GAMBARAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
PADA
LESBIAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
Cindy Angelina
051301083
FAKULTAS PSIKOLOGI
Gambaran psychological well-being pada lesbian
Cindy Angelina dan Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRAK
sebagai lesbian yang hidup di Indonesia banyak tekanan yang
dihadapi karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa
homoseksual adalah prilaku yang menyimpang , dan tidak sesuai dengan
norma agama. Sehingga lesbian sering mengalami penolakan, hinaan dan
kecaman. Ketidak mengertian orang lain atas orientasi seksual lesbian,
membuat banyak lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif,
hidup dalam kepura-puraan, merasa terisolasi, depresi dll yg akhirnya
bermuara pada rendahnya Psychological Well-Being.
Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat
gambaran Psychological Well-Being pada lesbian. Dengan sampel
sebanyak 32orang yang diperoleh dengan teknik snow ball. Alat ukur
berupa Psychological Well-Being scale yang dikonstruksi oleh Ryff
(1989) dengan jumlah aitem sebanyak 55.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas psychological
well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah kerendah terutama
pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan.
Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor yang cukup baik adalah
dimensi perkembangan pribadi. hasil penelitian juga menunjukan bahwa
psychological Well-Being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian.
The Description of Psychological well-being of lesbians
Cindy Angelina and Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRACT
In Indonesia, lesbians come into many challenges because its
major society still believe that homosexual is a disorder behaviour and
against religious norm. The belief leads to rejection, insults and
condemnation . lack of knowledge about sexual orientation of lesbian
causes many of lesbian tend to live in disguese, be isolated, depressed,etc.
And eventually end up with poor Psychological Well-being.
This descriptive research is intended to figure out the desciption of
Psychological well-bing of lesbians. It involved 32 women as the samples
that collected using snow ball technique. The instrument applied is
psychological well-being scale which formulated by Ryff (1995), and has
55 items.
The result of the research showed that most of lesbians have
averange to low Psychological well-being specially in self acceptance and
enviromental mastery dimensions. On the other hand in personal growth
dimension displayed the highest score. The result also uncovered that the
Psychological well being of lesbians is lower than hetero sexual women.
KATA PENGANTAR
Tak tertbatas kuasa Mu Tuhan, semua dapat Kau lakukan Apa yang kelihatan mustahil bagi ku, itu sangat mungkin bagi Mu
Disaat ku tak berdaya, kuasa Mu yang sempurna Ketika ku percaya , mujizat itu nyata
Bukan karna kekuatan , Namun Roh Mu yah Tuhan Ketika ku pecaya,Ketika ku berdoa
Mujizat itu nyata ( Mujizat itu nyata – Nikita )
Puji dan syukurlah yang selalu kupanjatkan kepada Yesus Kristus,
my GOD, my Saviour, My Daddy. Engkaulah penolong yang dapat
memberiku kekuatan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat
waktu. Di tengah kondisi fisik dan materi yang terbatas, ketika aku tidak
berdaya, ketika aku ingin menyerah, Engkaulah yang tetap mampukanku
untuk terus semangat dan melihat pengharapan jauh di depan. Sungguh
pertolongan dan kebaikan Mu tidak pernah terlambat. Thank you Dad.
Adapun skripsi ini berjudul “Gambaran Psychological well-being pada
lesbian”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk lulus sarjana psikologi.
Penulis sangat mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak
yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada
Papa dan Mama yang tercinta (bapak Eko Suprapto dan Ibu Monica
memotivasi baik melalui doa dan materi. Biarlah kiranya perjuanganku
dapat menjadi kebanggaan bagi kalian. Saya juga tidak lupa ingin
mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu
langkah penulis dalam menggapai gelar sarjana Psikologi. Izinkan saya
menyebutkan mereka yaitu:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati , psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. kepada Dosen Pembimbing Akademik penulis yaitu Ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd yang selalu dengan sabar menasehati saya dan
membantu dan selalu menyemangati saya ketika saya hampir putus
asa.
3. Kepada kak Arliza J Lubis selaku dosen pembimbing saya. Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama
membimbing saya. Terima kasih untuk saran dan komentar,
dukungan, perhatian, kesabaran dan waktu yang telah kakak
sediakan buat saya.
4. Kepada seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya di departemen klinis. Terima kasih atas dukungan ,
5. Kepada teman-teman psikologi USU yang sudah membantu saya , memberi masukan , dan mendukung saya, juga menyemangati
saya. Khususnya Derwin Tambunan, dan Meiliana yang selama ini
sudah membantu dan memberikan dukungan kepada saya.
6. Kepada orang-orang yang kusayangi yang terus mendukung aku, aku yang berkali-kali hampir putus asa tapi mereka yang terus
memberiku semangat, dan terus mendorong untuk bangkit. Terima
kasih Lini, dan Susan atas segala dukungan, perhatian , dan
doa-doa yang kalian panjatkan.
7. Kepada teman-teman di Gereja Mawar sharon dan Connect Group 13. Terima kasih buat doa dan dukungan kalian. Kalian
mengajariku banyak hal.
8. Kepada keluarga SELERA tercinta, nenek, kakek, tante, om, adikku, sepupuku. Yang terus mendukung aku, terima kasih.
9. Kepada anak-anak yang ku sayangi dan ku cintai sepenuh hati, Dido Fernando, Max Gacello, Mandy Gracella, O‟bee, Wesley
Fernando, Torrez Fernando, Cassilas Fernando, Yakumi Gracella,
Xakumi Gracella, Zakumi Gracella, Dexter Morgan,whiskey dan
Myron kalian yang membuat hidupku berwarna, dan kalianlah
10.Kepada seluruh teman-teman yang ada di departemen klinis dan teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU yang membantu
dan mendukung saya selama kuliah, terima kasih atas semua yang
kalian berikan.
11.Kepada seluruh teman lesbian yang telah membantu peneliti untuk melakukan pengambilan data, terima kasih atas kesediaan kalian
untuk meluangkan waktu bagi peneliti sehingga penelitian ini
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa keberadaan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang dapat
membantu mengurangi kesalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Medan, November 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR………..i
DAFTAR ISI………...v
BAB I. PENDAHULUAN………...1
A. Latar Belakang………...1
B. Rumusan Masalah………12
C. Tujuan Penelitian……….13
D. Manfaat Penelitian………...13
E. Sistematika Penulisan………..15
BAB II. LANDASAN TEORI………...17
A. Psychological well-being………..……...17
1. Defenisi PWB………17
2. Dimensi-dimensi PWB…………..………19
B. Lesbian……….33
1. Defenisi lesbian………..33
2. Masalah yang dialami lesbian………34
3. Proses penerimaan diri ………..36
4. Proses coming out………..38
5. Masalah-masalah perkembangan lesbian dewasa muda…44 BAB III. METODE PENELITIAN A. Indentifikasi Variabel Penelitian………..46
B. Definisi Operasional………46
C. Populasi dan metode pengambilan sampel………..49
D. Instrumen / Alat ukur yang digunakan………51
E. Uji Coba Alat Ukur………..55
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur………59
G. Prosedur Pelaksanaan penelitian………..60
1. Tahap Persiapan ………60
2. Pelaksanaan penelitian………...61
3. Tahap pengolahan data ……….62
BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN………64
A. Analisa Data……….64
1. Gambaran subjek penelitian………...64
a. Gambaran subjek berdasakan pendidikan………64
b. Gambaran subjek berdasarkan usia………..65
c. Gambaran subjek berdasarkan pendapatan…………..65
2. Uji Normalitas………66
3. Uji homogenitas……….67
4. Hasil utama………68
a. Gambaran umum PWB lesbian………68
b. Gambaran dimensi-dimensi PWB………69
5. Hasil tambahan………...71
a. Perbedaan PWB pada lesbian dan non lesbian………71
b. Perbedaan PWB Lesbian dan non lesbian berdasakkan dimensi PWB………..72
c. Gambaran PWB berdasakam atribut-atribut…………73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………...91
A. Kesimpulan………..91
B. Saran ………...94
DAFTAR PUSTAKA………96
Gambaran psychological well-being pada lesbian
Cindy Angelina dan Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRAK
sebagai lesbian yang hidup di Indonesia banyak tekanan yang
dihadapi karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa
homoseksual adalah prilaku yang menyimpang , dan tidak sesuai dengan
norma agama. Sehingga lesbian sering mengalami penolakan, hinaan dan
kecaman. Ketidak mengertian orang lain atas orientasi seksual lesbian,
membuat banyak lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif,
hidup dalam kepura-puraan, merasa terisolasi, depresi dll yg akhirnya
bermuara pada rendahnya Psychological Well-Being.
Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat
gambaran Psychological Well-Being pada lesbian. Dengan sampel
sebanyak 32orang yang diperoleh dengan teknik snow ball. Alat ukur
berupa Psychological Well-Being scale yang dikonstruksi oleh Ryff
(1989) dengan jumlah aitem sebanyak 55.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas psychological
well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah kerendah terutama
pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan.
Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor yang cukup baik adalah
dimensi perkembangan pribadi. hasil penelitian juga menunjukan bahwa
psychological Well-Being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian.
The Description of Psychological well-being of lesbians
Cindy Angelina and Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRACT
In Indonesia, lesbians come into many challenges because its
major society still believe that homosexual is a disorder behaviour and
against religious norm. The belief leads to rejection, insults and
condemnation . lack of knowledge about sexual orientation of lesbian
causes many of lesbian tend to live in disguese, be isolated, depressed,etc.
And eventually end up with poor Psychological Well-being.
This descriptive research is intended to figure out the desciption of
Psychological well-bing of lesbians. It involved 32 women as the samples
that collected using snow ball technique. The instrument applied is
psychological well-being scale which formulated by Ryff (1995), and has
55 items.
The result of the research showed that most of lesbians have
averange to low Psychological well-being specially in self acceptance and
enviromental mastery dimensions. On the other hand in personal growth
dimension displayed the highest score. The result also uncovered that the
Psychological well being of lesbians is lower than hetero sexual women.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
...dalam hatiku yang terdalam aku menjerit, tak pernah sedetikpun dalam hidupku aku menginginkan perasaan ini, aku berusaha membuang naluri ”gila” ini akan tetapi tak kunjung hilang. Aku terkadang melatih pikiranku, dan mengatakan bahwa aku wanita sejati yang mencintai laki-laki, tapi naluriku dengan kuat berkata bahwa aku mencinta wanita lain, yang membuatku tahan berjam-jam lamanya untuk berbincang dari telefon dengannya. Andai saja ada tongkat ajaib untuk membuang semua rasa ini. Aku sungguh menderita, andai saja aku bisa meninggalkan perasaan ini...(Gay and Lesbian Center, 2007)
Menyadari diri sendiri sebagai lesbian adalah hal yang
menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini
bahwa hal ini terjadi sebagai respon psikologis kaum lesbian terhadap
tekanan sosial dan stigma yang mereka dapatkan dari lingkungan sosial.
Sementara Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa penolakan yang
kuat terhadap kaum lesbian oleh masyarakat terjadi karena kaum lesbian
dianggap melawan agama, moral, etika dan kewajaran dalam kehidupan
masyarakat. Gay and Lesbian Centre (2007) menambahkan bahwa
penolakan yang didapatkan oleh kaum lesbian seperti di atas disinyalir
Penolakan masyarakat yang sedemikian kuat membuahkan
beragam perlakuan yang menyakitkan bagi kaum lesbian (D‟Augelly,
2000; King & McKeown, 2003). Perlakuan yang menyakitkan yang
diterima oleh kaum lesbian mulai dari kecaman terhadap kaum lesbian
bahwa mereka harus dibuang dari lingkungan sosial, dilecehkan, dihina,
dilabel sebagai orang yang memiliki karakteristik yang negatif,
diasingkan, dianggap sebagai orang yang “sakit”, dan sumber penyakit
terutama penyakit seksual menular seperti HIV (Dohrenwed, 2000).
Di Indonesia yang menganut nilai norma dan budaya yang tinggi.
Masih banyak keluarga menutup mata dan telinga saat mengetahui
anggota keluarganya adalah lesbian. Keluarga malah menekan dan
menyadarkan, seolah-olah lesbian adalah aib dan sesuatu yang
bertentangan dengan agama ( Kompas, 2009 ), sebagian masyarakat
Indonesia masih menganggap bahwa homoseksual, biseksual serta
perilaku seks lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya
sebagai perilaku yang menyimpang karena perilaku seksual seperti ini
belum berlaku secara umum dimasyarakat (Puspitosari & Pujileksono,
2005). Perilaku ini memunculkan apa yang disebut dengan labeling yang
merupakan pengindentifikasian seseorang sebagai seorang penyimpang,
orang tersebut (Horton & Hunt, 1996 ). Melalui labeling ini, masyarakat
luas sering sekali memandang kaum homoseksual dengan penuh
prasangka dan membangun stereotype yang menyesatkan. Diskriminasi
dan tekanan sosial menyebabkan mereka hidup dengan identitas ganda di
kaum heteroseksual. Mereka tidak bebas mengekspresikan dirinya sebagai
lesbian, seperti juga manusia kebanyakan yang hidup, belajar, bekerja,
bersosialisasi, mempunyai pasangan dan menikah.
Kurang paham dan labeling atas orientasi seksual lesbian,
membuat banyak lesbian pada awalnya tidak mau menerima keaadan
mereka. Mereka mencoba untuk mengembangkan ketertarikannya pada
lawan jenis, karena hal tersebut sesuai dengan pola seksualitas yang
berlaku dimasyarakat umum. Keadaan ini menurut Zera (dalam Brannon
1996), biasanya dialami sebelum mereka memasuki usia dewasa. Mereka
biasanya berkutat dengan pertentangan didalam diri mereka yang
mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka, dan hal
utama yang biasanya terjadi adalah hilangnya harga diri, yaitu disaat tidak
adanya keberanian untuk membuka diri tentang perbedaan orientasi
seksual mereka kepada keluarga dan teman-teman mereka. Wells (1989)
lebih asertif , karena perilaku ini sering dihubungkan dengan lesbianisme ,
yang hanya akan menambah ketakutan dan kebencian.
Ketakukan dan kebencian tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Morh (dalam Finterbusch 1999), yang menemukan sebanyak 86% dari gay
dan lesbian yang mengakui orientasi seksual mereka menjadi objek
kekerasan dan pelecehan, kebanyakan satu dari lima orang gay atau
lesbian pernah mengalami tonjokan, pukulan, tendangan , sedangkan 14%
pernah diludahi. Laporan dari suatu lembaga yang menangani masalah
remaja di Amerika (dalam Kelly 2001), juga menyebutkan banyaknya
remaja gay dan lesbian yang melakukan bunuh diri, karena mereka dilihat
sebagai kaum minoritas. Mereka cenderung untuk melakukan perilaku
merusak diri (self-destructive behaviors), dengan minum minuman keras
dan pemakaian obat-obatan terlarang (substance abuse).
Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian
adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orang tua,
saudara, teman sebaya dan sahabat mereka, ( Stirratt, Kertzner, &
Meyer, 2009 ) mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki dukungan yang
sangat rendah dan sering diabaikan oleh keluarga dan teman-teman
mereka karena orientasi seksual mereka. Mereka dianggap sebagai
Australia, 2008). Padahal kehidupan lesbian dalam lingkungan keluarga
penting dan mempengaruhi psychological well-being . Pada kenyataannya
kaum lesbian yang membeberkan dirinya kepada orang tua dan
teman-teman cenderung menerima perlakuan yang buruk (Cramer & Roach,
1998). Sekitar 46% dari mereka kehilangan teman dekat setelah
membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari mereka mendapat
penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua kaum
lesbian menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anak
mereka setelah mereka memberitahukan kepada orang tua mereka
orientasi seksual mereka (D‟Augelli, 2000). Menurut Allen (2008 ), yang
juga didukung oleh Russer dan Joyner (2001), perlakuan yang demikian
bermuara pada rendahnya Psychological Well-being pada lesbian.
Menurut Jones dan Hill (2005), rendahnya Psychological
Well-Being yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum lesbian tidak
dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa. mereka juga tidak dapat
mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya sebagai lesbian karena
penolakan masyarakat , stigma, dan pertentangan yang kuat yang mereka
dapatkan dari masyarakat, sehingga mereka merasa terkukung dan takut
Pernyataan Ellison (2008) yang didukung oleh Daniels (2007)
mengemukakan penolakan masyarakat, stigma, kecurigaan berdasarkan
dengan anggapan bahwa kaum lesbian melakukan perbuatan cabul dan
kotor, dan adanya pandangan masyarakat bahwa hubungan percintaan
yang wajar adalah dengan lawan jenis, situasi ini terkadang membuat
kaum lesbian berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan
berpacaran dengan laki-laki. Akan tetapi, justru hal ini menjadi sumber
yang dapat memperburuk psychological well-being mereka, karena hidup
dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati dan
menerima kehidupan dan keadaan diri mereka (Hershberger, 2000).
Padahal penerimaan keadaan diri sendiri bagi lesbian, menurut Diamond
(2000) adalah transisi yang penting, yang menunjukan adanya perubahan
identitas heteroseksual ke arah homoseksual. Keadaan tersebut
digambarkan sebagai penemuan diri yang sesungguhnya, setelah
terjadinya perubahan pada identitas, ketertarikan, dan perilaku seksualnya.
Menurut Monteflores & Schultz (dalam Brannon 1996), penerimaan
keadaan diri sendiri biasanya akan lebih mudah , daripada kemudian harus
membuka orientasi atau perilaku seksual mereka kepada keluarga dan
teman, yang lebih sering disebut dengan coming out.
Brannon 1996), berasal dari kata “coming out of the closet” dimana
menggambarkan keadaan yang tersembunyi (hidden or closeted). Maka
proses coming out adalah proses dari penemuan atau penerimaan diri
sendiri dan pemberitahuan tentang orientasi lesbian atau gay seorang
individu kepada orang lain. Untuk banyak lesbian hal tersebut merupakan
beban sangat berat , sesuatu yang sangat sulit dan membuat stress.
dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat
menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas
keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki
implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga
dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya
penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004).
Sedangkan , menurut Zera (dalam Brannon 1996), coming out
menjadi sesuatu yang penting karena ini berhubungan dengan hilangnya
rasa sakit dan rasa bingung dalam proses penerimaan diri & dan
perkembangan seorang lesbian, sehingga pada akhirnya mereka akan
menjadi individu yang lebih berbahagia dengan keadaan diri mereka
sendiri, dan mempunyai hubungan yang lebih sehat dengan pasangannya.
GLEN (2008), juga mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan hal
sehat.
Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa
yang paling menyakitkan bagi kaum lesbian adalah ketika mereka
mendapat penolakan dan kekerasan dari orang tua, keluarga, dan
teman-teman mereka sehingga kaum lesbian sering merasa kesepian, merasa
terisolasi dan merasa terasing (Fish, 2007). Pengisolasian yang dilakukan
terhadap kaum lesbian juga menjadikan lesbian merasa berbeda dengan
teman-teman mereka dan merasa bahwa mereka bukan merupakan
anggota suatu masyarakat atau komunitas tertentu, sehingga kaum lesbian
memiliki perasaan komunitas (sense of community) yang rendah.
Andeson (dalam Pace, 2002) mengatakan bahwa perasaan
memiliki komunitas dengan orang lain adalah hal yang penting dalam
perkembangan psychological well-being bagi seseorang. Perasaan
terisolasi dari keluarga dan komunitas ini dapat menghancurkan atau
menurunkan harga diri dan konsep diri yang negatif, sehingga kaum
lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif (Paul, 2003). Stirratt
(2009) menambahkan bahwa perasaan ini berpotensi besar bagi kaum
lesbian untuk melakukan bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri.
lesbian karena mendapat penolakan dan kekerasan dari keluarga
sehubungan dengan orientasi seksual mereka sebagai lesbian.
Jane adalah perempuan berusia 20 tahun, setelah diketahui oleh ibunya bahwa dia adalah lesbian, maka keluarganya mengusir dia dari rumah dan mengatakan bahwa dia adalah kutukan dari Tuhan sehingga harus dibuang. Akhirnya Jane kabur dari rumah dan hidup gelandangan selama 8 bulan. 5 bulan berikutnya mayat Jane ditemukan di sungai, polisi menduga bahwa meninggalnya Jane adalah karena bunuh diri (Gay and Lesbian Centre, 2000).
Pace (2005) yang selanjutnya diklarifikasi oleh GLEN (2008)
mengatakan bahwa kaum lesbian yang diterima oleh orang tuanya dan
teman-temannya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih
baik daripada kaum lesbian yang ditolak oleh orang tua dan teman-teman
mereka. Menurut D‟Augelli (2000), hubungan antara orangtua dan anak,
dimana orang tua yang menolak anak mereka karena orientasi seksual
mereka menjadi sumber stres besar bagi kaum lesbian yang bermuara pada
timbulnya gangguan-gangguan psikis seperti depresi sehingga
memberikan kontribusi terhadap rendahnya psychological well-being
kaum lesbian itu sendiri
Kondisi yang demikian mendorong kaum lesbian bergabung atau
melakukan suatu perkumpulan dalam sebuah komunitas gay dan lesbian,
lain. Meski komunitas yang mereka miliki dapat menerima mereka apa
adanya dan mereka berkumpul dalam suatu komunitas yang kohesif,
namun menurut Warner , dkk (2004) kondisi yang demikian tidak dapat
menyelesaikan perasaan terisolasi mereka. Justru tindakan itu
mengakibatkan kaum lesbian semakin merasa terpisah dan berbeda
dengan lingkungan sosial dan teman-teman mereka yang lain, dan merasa
rendah diri terhadap kaum heteroseksual (Siegel dan Lowe, 2007; Warner,
2004).
Arber dan Davidson (2004) menambahkan bahwa orientasi seksual
sebagai lesbian memiliki risiko besar untuk memiliki psychological
well-being yang rendah. Sementara Bates (2005) menjelaskan bahwa orientasi
seksual sebagai lesbian berkorelasi positif dengan psikopatologi.
Pernyatan ini terbukti dari beberapa kesimpulan hasil penelitian
internasional yang dilakukan oleh GLEN (Gay and Lesbian Equality
Network), 2008 yaitu: (1). Kaum lesbian memiliki stres berat yang
mengarah kepada tingginya kecenderungan untuk bunuh diri dan
menyakiti diri sendiri, (2). Kaum lesbian memiliki psychological distress
yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual, (3).
Kaum lesbian memiliki risiko yang tinggi untuk menderita depresi,
minuman keras, (4). Kurangnya dukungan sosial yang diterima oleh kaum
lesbian menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan tindakan bunuh
diri.
Secara umum kaum lesbian memiliki kondisi psychological
well-being yang lebih rendah daripada kaum heteroseksual (King, 2001).
Warner (2004) juga mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki gangguan
psikologis yang lebih tinggi daripada kaum heteroseksual. Senada dengan
pernyataan di atas, NAMI (2009) mengatakan bahwa kondisi orientasi
homoseksual merupakan faktor risiko menderita gangguan mental dan
memiliki tingkat psychological well-being yang rendah.
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh
kaum lesbian adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan
menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar
kaum lesbian tentunya menunjukan adanya tantangan-tantangan khusus
pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada
kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin
mengupas lebih dalam mengenai Psychological Well-Being pada lesbian,
Telah disampaikan diatas, bahwa kaum lesbian mendapat resiko yang
begitu komplek. Untuk mendapatkan gambaran Psychological Well-Being
psychological well-being yang dibuat oleh Ryff (1989). Konsep
psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi,
yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain,
penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara terperinci, rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan
melalui pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimanakah gambaran umum Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas?
2. Bagaimanakah gambaran Psychological Well-Being lesbian yang berusia 20 tahun keatas ditinjau dari dimensi-dimensinya, yaitu penerimaan diri, hubungn positive dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan , otonomi, perkembangan pribadi , dan tujuan hidup?
3. Apakah ada perbedaan Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas dengan yang non lesbian?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung
nantinya akan digunakan dan diolah untuk mengetahui gambaran
psychological well-being pada lesbian
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychologicalwell-being pada perempuan lesbian yang berusia diatas 20 tahun.
2. Memperkaya penelitian psikologi tentang kaum lesbian, mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa. 4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi
psychological well-being pada lesbian
1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang
heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau
anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual.
Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk
menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani
penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif
2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk
memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan
yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta
lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan
mental yang lebih sehat.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini
adalah:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta
BAB II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori
yang berhubungan dengan psychological well-being dan
lesbian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan
penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat
ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji
validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode
analisis data.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian,
gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan
juga membahas data-data penelitian dengan teori yang
relevan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian,
untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological well-being
Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori
Psychological well-being yang selanjutnya disingkat dengan PWB
menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi
yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh
secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa
kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.
PWB merupakan gambaran kesehatan psikologis individu
berdasarkan pemenuhan fungsi psikologis positif (Ryff, dalam Papalia,
2000). PWB seringkali dimaknai sebagai bagaimana seorang individu
mengevaluasi dirinya. Adapun evaluasi tersebut memiliki dua bentuk,
yaitu: evaluasi yang bersifat kognitif seperti: penilaian umum (kepuasan
(kepuasaan kerja, kepuasaan perkawinan). Dan evaluasi yang bersifat
afektif, berupa frekuensi dalam mengalami emosi yang menyenangkan
(misal: menikmati) dan mengalami emosi yang tak menyenangkan (misal:
depresi).
PWB terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara
psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa PWB
merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan
individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah
pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan
oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff
(1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan
psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi
penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi
diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep
Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.
PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan
hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut
Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (hapiness) merupakan hasil
ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri
dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki
hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, pengguasaan
terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan
dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu,
setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus
dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa PWB adalah kondisi individu yang
ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan
tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya
fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang
positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan
lingkungan dan otonomi.
2. Dimensi Psychological well-being
Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya
PWB adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif
(positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Self-acceptance yang merupakan ciri sentral dari konsep kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya, baik dari segi positif maupun negatif (Jahoda, 1958). Dengan cara menerima diri apa adanya maka seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri. Sikap positif selanjutnya akan meningkatkan toleransi seseorang akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan termasuk keterbatasan diri tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam.
menyerah akan jadi jalan yang diambil. Ryff (1989) mengatakan bahwa seseorang dengan PWB yang baik akan cenderung bersikap positif terhadap kehidupan yang telah dijalani.
Individu dapat dikatakan memiliki taraf PWB dalam dimensi penerimaan diri bila ia:
1. Mengakui dan menerima berbagai aspek dirinya (baik yang positif maupun negatif)
2. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
3. Merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani sekarang
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Beberapa kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan
membina hubungan interpersonal yang hangat dan Saling percaya ,
saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan
untuk mencintai , berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain,
serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989).
Individu yang memiliki hubungan positif dengan sesamanya
diharapkan memiliki hubungan yang hangat , memuaskan dan
saling percaya dengan orang lain , peduli terhadap kesejahteraan
danmemahami perlunya „memberi dan menerima‟ dalam membina
hubungan dengan orang lain.
Individu yang matang akan mengembangkan minat untuk
mengikuti berbagai aktivitas diluar dirinya. Seseorang yang
matang memiliki partisipasi otentik pada berbagai area kehidupan
manusia (Allport, 1970). Dalam hal ini Ryff (1989) juga
menyebutkan adanya „kepedulian akan kesejahteraan orang lain‟
sebagai aspek penting dalam melihat Psychological Well-Being
seseorang. Hal ini dapat diungkapkan misalnya dalam bentuk
kegiatan social maupun pengembangan hobi dalam kelompok.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan sesama manusia dan diri
sendiri. Maslow juga mengatakan bahwa orang yang teraktualisasi
adalah yang memiliki kemampuan kuat untuk berempati dan
membina hubungan afektif dengan manusia lain, dan mampu
menjalin persahabatan (Maslow, 1970).
Jadi dapat disimpulkan bahwa taraf Psychological
Well-Being seseorang dalam dimensi hubungan positif dengan orang
lain dapat dilihat dari sejauh mana ia :
2. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia lain. 3. Mampu membina hubungan yang empatis, afektif, dan
intim yang kuat dengan manusia lain.
4. Saling memberi dan menerima dalam hubungan dengan manusia lain.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi-dimensi otonomi meliputi kualitas-kualitas seperti
penentuan diri (self-determination), kemandirian, pengendalian
perilaku dalam diri, dan peran locus internal dalam mengevaluasi
diri (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi ini melihat
kemandirian setiap individu dalam memutuskan dan mengatur
perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan pihak manapun. Orang
yang dikatakan otonom adalah orang yang mandiri dan dapat
membuat keputusan sendiri, dapat menolak tekanan dari
lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara
tertentu, mengatur perilakunya dari lingkungan untuk berpikir dan
bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari
dalam diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi dan
dirinya. Juga mencakup kemampuan untuk membedakan antara
aspek-aspek yang ingin diterima dan yang tidak ingin diterima
(Maslow dalam Jahoda, 1958). Jadi dalam kehidupan sehari-hari
orang yang otonom mampu memutuskan situasi dimana ia akan
conform atau tidak konform. Pilihan untuk konform juga didasari
atas pilihannya sendiri yang otentik. Pendapat orang lain dapat
dijadikan pertimbangan tetapi ia sendiri yang memutuskan
keputusan akhir.
Ryff (1989) sependapat dengan pernyataan Rogers bahwa
individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal dalam
bertindak Individu yang memiliki kepercayaan penuh terhadap
pengalamannya sendiri sebagai sumber informasi yang valid dalam
memutuskan apa yang harus atau tidak harus mereka lakukan.
Sedangkan orang yang tidak otonom adalah orang yang sangat
peduli dengan harapan dan evaluasi orang lain terhadap dirinya,
menggantungkan diri pada penilaian orang lain dalam mengambil
keputusan, serta konform terhadap tekanan sosial untuk bertingkah
laku dan berpikir dengan cara tertentu.
Jadi taraf psychological well-being individu dalam dimensi
1. Mampu mengarahkan diri dan bersikap mandiri 2. Memiliki patokan (standar personal) bagi perilakunya. 3. Mampu bertahan terhadap tekanan social untuk berpikir
dan bertindsk dengan cara tertentu.
d. penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery)
individu mampu memilih atau menciptakan lingkungan
yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan
diliar dirinya, mengkontrol dan memanipulasi lingkungan yang
kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dan
kesempatan dilingkungan (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi
ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai
kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai dengan keadaan
dirinya sendiri.
Individu dikatakan mampu menguasai lingkungannya
adalah orang yang memiliki penguasaan dan kompetensi dalam
mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal
yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan
secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan lingkungan
yang dikatakan tidak memiliki penguasaan terhadap lingkungannya
adalah orang yang mengalami kesulitan dalam mengatur urusan
sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau
meningkatkan lingkungannya, serta kurang memiliki kendali
terhadap dunia eksternalnya.
Taraf psychological well-being individu dalam dimensi
penguasaan lingkungan dapat tercermin dari sejauh mana ia:
1. Mampu mengelola dan mengontrol berbagai aktifitas eksternalnya.
2. Mampu memanfaatkan secara efektif setiap kesempatan yang ada.
3. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya.
4. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Individu yang telah memasuki dimensi ini adalah individu
yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa
kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta
Sebaiknya, orang yang dikatakan tidak memiliki tujuan hidup
ditandai dengan karakteristik seperti: kurang memahami makna
hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau,
tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam
hidup.
Rogers (1970) menyebutkan adanya hidup yang berrmakna
sebagai tujuan hidup dari pribadi yang berfungsi sepenuhnya.
Setiap saat dalam hidup seringkali adalah sesuatu yang baru, tidak
dapat diramalkan, memiliki makna tersendiri dan unik. Individu
bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalamannya, individu
akan merasa hidup lebih bermakna. Perasaan seperti itu akan
membuat hidup lebih terarah dan tidak terjerat pada pengalaman
masa lampau.
Jadi dapat disimpulakan taraf psychological well-being
seseorang dalam dimensi keterarahan hidup tercermin dari sejauh
mana ia:
1. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup 2. Memiliki makna terhadap hidup sekarang dan masa lalu
Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Rogers mengatakan bahwa pribadi yang berfungsi sepenuhnya memiliki keterbukaa pada pe gala a . I dividu ya g terbuka terhadap
mengartikan realisasi diri atau aktualisasi diri sebagai sejauh mana seseorang merealisasikan potensinya melalui kegiatan nyata yang terus menerus. Sedangkan orang yang tahap dimensi pertumbuhan pribadinya merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, kurang merasa berkembang dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang baru.
Dengan demikian taraf psychological well-being dalam dimensi pertumbuhan pribadi dapat tercermin dari sejauh mana seseorang:
1. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan. 2. Terbuka terhadap pengalaman.
3. Merealisasikan potensi yang dimiliki.
4. Menyadari potensi, kemajuan diri dan tingkah laku setiap saat.
5. Pemahaman diri dan efektifitas hidup yang semakin baik.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang,
sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Melalui
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi PWB seseorang dan berikut ini
akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pembentukan PWB seseorang.
a. Usia
Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat PWB pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi pemguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungan nya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.
b. Dukungan sosial
Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif
(mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu
yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam
hidupnya. dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam
kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan
well-being seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk
hidup. Dalam hal ini perempuan yang lesbian memiliki masalah ,
karena orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman biasa nya
tidak mendukung dan tidak dapat menerima bahwa orang yang
mereka sayangi adalah seorang lesbian. Namun ada juga
sekelompok orang yang mendukung, yaitu teman-teman
sekomunitas lesbian, yang merasa senasib dengan mereka.
c. Status sosial ekonomi
Ryff dkk, (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan
bahwa status social ekonomi berhubungan dengan dimensi
penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan
pertumbuhan diri. Status sosial ekonomi mempengaruhi
kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income
keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan
materi dan status sosial di masyarakat. Individu dengan tingkat
penghasilan tinggi, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan
memiliki PWB yang lebih tinggi.
d. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme
masyarakat. Budaya barat memilki skor yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur
yang menjunjung tinggi kolektivitas memiliki skor lebih tinggi
pada hubungan positif dengan orang lain. Dalam budaya Indonesia
itu masih menentang menganggap tabu mengenai homoseksualitas,
sehingga hal ini dapat mempengaruhi bagaimana PWB lesbian itu
sendiri.
e. Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan
hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas
tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif
sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).
Individu lesbian sering merasa berdosa dan dirinya tidak layak
mendekat kepada Tuhan karena telah melanggar koadrat dan
norma masyarakat, hal ini dapat mempengaruhi rendahnya PWB
pada lesbian.
f. Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan
harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung
terhindar dari konflik dan stres (Santrock, 1999; Ryff, 1995)
B. LESBIAN 1. Defenisi lesbian
Menurut Carroll (2005) lesbian adalah perempuan yang secara
seksual tertarik kepada sesama jenisnya. Sementara Kinsey (dalam
Carroll, 2005) mengatakan bahwa ketertarikan secara seksual tidak cukup
dalam mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual (dalam hai ini
lesbian) meliputi (1). Perilaku seksual, (2). Fantasi seksual, (3).
Ketertarikan secara emosional, (4). Ketertarikan secara sosial, (5).
Ketertarikan gaya hidup, (6). Ketertarikan secara seksual, dan (7).
Identifikasi diri.
Dapat dimaknai bahwa lesbian adalah perempuan yang secara
seksual tertarik kepada perempuan, perilaku seksual diarahkan
(disalurkan) pada perempuan, memiliki fantasi seksual terhadap
perempuan, memiliki ketertarikan secara emosional terhadap perempuan,
ketertarikan secara sosial diarahkan pada perempuan, memiliki gaya hidup
yang tertarik kepada sesama jenis, dan mengidentifikasi dirinya sebagai
2. Masalah yang dialami lesbian a. Orientasi seksual
Michael et al (1994) menjelaskan mengenai Orientasi seksual ,
dimana orientasi seksual merupakan preferensi yang jelas, persisten, dan
erotik seseorang untuk jenis kelaminnya atau orang lain. Dengan kata lain
orientasi seksual adalah keteratarikan emosional, romatik, seksual, atau
rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain
Orientasi seksual memiliki rentang dari Homoseksual murni
sampai dengan Heteroseksual murni termasuk didalamnya Biseksual.
Sebagian besar orang termasuk heteroseksual yang memiliki ketertarikan
hanya dengan lawan jenis. Sedangkan sebagian kecil termasuk
homoseksual atau biseksual. Homoseksual merupakan orang yang
mengalami ketertarikan emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang
pada sejenis, sedangkan biseksual merasa nyaman melakukan hubungan
seksual dengan kedua jenis kelamin. Kaum homoseksual disebut gay (bila
laki-laki) atau lesbian (perempuan). Rentang ini memberikan model
konseptual tentang orientasi seksual dalam masyarakat dan komplesitas
perasaan erotik yang ditujukan pada seseorang dengan jenis kelamin yang
sama tanpa melakukan aksi terhadap perasaan itu.
Gaya hidup gay atau lesbian sangat dipengaruhi oleh bagaimana
mereka memutuskan untuk merahasiakan atau terbuka tentang orientasi
seksualnya. Hal ini berkaitan dengan proses penghargaan diri, penerimaan
diri, dan keterbukaan diri. Melihat kenyataan diatas maka bukan sesuatu
yang benar jika kemudian pria gay selalu berkelakuan agak feminin atau
memiliki keinginan menjadi seorang wanita, atau sebaliknya wanita
lesbian tidak mesti maskulin atau memiliki keinginan untuk jadi pria.
Sebagian besar dari mereka merasa puas dengan jender dan peran sosial
mereka, dan hanya memiliki keinginan untuk bersama dengan anggota
jenis kelamin mereka sendiri.
b. Proses penerimaan diri sebagai homoseksual
Zera (dalam Brannon 1996) mengemukakan, ada enam tahapan
yang dilalui oleh seorang homoseksual sebelum dirinya sadar akan
orientasi seksualnya itu.
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Dalam tahap ini orang mulai sadar akan orientasi seksual
dirinya. Selain sadar, di satu sisi orang tersebut juga mengalami
kebingungan soal kelainannya itu. Contoh kasus tahap ini dialami
oleh A, remaja perempuan berusia 17 tahun. A mulai sadar ia lebih
tertarik melihat perempuan berpakaian seksi ketimbang melihat
pria tampan. Namun A mengalami kebingungan soal rasa
ketertarikannya. Dalam hati bertanya-tanya mengapa ia lebih
menyukai melihat perempuan berpakaian seksi, apakah saya
seorang homoseksual ?
2. Identity Comparison
Orang yang berada dalam tahapan kedua ini masih
menyangkal ke-homoseksualannya. Ia berpura-pura sebagai
seorang heteroseksual. Contoh kasus tahap ini dialami juga oleh A.
Setelah dirinya sadar, A masih mencoba untuk berpacaran dengan
pria teman sekolahnya.
3. Identity Tolerance
Orang mulai sadar dan menerima dirinya sebagai gay atau
lesbian. Dalam tahap ini, A sudah mulai menerima dirinya. Ia
sudah menyadari kalau dirinya memang homoseksual dan tidak
4. Identity Acceptance
Setelah menerima, di tahapan ini orang mulai mengenal
lebih dalam soal orientasi seksualnya itu. Ia mulai masuk ke dalam
komunitas gay atau lesbian. Begitupun yang terjadi pada A. Ia
mencoba mencari orang-orang yang punya orientasi seksual sama
dengannya.
5. Identity Pride
Rasa percaya diri sebagai seorang homoseksual mulai
muncul di tahap kelima. Orang tersebut juga lebih aktif di
komunitas homoseksual.
6. Synthesis
Selain menerima dirinya secara utuh sebagai seorang gay
atau lesbian, orang yang berada dalam tahap terakhir ini juga
sudah menerima sepenuhnya orang-orang lain yang juga
berorientasi seksual sama. Ia juga nggak lagi peduli apakah
masyarakat menerima atau tidak.
c. Proses Coming-out pada homoseksual
Rothblum ( Dalam Crooks & Baur 1990 ) memberikan gambaran
1. Mengetahui ( self acknowledgement )
Tahap ini penting karena biasanya seseorang individu baru
menyadari bahwa mereka berbeda dari hetero seksual. Kebanyakan
individu menyadari mereka homoseksual adalah ketika masih
kanak-kanak. Sedangkan yang lain beranjak dewasa , mereka merasakan ada
sesuatu yang tidak sesuai saat mereka berhubungan dengan lawan jenis
atau heteroseksual, dan menimbulkan kebinggungan tentang perasaan
mereka sendiri, pada tahap ini , dorongan moral, penilaian yang tidak
menghukum dan komunikasi dari keluarga dan teman-teman dekat
sangat dibutuhkan.
2. Penerimaan diri ( self aceeptance )
Berhubung dengan penerimaan kehomoseksualan seorang
individu. Disatu pihak , tahap ini menjadi sangat sulit dilakukan karena
penilaian negative dan ketakutan masyarakat terhadap homoseksual,
namun dipihak lain hal tersebut merupakan tantangan yang harus
dijalani.
3. Keterbukaan (Disclosure)
Berhubungan dengan pengetahuan dan penerimaan diri
seorang individu, untuk tidak lagi merahasiakan tentang orientasi
berhubungan dengan kebanggaan dan harga diri individu. Kerahasiaan
hanyalah menimbulkan isolasi social dan kesepian.
4. Memberitahukan kepada keluarga ( telling the family )
Coming out kepada keluarga dan teman dekat merupakan
keputusan yang penting. Pada tahap ini biasanya, orang tua sangat sulit
untuk memahami bahwa anak mereka adalah homoseksual. Reaksi yang
diberikan kebanyakan berupa kemarahan dan rasa bersalah, bahwa
mereka tidak benar dalam mengasuh anaknya sendiri. Hal tersebut
biasanya menyebabkan lesbian tidak mau menceritakan keadaan diri
mereka , kecuali diketahui secara tidak sengaja. Weinberg (dalam
Crooks & Baur 1990 ), mengatakan bahwa member tahu keluarga tidak
hanya berhubungan dengan orang tua , namun juga keluarga yang lain ,
misalnya kakak, adik,ataupun teman dekat.
5. Bergabung dalam komunitas homoseksual (involvement in homosexual
community )
Kebutuhan untu dimiliki adalah kebutuhan mendasar untuk
seseorang individu. Bagi individu homoseksual suatu komunitas akan
penguatan dan penerimaan yang tidak didapatkan dari masyarakat
disekitarnya.
Eichberg (1990). Ia membagi proses coming-out menjadi tiga
tahapan yaitu tahap personal, tahap pribadi dan tahap publik. Menurutnya,
proses pada setiap tahapan bukanlah proses linear, namun proses
kumulatif karena pada tahap pribadi dimana seseorang berbagi dengan
orang lain, masih terdapat masalah personal yang harus dihadapinya. Pada
tahap publikpun seseorang masih menghadapi masalah pada tahap
personal dan pribadi, dimana sesungguhnya seseorang tersebut sudah
terbuka dan mengungkapkan orientasinya jika diperlukan.
a. Tahap Personal (Personal Phase)
Seseorang akan tetap berada dalam tahap ini, jika ia sudah
mengerti dan menyadari orientasi seksualnya dan menyimpannya
hanya untuk dirinya sendiri. Ia akan berada dalam tahap ini selama
ia memutuskan untuk tetap menyimpan untuk dirinya sendiri.
Terdapat dua hal yang menjadi khas pada tahap ini yaitu, adanya
keinginan untuk bersembunyi (hide) dan penyangkalan (denial),
hal itu menyebabkan adanya perasaan tertekan, harga diri rendah,
perasaan marah pada diri sendiri dan pada orang lain. Kemarahan
itu muncul dalam bentuk sarkastik dan menjaga jarak dengan
orang lain. Jika individu telah memutuskan untuk membagi
perasaannya atas keadaan dirinya dan perbedaan orientasi
seksualnya dengan orang lain, maka individu tersebut sudah berada
pada tahap pribadi.
b. Tahap Pribadi (Private Phase)
menyembunyikan tentang perbedaan orientasi seksualnya.Hal lain yangmendasari alasan mereka masih menyembunyikan keadaan diri mereka adalah adalah pertentangan dari dalam dirinya yang menyatakan bahwa apa yang dijalaninya itu merupakan kesalahan, dosa, tidak baik dan tidak bermoral. Tahap ini akan berakhir jika individu pada tahap ini mulai terbuka pada orang-orang yang signifikan dalam hidupnya, seperti keluarga, sahabat, dan kerabat.
c. Tahap Publik (Public Phase)
Pada tahap ini, preferensi homoseksual telah terintegrasi
dalam kehidupan sehari hari dan lingkungan sekitarnya. Individu
tersebut telah mempunyai identitas sebagai seorang gay/lesbian,
dan orientasi seksualnya tersebut bukan menjadi sesuatu yang
disembunyikan. Namun hal itu bukan berarti individu tersebut
mengumumkannya pada semua orang bahwa ia adalah seorang
homoseksual. Pada tahap ini individu mulai terlibat secara aktif
dalam organisasi-organisasi kelompok homoseksual, dengan tujuan
untuk mendapatkan dukungan untuk masalah-masalah yang terjadi,
serta memberikan bantuan orang-orang dalam organisasi tersebut
menurut Sanderson (1995) dampak dampak dari staying in the
closet bagi homoseksual khususnya lesbian, adalah :
a. Penghindaran intimasi khususnya dari orang-orang terdekat, serta
menempatkan ketegangan dalam hubungannya dengan pasangan.
Sebaliknya semakin terbuka individu tentang orientasi seksualnya, maka
semakin sempurna individu tersebut dan menjadi lebih sehat baik
secara fisik , psikis dan emosional.
b. Menyebabkan depresi , ketergantungan terhadap alcohol, drug abuse,
bunuh diri, dan perilaku lain yang menyakiti diri sendiri karena merasa
hidupnya kotor dan tidak berarti.
d. Masalah-masalah perkembangan Kaum lesbian yang berusia dewasa
muda
Kimmel (1990 dalam Greene, 2000) menjelaskan bahwa usia 20
tahun keatas atau biasa disebut dewasa muda dan dewasa dapat saja
menjadi keseluruhan bagian yang paling utama dalam tahapan
perkembangan manusia, karena didalamnya terdapat topik utama dalam
kehidupan seperti pekerjaan, cinta dan membangun keluarga. Menurut
kaum lesbian yang sudah memasuki usia ini adalah:
1. Apakah individu tersebut akan mengambil keputusan untuk
coming-out’ atau tidak.
2. Apakah individu tersebut akan memutuskan untuk hidup membujang, atau menikah dengan lawan jenis (pernikahan heteroseksual) atau menjalin hubungan dengan sesama jenis, atau melakukan pernikahan dengan lawan jenis namun tetap mempunyai pasangan sesama jenis dan lain-lain.
3. Apakah individu tersebut memutuskan untuk memiliki anak atau tidak. 4. Bagaimana individu akan menghadapi kenyataan tentang perbedaan
persepsi
5. masyarakat terhadap keberadaan individu sebagai seorang homoseksual.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian
ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan
apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000).
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif
yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana gambaran Psychological
Well-Being pada lesbian.
Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilain
sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis
data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel yang akan diteliti adalah Psychological Well-Being.
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Psychological Well-Being adalah gambaran kesehatan
psikologis individu berdasarkan pemenuhan pemenuhan fungsi
psikologis positive . Psychological Well-Being dalam penelitian ini
diungkap melalui alat ukur psikologis yang disusun berdasarkan
dimensi Psychological Well-Being yang dikemukakan oleh Ryff
(dalam Keyes, 1995), adapun dimensi Psychological Well-Being
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan diri (Self acceptance). Kemampuan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other). Kemampuan untuk menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. kemampuan untuk mencintai orang lain
c. Otonomi (autonomy), Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.
hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup
e. Perkembangan pribadi (personal growth), Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri
Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala
Psychological Well-Being yang diberikan, artinya semakin tinggi pula
tingkat Psychological Well-Being yang dimiliki oleh subjek.
C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan yang secara
seksual tertarik kepada sesama jenisnya. Menyadari luasnya keseluruhan
populasi dan keterbatasan yang dimiliki peneliti, maka subjek penelitian
yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan
sampel.
karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. perempuan yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian
b. Usia minimal 20 tahun.
Sebab pada usia ini seseorang digolongkan sebagai
dewasa awal yang merupakan masa adaptasi dengan
lingkungan, dan inividu dalam usia ini mulai membangun
apa yang ada pada dirinya dan mencapai kemandirian.
orang dewasa awal lainnya sudah seharusnya memilih
pasangan, menikah dan membangun kehidupan rumah
tangga. individu akan menjalin hubungan dengan lawan
jenis atau berpacaran untuk menyeleksi dan memilih
pasangan hidupnya. Jika individu dewasa muda tugas
perkembangannya tidak terpenuhi, seperti yang dialami
oleh kaum lesbian maka individu tersebut akan mengalami
kesepian, cemas, dan tidak percaya diri.
2. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (2002)
berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta sebagai wakil
(representasi) dari populasi atau semesta itu. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling.
Adapun pertimbangan dalam menggunakan teknik sampling ini
adalah karena kaum lesbian yang menjadi subjek dalam penelitian adalah
tidak transparan di masyarakat dan jumlahnya tidak diketahui sehingga
lebih efektif dijangkau jika peneliti menghubungi beberapa subjek yang
mengetahui keberadaan komunitas subjek kemudian peneliti menjadikan
3. Jumlah Sampel Penelitian
Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang
harus digunakan dalam suatu penelitian Azwar (2000) dalam penelitian
ini jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 32 orang.
D. INSTRUMEN / ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN
Alat ukur yang digunakan merupakan metode pengumpulan data
dalam kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap fakta
mengenai variabel yang diteliti (Azwar, 1999). Metode yang digunakan
dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah alat ukur psikologis
yang telah diadaptasi dari alat ukur Psychological Well-Being yang
dikemukakan oleh Ryff dan telah digunakan dalam penelitan sebelumnya.
Metode inventory digunakan karena data yang ingin diukur berupa
konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak
langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam
bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2001). Hadi (2000) menyatakan
bahwa metode ini dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan
asumsi-asumsi berikut :