• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

MENGHADAPI BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NISSA AZTARID SEMBIRING DEPARI

111301076

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung

di Kabupaten Karo

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2015

NISSA AZTARID S

(4)

Sinabung di Kabupaten Karo

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRAK

Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.

(5)

Karo Regency

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRACT

Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).

The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.

(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT ataskarunia,

kejutan hidup yang begitu indah, jalanan hidup yang tidak tertebak dan membawa

peneliti dalam pencapaian yang berarti. Skripsi.

Sumber semangat hidup. Sumber motivasi terbesar dalam mengerjakan

skripsi. Ayah dan Bunda. Berjuta terima kasih untuk semua kasih sayang yang

tiada batas. Untuk kakakku Nurul, Adikku Nadilla dan Namira, yang selalu ada

untuk mendengarkan curahan hati, yang tidak pernah lupa untuk mendukung dan

memberikan semangat. Terima kasih sayang.

Pihak-pihak yang membantu dan membimbing peneliti, baik dari masa

perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi. Dari hati yang terdalam peneliti

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas PsikologiUniversitas

Sumatera Utara.

2. Arliza J Lubis, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima

kasih sebesar-besarnya atas waktu, ilmu, dan bimbingan yang telah

diberikan.

3. Debby A Daulay, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

4. Juliana I Saragih, M.Psi., Psikolog., Josetta Maria R. Tuapatinaja, M.Si.,

Psikolog., Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., Psikolog., dan Rahma Fauzia,

(7)

ii

semua ilmu bermanfaat yang telah diberikan.

6. Para penyintas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang telah

memberikan banyak kontribusi.

7. Keluarga besar tercinta. Keluarga Asoka. Bersyukur sekali peneliti tumbuh

dan besar di keluarga ini. Terima kasih untuk setiap cinta, doa, dukungan,

nasihat dan kehangatan yang diberikan.

8. Sepupu terhebat,kak Elfi, kak Nifa, kak Difa, kak Ami, bang Agi, bang

Zuhri, dan Mukhlis, yang selalu ada untuk menghibur, menemani, dan

memberikan semangat. Terima kasih untuk semua bantuan yang diberikan

dalam proses pengerjaan skripsi ini.Tanpa kalian, hidup tidak akan penuh

tawa.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Putri,Taya, Rina, dan Tia, terima kasihsekali

untuk semangat dan dukungan tanpa henti. Semoga cita-cita dan mimpi

kita dapat tercapai.

10.Kepada teman-teman Psychotroops‘11,kalian luar biasa! Terima kasih

untuk empat tahun yang sangat manis.

11.Dan terakhir, kepada para pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, April 2015

(8)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Pertanyaan Penelitian ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teorits ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E.Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A.Stres ... 12

B.Penanganan Stres (Coping Stress) ... 13

1. Pengertian Penanganan Stress (Coping Stress) ... 13

2. Strategi Coping Stress ... 16

a. Approach-oriented coping ... 18

b. Avoidance-oriented coping ... 20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress ... 21

a. Sumber daya internal ... 21

b. Sumber daya eksternal ... 22

C.Penyintas ... 24

D.Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung ... 25

(9)

iv

A.Identifikasi Variabel ... 30

B.Definisi Operasional ... 30

C.Populasi dan Sampel ... 31

1. Populasi ... 31

2. Sampel ... 31

D.Metode Pengumpulan Data ... 32

1. Kuesioner Strategi Coping Stress... 33

E.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 34

1. Validitas ... 34

2. Reliabilitas... 34

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 37

3. Tahap Pengolahan Data... 38

G.Metode Analisa Data ... 38

1. Gambaran Sebaran Data ... 38

2. Perbandingan Mean ... 38

3. Kategorisasi ... 39

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Analisa Data ... 41

1. Gambaran Umum Subjek ... 41

2. Gambaran Coping Stress ... 43

a. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek ... 44

b. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek berdasarkan data demografis ... 45

c. Kategorisasi ... 49

(10)

v

A.Kesimpulan... 58

B.Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(11)

vi

Halaman Tabel 1Delapan Subskala Strategi Coping Stress ... 33

Tabel 2 Blue Print Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI) ... 34

Tabel 3Koefisien Cronbach’s alpha pada Strategi Coping Stress ... 35

Tabel 4Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur CopingReponses Inventory

(CRI)Setelah Uji Coba ... 36

Tabel 5Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI)... Untuk Penelitian ... 36

Tabel 6Gambaran Data Demografis Subjek ... 41

Tabel 7Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek ... 44

Tabel 8Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Usia ...45

Tabel 9Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

Tabel 10Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Agama ... 46

Tabel 11Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Status Pernikahan ... 47

Tabel 12Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 47

Tabel 13Kategorisasi Strategi Coping Stress ... 50

(12)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil Preliminary Research... 64

Lampiran 2 Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur Try Out ... 67

Lampiran 3 Alat Ukur Penelitian ... 80

(13)

Sinabung di Kabupaten Karo

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRAK

Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.

(14)

Karo Regency

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRACT

Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).

The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.

(15)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini

disebabkan karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng

Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan

oleh pergerakan dan tumbukan lempeng, pemicu bencana alam juga disebabkan

karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung berapi yang berjumlah

sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam pun

datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu

bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God” (Ursano & Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang

tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya

bencana alam dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran

lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam juga merupakan salah

satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat

menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara

(Dalton dkk., 2007), dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang

begitu menekan (Lahey, 2010).

Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung

(16)

Meskipun sempat digolongkan kedalam gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi

menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak mempunyai karakter

meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung ini kembali menunjukkan

aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan

September 2013 lalu (Arfa, 2013).

Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level

tertinggi yaitu Awas oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di

radius tiga sampai tujuh kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko

pengungsian yang telah disediakan (Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung

yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah pengungsi juga terus

mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak 28.536

jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi

Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014)

Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini tentunya berdampak pada

lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Selain

masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi

menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu

vulkanik ini juga menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan

infrastruktur seperti sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu

vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat membahayakan dan

mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014).

Tokoh masyarakat Karo, Arya Mahendra Sinulingga mengatakan bahwa

(17)

meluas bagi masyarakat Karo (dalam Pinem, 2015).Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh permerintah Kabupaten Karo, ditemukan terjadi tren

penurunan pada sektor partanian Kabupaten Karo sebesar 35 persen yang mana

kerugian diperkirakan mencapai 712,2 Milyar (Nugroho, 2014). Dari segi

pendidikan, jumlah masyarakat Karo yang masuk perguruan tinggi juga sangat

menurun (Pinem, 2015). Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia Fahri Hamzah mengatakan bahwa “perhitungan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Karo mengalami minus 45 persen pada

pertumbuhannya. Artinya, Kabupaten Karo untuk mencapai tingkat normal seperti

halnya pada tahuan 2012 bila pertumbuhan normal lima persen, maka dibutuhkan

sembilan sampai sepuluh tahun untuk sama dengan kondisi di tahun 2012.” (dalam Pinem, 2015).

Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat

yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang

menggambarkan mengenai ketergantungan antara manusia dengan alam, karena

relasi yang kuat dengan alam ini pula, terciptalah pola kehidupan masyarakat

yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung pada alam, yang mana telah

memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996). Begitu juga

halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun di

masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang

tinggal di sekitar Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata

(18)

Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang

dibanggakan masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru

menunjukkan aktivitas dan erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada

terganggunya perekonomian masyarakat (Sofyan, 2014). Erupsi ini juga

mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun psikologis masyarakat.

Dilaporkan oleh penelitian dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

bahwasannyamasyarakat Karo mengalami guncangan emosi yang luar biasa,

karena dalam ingatan mereka, gunung sinabung tidak pernah menjadi sumber

bencana. (Tim, 2014)

Menurut Dr. Langkah Sembiring, salah satu peneliti dari Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta, masyarakat dan pemerintah daerah Karo sama sekali

tidak siap menghadapi bencana ini, akibatnya masyarakat banyak yang mengalami

kepanikan dan ketakutan. Ia juga mengatakan bahwa pengungsi mengalami

masalah karena sudah tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama. Akibatnya,

tingkat kejenuhan di pengungsian sudah cukup tinggi, sehingga mereka menjadi

sensitif bahkan diantara mereka ada yang saling berkelahi (dalam Tim, 2014).

Para peneliti tersebutjuga telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi

yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban (Tim, 2014).

Selain itu, bencana ini juga mempengaruhi kondisi fisik masyarakat. Salah

satu masyarakat juga mengatakan bahwa “tekanan darah saya naik terus karena ingat harta benda dan ladang yang rusak, saya juga bosan tidak ada kegiatan,

(19)

keluhan-keluhan fisik seperti menderita penyakit asma, sesak napas, diare, demam, dan

hipertensi (Jangan, 2014).

Berbeda dengan bencana-bencana alam erupsi gunung api lain yang

pernah terjadi di Indonesia. Bencana alam erupsi Gunung Sinabung tergolong

panjang dan lama (Priyasidharta, 2014). Sampai pada bulan April 2015, Gunung

Sinabung masih dinyatakan tanggap darurat bencana karena masih terus

menunjukkan aktivitasnya. Bahkan sampai saat ini (April 2015) belum ada

kepastian kapan Gunung Sinabung akan dinyatakan aman. Sekretaris utama

Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dody Ruswandi mengatakan bahwa

“perubahan watak letusan gunung api membuat bencana ini semakin sulit diprediksi, erupsi gunung api juga tidak dapat diprediksi untuk jangka panjang” (dalam Linggasari, 2014). Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun

lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana.

Dengan segala kondisi yang terjadi, gunung yang tidak bisa diprediksi dan

tidak bisa dikontrol ini, masyarakat justru memilih untuk menunggu. Berdasarkan

hasil survey yang dilakukan peneliti pada bulan November 2014 kepada 30

penyintas erupsi Gunung Sinabung, sebanyak 22 penyintas mengatakan bahwa

kondisi gunung memang tidak bisa dipastikan, tetapi mereka memilih untuk tetap

menunggu sampai aktivitas gunung mereda. Meskipun mereka memiliki pilihan

lain seperti pindah rumah dan mencari pekerjaan di daerah lain tetapi mereka

lebih memilih untuk tinggal. Masyarakat mengatakan bahwa hidup mereka

bergantung pada gunung ini, mereka dibesarkan karena gunung ini, dan gunung

(20)

Pada akhirnya nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat sendiri memaksa

mereka untuk tetap tinggal dan menunggu meskipun dengan fakta bahwa gunung

dalam kondisi yang tidak bisa dikontrol maupun diprediksi. Dalam kondisi ini,

terlihat bahwa masyarakat menghadapi situasi yang cukup menekan, hal ini

ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi baik fisik maupun psikologis seperti

ketakutan, kecemasan, kejenuhan, dan keluhan-keluhan fisik yang dirasakan

masyarakat. Reaski-reaksi tersebut diindikasikan sebagai reaksi stres. Pernyataan

ini diperkuat oleh penelitian Leitch (2003), ia menyatakan bahwa individu yang

dihadapkan dengan kondisi tidak pasti lebih cenderung mengalami stres daripada

mereka yang berada dalam kondisi yang lebih bisa diprediksi, karena di kondisi

yang tidak pasti ini biasanya membuat mereka kesulitan untuk menentukan apa

respon yang sebaiknya mereka berikan.

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketika kondisi ini dialami

individu dalam waktu yang berlangsung lama, bisa menimbulkan dampak negatif

pada diri mereka (Gardner & Stern, 2002). Khususnya dalam kondisi bencana

alam, yang notabenenya adalah “acts of God” sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengontrol keadaan gunung, besar kemungkinan memicu

terjadinya stres (Ursano & Norwood, 2003), dan ketika ini berlangsung lama,

dampak psikologis yang mungkin terjadi adalah helpless-perasaan tidak berdaya

dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafindo, 2011).

Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu

percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa

(21)

Akan tetapi, sejatinya sebagai seorang individu, ketika dihadapkan pada

situasi-situasi yang menekan (stressful), individu akan terus melakukan penilaian

terhadap situasi tersebut lalu mempertimbangkan respon-respon yang akan

diberikan untuk menghadapinya (Lazarus & Launier, dalam Rice, 1992). Hasil

survey yang dilakukan peneliti, menunjukkan bahwa ketika menghadapi bencana

ini, mereka mengaku melakukan beberapa aktivitas seperti mencari pekerjaan

dengan berladang di ladang orang lain, membangun usaha, memperbaiki

kerusakan infrastruktur, membantu teman yang juga mengalami kesusahan, dan

menyewa rumah di daerah yang aman dari bencana. Respon-respon yang

dilakukan penyintas untuk menghadapi situasi bencana ini disebut sebagai coping

stress.

Copingmerupakan suatu upaya, baik mental maupun perilaku yang

dilakukan secara sadar untuk mengelola suatu situasi yang penuh tekanan dengan

tujuan untuk mengurangi perasaan tertekan atau kesukaran (Lazarus, dalam

DiMatteo, 1990). Coping berperan penting ketika individu mengatasi stres. Peran

coping dalam hal tersebut adalah sebagai mediator dan moderator. Sebagai

mediator,coping berfungsi untuk menghalangi dampak stres pada individu dan

coping ini berkorelasi negatif dengan ketidakmampuan individu untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Coping juga berfungsi sebagai moderator

dalam mendorong individu menjadi lebih positif setelah mengalami berbagai

situasi yang menekan. (Lazarus & Folkman, 1984).

Moos (1993), mengemukakan bahwa ada dua orientasi coping yang

(22)

mendekat (Approach-oriented coping) dan orientasi menjauh (Avoidance-oriented

coping). Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan

perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk

menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung.

Sedangkan avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal

atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau

menghindar dari penyebab stres tersebut.

Moos (1993) mengungkapkan bahwa Approach-oriented dan

Avoidance-oriented masing-masingnya tersusun atas empat strategi coping. Strategi-strategi

ini yang mendasari Approach coping adalah Logical Analysis, Positive

Reappraisal, Seeking Guidance and Support, dan Problem Solving. Selanjutnya,

strategi-strategi yang mendasari Avoidance coping adalah Cognitive Avoidance,

Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional Discharge.

Ada beberapa alasan mengapa peneliti menggunakan teori

Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Pertama, teori ini merupakan perluasan teori

Lazarus dan Folkman mengenai problem-emotion focused coping. Selanjutnya,

orientasi coping juga lebih konsisten ditemukan pada teori approach dan

avoidancecoping ini. Kedua, teori ini juga dirasa paling sesuai dipakai dalam

konteks bencana, Moos sendiri mengatakan bahwa teori ini bisa digunakan untuk

mengetahui coping stress penyintas erupsi Gunung Sinabung (Moos,

2015).Dengan mengetahui orientasi serta strategi-strategi coping penyintas erupsi

Gunung Sinabung, ini bisa menjadi saran dan referensi bagi instansi

(23)

Penelitian-penelitian ilmiah menemukan bahwa Avoidance coping pada

umumnya bukan strategi yang efektif digunakan ketika menghadapi stress,

sedangkan penggunaan Approachcoping ditemukan lebih efektif dan mendorong

penyesuaian diri di berbagai situasi (Moos, 1995). Penggunaan coping ini

ditemukan memediasi hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri yang

lebih baik dalam keadaan stressful (Brissette, dalam Taylor & Stanton, 2007).

Sebaliknya, avoidance coping dihubungkan dengan peningkatan stres, dan

kesehatan mental yang semakin memburuk. Pemakaian coping ini juga berperan

dalam menciptakan stres yang berkelanjutan (Holahan, dalam Taylor & Stanton,

2007).

Penelitian mengenai stress dan coping stress dalam situasi bencana juga

telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Andreas Baum (dalam Rice, 1992), ia

mengemukakan bahwa dalam situasi bencana, strategi coping yang paling efektif

dilakukan adalah dengan membersihkan diri dari emosi-emosi negatif. Para

korban bencana seharusnya mencari cara untuk mengekspresikan emosi dan

perasaan-perasaan negatifnya. Selanjutnya mereka juga sebaiknya menunda

dahulu untuk mencoba mengontrol dan menyelesaikan masalahnya. Khususnya

pada situasi bencana alam yang pada dasarnya adalah peristiwa yang tidak bisa

dikontrol dan tidak bisa diprediksi, usaha-usaha untuk secara langsung

menyelesaikan masalah, justru semakin meningkatkan stres dan perasaan frustrasi

karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengatasi bencana tersebut.

Dengan melihat fenomena yang terjadi akibat bencana erupsi Gunung

(24)

masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Mengetahui strategi apa yang

dipakai merupakan sesuatu yang penting mengingat strategi coping yang

digunakan individu merupakan suatu cara untuk menghindari dampak negatif

yang bisa terjadi dandapat menentukan kesehatan mental dan fisik serta

keberhasilan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan

mengetahui orientasi dan strategi pula, ini bisa menjadi saran bagi instansi

penanggulanan bencana dalam mengadakan program penanganan psikologis dan

rehabilitasi.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana gambaran coping stress penyintas dalam menghadapi bencana

erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo?

C. TUJUAN PENELITIAN

Menggambarkan coping stress penyintas dalam menghadapi bencana

erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah wawasan teoritis mengenai strategi coping

stress (approach-oriented dan avoidance-oriented), khususnya yang digunakan

dalam konteks bencana alam.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman mengenai strategi coping stress yang digunakan

(25)

instansi penanggulangan bencana ketika membuat program penanganan

psikologis dan rehabilitasi untuk penyintas bencana erupsi Gunung Sinabung di

Kabupaten Karo.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan dibahas sejumlah konsep yang berhubungan dengan

masalah penelitian. Tinjauan pustaka yang digunakan berkaitan dengan konsep

Stress,Coping Stress, Penyintas, Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung, dan

Paradigma berpikir.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup

variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel,

teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data dan metode analisa data.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini, akan diuraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian,

diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran penggunaan coping

(26)

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab pertanyaan

penelitian, serta diakhiri dengan saran-saran bagi peneliti lain dan instansi

(27)

12

TINJAUAN PUSTAKA

A. STRES

Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami.

Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang

yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan

melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan

mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan

permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan

istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon

dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo,

1990).

Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor)

yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa

yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan,

konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal

(Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang

melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus &

Folkman, dalam DiMatteo, 1990).

Tingkatan stres yang dirasakan oleh individu ketika merespon

peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya tergantung besarnya kecocokan antara

(28)

Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran,

perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang

stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan

individu dengan oranglain.

Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang

tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan

sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah

hal yang sangat penting (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika

individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi

kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami

stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada

individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami

individu.

B. PENANGANAN STRES (COPING STRESS)

1. Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)

Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan.

Orang-orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan

yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka

tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam

perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan

oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai

“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external

(29)

of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan

perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan

internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang

dimiliki seseorang.

Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan

seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993).

Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan

menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006).

Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi

yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010),

menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani

sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres

tersebut.

Secara teknis, coping didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan

individu untuk menangani tuntutan dalam situasi yang stressful. Ketika individu

sedang berusaha untuk coping, ia akan mencoba untuk menghadapi kesenjangan

antara tuntutan dari situasi stressful dengan kemampuan mereka untuk mengatasi

tuntutan tersebut (Coyne & Holroyd, dalam Rice, 1992). Idealnya, individu akan

memfokuskan usaha mereka untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi,

tetapi untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan situasi dan kemampuan

mereka sendiri, mereka terkadang juga melarikan diri atau menghindari situasi

yang mereka anggap mengancam atau bisa saja mereka secara pasif menerima

(30)

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang

dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan

disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan

coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya

coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang

menekan. Menurut Dalton dkk.(2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan

biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang

terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi

atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi

tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan

ancaman lingkungan.

Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis.

Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan

umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu

seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi

sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang

lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya

untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007)

menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat

berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya

dan penilaian yang terus menerus.

Dalam literatur-literatur ilmiah, berbagai konsep mengenai coping

(31)

dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard

Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua

fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau

untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut.

fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused

coping.

Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan

konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi

yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe

yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan

Emotion-focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri

dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri

untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih

lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan

dibahas dalam penelitian ini.

2. Strategi Coping Stress

Moos (1993) mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua kategori

yaitu Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Approach-oriented mengacu

pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami

penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan

cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan Avoidance-oriented mengacu

pada strategi kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir penyebab stres dan

(32)

Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif

untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila

seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan

mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang

yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan

menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan

perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.

Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan

penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir

(Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin

akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan

tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini

tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan

Avoidance Coping mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk

menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton,

2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya ApproachCoping

diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres.

Sedangkan AvoidanceCoping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan

kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).

Penelitian mengenai coping pun terus dilakukan. Beberapa peneliti

menjelaskan penggunaan coping dengan lebih spesifik dan mendalam. Stone dan

(33)

coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan

coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan

psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang

bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan

situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak.

Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali

berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan,

penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel

menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng,

dalam Taylor, 2009).

Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance

Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.

a. Approach-Oriented Coping

Approach-Oriented Copingmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku

yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi

usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan,

penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut

beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat

empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :

1) Logical Analysis

Logical analysis adalah usaha kognitif yang dirancang untuk

memahami dan mempersiapkan seseorang secara mental untuk

(34)

Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan

cara-cara tertentu dan cara-cara yang berbeda untuk menerima suatu

permasalahan.

2) Positive Reappraisal

Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk

menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika

sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut

seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang

mengalami permasalahan yang sama.

3) Seeking Guidance and Support

Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk

mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor.

Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang

permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta

pertolongan mereka.

4) Problem Solving

Problem solving merupakan usaha perilaku untuk menerima secara

langsung permasalahan dan memecahkan masalah tersebut. individu

yang melakukan pemecahan masalah akan membuat suatu

perencanaan-perencanaan tentang perilaku apa yang sebaiknya ia

(35)

b. Avoidance-Oriented Coping

Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk

pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan

mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini

meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik

diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat

empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu

1) Cognitive Avoidance

Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk

menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu

yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk

menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan

tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha

menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.

2) Acceptance or Resignation

Acceptance or resignation merupakan suatu usaha kognitif untuk

merespon masalah dengan menerima dan memasrahkannya, karena

berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada permasalahan

tersebut. Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada lagi harapan pada

(36)

3) Seeking Alternative Reward

Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk

mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan

mencari kepuasan dalam bentuk lain.

4) Emotional Discharge

Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani

tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka

yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada

dalam diri mereka.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya

(resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri

(internal) dan luar diri (eksternal).

a. Sumber daya internal

1) Karakteristik Kepribadian

Peneliti telah menunjukkan bahwa karakteristik yang ada dalam

masing-masing individu akan memperngaruhi bagaimana cara mereka

mengelola peristiwa-peristiwa yang menekan yang dikaitkan dengan

penurunan distres dan kesehatan yang lebih baik (Taylor & Stanton,

2007). Karakteristik kepribadian ini bisa berupa keterampilan

mengatur diri (self regulation skilss), self esteem, self efficacy,

(37)

2) Usia

Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan

mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi

pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian

khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam

Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian

mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu

akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping

yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan

kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan

tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan

usianya (Sarafindo & Smith, 2011).

3) Jenis Kelamin

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan

strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut

Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in

stress and coping styles, ia menyatakanbahwa pada umumnya

perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam

menggunakan strategi avoidancecoping dan berorientasi pada emosi.

b. Sumber daya eksternal

1) Materi

Materi yang dimiliki oleh individu bisa berupa uang, pekerjaan,

(38)

spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30

dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya,

menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang

diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa

individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih

sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif

bencana.

2) Lingkungan Sosial dan Budaya

Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat

yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam

menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi

mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).

3) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang

diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007).

Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat,

teman, dan komunitas sosial.

4) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perkembangan kognitif

seseorang, yang mana jika semakin tinggi tingkat pendidikannya,

semakin berkembang pulalah kognitifnya, dan ini akan mempengaruhi

bagaimana penilaian individu terhadap lingkungannya. (Sarafindo dan

(39)

Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki

penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti

uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan

lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika

individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama,

sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk

menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

C. PENYINTAS

Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang

memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap

saja, datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis.

Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyinyas

(survivors) tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana

tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan

gangguan emosional. Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada

kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen,

2011).

Segera setelah bencana alam, penyintas mungkin mengalami perasaan

yang campur aduk. Tentu saja akan ada sukacita dan lega karena selamat dari

bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala

negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi,

dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang

(40)

juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya

keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen,

2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik

diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam

berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).

Dari berbagai dampak yang timbul tersebut, satu hal penting yang perlu

disadari ialah bahwasannya reaksi-reaksi yang muncul adalah suatu yang normal

ketika seseorang menghadapi peristiwa bencana alam. Hanya saja, bisa gejala

tersebut tetap berlangsung selama berbulan-bulan ini bisa mengindikasikan

adanya masalah serius yang mungkin perlu ditangani (Miller, 2013).

D. BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG

Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa

dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan

terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup

individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992).

Selanjutnya,Brannon dan Feist (2007) menjelaskan bahwa, datangnya bencana

alam dapat menyebabkan kematian orang-orang dalam jumlah besar, menciptakan

stres, duka cita, dan ketakutan pada orang-orang yang selamat dari bencana.

Bencana alam merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi

dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu

komunitas, daerah, dan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini bisa menjadi salah

satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010). Hadirnya bencana alam

(41)

keluarga. Bencana alam mungkin juga akan menyebabkan korban massa,

kehancuran dan kehilangan harta benda, serta akan mengganggu jaringan sosial

dan aktivitas sehari-hari (Ursano & Norwood, 2003).

Selanjutnya, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bencana alam

erupsi Gunung Sinabung. Gunung Sinabung adalah gunung yang terletak di

dataran tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung dengan

ketinggian 2.460 meter diatas permukaan laut ini tergolong kedalam gunung

berapi dan merupakan gunung tertinggi di Sumatera Utara. Gunung yang

dikelilingi dengan hutan ini merupakan salah satu gunung penghasil air yang

banyak dan sangat subur. Karena kesuburan tanah dan banyaknya air yang

dihasilkan dari gunung Sinabung membuat masyarakat sekitar memanfaatkan kaki

gunung ini untuk ditanami sayur-sayuran atau buah-buahan.

Namun, pada bulan september 2013, gunung Sinabung ini meletus.

Menurut (Ursano & Norwood, 2003), letusan gunung berapi dapat menimbulkan

beberapa dampak negatif bagi lingkungan, seperti banyaknya ternak yang mati,

dan rusaknya ribuan kebun, ladang, atau sawah. Bencana dan bahaya letusan

gunung api juga akan berpengaruh bagi kehidupan. Bahaya yang muncul

diakibatkan oleh material yang dikeluarkan secara langsung saat terjadi letusan.

Daerah-daerah yang terkena bahaya ini meliputi daerah sekitar puncak gunung,

daerah sekitar puncak, dan bisa mencapai jarak sepuluh kilometer dari gunung.

Ginting (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa letusan gunung

Sinabung pada tahun 2010, menimbulkan kabut asap yang disertai hujan pasir dan

(42)

dibawah radius enam kilometer. Karena debu ini sangat panas, tanaman tersebut

terancam gagal panen dan diperkirakan mengalami kerugian hingga dua puluh

sembilan milyar. Selama masa bencana di tahun 2010 ini, diperkirakan sekitar

21.141 jiwa masyarakat yang mengungsi di pos-pos pengungsian.

Gunung Sinabung kembali meletus pada bulan September 2013, gunung

ini dinaikkan statusnya dari Waspada (level 2) ke Siaga (level 3), sempat

diturunkan kembali menjadi Waspada tanggal 29 September 2014, kemudian

langsung dinaikkan menjadi Awas (level 4) setelah terjadi letusan dahsyat pada 25

November 2013. Status Awas pada Gunung Sinabung, mengindikasikan semakin

meningkatnya aktivitas gunung dan adanya peningkatan intensitas letusan, serta

semakin meluasnya lontaran batu material berukuran tiga sampai empat

sentimeter, hingga mencapai jarak empat kilometer (Arfa, 2013).

Pada bulan Desember 2013 lalu, aktivitas Gunung Sinabung terus

mengalami peningkatan, salah satunya ditandai dengan terbentuknya kubah lava.

Kubah lava yang terus tumbuh dan membesar inilah yang menjadi sumber bagi

awan-awan panas yang keluar sejak awal tahun 2014. Tentunya, jika volume

kubah bertambah besar maka semakin rentanlah terjadi longsor dan jika terjadi

longsor maka semakin jauh pulalah jarak hempasannya dari kaki gunung

(Sudibyo, 2014). Dalam rangka menghindari hempasan tersebut, masyarakat yang

beda di sekitar kaki Gunung Sinabung harus diungsikan ke pos-pos pengungsian

yang telah disediakan. Tercatat hingga 20 Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa

(43)

harus diungsikan (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24

Juni 2014).

Sampai bulan Maret 2015, Gunung Sinabung masih dinyatakan darurat

bencana. Gunung ini masih terus menunjukkan aktivitasnya, bahkan kembali

meletus pada akhir maret 2015 lalu. Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah

satu tahun lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana, ini merupakan

waktu yang tergolong lama dibandingan dengan bencana alam lain yang pernah

(44)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Tuntutan (Demand)

1. Pindah Lokasi

2. Melanjutkan kehidupan

3. Memenuhi kebutuhan

sehari-hari

4. Rusaknya tempat tinggal

5. Kondisi lingkungan yang

unpredictable dan uncontrollable

Hadirnya berbagai tuntutan lingkungan

Sumber Daya (Resource)

1. Hilangnya harta benda

2. Hilangnya mata

pencaharian

3. Perubahan jaringan sosial

4. Kehilangan anggota

keluarga

5. Masalah Kesehatan

Stress

Coping with Stress

Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung

Sumber daya eksternal Sumber daya internal

Berkurangnya sumber daya yang dimiliki

Approach-oriented

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran Coping

Stresspenyintas dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung di

Kabupaten Karo. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, peneliti akan

menggunakan metode penelitian kuantitatif-deskriptif. Metode ini adalah metode

yang dirasa paling tepat, karena meyediakan analisis statistik untuk mengolah

data-data yang diperoleh ke dalam gambaran numerik. Lebih spesifik, teknik yang

akan digunakan adalah survey sampel karena merupakan teknik yang paling

sesuai dipakai pada sampel yang besar dan paling sesuai untuk menggambarkan

karakteristik sampel.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Coping Stress.

B. DEFINISI OPERASIONAL

Coping stress adalah strategi-strategi kognitif dan perilaku yang digunakan

individu dalam menghadapi situasi yang menekan. Coping stress dibedakan

kedalam dua orientasiyaitu approach-oriented dan

avoidance-oriented.Approach-orientedmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku yang digunakanuntuk

memahami, memikirkan perencanaan dan melakukan tindakan pemecahan

masalah untuk menghadapi stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi

(46)

Support, dan Problem Solving. Sedangkan Avoidance-orientedmerujuk pada

strategi kognitif dan perilaku untuk menolak, menarik diri dan menghindari

stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi coping yaituCognitive

Avoidance, Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional

Discharge.

Coping stress diukur dengan menggunakan alat ukur Coping Response

Inventory (CRI), yang dikembangkan oleh Moos (1993). Alat ukur ini terdiri dari

aitem-aitem yang dapat mengukur keempat strategi Approachcoping dan keempat

strategi Avoidancecoping. Respon yang diberikan yaitu tidak pernah, jarang,

sering, dan selalu. Total skor pada masing-masing strategi menunjukkan frekuensi

penggunaan strategi coping tersebut. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan,

menandakan bahwa semakin tinggi frekuensi subjek dalam menggunakan strategi

coping tersebut. sebaliknya, semakin rendah nilai yang dihasilkan alat ukur,

semakin rendah pula frekuensi subjek dalam menggunakan strategi coping

tersebut.

C. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang merupakan

penyitas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

2. Sampel

Dalam penelitian ini, sampel akan diambil dengan menggunakan teknik

non probability sampling,Pemilihan teknik ini didasarkan pada kondisi lapangan

(47)

yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Adapun metode pengambilan sampel

yang akan digunakan adalah insidental yang dilakukan dengan tanpa

memperhatikan siapapun yang diteliti asalkan subjek yang diteliti setuju dan

sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Hadi, 2000).

Selanjutnya, banyaknya jumlah sampel yang akan diambil juga harus

dipertimbangkan. Menurut Azwar (2012), jumlah subjek yang dijadikan sampel

penelitian dapat berjumlah seratus, dua ratus, empat ratus, bahkan ribuan orang.

Prinsipnya, dalam keterbatasan sumber daya dan mengingat berbagai

pertimbangan teknis pelaksanaannya, harus tetap diusahakan untuk mengambil

subjek dalam jumlah sebesar mungkin. Dalam penelitian survey khususnya,

diharapkan peneliti mampu memperoleh sampel sebanyak yang

memungkinkan.Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebanyak 141 orang

sebagai sampel.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Laporan Diri (Self

Report). Selain karena metode ini merupakan metode utama dalam penelitian

survei (Kerlinger, 1995), metode ini memungkinkan subjek untuk melaporkan

strategi coping yang ia gunakan karena subjek adalah orang yang paling tahu

tentang dirinya sendiri, metode ini juga terstandarisasi dan baik untuk

memberikan gambaran diri. Tetapi karena memang dasarnya adalah laporan diri,

maka besar kemungkinan jawaban subjek dipengaruhi oleh keinginan pribadi

(Hadi, 2000). Self report yang digunakan berupa kuesioner strategi coping stress

(48)
(49)

1. Kuesioner Strategi Coping Stress

Penelitian ini menggunakan Kuesioner Strategi Coping Stress yang yang

diadaptasi dari Coping Response Inventory (CRI) (Moos, 1993). Kuesioner ini

terdiri delapan subskala yang masing-masingnya berisi strategi coping stress yaitu

Logical Analysis (LA), Positive Reappraisal (PR), Seeking Guidance And Support

(SG), Problem Solving (PS), Cognitive Avoidance (CA), Aceeptance/Resignation

(AR), Seeking Reward (SG), Dan Emotional Discharge (ED).

Kategori ini masing-masingnya tersusun atas dua kategori spesifik, yaitu

usaha kognitif dan perilaku, dan masing-masingnya terdiri atas konsep-konsep

[image:49.595.113.507.402.489.2]

Approach dan Avoidance Oriented. Seperti dalam tabel 1di bawah ini.

Tabel 1. Delapan Subskala Strategi Coping Stress

Orientasi

Metode Approach Avoidance

Kognitif Logical Analysis Cognitive Avoidance

Positive Reappraisal Acceptance / Resignation

Perilaku Seeking Guidance and Support Seeking Alternative Reward

Problem Solving Emotional Discharge

Alat ukur ini akan menggunakan skala Likert, yang menyajikan stimulus

berupa kalimat atau pernyataan yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku,

keyakinan, sikap atau opini. Keuntungan dari skala ini adalah kemudahan dalam

pembuatan dan penerapan, skala ini juga lebih akurat dibandingkan skala lainnya,

dan memberikan keterangan yang lebih jelas dan nyata tentang pendapat atau

sikap responseden (Coaley, 2010). Alat ukur penelitian ini disusun dengan variasi

jawaban sebanyak empat pilihan, yaitu Tidak Pernah (TP), Kadang-Kadang (KD),

(50)

empat.Berikut merupakan rancangan alat ukur strategi coping stress yang akan

[image:50.595.114.535.182.373.2]

digunakan pada penelitian ini.

Tabel 2. Blue Print Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)

No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah Aitem

1 Approach

Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 6

Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 6

Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6

Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 6

2 Avoidance

Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 6

Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 6

Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 6

Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 6

Total 48

E. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

1. Validitas

Tipe validitas dapat digolongkan kedalam tiga kategori besar, yaitu

validitas isi, validitas konstruk, dan validitas kriteria. Validitas yang akan

diestimasi dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan suatu

estimasi yang melihat sejauh mana aitem-aitem test mewakili

komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh

mana aitem-aitem test mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur. Validitas

ini dapat diestimasi melalui pengujian aitem dengan analisis rasional atau melalui

professional judgement (Azwar, 2012).

2. Reliabilitas

Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan

(51)

Alpha Cronbach, yaitu dengan membelah aitem sebanyak jumlah aitemnya.

Semakin besar koefisien reliabilitas maka semakin reliabel alat ukur tersebut.

Sebaliknya, semakin kecil koefisien reliabilitas maka semakin tidak reliabel alat

ukur tersebut (Azwar, 2012).

Dalam Alat ukur coping response inventory, Moos (1993)

mengungkapkan bahwa delapan buah subskala memiliki koefisien alpha yang

bergerak dari 0,58 sampai 0,74. Moderatnya reliabilitas alat ukur tersebut

dilaporkan sebagai hasil refleksi pengukuran yang aktual bukan karena

pengkonstruksian alat ukur yang buruk (Aldwin, dalam Sakraida, 2001)

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur coping response inventory dilakukan kepada 60 orang

penyitas erupsi Gunung Sinabungmenunjukkan bahwa alat ukur reliabel, yang

mana koefisien alpha untuk delapan strategi coping stress bisa dilihat pada tabel

[image:51.595.152.486.508.661.2]

berikut :

Tabel 3. Koefisien Cronbach’s Alpha pada Delapan Strategi Coping Stress

StrategiCoping Stress Koefisien alpha

Logical Analysis 0,641

Positive Reappraisal 0,610

Seeking Guidance 0,676

Problem Solving 0,606

Cognitive Avoidance 0,656

Acceptance/Resignation 0,488

Seeking Alternative Reward 0,562

Emotional Discharge 0,554

Setelah dilakukan analisa daya beda aitem pada setiap strategi coping

(52)

penelitian ini. Distribusi aitem yang dipakai pada alat ukurCoping Response

[image:52.595.111.535.206.388.2]

Inventory (CRI) dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)

Setelah Uji Coba

No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah Aitem

1 Approach

Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 5

Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 4

Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6

Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 5

2 Avoidance

Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 4

Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 4

Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 3

Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 3

Total 48

Ket: nomor aitem yang dicoret adalah aitem yang gugur

Selanjutnya, peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala

penelitian seperti yang tertera pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventor

Gambar

Tabel 1. Delapan Subskala Strategi Coping Stress
Tabel 2. Blue Print Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)
Tabel 3. Koefisien Cronbach’s Alpha pada Delapan Strategi Coping Stress
Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI) Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

City Health Department Salatiga has conducted the process of toddler nutrition status based on anthropometry standard corresponded to Ministry of Health Republic of

dapat terjadi dalam rantai proses pengolahan makanan, mulai dari sumber bahan mentah.. hingga penyajian makanan dalam

mendukung integrasi data status gizi dari Puskesmas dan DKK serta membantu pencatatan data penimbangan, pengolahan data penimbangan menjadi status gizi, dan pengelolaan

Selain itu menurut BKKBN (2007) faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi laki-laki dalam KB, antara lain terbatasnya sosialisasi dan promosi KB

Penelitian yang dilakukansebelumnyaterkait keberadaan logam berat Kadmium (Cd) di wilayah mangrove Percut Sei Tuan adalah kandungan logam berat Kadmium (Cd) pada air yang

Kotler, Philip dan Gary Amsrong, 2001, Prinsip – Prinsip Pemasaran , Jilid 2, Edisi Kedelapan, Jakarta, Erlangga.. Manajemen Pemasaran, jilid 1, edisi milenium,

Kedua poin tersebut memeroleh sekor dengan presentase 75 %, sehingga, sistematika penyajian dikategorikan cukup layak dan perlu dilakukan revisi.Setelah dilakukan

logam berat yang masuk ke lingkungan perairan sungai akan terlarut dalam air. dan akan terakumulasi dalam sedimen dan dapat bertambah