Namira, yang selalu ada
untuk mendengarkan curahan hati, yang tidak pernah lupa untuk mendukung dan
memberikan semangat. Terima kasih sayang.
Pihak-pihak yang membantu dan membimbing peneliti, baik dari masa
perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi. Dari hati yang terdalam peneliti
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas PsikologiUniversitas
Sumatera Utara.
2. Arliza J Lubis, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
kasih sebesar-besarnya atas waktu, ilmu, dan bimbingan yang telah
diberikan.
3. Debby A Daulay, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing akademik.
4. Juliana I Saragih, M.Psi., Psikolog., Josetta Maria R. Tuapatinaja, M.Si.,
Psikolog., Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., Psikolog., dan Rahma Fauzia,
ii
semua ilmu bermanfaat yang telah diberikan.
6. Para penyintas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang telah
memberikan banyak kontribusi.
7. Keluarga besar tercinta. Keluarga Asoka. Bersyukur sekali peneliti tumbuh
dan besar di keluarga ini. Terima kasih untuk setiap cinta, doa, dukungan,
nasihat dan kehangatan yang diberikan.
8. Sepupu terhebat,kak Elfi, kak Nifa, kak Difa, kak Ami, bang Agi, bang
Zuhri, dan Mukhlis, yang selalu ada untuk menghibur, menemani, dan
memberikan semangat. Terima kasih untuk semua bantuan yang diberikan
dalam proses pengerjaan skripsi ini.Tanpa kalian, hidup tidak akan penuh
tawa.
9. Sahabat-sahabat tersayang, Putri,Taya, Rina, dan Tia, terima kasihsekali
untuk semangat dan dukungan tanpa henti. Semoga cita-cita dan mimpi
kita dapat tercapai.
10.Kepada teman-teman Psychotroops‘11,kalian luar biasa! Terima kasih
untuk empat tahun yang sangat manis.
11.Dan terakhir, kepada para pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Medan, April 2015
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Pertanyaan Penelitian ... 10
C.Tujuan Penelitian ... 10
D.Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat Teorits ... 10
2. Manfaat Praktis ... 10
E.Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A.Stres ... 12
B.Penanganan Stres (Coping Stress) ... 13
1. Pengertian Penanganan Stress (Coping Stress) ... 13
2. Strategi Coping Stress ... 16
a. Approach-oriented coping ... 18
b. Avoidance-oriented coping ... 20
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress ... 21
a. Sumber daya internal ... 21
b. Sumber daya eksternal ... 22
C.Penyintas ... 24
D.Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung ... 25
iv
A.Identifikasi Variabel ... 30
B.Definisi Operasional ... 30
C.Populasi dan Sampel ... 31
1. Populasi ... 31
2. Sampel ... 31
D.Metode Pengumpulan Data ... 32
1. Kuesioner Strategi Coping Stress... 33
E.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 34
1. Validitas ... 34
2. Reliabilitas... 34
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 37
3. Tahap Pengolahan Data... 38
G.Metode Analisa Data ... 38
1. Gambaran Sebaran Data ... 38
2. Perbandingan Mean ... 38
3. Kategorisasi ... 39
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Analisa Data ... 41
1. Gambaran Umum Subjek ... 41
2. Gambaran Coping Stress ... 43
a. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek ... 44
b. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek berdasarkan data demografis ... 45
c. Kategorisasi ... 49
v
A.Kesimpulan... 58
B.Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 60
vi
Halaman Tabel 1Delapan Subskala Strategi Coping Stress ... 33
Tabel 2 Blue Print Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI) ... 34
Tabel 3Koefisien Cronbach’s alpha pada Strategi Coping Stress ... 35
Tabel 4Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur CopingReponses Inventory
(CRI)Setelah Uji Coba ... 36
Tabel 5Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI)... Untuk Penelitian ... 36
Tabel 6Gambaran Data Demografis Subjek ... 41
Tabel 7Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek ... 44
Tabel 8Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Usia ...45
Tabel 9Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 46
Tabel 10Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Agama ... 46
Tabel 11Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Status Pernikahan ... 47
Tabel 12Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 47
Tabel 13Kategorisasi Strategi Coping Stress ... 50
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Hasil Preliminary Research... 64
Lampiran 2 Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur Try Out ... 67
Lampiran 3 Alat Ukur Penelitian ... 80
Sinabung di Kabupaten Karo
Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis
ABSTRAK
Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.
Karo Regency
Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis
ABSTRACT
Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).
The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini
disebabkan karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan
oleh pergerakan dan tumbukan lempeng, pemicu bencana alam juga disebabkan
karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung berapi yang berjumlah
sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam pun
datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu
bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God” (Ursano & Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang
tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya
bencana alam dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran
lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam juga merupakan salah
satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat
menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara
(Dalton dkk., 2007), dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang
begitu menekan (Lahey, 2010).
Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung
Meskipun sempat digolongkan kedalam gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi
menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak mempunyai karakter
meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung ini kembali menunjukkan
aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan
September 2013 lalu (Arfa, 2013).
Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level
tertinggi yaitu Awas oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di
radius tiga sampai tujuh kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko
pengungsian yang telah disediakan (Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung
yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah pengungsi juga terus
mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak 28.536
jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi
Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014)
Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini tentunya berdampak pada
lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Selain
masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi
menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu
vulkanik ini juga menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan
infrastruktur seperti sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu
vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat membahayakan dan
mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014).
Tokoh masyarakat Karo, Arya Mahendra Sinulingga mengatakan bahwa
meluas bagi masyarakat Karo (dalam Pinem, 2015).Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh permerintah Kabupaten Karo, ditemukan terjadi tren
penurunan pada sektor partanian Kabupaten Karo sebesar 35 persen yang mana
kerugian diperkirakan mencapai 712,2 Milyar (Nugroho, 2014). Dari segi
pendidikan, jumlah masyarakat Karo yang masuk perguruan tinggi juga sangat
menurun (Pinem, 2015). Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Fahri Hamzah mengatakan bahwa “perhitungan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Karo mengalami minus 45 persen pada
pertumbuhannya. Artinya, Kabupaten Karo untuk mencapai tingkat normal seperti
halnya pada tahuan 2012 bila pertumbuhan normal lima persen, maka dibutuhkan
sembilan sampai sepuluh tahun untuk sama dengan kondisi di tahun 2012.” (dalam Pinem, 2015).
Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat
yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang
menggambarkan mengenai ketergantungan antara manusia dengan alam, karena
relasi yang kuat dengan alam ini pula, terciptalah pola kehidupan masyarakat
yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung pada alam, yang mana telah
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996). Begitu juga
halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun di
masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang
tinggal di sekitar Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata
Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang
dibanggakan masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru
menunjukkan aktivitas dan erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada
terganggunya perekonomian masyarakat (Sofyan, 2014). Erupsi ini juga
mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun psikologis masyarakat.
Dilaporkan oleh penelitian dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
bahwasannyamasyarakat Karo mengalami guncangan emosi yang luar biasa,
karena dalam ingatan mereka, gunung sinabung tidak pernah menjadi sumber
bencana. (Tim, 2014)
Menurut Dr. Langkah Sembiring, salah satu peneliti dari Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, masyarakat dan pemerintah daerah Karo sama sekali
tidak siap menghadapi bencana ini, akibatnya masyarakat banyak yang mengalami
kepanikan dan ketakutan. Ia juga mengatakan bahwa pengungsi mengalami
masalah karena sudah tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama. Akibatnya,
tingkat kejenuhan di pengungsian sudah cukup tinggi, sehingga mereka menjadi
sensitif bahkan diantara mereka ada yang saling berkelahi (dalam Tim, 2014).
Para peneliti tersebutjuga telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi
yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban (Tim, 2014).
Selain itu, bencana ini juga mempengaruhi kondisi fisik masyarakat. Salah
satu masyarakat juga mengatakan bahwa “tekanan darah saya naik terus karena ingat harta benda dan ladang yang rusak, saya juga bosan tidak ada kegiatan,
keluhan-keluhan fisik seperti menderita penyakit asma, sesak napas, diare, demam, dan
hipertensi (Jangan, 2014).
Berbeda dengan bencana-bencana alam erupsi gunung api lain yang
pernah terjadi di Indonesia. Bencana alam erupsi Gunung Sinabung tergolong
panjang dan lama (Priyasidharta, 2014). Sampai pada bulan April 2015, Gunung
Sinabung masih dinyatakan tanggap darurat bencana karena masih terus
menunjukkan aktivitasnya. Bahkan sampai saat ini (April 2015) belum ada
kepastian kapan Gunung Sinabung akan dinyatakan aman. Sekretaris utama
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dody Ruswandi mengatakan bahwa
“perubahan watak letusan gunung api membuat bencana ini semakin sulit diprediksi, erupsi gunung api juga tidak dapat diprediksi untuk jangka panjang” (dalam Linggasari, 2014). Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun
lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana.
Dengan segala kondisi yang terjadi, gunung yang tidak bisa diprediksi dan
tidak bisa dikontrol ini, masyarakat justru memilih untuk menunggu. Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan peneliti pada bulan November 2014 kepada 30
penyintas erupsi Gunung Sinabung, sebanyak 22 penyintas mengatakan bahwa
kondisi gunung memang tidak bisa dipastikan, tetapi mereka memilih untuk tetap
menunggu sampai aktivitas gunung mereda. Meskipun mereka memiliki pilihan
lain seperti pindah rumah dan mencari pekerjaan di daerah lain tetapi mereka
lebih memilih untuk tinggal. Masyarakat mengatakan bahwa hidup mereka
bergantung pada gunung ini, mereka dibesarkan karena gunung ini, dan gunung
Pada akhirnya nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat sendiri memaksa
mereka untuk tetap tinggal dan menunggu meskipun dengan fakta bahwa gunung
dalam kondisi yang tidak bisa dikontrol maupun diprediksi. Dalam kondisi ini,
terlihat bahwa masyarakat menghadapi situasi yang cukup menekan, hal ini
ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi baik fisik maupun psikologis seperti
ketakutan, kecemasan, kejenuhan, dan keluhan-keluhan fisik yang dirasakan
masyarakat. Reaski-reaksi tersebut diindikasikan sebagai reaksi stres. Pernyataan
ini diperkuat oleh penelitian Leitch (2003), ia menyatakan bahwa individu yang
dihadapkan dengan kondisi tidak pasti lebih cenderung mengalami stres daripada
mereka yang berada dalam kondisi yang lebih bisa diprediksi, karena di kondisi
yang tidak pasti ini biasanya membuat mereka kesulitan untuk menentukan apa
respon yang sebaiknya mereka berikan.
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketika kondisi ini dialami
individu dalam waktu yang berlangsung lama, bisa menimbulkan dampak negatif
pada diri mereka (Gardner & Stern, 2002). Khususnya dalam kondisi bencana
alam, yang notabenenya adalah “acts of God” sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengontrol keadaan gunung, besar kemungkinan memicu
terjadinya stres (Ursano & Norwood, 2003), dan ketika ini berlangsung lama,
dampak psikologis yang mungkin terjadi adalah helpless-perasaan tidak berdaya
dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafindo, 2011).
Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu
percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa
Akan tetapi, sejatinya sebagai seorang individu, ketika dihadapkan pada
situasi-situasi yang menekan (stressful), individu akan terus melakukan penilaian
terhadap situasi tersebut lalu mempertimbangkan respon-respon yang akan
diberikan untuk menghadapinya (Lazarus & Launier, dalam Rice, 1992). Hasil
survey yang dilakukan peneliti, menunjukkan bahwa ketika menghadapi bencana
ini, mereka mengaku melakukan beberapa aktivitas seperti mencari pekerjaan
dengan berladang di ladang orang lain, membangun usaha, memperbaiki
kerusakan infrastruktur, membantu teman yang juga mengalami kesusahan, dan
menyewa rumah di daerah yang aman dari bencana. Respon-respon yang
dilakukan penyintas untuk menghadapi situasi bencana ini disebut sebagai coping
stress.
Copingmerupakan suatu upaya, baik mental maupun perilaku yang
dilakukan secara sadar untuk mengelola suatu situasi yang penuh tekanan dengan
tujuan untuk mengurangi perasaan tertekan atau kesukaran (Lazarus, dalam
DiMatteo, 1990). Coping berperan penting ketika individu mengatasi stres. Peran
coping dalam hal tersebut adalah sebagai mediator dan moderator. Sebagai
mediator,coping berfungsi untuk menghalangi dampak stres pada individu dan
coping ini berkorelasi negatif dengan ketidakmampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Coping juga berfungsi sebagai moderator
dalam mendorong individu menjadi lebih positif setelah mengalami berbagai
situasi yang menekan. (Lazarus & Folkman, 1984).
Moos (1993), mengemukakan bahwa ada dua orientasi coping yang
mendekat (Approach-oriented coping) dan orientasi menjauh (Avoidance-oriented
coping). Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan
perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk
menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung.
Sedangkan avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal
atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau
menghindar dari penyebab stres tersebut.
Moos (1993) mengungkapkan bahwa Approach-oriented dan
Avoidance-oriented masing-masingnya tersusun atas empat strategi coping. Strategi-strategi
ini yang mendasari Approach coping adalah Logical Analysis, Positive
Reappraisal, Seeking Guidance and Support, dan Problem Solving. Selanjutnya,
strategi-strategi yang mendasari Avoidance coping adalah Cognitive Avoidance,
Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional Discharge.
Ada beberapa alasan mengapa peneliti menggunakan teori
Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Pertama, teori ini merupakan perluasan teori
Lazarus dan Folkman mengenai problem-emotion focused coping. Selanjutnya,
orientasi coping juga lebih konsisten ditemukan pada teori approach dan
avoidancecoping ini. Kedua, teori ini juga dirasa paling sesuai dipakai dalam
konteks bencana, Moos sendiri mengatakan bahwa teori ini bisa digunakan untuk
mengetahui coping stress penyintas erupsi Gunung Sinabung (Moos,
2015).Dengan mengetahui orientasi serta strategi-strategi coping penyintas erupsi
Gunung Sinabung, ini bisa menjadi saran dan referensi bagi instansi
Penelitian-penelitian ilmiah menemukan bahwa Avoidance coping pada
umumnya bukan strategi yang efektif digunakan ketika menghadapi stress,
sedangkan penggunaan Approachcoping ditemukan lebih efektif dan mendorong
penyesuaian diri di berbagai situasi (Moos, 1995). Penggunaan coping ini
ditemukan memediasi hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri yang
lebih baik dalam keadaan stressful (Brissette, dalam Taylor & Stanton, 2007).
Sebaliknya, avoidance coping dihubungkan dengan peningkatan stres, dan
kesehatan mental yang semakin memburuk. Pemakaian coping ini juga berperan
dalam menciptakan stres yang berkelanjutan (Holahan, dalam Taylor & Stanton,
2007).
Penelitian mengenai stress dan coping stress dalam situasi bencana juga
telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Andreas Baum (dalam Rice, 1992), ia
mengemukakan bahwa dalam situasi bencana, strategi coping yang paling efektif
dilakukan adalah dengan membersihkan diri dari emosi-emosi negatif. Para
korban bencana seharusnya mencari cara untuk mengekspresikan emosi dan
perasaan-perasaan negatifnya. Selanjutnya mereka juga sebaiknya menunda
dahulu untuk mencoba mengontrol dan menyelesaikan masalahnya. Khususnya
pada situasi bencana alam yang pada dasarnya adalah peristiwa yang tidak bisa
dikontrol dan tidak bisa diprediksi, usaha-usaha untuk secara langsung
menyelesaikan masalah, justru semakin meningkatkan stres dan perasaan frustrasi
karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengatasi bencana tersebut.
Dengan melihat fenomena yang terjadi akibat bencana erupsi Gunung
masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Mengetahui strategi apa yang
dipakai merupakan sesuatu yang penting mengingat strategi coping yang
digunakan individu merupakan suatu cara untuk menghindari dampak negatif
yang bisa terjadi dandapat menentukan kesehatan mental dan fisik serta
keberhasilan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan
mengetahui orientasi dan strategi pula, ini bisa menjadi saran bagi instansi
penanggulanan bencana dalam mengadakan program penanganan psikologis dan
rehabilitasi.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana gambaran coping stress penyintas dalam menghadapi bencana
erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo?
C. TUJUAN PENELITIAN
Menggambarkan coping stress penyintas dalam menghadapi bencana
erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah wawasan teoritis mengenai strategi coping
stress (approach-oriented dan avoidance-oriented), khususnya yang digunakan
dalam konteks bencana alam.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman mengenai strategi coping stress yang digunakan
instansi penanggulangan bencana ketika membuat program penanganan
psikologis dan rehabilitasi untuk penyintas bencana erupsi Gunung Sinabung di
Kabupaten Karo.
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dibahas sejumlah konsep yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Tinjauan pustaka yang digunakan berkaitan dengan konsep
Stress,Coping Stress, Penyintas, Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung, dan
Paradigma berpikir.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup
variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel,
teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data dan metode analisa data.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini, akan diuraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian,
diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran penggunaan coping
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab pertanyaan
penelitian, serta diakhiri dengan saran-saran bagi peneliti lain dan instansi
12
TINJAUAN PUSTAKA
A. STRES
Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami.
Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang
yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan
melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan
mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan
permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan
istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon
dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo,
1990).
Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor)
yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan,
konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal
(Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang
melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus &
Folkman, dalam DiMatteo, 1990).
Tingkatan stres yang dirasakan oleh individu ketika merespon
peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya tergantung besarnya kecocokan antara
Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran,
perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang
stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan
individu dengan oranglain.
Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang
tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan
sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah
hal yang sangat penting (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika
individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi
kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami
stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada
individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami
individu.
B. PENANGANAN STRES (COPING STRESS)
1. Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)
Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan.
Orang-orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan
yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka
tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam
perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan
oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai
“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external
of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan
perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan
internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang
dimiliki seseorang.
Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan
seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993).
Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan
menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006).
Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi
yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010),
menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani
sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres
tersebut.
Secara teknis, coping didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan
individu untuk menangani tuntutan dalam situasi yang stressful. Ketika individu
sedang berusaha untuk coping, ia akan mencoba untuk menghadapi kesenjangan
antara tuntutan dari situasi stressful dengan kemampuan mereka untuk mengatasi
tuntutan tersebut (Coyne & Holroyd, dalam Rice, 1992). Idealnya, individu akan
memfokuskan usaha mereka untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi,
tetapi untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan situasi dan kemampuan
mereka sendiri, mereka terkadang juga melarikan diri atau menghindari situasi
yang mereka anggap mengancam atau bisa saja mereka secara pasif menerima
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang
dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan
disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan
coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya
coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang
menekan. Menurut Dalton dkk.(2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan
biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang
terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi
atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi
tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan
ancaman lingkungan.
Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis.
Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan
umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu
seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi
sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang
lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya
untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007)
menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat
berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya
dan penilaian yang terus menerus.
Dalam literatur-literatur ilmiah, berbagai konsep mengenai coping
dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard
Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua
fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau
untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut.
fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused
coping.
Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan
konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi
yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe
yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan
Emotion-focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri
dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri
untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih
lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan
dibahas dalam penelitian ini.
2. Strategi Coping Stress
Moos (1993) mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua kategori
yaitu Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Approach-oriented mengacu
pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami
penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan
cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan Avoidance-oriented mengacu
pada strategi kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir penyebab stres dan
Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif
untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila
seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan
mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang
yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan
menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan
perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.
Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan
penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir
(Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin
akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan
tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini
tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan
Avoidance Coping mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton,
2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya ApproachCoping
diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres.
Sedangkan AvoidanceCoping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan
kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).
Penelitian mengenai coping pun terus dilakukan. Beberapa peneliti
menjelaskan penggunaan coping dengan lebih spesifik dan mendalam. Stone dan
coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan
coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan
psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang
bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan
situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak.
Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali
berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan,
penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel
menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng,
dalam Taylor, 2009).
Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance
Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.
a. Approach-Oriented Coping
Approach-Oriented Copingmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku
yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi
usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan,
penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat
empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :
1) Logical Analysis
Logical analysis adalah usaha kognitif yang dirancang untuk
memahami dan mempersiapkan seseorang secara mental untuk
Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan
cara-cara tertentu dan cara-cara yang berbeda untuk menerima suatu
permasalahan.
2) Positive Reappraisal
Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk
menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika
sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut
seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang
mengalami permasalahan yang sama.
3) Seeking Guidance and Support
Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk
mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor.
Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang
permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta
pertolongan mereka.
4) Problem Solving
Problem solving merupakan usaha perilaku untuk menerima secara
langsung permasalahan dan memecahkan masalah tersebut. individu
yang melakukan pemecahan masalah akan membuat suatu
perencanaan-perencanaan tentang perilaku apa yang sebaiknya ia
b. Avoidance-Oriented Coping
Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk
pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan
mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini
meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik
diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat
empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu
1) Cognitive Avoidance
Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk
menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu
yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk
menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan
tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha
menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.
2) Acceptance or Resignation
Acceptance or resignation merupakan suatu usaha kognitif untuk
merespon masalah dengan menerima dan memasrahkannya, karena
berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada permasalahan
tersebut. Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada lagi harapan pada
3) Seeking Alternative Reward
Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk
mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan
mencari kepuasan dalam bentuk lain.
4) Emotional Discharge
Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani
tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka
yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada
dalam diri mereka.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress
Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya
(resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri
(internal) dan luar diri (eksternal).
a. Sumber daya internal
1) Karakteristik Kepribadian
Peneliti telah menunjukkan bahwa karakteristik yang ada dalam
masing-masing individu akan memperngaruhi bagaimana cara mereka
mengelola peristiwa-peristiwa yang menekan yang dikaitkan dengan
penurunan distres dan kesehatan yang lebih baik (Taylor & Stanton,
2007). Karakteristik kepribadian ini bisa berupa keterampilan
mengatur diri (self regulation skilss), self esteem, self efficacy,
2) Usia
Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan
mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi
pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian
khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam
Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian
mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu
akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping
yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan
kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan
tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan
usianya (Sarafindo & Smith, 2011).
3) Jenis Kelamin
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan
strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut
Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in
stress and coping styles, ia menyatakanbahwa pada umumnya
perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam
menggunakan strategi avoidancecoping dan berorientasi pada emosi.
b. Sumber daya eksternal
1) Materi
Materi yang dimiliki oleh individu bisa berupa uang, pekerjaan,
spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30
dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya,
menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang
diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa
individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih
sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif
bencana.
2) Lingkungan Sosial dan Budaya
Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat
yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam
menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi
mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).
3) Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang
diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007).
Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat,
teman, dan komunitas sosial.
4) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perkembangan kognitif
seseorang, yang mana jika semakin tinggi tingkat pendidikannya,
semakin berkembang pulalah kognitifnya, dan ini akan mempengaruhi
bagaimana penilaian individu terhadap lingkungannya. (Sarafindo dan
Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki
penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti
uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan
lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika
individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama,
sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk
menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).
C. PENYINTAS
Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang
memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap
saja, datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis.
Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyinyas
(survivors) tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana
tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan
gangguan emosional. Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada
kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen,
2011).
Segera setelah bencana alam, penyintas mungkin mengalami perasaan
yang campur aduk. Tentu saja akan ada sukacita dan lega karena selamat dari
bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala
negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi,
dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang
juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya
keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen,
2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik
diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam
berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).
Dari berbagai dampak yang timbul tersebut, satu hal penting yang perlu
disadari ialah bahwasannya reaksi-reaksi yang muncul adalah suatu yang normal
ketika seseorang menghadapi peristiwa bencana alam. Hanya saja, bisa gejala
tersebut tetap berlangsung selama berbulan-bulan ini bisa mengindikasikan
adanya masalah serius yang mungkin perlu ditangani (Miller, 2013).
D. BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG
Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa
dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan
terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup
individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992).
Selanjutnya,Brannon dan Feist (2007) menjelaskan bahwa, datangnya bencana
alam dapat menyebabkan kematian orang-orang dalam jumlah besar, menciptakan
stres, duka cita, dan ketakutan pada orang-orang yang selamat dari bencana.
Bencana alam merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi
dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu
komunitas, daerah, dan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini bisa menjadi salah
satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010). Hadirnya bencana alam
keluarga. Bencana alam mungkin juga akan menyebabkan korban massa,
kehancuran dan kehilangan harta benda, serta akan mengganggu jaringan sosial
dan aktivitas sehari-hari (Ursano & Norwood, 2003).
Selanjutnya, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bencana alam
erupsi Gunung Sinabung. Gunung Sinabung adalah gunung yang terletak di
dataran tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung dengan
ketinggian 2.460 meter diatas permukaan laut ini tergolong kedalam gunung
berapi dan merupakan gunung tertinggi di Sumatera Utara. Gunung yang
dikelilingi dengan hutan ini merupakan salah satu gunung penghasil air yang
banyak dan sangat subur. Karena kesuburan tanah dan banyaknya air yang
dihasilkan dari gunung Sinabung membuat masyarakat sekitar memanfaatkan kaki
gunung ini untuk ditanami sayur-sayuran atau buah-buahan.
Namun, pada bulan september 2013, gunung Sinabung ini meletus.
Menurut (Ursano & Norwood, 2003), letusan gunung berapi dapat menimbulkan
beberapa dampak negatif bagi lingkungan, seperti banyaknya ternak yang mati,
dan rusaknya ribuan kebun, ladang, atau sawah. Bencana dan bahaya letusan
gunung api juga akan berpengaruh bagi kehidupan. Bahaya yang muncul
diakibatkan oleh material yang dikeluarkan secara langsung saat terjadi letusan.
Daerah-daerah yang terkena bahaya ini meliputi daerah sekitar puncak gunung,
daerah sekitar puncak, dan bisa mencapai jarak sepuluh kilometer dari gunung.
Ginting (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa letusan gunung
Sinabung pada tahun 2010, menimbulkan kabut asap yang disertai hujan pasir dan
dibawah radius enam kilometer. Karena debu ini sangat panas, tanaman tersebut
terancam gagal panen dan diperkirakan mengalami kerugian hingga dua puluh
sembilan milyar. Selama masa bencana di tahun 2010 ini, diperkirakan sekitar
21.141 jiwa masyarakat yang mengungsi di pos-pos pengungsian.
Gunung Sinabung kembali meletus pada bulan September 2013, gunung
ini dinaikkan statusnya dari Waspada (level 2) ke Siaga (level 3), sempat
diturunkan kembali menjadi Waspada tanggal 29 September 2014, kemudian
langsung dinaikkan menjadi Awas (level 4) setelah terjadi letusan dahsyat pada 25
November 2013. Status Awas pada Gunung Sinabung, mengindikasikan semakin
meningkatnya aktivitas gunung dan adanya peningkatan intensitas letusan, serta
semakin meluasnya lontaran batu material berukuran tiga sampai empat
sentimeter, hingga mencapai jarak empat kilometer (Arfa, 2013).
Pada bulan Desember 2013 lalu, aktivitas Gunung Sinabung terus
mengalami peningkatan, salah satunya ditandai dengan terbentuknya kubah lava.
Kubah lava yang terus tumbuh dan membesar inilah yang menjadi sumber bagi
awan-awan panas yang keluar sejak awal tahun 2014. Tentunya, jika volume
kubah bertambah besar maka semakin rentanlah terjadi longsor dan jika terjadi
longsor maka semakin jauh pulalah jarak hempasannya dari kaki gunung
(Sudibyo, 2014). Dalam rangka menghindari hempasan tersebut, masyarakat yang
beda di sekitar kaki Gunung Sinabung harus diungsikan ke pos-pos pengungsian
yang telah disediakan. Tercatat hingga 20 Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa
harus diungsikan (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24
Juni 2014).
Sampai bulan Maret 2015, Gunung Sinabung masih dinyatakan darurat
bencana. Gunung ini masih terus menunjukkan aktivitasnya, bahkan kembali
meletus pada akhir maret 2015 lalu. Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah
satu tahun lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana, ini merupakan
waktu yang tergolong lama dibandingan dengan bencana alam lain yang pernah
E. PARADIGMA BERPIKIR
Tuntutan (Demand)
1. Pindah Lokasi
2. Melanjutkan kehidupan
3. Memenuhi kebutuhan
sehari-hari
4. Rusaknya tempat tinggal
5. Kondisi lingkungan yang
unpredictable dan uncontrollable
Hadirnya berbagai tuntutan lingkungan
Sumber Daya (Resource)
1. Hilangnya harta benda
2. Hilangnya mata
pencaharian
3. Perubahan jaringan sosial
4. Kehilangan anggota
keluarga
5. Masalah Kesehatan
Stress
Coping with Stress
Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung
Sumber daya eksternal Sumber daya internal
Berkurangnya sumber daya yang dimiliki
Approach-oriented
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran Coping
Stresspenyintas dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung di
Kabupaten Karo. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, peneliti akan
menggunakan metode penelitian kuantitatif-deskriptif. Metode ini adalah metode
yang dirasa paling tepat, karena meyediakan analisis statistik untuk mengolah
data-data yang diperoleh ke dalam gambaran numerik. Lebih spesifik, teknik yang
akan digunakan adalah survey sampel karena merupakan teknik yang paling
sesuai dipakai pada sampel yang besar dan paling sesuai untuk menggambarkan
karakteristik sampel.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Coping Stress.
B. DEFINISI OPERASIONAL
Coping stress adalah strategi-strategi kognitif dan perilaku yang digunakan
individu dalam menghadapi situasi yang menekan. Coping stress dibedakan
kedalam dua orientasiyaitu approach-oriented dan
avoidance-oriented.Approach-orientedmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku yang digunakanuntuk
memahami, memikirkan perencanaan dan melakukan tindakan pemecahan
masalah untuk menghadapi stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi
Support, dan Problem Solving. Sedangkan Avoidance-orientedmerujuk pada
strategi kognitif dan perilaku untuk menolak, menarik diri dan menghindari
stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi coping yaituCognitive
Avoidance, Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional
Discharge.
Coping stress diukur dengan menggunakan alat ukur Coping Response
Inventory (CRI), yang dikembangkan oleh Moos (1993). Alat ukur ini terdiri dari
aitem-aitem yang dapat mengukur keempat strategi Approachcoping dan keempat
strategi Avoidancecoping. Respon yang diberikan yaitu tidak pernah, jarang,
sering, dan selalu. Total skor pada masing-masing strategi menunjukkan frekuensi
penggunaan strategi coping tersebut. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan,
menandakan bahwa semakin tinggi frekuensi subjek dalam menggunakan strategi
coping tersebut. sebaliknya, semakin rendah nilai yang dihasilkan alat ukur,
semakin rendah pula frekuensi subjek dalam menggunakan strategi coping
tersebut.
C. POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang merupakan
penyitas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.
2. Sampel
Dalam penelitian ini, sampel akan diambil dengan menggunakan teknik
non probability sampling,Pemilihan teknik ini didasarkan pada kondisi lapangan
yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Adapun metode pengambilan sampel
yang akan digunakan adalah insidental yang dilakukan dengan tanpa
memperhatikan siapapun yang diteliti asalkan subjek yang diteliti setuju dan
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Hadi, 2000).
Selanjutnya, banyaknya jumlah sampel yang akan diambil juga harus
dipertimbangkan. Menurut Azwar (2012), jumlah subjek yang dijadikan sampel
penelitian dapat berjumlah seratus, dua ratus, empat ratus, bahkan ribuan orang.
Prinsipnya, dalam keterbatasan sumber daya dan mengingat berbagai
pertimbangan teknis pelaksanaannya, harus tetap diusahakan untuk mengambil
subjek dalam jumlah sebesar mungkin. Dalam penelitian survey khususnya,
diharapkan peneliti mampu memperoleh sampel sebanyak yang
memungkinkan.Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebanyak 141 orang
sebagai sampel.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Laporan Diri (Self
Report). Selain karena metode ini merupakan metode utama dalam penelitian
survei (Kerlinger, 1995), metode ini memungkinkan subjek untuk melaporkan
strategi coping yang ia gunakan karena subjek adalah orang yang paling tahu
tentang dirinya sendiri, metode ini juga terstandarisasi dan baik untuk
memberikan gambaran diri. Tetapi karena memang dasarnya adalah laporan diri,
maka besar kemungkinan jawaban subjek dipengaruhi oleh keinginan pribadi
(Hadi, 2000). Self report yang digunakan berupa kuesioner strategi coping stress
1. Kuesioner Strategi Coping Stress
Penelitian ini menggunakan Kuesioner Strategi Coping Stress yang yang
diadaptasi dari Coping Response Inventory (CRI) (Moos, 1993). Kuesioner ini
terdiri delapan subskala yang masing-masingnya berisi strategi coping stress yaitu
Logical Analysis (LA), Positive Reappraisal (PR), Seeking Guidance And Support
(SG), Problem Solving (PS), Cognitive Avoidance (CA), Aceeptance/Resignation
(AR), Seeking Reward (SG), Dan Emotional Discharge (ED).
Kategori ini masing-masingnya tersusun atas dua kategori spesifik, yaitu
usaha kognitif dan perilaku, dan masing-masingnya terdiri atas konsep-konsep
[image:49.595.113.507.402.489.2]Approach dan Avoidance Oriented. Seperti dalam tabel 1di bawah ini.
Tabel 1. Delapan Subskala Strategi Coping Stress
Orientasi
Metode Approach Avoidance
Kognitif Logical Analysis Cognitive Avoidance
Positive Reappraisal Acceptance / Resignation
Perilaku Seeking Guidance and Support Seeking Alternative Reward
Problem Solving Emotional Discharge
Alat ukur ini akan menggunakan skala Likert, yang menyajikan stimulus
berupa kalimat atau pernyataan yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku,
keyakinan, sikap atau opini. Keuntungan dari skala ini adalah kemudahan dalam
pembuatan dan penerapan, skala ini juga lebih akurat dibandingkan skala lainnya,
dan memberikan keterangan yang lebih jelas dan nyata tentang pendapat atau
sikap responseden (Coaley, 2010). Alat ukur penelitian ini disusun dengan variasi
jawaban sebanyak empat pilihan, yaitu Tidak Pernah (TP), Kadang-Kadang (KD),
empat.Berikut merupakan rancangan alat ukur strategi coping stress yang akan
[image:50.595.114.535.182.373.2]digunakan pada penelitian ini.
Tabel 2. Blue Print Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)
No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah Aitem
1 Approach
Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 6
Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 6
Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6
Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 6
2 Avoidance
Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 6
Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 6
Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 6
Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 6
Total 48
E. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
1. Validitas
Tipe validitas dapat digolongkan kedalam tiga kategori besar, yaitu
validitas isi, validitas konstruk, dan validitas kriteria. Validitas yang akan
diestimasi dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan suatu
estimasi yang melihat sejauh mana aitem-aitem test mewakili
komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh
mana aitem-aitem test mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur. Validitas
ini dapat diestimasi melalui pengujian aitem dengan analisis rasional atau melalui
professional judgement (Azwar, 2012).
2. Reliabilitas
Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan
Alpha Cronbach, yaitu dengan membelah aitem sebanyak jumlah aitemnya.
Semakin besar koefisien reliabilitas maka semakin reliabel alat ukur tersebut.
Sebaliknya, semakin kecil koefisien reliabilitas maka semakin tidak reliabel alat
ukur tersebut (Azwar, 2012).
Dalam Alat ukur coping response inventory, Moos (1993)
mengungkapkan bahwa delapan buah subskala memiliki koefisien alpha yang
bergerak dari 0,58 sampai 0,74. Moderatnya reliabilitas alat ukur tersebut
dilaporkan sebagai hasil refleksi pengukuran yang aktual bukan karena
pengkonstruksian alat ukur yang buruk (Aldwin, dalam Sakraida, 2001)
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Uji coba alat ukur coping response inventory dilakukan kepada 60 orang
penyitas erupsi Gunung Sinabungmenunjukkan bahwa alat ukur reliabel, yang
mana koefisien alpha untuk delapan strategi coping stress bisa dilihat pada tabel
[image:51.595.152.486.508.661.2]berikut :
Tabel 3. Koefisien Cronbach’s Alpha pada Delapan Strategi Coping Stress
StrategiCoping Stress Koefisien alpha
Logical Analysis 0,641
Positive Reappraisal 0,610
Seeking Guidance 0,676
Problem Solving 0,606
Cognitive Avoidance 0,656
Acceptance/Resignation 0,488
Seeking Alternative Reward 0,562
Emotional Discharge 0,554
Setelah dilakukan analisa daya beda aitem pada setiap strategi coping
penelitian ini. Distribusi aitem yang dipakai pada alat ukurCoping Response
[image:52.595.111.535.206.388.2]Inventory (CRI) dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)
Setelah Uji Coba
No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah Aitem
1 Approach
Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 5
Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 4
Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6
Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 5
2 Avoidance
Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 4
Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 4
Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 3
Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 3
Total 48
Ket: nomor aitem yang dicoret adalah aitem yang gugur
Selanjutnya, peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala
penelitian seperti yang tertera pada tabel berikut ini :