BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.
Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan
cenderung meningkat. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor (BNPB, 2007).
Menurut Wassenhove (2006), setiap tahun terjadi sekitar 500 bencana
alam yang membunuh 75.000 manusia dan berdampak pada 200 juta orang
lainnya. Bertambahnya jumlah populasi yang menyebabkan masuknya manusia ke
daerah-daerah rawan bencana serta adanya perubahan iklim membuat jumlah
bencana alam ke depannya menjadi semakin banyak (Whybark, 2007). Bencana
dapat dipicu oleh perbuatan manusia termasuk di dalamnya kecelakaan, perang,
dan lainnya (Danieli, 1996).
Indonesia berpotensi besar mengalami bencana dimasa mendatang karena
berbagai faktor, misalnya letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia
juga merupakan negara kepulauan yang dilingkari oleh jalur gempa paling aktif di
dunia, yaitu Cincin Api Pasifik. Cincin Api merupakan akibat langsung dari
pertemuan lempeng tektonik, dimana Indonesia terletak di pertemuan 3 lempeng,
yaitu Lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Kondisi ini menyebabkan
bencana hidrometeorologi yang terkait dengan cuaca juga sangat sering melanda
wilayah nusantara (Gempa BNPB, 2014). Indonesia memiliki gunung berapi
dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif
(Lavigne, dkk, 2007).
Salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia berada di Kabupaten
Karo . Letak geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah Sumatera, di
Kabupaten Karo ada 2 dari 129 gunung berapi yang aktif berada di Indonesia
yaitu Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini
berstatus siaga (level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), catatan
letusan Gunung berapi Sinabung pada tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik
berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran lahar yang mengalir ke arah
Selatan. Kemudian pada tahun 1912, gunung ini mengeluarkan aktivitas solfatara
yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun, gunung berapi
berjenis strato ini kembali meletus. Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi
Gunung Sinabung yang cukup mengejutkan pada tahun 2010, terjadi beberapa
kali letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada tanggal 7 april
2010 sampai pada tanggal 27 agustus 2010 menyebabkan status Gunung Sinabung
berubah dari tipe B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, Gunung Sinabung
menunjukkan aktivitas vulkanik selama 15 September 2013 dan terakhir 24
oktober 2013. Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19-24
Gunung Sinabung masih pada waspada, Level III atau siaga (Gempa BNPB,
2013).
Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan pernyataan: “Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe
A. Masyarakat agar mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung” (Anshari, 2014).
Gunung Sinabung, tanggal 29 Januari 2014 Status level IV (Awas) ini
terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan semburan
awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014. Mulai tanggal 4 Januari
2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus
terjadi sampai hari berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk
mengungsi, hingga melebihi 20 ribu orang. Setelah kondisi ini bertahan terus,
pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan
direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat
dipulangkan. Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3
orang luka-luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa
Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya I (Berita Satu,
2014).
Tercatat sebanyak 3.287 jiwa atau 1.019 kepala keluarga pengungsi
Sinabung yang masih tinggal di penampungan. Mereka berasal dari zona merah
(daerah berbahaya), yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem
rumahnya, sedangkan pengungsi yang tinggal di hunian sementara 6.179 jiwa
(2.053 KK). Pengungsi ini berasal dari Desa Sukameriah, Bekerah, Simacem,
Kutatonggal, Gamber, Berastepu, dan Gurukinayan (Assifa, 2014)
Data sementara yang diperoleh Badan Penanggulan Bencana Daerah
(BPBD), kerusakan infrastruktur pasca-erupsi Gunung Sinabung mulai September
2013 hingga Oktober 2014 ini mencapai lebih dari 5.000 bangunan. Seperti
ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, bangunan itu terdiri dari rumah, sekolah,
rumah ibadah, dan pasar. Kerusakan lainnya mencakup infrastruktur jalan dan
irigasi (Liputan 6, 2014).
Erupsi Gunung Sinabung berdampak pada rusaknya lahan pertanian dan
perkebunan seluas 60 hektare. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar
masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi
ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban meninggal sebanyak dua
orang (KeMenKes RI, 2010). Lahan pertanian milik masyarakat yang mengalami
kerusakan dan terancam gagal panen akibat erupsi Gunung Sinabung di enam
kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, diperkirakan mencapai
2.924 hektare. Kerusakan komoditas pertanian milik masyarakat di sana itu
meliputi tanaman cabai yang mengalami kerusakan seluas 367 hektare, kentang
sebanyak 230 hektare, sayur kembang kol mencapai 222 hektare, sisanya tomat
dan sayuran lainnya. (Berita Satu, 2014)
Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak luas hingga turunnya kualitas
perkembangbiakkan ternak serta penurunan drastis kunjungan wisata alam
Sumatera. Kerugian total yang diakibatkan bencana panjang itu mencapai lebih
dari Rp. 1 Triliun (Liputan 6, 2014)
Fenomena yang telihat di lapangan semakin memperjelas bahwa erupsi
Gunung Sinabung berdampak pada kehidupan penyintas. Ini terbukti dari hasil
wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun, yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :
“...Tanah di kampung sudah hancur semua, jadi keadaan kami sehari-hari
disini ee.. kadang kerja di ladang orang dibayar upahan. kalau balik lagi ke kampung sudah tidak bisa lagi ladangnya digunakan karena banyak batu di situ. kampung kami yang dekat gunung itu, mulutnya itu ke arah kampung kami. Jadi awan panas sama ee.. lahar dingin dari situlah lewat. Waktu musibah itu tepatlah di ladang kami, itulah ladang berastepu. Rata... semua, pohon-pohon sudah tidak ada lagi...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“...Kalau sudah terkena tanaman, masak semua dibuatnya, mati semua
tanaman kita, jeruk itu berjatuhan lah semua buah-buah yang masih kecil, yang belum besar. Kalau daun kentang gosong dibuatnya gitu. Kita gatal-gatal kena abu itu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena
dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban, namun individu
yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive
dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah
penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan,
baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa,
tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut
(Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (penyintas) menerima
kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat erupsi Gunung
bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan
berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima oleh penyintas
bencana alam Gunung Sinabung. Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, dan
tragis suatu bencana, semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan
goncangan batin yang dirasakan oleh para penyintas (Wiryasaputra, 2006).
Bencana alam membuat penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya.
Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan secara optimal, namun
dampak negatif pada sosio-ekonomi dan psikologis jangka panjang dari bencana
dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama
setelah bencana tersebut terjadi. Fenomena yang telihat dilapangan memperjelas
bahwa bencana alam Gunung Sinabung berdampak negatif. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun, yang tinggal di pengungsian kota Kabanjahe:
“...Kalau perubahan ekonomi ya jelas lah, merosot jauh kayak mana pun kalau seandainya dulu kita menanam sekarang enggak menanam lagi, apa yang kita jual ke pasar, kan enggak ada lagi, yang ditanampun enggak ada lagi. Seandainya pun dulu masih ada modal sudah kita tanam. Modal ada, datang gunung enggak kita panen, kan ekonomi pasti merosot. Itulah makanya beban kami sangat berat.”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“... Kalau perekonomian gimana kalau di pengungsian, sudah itu tadi lah
menurun karena kerjaan enggak ada...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Bencana yang terjadi dapat berdampak secara umum yaitu baik nature dan
manmade meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan
kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari,
secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi
nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).
Bencana yang berdampak pada psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas,
takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala-gejala
psikologis lainnya (Salzer & Bickman. 2005).
Fenomena yang telihat dilapangan semakin memperjelas bahwa erupsi
Gunung Sinabung berdampak pada psikologis mereka. Ini terbukti dari hasil
wawancara dengan kedua partisipan, Ibu J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40
tahun yang tinggal di pengungsian kota kabanjahe :
“...Banyak, banyak yang stress. Ada juga yang gantung diri, ada juga yang minum racun. Itu lah makanya karena sudah stressnya...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014)
“...wihh..kalau aku dulu kan, waktu meletus itu, aku kalau ngomong kita gitu kan, baju ku terus basah.. aku sudah apa.. sudah trauma. kalau ngomong sama orang begitu terus apa air mata ku, basah semua baju ku.. begitu terus hari itu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Dampak psikologis yang terjadi berupa trauma ataupun stres tidak dapat
dihindari dari bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut. Bencana yang dahsyat
membuat para penyintas merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian
mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Beberapa orang akan
mengalami duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat.
Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan
mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain,
sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian
menghadapi masa depan. Situasi bencana yang demikian muncul sebagai hasil
interaksi antara satu atau kombinasi beberapa fenomena fisik dan komunitas
manusia sebagai korban yang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi
(Danieli, 1996). Dari situasi bencana yang terjadi akan memunculkan perasaan
menerima kondisi yang sudah terjadi pada kehidupannya. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh partisipan, Ibu J berusia 45 tahun yang tinggal di pengungsian
kota kabanjahe:
“...Kita harus banyak berdoalah, kalau enggak, enggak bisa nak. selalu berdoa..kalau kita enggak berdoa kita enggak kuat. Berserah, pasti ada jalan keluar yang dikasih Yang Maha Kuasa...”
(Komunikasi personal, 15 November 2014).
Beberapa penyintas bencana alam yang mengalami gangguan kurang tidur,
mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, dan akan mengalami perubahan
pada kehidupan sosial. Keadaan ini akan menjadi stressful bagi mereka. Social
support akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy
& Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).
Fenomena yang telihat dilapangan bahwa social support akan membantu
beban mereka. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan kedua partisipan, Ibu
J berusia 45 tahun dan Ibu L berusia 40 tahun yang tinggal di pengungsian kota
kabanjahe :
“...Pertamanya memang ya menderita juga, kalau pertamanya itu, tapi sudah lama kelamaan banyak lah bantuan yang datang. Jadi, beban yang kami rasa sangat berat, jadi terangkat sedikit-sedikit. Jadi, anak sekolah diluar pun kalau ada yang membantu, ada ngasih uang. Jadi, untuk anak sekolah itu enggak terhalang. Jadi, beban itulah yang selama ini kami rasa berat jadi terangkat oleh kalian semua...”
“...Kalau dikasihnya begitu mau nangis rasanya aku. Karena gembiranya, sedih juga nya. Orang enggak berapa kenal pun mau dia ngasihnya. Kan gembira kita itu, dikasihnya duit begitu...”
(Komunikasi personal, 16 November 2014)
Bantuan yang diberikan orang lain kepada penyintas dapat meringankan
beban mereka dan bantuan ini dapat berupa dukungan sosial. Social support
adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang
diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006).
Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others
bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua,
pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi
(DiMatteo, M. Robin, 1991).
Bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada penyintas bencana
alam Gunung Sinabung seperti dengan menunjukkan perhatian, empati dan
dukungan secara emosional (emotional or esteem support), sumber-sumber fisik
dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat
anak, dll (instrumental or tangible support), bantuan berupa saran-saran,
petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan
mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di lapangan diketahui
bahwa adanya social support yang diperoleh pada penyintas bencana alam
Gunung Sinabung dalam bentuk instrumental or tangible support yaitu bantuan
seperti makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup penyintas selama di
Selain itu, peneliti juga melihat dalam bentuk lain yaitu companionship
support seperti bantuan pendampingan, psikologis untuk anak-anak yang
dilakukan oleh beberapa mahasiswa psikologi yang bekerja sama dengan
organisasi kemahasiswaan dan instansi dalam program “Heal Sinabung”. Bantuan-bantuan lainya juga diberikan terlihat dari pemerintah, instansi, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), komunitas motor, organisasi mahasiswa dari
universitas lain dan bantuan secara pribadi (Observasi, 13 Desember 2014).
Social support yang diterima dapat memberikan kenyamanan fisik dan
psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social
support mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk
kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang
diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres akan
membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan
kesehatannya (Baron & Byrne, 2000).
Social Support dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi
dampak dari bencana yang membuat penyintas menjadi merasa tidak berdaya,
duka mendalam, depresi, gelisah, rasa bersalah, sulit mengontrol kemarahan dan
sebagainya (Danieli, 1996). Individu yang mendapat social support merasa bahwa
dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi
individu, menolong secara psikologis maupun secara fisik. Social support dapat
Baron & Bryne (2000) social support diyakini mampu memberikan
dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal
tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk, 2005) yang
menunjukkan bahwa individu yang mendapat social support memiliki tingkat
psychological well-being yang tinggi.
Individu yang memiliki Psychological well-being yang tinggi adalah
individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif,
mampu melalui pengalaman-pengalaman yang buruk dapat menghasilkan kondisi
emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff,1989).
Berdasarkan pemaparan diatas, seorang penyintas bencana alam Gunung
Sinabung diperhadapkan dengan lingkungan yang baru yaitu tinggal di
pengungsian. Tinggal di pengungsian menjadi tantangan hidup bagi penyintas
karena mereka terpaksa harus meninggalkan harta benda mereka di kampung
halaman akibatnya dapat membuat penyintas merasa stressful. Sebagai upaya
untuk mengatasinya, penyintas membutuhkan bentuk dukungan dari orang lain
dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi
setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Oleh karena itu,
peneliti ingin melihat social support dan psychological well-being pada penyintas
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belaang diatas, maka terdapat masalah yang bisa
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang diperoleh pada penyintas
bencana alam gunung sinabung?
2. Bagaimana bentuk-bentuk social support yang dibutuhkan pada penyintas
bencana alam gunung sinabung dan mengapa mereka membutuhkan social
support tersebut?
3. Bagaimana psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung
sinabung?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami dan mendeskripsikan
mengenai social support dan psychological well-being pada penyintas bencana
alam gunung sinabung melalui bentuk-bentuk social support seperti emotional or
esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan
companionship support; dan dimensi psychological well-being seperti penerimaan
diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
sumber informasi yang bermanfaat untuk pengembangan terhadap ilmu psikologi,
khususnya dibidang psikologi sosial, berkenaan dengan social support dan
psychological well-being pada penyintas bencana alam gunung sinabung.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain :
a. Untuk penyintas bencana alam
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
penyintas bencana alam mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan
oleh penyintas sehingga dirinya mampu menyikapi setiap tantangan yang
dihadapi secara positif serta dengan adanya social support ini diharapkan
dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dirasakan sehingga
meningkatkan harapan untuk hidup lebih baik.
b. Untuk keluarga dan masyarakat
a) Dapat menjadi sumber informasi mengenai aspek psikologis yang
dirasakan oleh penyintas bencana alam sehingga keluarga mampu
memberikan social support kepada penyintas bencana alam, untuk
b) Dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat untuk
mengetahui masalah yang dihadapi pada penyintas bencana alam, apa
dampak secara fisik terutama psikologis yang dirasakan oleh
penyintas, dan bagaimana social support yang harus diberikan dan
mengetahui kenapa mereka membutuhkan social support tersebut.
Sehingga, ketika ada anggota keluarga ataupun saudara yang
mengalami bencana alam dapat mengetahui hal apa yang dilakukan
pada penyintas tersebut.
c. Untuk Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pemerintah mengenai aspek-aspek psikologis yang dirasakan oleh
penyintas dan masukan mengenai social support seperti apa yang harus
segera diberikan untuk mengurangi tekanan psikologis pada penyintas
bencana alam
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini digambarkan latar belakang masalah berupa bencana alam
gunung sinabung, aspek psikologis yang ditemukan pada penyintas,
penjelasan mengenai social support, dan juga penjelasan mengenai
psychological well-being, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang
berhubungan dengan bencana alam gunung sinabung, masalah yang
dihadapi peyintas, social support, dan psychological well-being.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisikan subjek penelitian, informan penelitian dan lokasi
penelitian. Selain itu juga teknik pengambilan sampel yang
dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan data.
BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data dan pembahasan
berisi pendeskripsian data partisipan, analisa data partisipan dan
pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan
pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran mengenai
social support dan psychological well-being pada penyintas bencana
alam gunung sinabung. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang
telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis sesuai
dengan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologi untuk