• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.

Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan

cenderung meningkat. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain

berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan

dan tanah longsor (BNPB, 2007).

Menurut Wassenhove (2006), setiap tahun terjadi sekitar 500 bencana

alam yang membunuh 75.000 manusia dan berdampak pada 200 juta orang

lainnya. Bertambahnya jumlah populasi yang menyebabkan masuknya manusia ke

daerah-daerah rawan bencana serta adanya perubahan iklim membuat jumlah

bencana alam ke depannya menjadi semakin banyak (Whybark, 2007). Bencana

dapat dipicu oleh perbuatan manusia termasuk di dalamnya kecelakaan, perang,

dan lainnya (Danieli, 1996).

Indonesia berpotensi besar mengalami bencana dimasa mendatang karena

berbagai faktor, misalnya letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia

juga merupakan negara kepulauan yang dilingkari oleh jalur gempa paling aktif di

dunia, yaitu Cincin Api Pasifik. Cincin Api merupakan akibat langsung dari

pertemuan lempeng tektonik, dimana Indonesia terletak di pertemuan 3 lempeng,

yaitu Lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Kondisi ini menyebabkan

(2)

bencana hidrometeorologi yang terkait dengan cuaca juga sangat sering melanda

wilayah nusantara (Gempa BNPB, 2014). Indonesia memiliki gunung berapi

dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif

(Lavigne, dkk, 2007).

Salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia berada di Kabupaten

Karo . Letak geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah Sumatera, di

Kabupaten Karo ada 2 dari 129 gunung berapi yang aktif berada di Indonesia

yaitu Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini

berstatus siaga (level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600.

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), catatan

letusan Gunung berapi Sinabung pada tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik

berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran lahar yang mengalir ke arah

Selatan. Kemudian pada tahun 1912, gunung ini mengeluarkan aktivitas solfatara

yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun, gunung berapi

berjenis strato ini kembali meletus. Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi

Gunung Sinabung yang cukup mengejutkan pada tahun 2010, terjadi beberapa

kali letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada tanggal 7 april

2010 sampai pada tanggal 27 agustus 2010 menyebabkan status Gunung Sinabung

berubah dari tipe B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, Gunung Sinabung

menunjukkan aktivitas vulkanik selama 15 September 2013 dan terakhir 24

oktober 2013. Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19-24

(3)

Gunung Sinabung masih pada waspada, Level III atau siaga (Gempa BNPB,

2013).

Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan pernyataan: “Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe

A. Masyarakat agar mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung” (Anshari, 2014).

Gunung Sinabung, tanggal 29 Januari 2014 Status level IV (Awas) ini

terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan

awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari

2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus

terjadi sampai hari berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk

mengungsi, hingga melebihi 20 ribu orang. Setelah kondisi ini bertahan terus,

pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan

direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat

dipulangkan. Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3

orang luka-luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa

Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya I (Berita Satu,

2014).

Tercatat sebanyak 3.287 jiwa atau 1.019 kepala keluarga pengungsi

Sinabung yang masih tinggal di penampungan. Mereka berasal dari zona merah

(daerah berbahaya), yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem

(4)

rumahnya, sedangkan pengungsi yang tinggal di hunian sementara 6.179 jiwa

(2.053 KK). Pengungsi ini berasal dari Desa Sukameriah, Bekerah, Simacem,

Kutatonggal, Gamber, Berastepu, dan Gurukinayan (Assifa, 2014)

Data sementara yang diperoleh Badan Penanggulan Bencana Daerah

(BPBD), kerusakan infrastruktur pasca-erupsi Gunung Sinabung mulai September

2013 hingga Oktober 2014 ini mencapai lebih dari 5.000 bangunan. Seperti

ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, bangunan itu terdiri dari rumah, sekolah,

rumah ibadah, dan pasar. Kerusakan lainnya mencakup infrastruktur jalan dan

irigasi (Liputan 6, 2014).

Erupsi Gunung Sinabung berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan

perkebunan seluas 60 hektare. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar

masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi

ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban meninggal sebanyak dua

orang (KeMenKes RI, 2010). Lahan pertanian milik masyarakat yang mengalami

kerusakan dan terancam gagal panen akibat erupsi Gunung Sinabung di enam

kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan mencapai

2.924 hektare. Kerusakan komoditas pertanian milik masyarakat di sana itu

meliputi tanaman cabai yang mengalami kerusakan seluas 367 hektare, kentang

sebanyak 230 hektare, sayur kembang kol mencapai 222 hektare, sisanya tomat

dan sayuran lainnya. (Berita Satu, 2014)

Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak luas hingga turunnya kualitas

perkembangbiakkan ternak serta penurunan drastis kunjungan wisata alam

(5)

Sumatera. Kerugian total yang diakibatkan bencana panjang itu mencapai lebih

dari Rp. 1 Triliun (Liputan 6, 2014)

Fenomena yang telihat di lapangan semakin memperjelas bahwa erupsi

Gunung Sinabung berdampak pada kehidupan penyintas. Ini terbukti dari hasil

wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40

tahun, yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Tanah di kampung sudah hancur semua, jadi keadaan kami sehari-hari

disini ee.. kadang kerja di ladang orang dibayar upahan. kalau balik lagi ke kampung sudah tidak bisa lagi ladangnya digunakan karena banyak batu di situ. kampung kami yang dekat gunung itu, mulutnya itu ke arah kampung kami. Jadi awan panas sama ee.. lahar dingin dari situlah lewat. Waktu musibah itu tepatlah di ladang kami, itulah ladang berastepu. Rata... semua, pohon-pohon sudah tidak ada lagi...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...Kalau sudah terkena tanaman, masak semua dibuatnya, mati semua

tanaman kita, jeruk itu berjatuhan lah semua buah-buah yang masih kecil, yang belum besar. Kalau daun kentang gosong dibuatnya gitu. Kita gatal-gatal kena abu itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014)

Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena

dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban, namun individu

yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive

dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah

penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan,

baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa,

tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut

(Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (penyintas) menerima

kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat erupsi Gunung

(6)

bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan

berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima oleh penyintas

bencana alam Gunung Sinabung. Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, dan

tragis suatu bencana, semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan

goncangan batin yang dirasakan oleh para penyintas (Wiryasaputra, 2006).

Bencana alam membuat penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya.

Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan secara optimal, namun

dampak negatif pada sosio-ekonomi dan psikologis jangka panjang dari bencana

dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama

setelah bencana tersebut terjadi. Fenomena yang telihat dilapangan memperjelas

bahwa bencana alam Gunung Sinabung berdampak negatif. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40

tahun, yang tinggal di pengungsian kota Kabanjahe:

“...Kalau perubahan ekonomi ya jelas lah, merosot jauh kayak mana pun kalau seandainya dulu kita menanam sekarang enggak menanam lagi, apa yang kita jual ke pasar, kan enggak ada lagi, yang ditanampun enggak ada lagi. Seandainya pun dulu masih ada modal sudah kita tanam. Modal ada, datang gunung enggak kita panen, kan ekonomi pasti merosot. Itulah makanya beban kami sangat berat.”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“... Kalau perekonomian gimana kalau di pengungsian, sudah itu tadi lah

menurun karena kerjaan enggak ada...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014)

Bencana yang terjadi dapat berdampak secara umum yaitu baik nature dan

manmade meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan

kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari,

(7)

secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi

nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).

Bencana yang berdampak pada psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas,

takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala

psikologis lainnya (Salzer & Bickman. 2005).

Fenomena yang telihat dilapangan semakin memperjelas bahwa erupsi

Gunung Sinabung berdampak pada psikologis mereka. Ini terbukti dari hasil

wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40

tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :

“...Banyak, banyak yang stress. Ada juga yang gantung diri, ada juga yang minum racun. Itu lah makanya karena sudah stressnya...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014)

“...wihh..kalau aku dulu kan, waktu meletus itu, aku kalau ngomong kita gitu kan, baju ku terus basah.. aku sudah apa.. sudah trauma. kalau ngomong sama orang begitu terus apa air mata ku, basah semua baju ku.. begitu terus hari itu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014)

Dampak psikologis yang terjadi berupa trauma ataupun stres tidak dapat

dihindari dari bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut. Bencana yang dahsyat

membuat para penyintas merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian

mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Beberapa orang akan

mengalami duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat.

Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan

mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain,

sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian

(8)

menghadapi masa depan. Situasi bencana yang demikian muncul sebagai hasil

interaksi antara satu atau kombinasi beberapa fenomena fisik dan komunitas

manusia sebagai korban yang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi

(Danieli, 1996). Dari situasi bencana yang terjadi akan memunculkan perasaan

menerima kondisi yang sudah terjadi pada kehidupannya. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh partisipan, Ibu J berusia 45 tahun yang tinggal di pengungsian

kota kabanjahe:

“...Kita harus banyak berdoalah, kalau enggak, enggak bisa nak. selalu berdoa..kalau kita enggak berdoa kita enggak kuat. Berserah, pasti ada jalan keluar yang dikasih Yang Maha Kuasa...”

(Komunikasi personal, 15 November 2014).

Beberapa penyintas bencana alam yang mengalami gangguan kurang tidur,

mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, dan akan mengalami perubahan

pada kehidupan sosial. Keadaan ini akan menjadi stressful bagi mereka. Social

support akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy

& Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

Fenomena yang telihat dilapangan bahwa social support akan membantu

beban mereka. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu

J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota

kabanjahe :

“...Pertamanya memang ya menderita juga, kalau pertamanya itu, tapi sudah lama kelamaan banyak lah bantuan yang datang. Jadi, beban yang kami rasa sangat berat, jadi terangkat sedikit-sedikit. Jadi, anak sekolah diluar pun kalau ada yang membantu, ada ngasih uang. Jadi, untuk anak sekolah itu enggak terhalang. Jadi, beban itulah yang selama ini kami rasa berat jadi terangkat oleh kalian semua...”

(9)

“...Kalau dikasihnya begitu mau nangis rasanya aku. Karena gembiranya, sedih juga nya. Orang enggak berapa kenal pun mau dia ngasihnya. Kan gembira kita itu, dikasihnya duit begitu...”

(Komunikasi personal, 16 November 2014)

Bantuan yang diberikan orang lain kepada penyintas dapat meringankan

beban mereka dan bantuan ini dapat berupa dukungan sosial. Social support

adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang

diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006).

Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others

bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua,

pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi

(DiMatteo, M. Robin, 1991).

Bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada penyintas bencana

alam Gunung Sinabung seperti dengan menunjukkan perhatian, empati dan

dukungan secara emosional (emotional or esteem support), sumber-sumber fisik

dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat

anak, dll (instrumental or tangible support), bantuan berupa saran-saran,

petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan

mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di lapangan diketahui

bahwa adanya social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam

Gunung Sinabung dalam bentuk instrumental or tangible support yaitu bantuan

seperti makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup penyintas selama di

(10)

Selain itu, peneliti juga melihat dalam bentuk lain yaitu companionship

support seperti bantuan pendampingan, psikologis untuk anak-anak yang

dilakukan oleh beberapa mahasiswa psikologi yang bekerja sama dengan

organisasi kemahasiswaan dan instansi dalam program “Heal Sinabung”. Bantuan-bantuan lainya juga diberikan terlihat dari pemerintah, instansi, lembaga

swadaya masyarakat (LSM), komunitas motor, organisasi mahasiswa dari

universitas lain dan bantuan secara pribadi (Observasi, 13 Desember 2014).

Social support yang diterima dapat memberikan kenyamanan fisik dan

psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social

support mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan

berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk

kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang

diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres akan

membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan

kesehatannya (Baron & Byrne, 2000).

Social Support dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi

dampak dari bencana yang membuat penyintas menjadi merasa tidak berdaya,

duka mendalam, depresi, gelisah, rasa bersalah, sulit mengontrol kemarahan dan

sebagainya (Danieli, 1996). Individu yang mendapat social support merasa bahwa

dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi

individu, menolong secara psikologis maupun secara fisik. Social support dapat

(11)

Baron & Bryne (2000) social support diyakini mampu memberikan

dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal

tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk, 2005) yang

menunjukkan bahwa individu yang mendapat social support memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi.

Individu yang memiliki Psychological well-being yang tinggi adalah

individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif,

mampu melalui pengalaman-pengalaman yang buruk dapat menghasilkan kondisi

emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu

menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol

kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu

mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,1989).

Berdasarkan pemaparan diatas, seorang penyintas bencana alam Gunung

Sinabung diperhadapkan dengan lingkungan yang baru yaitu tinggal di

pengungsian. Tinggal di pengungsian menjadi tantangan hidup bagi penyintas

karena mereka terpaksa harus meninggalkan harta benda mereka di kampung

halaman akibatnya dapat membuat penyintas merasa stressful. Sebagai upaya

untuk mengatasinya, penyintas membutuhkan bentuk dukungan dari orang lain

dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi

setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Oleh karena itu,

peneliti ingin melihat social support dan psychological well-being pada penyintas

(12)

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belaang diatas, maka terdapat masalah yang bisa

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang diperoleh pada penyintas

bencana alam gunung sinabung?

2. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang dibutuhkan pada penyintas

bencana alam gunung sinabung dan mengapa mereka membutuhkan social

support tersebut?

3. Bagaimana psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung

sinabung?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan

mengenai social support dan psychological well-being pada penyintas bencana

alam gunung sinabung melalui bentuk-bentuk social support seperti emotional or

esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan

companionship support; dan dimensi psychological well-being seperti penerimaan

diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan

(13)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat

teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan

sumber informasi yang bermanfaat untuk pengembangan terhadap ilmu psikologi,

khususnya dibidang psikologi sosial, berkenaan dengan social support dan

psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain :

a. Untuk penyintas bencana alam

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

penyintas bencana alam mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan

oleh penyintas sehingga dirinya mampu menyikapi setiap tantangan yang

dihadapi secara positif serta dengan adanya social support ini diharapkan

dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dirasakan sehingga

meningkatkan harapan untuk hidup lebih baik.

b. Untuk keluarga dan masyarakat

a) Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang

dirasakan oleh penyintas bencana alam sehingga keluarga mampu

memberikan social support kepada penyintas bencana alam, untuk

(14)

b) Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk

mengetahui masalah yang dihadapi pada penyintas bencana alam, apa

dampak secara fisik terutama psikologis yang dirasakan oleh

penyintas, dan bagaimana social support yang harus diberikan dan

mengetahui kenapa mereka membutuhkan social support tersebut.

Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara yang

mengalami bencana alam dapat mengetahui hal apa yang dilakukan

pada penyintas tersebut.

c. Untuk Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

pemerintah mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh

penyintas dan masukan mengenai social support seperti apa yang harus

segera diberikan untuk mengurangi tekanan psikologis pada penyintas

bencana alam

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa bencana alam

gunung sinabung, aspek psikologis yang ditemukan pada penyintas,

penjelasan mengenai social support, dan juga penjelasan mengenai

psychological well-being, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

(15)

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam

pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang

berhubungan dengan bencana alam gunung sinabung, masalah yang

dihadapi peyintas, social support, dan psychological well-being.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi

penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang

dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data dan pembahasan

berisi pendeskripsian data partisipan, analisa data partisipan dan

pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan

pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai

social support dan psychological well-being pada penyintas bencana

alam gunung sinabung. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang

telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai

dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologi untuk

Referensi

Dokumen terkait

Widyastuti

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Besaran Uang Persediaan Pada Satuan Kerja

Membuat laporan memang gampang- gampang susah, bagi pemula yang baru pertama kali mendapat tugas memang terasa membingungkan karena terdapat aturan yang mengatur dalam pembuatan

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Kabupaten

Penelitian yang dilakukansebelumnyaterkait keberadaan logam berat Kadmium (Cd) di wilayah mangrove Percut Sei Tuan adalah kandungan logam berat Kadmium (Cd) pada air yang

Kotler, Philip dan Gary Amsrong, 2001, Prinsip – Prinsip Pemasaran , Jilid 2, Edisi Kedelapan, Jakarta, Erlangga.. Manajemen Pemasaran, jilid 1, edisi milenium,

Kedua poin tersebut memeroleh sekor dengan presentase 75 %, sehingga, sistematika penyajian dikategorikan cukup layak dan perlu dilakukan revisi.Setelah dilakukan

logam berat yang masuk ke lingkungan perairan sungai akan terlarut dalam air. dan akan terakumulasi dalam sedimen dan dapat bertambah