• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an al-Kari>m adalah mikjizat Islam yang kekal dan mukjizat selalu

diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an diturunkan Allah kepada

Rasulullah untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan

al-Qur‟an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan

dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah.1

Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang di ridha‟i Allah (hudan li al-na>s) dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan

menuju jalan terang-benderang. Fungsi ideal al-Qur‟an itu dalam realitasnya tidak

begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang

mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua al-Qur‟an yang tertentu hukumnya

sudah siap di pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global dan mus>ha>rak yang tentunya

memerlukan pemikiran dan analisis khusus untuk menerapkannya.2

1

Manna>‟ Khali>l al-Qat{}t}an, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 1.

2M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 25-26.

2

Dalam upaya pemutusan pemikiran dan analisis dalam menetapkan sekaligus

ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur‟an itulah diperlukan penafsiran

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an.

Pada hakikatnya, secara garis besar al-Qur‟an membahas 2 hal pokok, yaitu

ibadah dan muamalah. Dalam hal ibadah yaitu menjelaskan hubungan manusia dengan Allah, sedangkan dalam hal muamalah menjelaskan tentang hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan. Muamalah di sini menyangkut banyak hal dan banyak aspek yang kerkenaan dengan aktifitas yang dilakukan manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Salah satu aktifitas dalam berhubungan dengan manusia (h}ablum min an-na>s) adalah bertanggungjawab terhadap apa yang di

lakukan.3

Pada hakikatnya manusia berkewajiban terhadap apa yang dilakukanya,

sebagai makhluk yang diciptakan sangat sempurna manusia haruslah

bertanggungjawab terhadap sesama manusia baik secara moral maupun fisik, salah satu bagian dari manusia yang berkewajiban atas ini adalah manusia yang

berintelektual, manusia semacam ini bertanggung jawab terhadap moral bangsa.4

Para intelektual dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan bangsa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh

3

Ibid. 4

Tranto, Wawasan Ilmu Alamiyah Dasar, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2006), 79.

3

perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan, pembunuhan di sertai mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, pemerkosaan, pornografi sudah sangat merugikan dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa. Di sinilah kunci dari urgensi dilaksanakannya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa untuk

membentengi dari krisis multidimensi pada era globalisasi.5

Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa pada hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam moral bangsa. Dalam kontek moral, salah satu penyebabnya karena lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki moralitas yang di butuhkan bangsa. Selain itu,

sistem yang top-down, masyarakat hanya menampung apa yang di sampaikan para

intelektual tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal seleksi secara kritis, bahwa pada taraf masyarakat yang awam, pengetahuannya tentang moral masih minim sehingga masyarakat pada kehidupannya belum menyentuh pada tataran sempurna.

Moral yang cenderung kognitif intelektual bangsa, perlu di perbaiki sebagai wahana

pengembangan moral bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak, dan kepribadian

secara utuh sesuai dengan tujuan para intelektual membangun moral bangsa.6 Karena

5

Hari cahyono, dimensi-dimensi Pendidikan Moral, (Jakarta: yayasan idayu, 1980), 115. 6

Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), 45.

4

itu menjadi tanggungjawab intektual terhadap moral bangsa. Sebagaimana firman Allah:



















Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat ini Allah memberi tugas sebagai khalifah, karena mereka memiliki akal yang mampu menangkap ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan fisiknya, sehingga mampu menjalankan tugas khalifah dengan baik.

Hal ini yang menjadi latar belakang penelitian ini diadakan, pendapat dari mufasir dapat dikaitkan dengan keadaaan modern yang terjadi seperti saat ini. Berangkat dari pemaparan di atas, persoalan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa jika di tinjau dan di analisis menggunakan kitab tafsir menarik untuk dikaji karena terdapat beberapa pendapat bagaimana sesungguhnya keadaan yang

terjadi di era globalisasi seperti saat ini kemudian dikaitkan dengan ayat al-Qur‟an.

sehubungan dengan masalah tersebut, maka penulis tergugah untuk

mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “ TANGGUNGJAWAB

INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERSPEKTIF AL-QUR‟AN”.

5

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Bertolak dari paparan di atas, masalah pokok yang terdapat dalam kajian ini

adalah al-Qur‟an tentang adanya fenomena yang baru yaitu tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa. Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi adalah:

1. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan peran intelektual dalam

membentuk moral bangsa yang terjadi pada di zaman modern.

2. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan tanggungjawab intelektual

terhadap moral bangsa

3. Bagaimana solusi yang di tawarkan al-Quran dan mufassir terkait tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa

Untuk memberikan arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pemahaman, maka di perlukan pembahasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini akan membahas dan difokuskan pada pendapat mufasir memyikapi ayat yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat yang berkaitan dengan adanya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan penelitiannya. Adapun untuk lebih operasionalnya, rumusan masalah penelitian harus ditulis dengan wujud kalimat

6

tanya dengan bahasa yang singkat dan jelas.7 Untuk memperjelas masalah yang akan

dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Bagaimana peranan intelektual dalam membangun moral bangsa menurut

al-Qur‟an?

2. Bagaimana tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa menurut

al-Quran?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian harus konsisten dengan rumusan judul, rumusan judul, rumusan masalah, serta hipotesis (jika tidak) yang diajukan. Perlu diingat, tujuan penelitian bukan tujuan peneliti dalam melaksanakan penelitian. Dalam konteks ini, tujuan penelitian tidak identik dengan tujuan subjektif si peneliti, tetapi

tujuan penelitian harus dapat menjawab mengapa peneliti tersebut dilaksanakan.8

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peranan intelektual dalam membangun moral bangsa

menurut al-Qur‟an.

b. Untuk mengetahui tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa

menurut al-Quran.

7Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Airlangga, 2013), 48. 8

Ibid, 49.

7

2. Manfaat penelitian

Sebagaimana tujuan peneliti, rumusan peneliti juga bukan sekedar manfaat yang di peroleh individu peneliti. Artinya manfaat tersebut bukan manfaat subjektif bagi si peneliti, tetapi manfaat yang diambil setelah dilakukannya penelitian tersebut. Tentu saja harus dipahami manfaat ini dalam konteks

kelembagaan ataupun bidang ilmu yang ditekuninya.9

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat merubah wawasan tentang

tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa dalam perspektif

Al-Qur‟an.

b. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi dalam memahami tanggugjawab intelektual terhadap moral

bangsa dalam perspektif Al-Qur‟an.

c. Dalam aspek agama dan sosial diharapkan hasil penelitian ini mampu

memberikan pelajaran dan pedoman kepada kita agar menjadi manusia yang tanggungjawab dalam menjalankan intelektual terhadap aspek sosial baik

dalam menjalankan syari‟ah islam.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini di maksudkan untuk mengetahui keorisinilan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan

9Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Airlangga, 2013), 50.

8

telaah pustaka penulis menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, yaitu:

1. Pandangan Ali Syari‟ati tentang Tanggungjawab Sosial Intlektual Muslim.

Skripsi karya khairul Azhar Saragih tahun 2010. Penelitian ini membahas seorang intelektual muslim yang sadar keadaaan manusia di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya. Karena dengan kesadaran akan memberikan rasa tanggungjawab sosial.

2. Peran Intelektual dalam Membangun Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru.

Skripsi karya Wahyu Hidayat tahun 2015. Penelitian ini membahas dalam merespon demokrasi tidak dengan mempertentangkan antara Islam dengan demokrasi. Dimana pengaruh dinamika demokrasi di Indonesia yakni pendukung ideologi pancasila.

3. Pembinaan Karakter Intelektual Aceh dalam Pembangunan Masyarakat Madani.

Jurnal karya Saifullah tahun 2014. Penelitian ini membahas pembinaan karakter penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan sebaiknya dilakukan sejak dini. Namun bukan berarti jika pendidikan dasar belum mengakomodasi pembinaan karakter, perguruan tinggi juga merasa tidak perlu untuk menyelenggarakan.

4. Konsep Keadilan dalam al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab

Moral. Disertasi Karya Amiur Nuruddin tahun 1995. Penelitian ini membahas

semangat dasar al-Qur‟an adalah semangat moral. Signifikasi moral dalam al

-Qur‟an terletak pada keterkaitan keadilan dengan hari keadilan.

9

5. Peranan Modal Intelektual Dosen Dalam Menciptakan Kualitas Lulusan. Karya

Umi Narimawati. Penelitian ini membahas peluang dan tantangan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, kita melihat ada prospek yang menjanjikan berkembangnya pendidikan yang lebih di masa depan.

Dari beberapa karya di atas, menunjukkan bahwasanya belum ada yang membahas penelitian tersebut dengan keterkaitan tanggungjawab intelektual

terhadap moral bangsa dalam perspektif al-Qur‟an yang akan dijelaskan sebagaimana

dalam penelitian ini. F. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research), sehingga data yang diperoleh adalah hasil dari kajian teks atau buku-buku yang

relevan dengan pokok/ rumusan masalah di atas.10 Kegiatan riset dapat dikatakan

sebagai suatu upaya pengumpulan dan pengelolaan/ analisis data yang dilakukan

secara sistematis, teliti, dan mendalam untuk mencari jawaban dari suatu masalah.11

Dalam peneltian skripsi ini, penulis menggunakan beberapa langkah guna menyelesaikan masalah yang ada, sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang pembahasan ini. Upaya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini di gunakan beberapa langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

10

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 1995, 9. 11

HM. Sonny Sumartono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet I (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 95.

10

Penelitian ini bersifat kualitatif yang di maksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistemologis, dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.

Jenis penelitian adalah library reseach (penelitian kepustakaan) yaitu

penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

peneliannya.12 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian

mengelolanya memakai keilmuan tafsir.

2. Sumber Data

Penelitian ini bercorak library murni, dalam arti semua sumber datanya

berasal dari bahan-bahan yang tertulis yang berkaitan dengan topik pembahasan dibahas. Sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul

data dari objek risetnya.13 Data primer merupakan data-data yang kajian

utamanya relevan dengan penelitian data pokok yang menjadi rujukan

pembahasan skripsi ini adalah Al-Qur‟an.

1) Kitab al-Qur‟an, Mushaf yang digunakan sebagai pegangan adalah

al-Qur‟an dan Terjemahannya yang telah ditashih oleh Departemen Agama

R.I Jakarta, Tanggal 28 Februari 1990.

12

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 1. 13

HM. Sonny Sumarsono, Op.cit, 69.

11

2) Sebagai dasar rujukan untuk analisis penafsiran yang berkaitan dengan

masalah yang dibahasa digunakan beberapa karya mufassir antara lain:

a) Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

b) Tafsir Fi zilalil Qur‟an karya Sayyid Quthb

c) Tafsir AL-Azhar karya Abdul malik Karim Amrullah (Hamka)

d) Tafsir Ibnu Kasir Karya Ibnu Kasir

e) Tafsir Al-Maragi Karya Musthafa al-Maragi

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah semua data yang di peroleh secara tidak

langsung dari objek yang diteliti.14 Data sekunder merupakan buku

penunjang yang pada dasarnya sama dengan buku utama, akan tetapi dalam buku penunjang ini bukan merupakan faktor utama. Sumber data sekunder ini berupa buku-buku yang mempunyai keterkaitan, karya ilmiah, ensiklopedi, artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian mengklarifikasikan sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah di siapkan sebelumnya.

14Ibid.

12

4. Teknik Analisis data

Semua yang terkumpul, baik primer maupun yang sekunder diklarifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu susunan teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolanya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu

atau beberapa pernyataan.15 Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji

bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti. G. Sistematika Pembahasan

Untuk mengarahkan alur pembahasan secara sistematika dan mempermudah pembahasan maka penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa Bab dengan rasionalitas sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL

TERHADAP MORAL BANGSA

Pada bab ini penulis akan mengulas mengenai pengertian tanggungjawab intelektual terhadahap moral bangsa, jenis-jenis

15

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarain, 1993), 76-77.

13

tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dampak dari tindakan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dan peran intelektual dalam pembentukan moral bangsa.

BAB III ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA

DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‟AN

Pada bab ini melakukan deskripsi tentang Peran intelektual dalam pembentukan moral, dan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan, dan saran-saran.

BAB II

WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL

TERHADAP MORAL BANGSA

A. Pengertian Tanggungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa

Intelektual adalah orang yang di anggap mampu menyampaikan patokan moral kepada masyarakat. Intelektual di anggap memiliki pengetahuan yang mampu merubah nasib manusia. Intelektual ada orang yang berbicara tentang kebenaran. Dalam garis pemikiran seperti ini, maju-mundurknya kehidupan sebuah masyarakat ditentukan dari seberapa jauh para intelektualnya mampu menggeluti permasalahan sekaligus menyampaikan kebenaran. Dalam bahasa sekarang, intelektual ibarat dirigen yang memimpin orkes. Tanpa mengikuti dirigen, pemain orkes akan bermain musik sendiri-sendiri. Panduan suaranya akan kacau tak beraturan. Tak dapat dinikmati secara keseluruhan. Legistimasi itu diberikan karena peran pemain orkes merasa ada dirijen yang dianggap memiliki kemampuan yang benar dalam mengomposisi musik. Demikian juga dalam masyarakat. Masyarakat memberikan legitimasi pada sekelompok orang yang dianggap mengetahui dan mampu menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan

untuk menghadapi persoalan kehidupan.1

Tanggungjawab intelektual dalam moral bangsa adalah sekelompok orang yang menanggung pengetahuan-pengetahuan tertentu yang benar dan bisa

1

Chris Harman, A People Hostry of The Word, (London: Bokkkmarks Publication, 2002). 19-22.

15

diandalkan untuk menjamin kehidupan manusia bebas dari penderitaan. Dalam bahasa Hatta intelektual mencakup dua dimensi: kerja akal dan kerja moral. Akal adalah mencari pengetahuan dan kebenaran. Sementara itu kerja otak adalah menyampaikan kebenaran itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan

manusia dari penderitaan.2 Maka jika ada orang yang mangaku intelektual, atau

paling tidak memiliki simbol-simbol intelektual yang melekat dalam diri intelektual, namun tidak melakukan kerja akal atau kerja moral maka ia dapat disebut sedang melakukan pengkhianatan kaum intelektual. Terkait pengertian pengkhianatan intelektual, banyak sekali pemikir atau filsuf yang memberi pengertian berbeda-beda. Namun pengertian penghianatan intelektual di atas (intelektual yang tidak melakukan kerja akal dan moral) sudah cukup mewakili

perbedaan tersebut di tataran yang paling umum.3

Kaum intelektual menentukan dan berpegang pada kebenaran atau

moralitas absolut, bukan pada kebenaran

atau

moralitas yang bersifat relatif. Oleh

karena itu, kebeneran yang dimiliki oleh para kaum intelektual hendaknya mampu mengatasi kebenaran-kebenaran orang pada umumnya (suara kebanyakan). Kebenaran bagi banyak orang adalah kebenaran bagi dirinya sendiri, bagi kelompoknya sendiri, bagi bangsa sendiri, bagi agama sendiri, bagi rasnya sendiri. Tuntutan kepada kaum intelektual adalah mampu menangkap kebenaran yang menerabas moral-moral yang relatif itu. Kebenaran yang dimiliki dan

2 Mohammad Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia”, dalam Cendekiawan dan Politik, di ediy oleh Aswad Mahasin dan Ismed Nasir, (Jakarta: LP3ES, 1983). 7-8. 3

Ibid.

16

diperjuangkan oleh kaum intelektual haruslah kebenaran universal, yang berlaku

di manapun dan kapanpun.4

Hal ini bisa dipahami karena hidup dimasa perang, suatu masa saat seluruh masyarakat termasuk dituntut untuk mengabadi di masyarakat pada Negara. Dengan kata lain, kaum intelektual ikut berperan dalam peperangan, ikut menebar kebencian, mendukung bahkan melibatkan diri dalam bertambahnya penderitaan yang di alami umat manusia. Tanggungjawab yang dimiliki oleh para intelektual, adalah tanggungjawab yang mendorong adanya perdamaian bukan justru sebaliknya. Kaum intelektual harus mendamaikan umat manusia, kaum intelektual harus berkonflik dengan masyarakat kebanyakan yang pada dasarnya lebih menyukai konflik. Oleh karena itu, agar kaum intelektual yang memiliki kejernihan pikiran seharusnya memisahkan diri dari semangat masyarakat umum

yang kental dengan gairah politik.5

Kehidupan tanpa kebencian disebabkan oleh adanya „gairah politik‟ yang

menginfeksi kesadaran kaum intelektual. Dalam hal ini gairah politik ada tiga komponen gairah, yaitu gairah nasionalisme, gairah ras, dan gairah kelas. Gairah ras adalah gairah adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada berbedaan ras. Gairah nasionalisme adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada perbedaan batas-batas nasionalis atau bangsa. Sedangkan gairah kelas adalah

4 Julien Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, Terj. Winarsih P. Arifin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 27-51.

5 Ibid.

17

suatu kesadaran kolektif yang di dasarkan pada perbedan kepemilikan modal dan

alat produksi. 6

Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan…” Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat berusak, para intelektual dapat dipilah ke dalam 2 golongan pendapat. Yaitu (1) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanya menentukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang lain untuk mempergunakannnya, apakah akan digunakan untuk tujuan yag baik ataukah untuk tujuan yang buruk, (2) golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanya terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam

penggunaannya harus dilandaskan nilai-nilai moral.7

B. Jenis Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral Bangsa

intelektual setidaknya ada dalam tiga kategori yang saling berhubungan: intelektual yang berkomitmen atau berserah diri, intelektual yang berpihak pada

kepentingan anggota masyarakat dan intelektual sebagai mediator atau penengah.8

Pertama intelektual yang berkomitmen. Ide intelektual yang berkomitmen untuk mempertanyakan, mengkritisi dan menantang praktek-praktek ketidakadilan. Menurut filsuf Prancis Jean Paul Sartre, tugas seorang intelektual adalah

6Ibid. 7

M. Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2010), 231.

8

Nasar Meer, menggunakan istilah „commintted intelektuals‟, intervering intellectuals‟ dan „mediating intellectuals‟, lihat Meer, N (2006), „ Get off your Kness‟, Print Media Public Intellectuals and Muslims in Britain‟, dalam Journaliusm Studies, Vol. 7(1): 35-59.

18

mengkritisi dan menolak segala bentuk ketidakadilan.9 Atau dalam bahasa

Edward W. Said, intelektual publik. yang berkomitmen memiliki panggilan untuk menyuarakan kebenaran di hadapan penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun

ungkapan Said bisa dianggap klise seperti diutarakan Christopher Hitchens, frase

abstrak itu bisa memuat di dalamnya hal penting bahwa intelektual adalah agen keadilan. Keadilan biasanya di pahami dalam arti distribusi sumber daya dan kekayaan secara merata. Tetapi dalam hubungan dengan fungsi sosial intelektual distribusi keadilan bisa kita pahami lebih luas untuk merangkum juga hubungan

antara ide dan tindakan.10 Artinya, intelektual yang berkomitmen tidak hanya

melahirkan tetapi membuka juga ruang agar kata menjadi aksi.

Kedua, intelektual yang berpihak. Bagi Michel Foucault, komitmen intelektual untuk mempertanyakan ketidakadilan dan menyuarakan yang benar saja sebetulnya tidak cukup. Intelektual mesti mengambil langkah lanjut dengan berpihak pada korban ketidakadilan dan memainkan peran sebagai suara dari yang tak bersuara serta harapan dari yang tak memiliki harapan di hadapan kekuasaan

yang mengungkung.11 Intelektual karena itu memiliki peran khusus untuk

melakukan intervensi bukan saja ketika kekuasaan disalahgunakan tetapi

Dokumen terkait