• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERPEKTIF AL-QUR'AN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERPEKTIF AL-QUR'AN."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL

BANGSA PERSPEKTIF AL-

QUR’AN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata

satu (S-1) dalam Progam Studi Ilmu al-Qur’an dam Tafsir

Oleh

MOH. FIRDAUS BURHANUDDIN NIM: E53212102

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL

BANGSA PERSPEKTIF AL-

QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan Kepada:

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Pesyarata

n

dalam Menyelesaikan Progam Sarjana Strata Satu (S-1)

Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh :

Moh. Firdaus Burhanuddin NIM: E53212102

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Nama: Moh. Firdaus Burhanuddin

NIM: E53212102

Judul: Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral Bangsa Perspektif Al-Qur’am

Penelitian ini dilakukan karena adanya fenomena tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa di era zaman modern sekarang ini. Sehingga fenomena tersebut manarik untuk dikaji dengan tujuan menemukan keterkaitan

fenomena tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa dengan ayat

al-Qur’an.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana peranan

intelektual dalamg membangun moral bangsa menurut al- Qur’an. 2) Bagaimana

tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa menurut al-Qur’an.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peranan intelektual

dalam membangun moral bangsa menurut al-Qur’an dan tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa perspektif al-Qur’an

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dan diskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menjelaskan bagaimana peranan intelektual dalam membangun moral bangsa

menurut al-Qur’an dan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa

perspektif al-Qur’an bahwa intelektual seseorang yang dapat membangun moral

bangsa dan tanggungjawab terhadap moral bangsa.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa tentu saja dapat membawa dampak yang baik bagi bangsa, baik bagi individu maupun bagi bangsa. Berikut adalah beberapa pengaruh tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa: a) Membantu menyelesaikan persoalan-persoalan atual dakam kehidupan bermoral bangsa serta mampu mengambangkan

peradapan melalui pengembangan ilmu pengetahuan, b) Intelektual

bertanggungjawab atas potensi dan keilmuan masyarakat. Mengajarkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang dimiliki. Menjadikan masyarakat yang bermoral dan berguna bagi bangsa dan Negara.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBINGBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

KATA PENGANTAR ... x

ABSRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 5

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Pembahasan ... 12

(9)

A. Pengertian Tanggungjawab Intelektual Terhadap

Moral Bangsa ... 14

B. Jenis Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral

Bangsa ... 17

C. Dampak Tanggungjawab Intelektual Terhadap

Moral Bangsa ... 21

D. Peran intelektual terhadap pembentukan moral

bangsa ... 25

BAB III : ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

A. Peran Intelektual dalam Pembentukan Moral Bangsa .. 27

B. Tanggungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa... 59

BAB IV : PENUTUP

A. Simpulan ... 74

B. Saran ... 74

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an al-Kari>m adalah mikjizat Islam yang kekal dan mukjizat selalu

diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an diturunkan Allah kepada

Rasulullah untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang

terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan

al-Qur‟an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka dapat

memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan

dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah.1

Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang di ridha‟i

Allah (hudan li al-na>s) dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan

menuju jalan terang-benderang. Fungsi ideal al-Qur‟an itu dalam realitasnya tidak

begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang

mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua al-Qur‟an yang tertentu hukumnya

sudah siap di pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global dan mus>ha>rak yang tentunya

memerlukan pemikiran dan analisis khusus untuk menerapkannya.2

1

Manna>‟ Khali>l al-Qat{}t}an, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 1.

(11)

2

Dalam upaya pemutusan pemikiran dan analisis dalam menetapkan sekaligus

ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur‟an itulah diperlukan penafsiran

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an.

Pada hakikatnya, secara garis besar al-Qur‟an membahas 2 hal pokok, yaitu

ibadah dan muamalah. Dalam hal ibadah yaitu menjelaskan hubungan manusia

dengan Allah, sedangkan dalam hal muamalah menjelaskan tentang hubungan

manusia dengan manusia dalam kehidupan. Muamalah di sini menyangkut banyak

hal dan banyak aspek yang kerkenaan dengan aktifitas yang dilakukan manusia yang

berhubungan dengan manusia lainnya. Salah satu aktifitas dalam berhubungan

dengan manusia (h}ablum min an-na>s) adalah bertanggungjawab terhadap apa yang di

lakukan.3

Pada hakikatnya manusia berkewajiban terhadap apa yang dilakukanya,

sebagai makhluk yang diciptakan sangat sempurna manusia haruslah

bertanggungjawab terhadap sesama manusia baik secara moral maupun fisik, salah

satu bagian dari manusia yang berkewajiban atas ini adalah manusia yang

berintelektual, manusia semacam ini bertanggung jawab terhadap moral bangsa.4

Para intelektual dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk

mempersiapkan bangsa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang

berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh

3

Ibid. 4

(12)

3

perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat

ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan,

pembunuhan di sertai mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan

remaja, seperti penggunaan narkotika, pemerkosaan, pornografi sudah sangat

merugikan dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa. Di sinilah kunci dari

urgensi dilaksanakannya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa untuk

membentengi dari krisis multidimensi pada era globalisasi.5

Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa pada hakekatnya bersumber dari

jati diri, dan kegagalan dalam moral bangsa. Dalam kontek moral, salah satu

penyebabnya karena lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau

kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi

yang pintar, tetapi tidak memiliki moralitas yang di butuhkan bangsa. Selain itu,

sistem yang top-down, masyarakat hanya menampung apa yang di sampaikan para

intelektual tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal seleksi secara kritis, bahwa

pada taraf masyarakat yang awam, pengetahuannya tentang moral masih minim

sehingga masyarakat pada kehidupannya belum menyentuh pada tataran sempurna.

Moral yang cenderung kognitif intelektual bangsa, perlu di perbaiki sebagai wahana

pengembangan moral bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak, dan kepribadian

secara utuh sesuai dengan tujuan para intelektual membangun moral bangsa.6 Karena

5

Hari cahyono, dimensi-dimensi Pendidikan Moral, (Jakarta: yayasan idayu, 1980), 115. 6

(13)

4

itu menjadi tanggungjawab intektual terhadap moral bangsa. Sebagaimana firman

Allah:







Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat ini Allah memberi tugas sebagai khalifah, karena mereka

memiliki akal yang mampu menangkap ilmu pengetahuan dan mengembangkan

ketrampilan fisiknya, sehingga mampu menjalankan tugas khalifah dengan baik.

Hal ini yang menjadi latar belakang penelitian ini diadakan, pendapat dari

mufasir dapat dikaitkan dengan keadaaan modern yang terjadi seperti saat ini.

Berangkat dari pemaparan di atas, persoalan tanggungjawab intelektual terhadap

moral bangsa jika di tinjau dan di analisis menggunakan kitab tafsir menarik untuk

dikaji karena terdapat beberapa pendapat bagaimana sesungguhnya keadaan yang

terjadi di era globalisasi seperti saat ini kemudian dikaitkan dengan ayat al-Qur‟an.

sehubungan dengan masalah tersebut, maka penulis tergugah untuk

mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “ TANGGUNGJAWAB

INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERSPEKTIF AL-QUR‟AN”.

(14)

5

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Bertolak dari paparan di atas, masalah pokok yang terdapat dalam kajian ini

adalah al-Qur‟an tentang adanya fenomena yang baru yaitu tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa. Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi

adalah:

1. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan peran intelektual dalam

membentuk moral bangsa yang terjadi pada di zaman modern.

2. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan tanggungjawab intelektual

terhadap moral bangsa

3. Bagaimana solusi yang di tawarkan al-Quran dan mufassir terkait tanggungjawab

intelektual terhadap moral bangsa

Untuk memberikan arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam

pemahaman, maka di perlukan pembahasan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini. Penelitian ini akan membahas dan difokuskan pada pendapat mufasir

memyikapi ayat yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat yang

berkaitan dengan adanya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian merupakan serangkaian pertanyaan yang

dijadikan dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan penelitiannya. Adapun untuk

(15)

6

tanya dengan bahasa yang singkat dan jelas.7 Untuk memperjelas masalah yang akan

dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Bagaimana peranan intelektual dalam membangun moral bangsa menurut

al-Qur‟an?

2. Bagaimana tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa menurut

al-Quran?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian harus konsisten dengan rumusan judul, rumusan judul,

rumusan masalah, serta hipotesis (jika tidak) yang diajukan. Perlu diingat, tujuan

penelitian bukan tujuan peneliti dalam melaksanakan penelitian. Dalam konteks

ini, tujuan penelitian tidak identik dengan tujuan subjektif si peneliti, tetapi

tujuan penelitian harus dapat menjawab mengapa peneliti tersebut dilaksanakan.8

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peranan intelektual dalam membangun moral bangsa

menurut al-Qur‟an.

b. Untuk mengetahui tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa

menurut al-Quran.

7Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Airlangga, 2013), 48. 8

(16)

7

2. Manfaat penelitian

Sebagaimana tujuan peneliti, rumusan peneliti juga bukan sekedar manfaat

yang di peroleh individu peneliti. Artinya manfaat tersebut bukan manfaat

subjektif bagi si peneliti, tetapi manfaat yang diambil setelah dilakukannya

penelitian tersebut. Tentu saja harus dipahami manfaat ini dalam konteks

kelembagaan ataupun bidang ilmu yang ditekuninya.9

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat merubah wawasan tentang

tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa dalam perspektif

Al-Qur‟an.

b. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi dalam memahami tanggugjawab intelektual terhadap moral

bangsa dalam perspektif Al-Qur‟an.

c. Dalam aspek agama dan sosial diharapkan hasil penelitian ini mampu

memberikan pelajaran dan pedoman kepada kita agar menjadi manusia yang

tanggungjawab dalam menjalankan intelektual terhadap aspek sosial baik

dalam menjalankan syari‟ah islam.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini di maksudkan untuk mengetahui

keorisinilan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan

(17)

8

telaah pustaka penulis menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang

serupa dengan penelitian ini, yaitu:

1. Pandangan Ali Syari‟ati tentang Tanggungjawab Sosial Intlektual Muslim.

Skripsi karya khairul Azhar Saragih tahun 2010. Penelitian ini membahas

seorang intelektual muslim yang sadar keadaaan manusia di masanya, serta

setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya. Karena dengan kesadaran akan

memberikan rasa tanggungjawab sosial.

2. Peran Intelektual dalam Membangun Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru.

Skripsi karya Wahyu Hidayat tahun 2015. Penelitian ini membahas dalam

merespon demokrasi tidak dengan mempertentangkan antara Islam dengan

demokrasi. Dimana pengaruh dinamika demokrasi di Indonesia yakni pendukung

ideologi pancasila.

3. Pembinaan Karakter Intelektual Aceh dalam Pembangunan Masyarakat Madani.

Jurnal karya Saifullah tahun 2014. Penelitian ini membahas pembinaan karakter

penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan

sebaiknya dilakukan sejak dini. Namun bukan berarti jika pendidikan dasar

belum mengakomodasi pembinaan karakter, perguruan tinggi juga merasa tidak

perlu untuk menyelenggarakan.

4. Konsep Keadilan dalam al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab

Moral. Disertasi Karya Amiur Nuruddin tahun 1995. Penelitian ini membahas

semangat dasar al-Qur‟an adalah semangat moral. Signifikasi moral dalam al

-Qur‟an terletak pada keterkaitan keadilan dengan hari keadilan.

(18)

9

5. Peranan Modal Intelektual Dosen Dalam Menciptakan Kualitas Lulusan. Karya

Umi Narimawati. Penelitian ini membahas peluang dan tantangan pendidikan

yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, kita melihat ada prospek yang menjanjikan

berkembangnya pendidikan yang lebih di masa depan.

Dari beberapa karya di atas, menunjukkan bahwasanya belum ada yang

membahas penelitian tersebut dengan keterkaitan tanggungjawab intelektual

terhadap moral bangsa dalam perspektif al-Qur‟an yang akan dijelaskan sebagaimana

dalam penelitian ini.

F. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research),

sehingga data yang diperoleh adalah hasil dari kajian teks atau buku-buku yang

relevan dengan pokok/ rumusan masalah di atas.10 Kegiatan riset dapat dikatakan

sebagai suatu upaya pengumpulan dan pengelolaan/ analisis data yang dilakukan

secara sistematis, teliti, dan mendalam untuk mencari jawaban dari suatu masalah.11

Dalam peneltian skripsi ini, penulis menggunakan beberapa langkah guna

menyelesaikan masalah yang ada, sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas

tentang pembahasan ini. Upaya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam

penyusunan skripsi ini di gunakan beberapa langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

10

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 1995, 9. 11

HM. Sonny Sumartono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet I (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 95.

(19)

10

Penelitian ini bersifat kualitatif yang di maksudkan untuk mendapatkan

data tentang kerangka ideologis, epistemologis, dan asumsi-asumsi metodologis

pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada

literatur yang terkait.

Jenis penelitian adalah library reseach (penelitian kepustakaan) yaitu

penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

peneliannya.12 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian

mengelolanya memakai keilmuan tafsir.

2. Sumber Data

Penelitian ini bercorak library murni, dalam arti semua sumber datanya

berasal dari bahan-bahan yang tertulis yang berkaitan dengan topik pembahasan

dibahas. Sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul

data dari objek risetnya.13 Data primer merupakan data-data yang kajian

utamanya relevan dengan penelitian data pokok yang menjadi rujukan

pembahasan skripsi ini adalah Al-Qur‟an.

1) Kitab al-Qur‟an, Mushaf yang digunakan sebagai pegangan adalah

al-Qur‟an dan Terjemahannya yang telah ditashih oleh Departemen Agama

R.I Jakarta, Tanggal 28 Februari 1990.

12

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 1. 13

(20)

11

2) Sebagai dasar rujukan untuk analisis penafsiran yang berkaitan dengan

masalah yang dibahasa digunakan beberapa karya mufassir antara lain:

a) Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

b) Tafsir Fi zilalil Qur‟an karya Sayyid Quthb

c) Tafsir AL-Azhar karya Abdul malik Karim Amrullah (Hamka)

d) Tafsir Ibnu Kasir Karya Ibnu Kasir

e) Tafsir Al-Maragi Karya Musthafa al-Maragi

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah semua data yang di peroleh secara tidak

langsung dari objek yang diteliti.14 Data sekunder merupakan buku

penunjang yang pada dasarnya sama dengan buku utama, akan tetapi dalam

buku penunjang ini bukan merupakan faktor utama. Sumber data sekunder

ini berupa buku-buku yang mempunyai keterkaitan, karya ilmiah,

ensiklopedi, artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu:

mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian

mengklarifikasikan sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan

digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang

telah di siapkan sebelumnya.

(21)

12

4. Teknik Analisis data

Semua yang terkumpul, baik primer maupun yang sekunder diklarifikasi

dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan

telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan

menggunakan analisis isi, yaitu susunan teknik sistematik untuk menganalisis isi

pesan dan mengelolanya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu

atau beberapa pernyataan.15 Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji

bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mengarahkan alur pembahasan secara sistematika dan mempermudah

pembahasan maka penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa Bab dengan

rasionalitas sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi

dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL

TERHADAP MORAL BANGSA

Pada bab ini penulis akan mengulas mengenai pengertian

tanggungjawab intelektual terhadahap moral bangsa, jenis-jenis

15

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarain, 1993), 76-77.

(22)

13

tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dampak dari

tindakan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dan peran

intelektual dalam pembentukan moral bangsa.

BAB III ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA

DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‟AN

Pada bab ini melakukan deskripsi tentang Peran intelektual

dalam pembentukan moral, dan tanggungjawab intelektual terhadap

moral bangsa.

BAB IV PENUTUP

(23)

BAB II

WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL

TERHADAP MORAL BANGSA

A. Pengertian Tanggungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa

Intelektual adalah orang yang di anggap mampu menyampaikan patokan

moral kepada masyarakat. Intelektual di anggap memiliki pengetahuan yang

mampu merubah nasib manusia. Intelektual ada orang yang berbicara tentang

kebenaran. Dalam garis pemikiran seperti ini, maju-mundurknya kehidupan

sebuah masyarakat ditentukan dari seberapa jauh para intelektualnya mampu

menggeluti permasalahan sekaligus menyampaikan kebenaran. Dalam bahasa

sekarang, intelektual ibarat dirigen yang memimpin orkes. Tanpa mengikuti

dirigen, pemain orkes akan bermain musik sendiri-sendiri. Panduan suaranya akan

kacau tak beraturan. Tak dapat dinikmati secara keseluruhan. Legistimasi itu

diberikan karena peran pemain orkes merasa ada dirijen yang dianggap memiliki

kemampuan yang benar dalam mengomposisi musik. Demikian juga dalam

masyarakat. Masyarakat memberikan legitimasi pada sekelompok orang yang

dianggap mengetahui dan mampu menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan

untuk menghadapi persoalan kehidupan.1

Tanggungjawab intelektual dalam moral bangsa adalah sekelompok orang

yang menanggung pengetahuan-pengetahuan tertentu yang benar dan bisa

1

Chris Harman, A People Hostry of The Word, (London: Bokkkmarks Publication, 2002). 19-22.

(24)

15

diandalkan untuk menjamin kehidupan manusia bebas dari penderitaan. Dalam

bahasa Hatta intelektual mencakup dua dimensi: kerja akal dan kerja moral. Akal

adalah mencari pengetahuan dan kebenaran. Sementara itu kerja otak adalah

menyampaikan kebenaran itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan

manusia dari penderitaan.2 Maka jika ada orang yang mangaku intelektual, atau

paling tidak memiliki simbol-simbol intelektual yang melekat dalam diri

intelektual, namun tidak melakukan kerja akal atau kerja moral maka ia dapat

disebut sedang melakukan pengkhianatan kaum intelektual. Terkait pengertian

pengkhianatan intelektual, banyak sekali pemikir atau filsuf yang memberi

pengertian berbeda-beda. Namun pengertian penghianatan intelektual di atas

(intelektual yang tidak melakukan kerja akal dan moral) sudah cukup mewakili

perbedaan tersebut di tataran yang paling umum.3

Kaum intelektual menentukan dan berpegang pada kebenaran atau

moralitas absolut, bukan pada kebenaran

atau

moralitas yang bersifat relatif. Oleh

karena itu, kebeneran yang dimiliki oleh para kaum intelektual hendaknya mampu

mengatasi kebenaran-kebenaran orang pada umumnya (suara kebanyakan).

Kebenaran bagi banyak orang adalah kebenaran bagi dirinya sendiri, bagi

kelompoknya sendiri, bagi bangsa sendiri, bagi agama sendiri, bagi rasnya sendiri.

Tuntutan kepada kaum intelektual adalah mampu menangkap kebenaran yang

menerabas moral-moral yang relatif itu. Kebenaran yang dimiliki dan

2 Mohammad Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia”, dalam Cendekiawan dan Politik, di ediy oleh Aswad Mahasin dan Ismed Nasir, (Jakarta: LP3ES, 1983). 7-8. 3

(25)

16

diperjuangkan oleh kaum intelektual haruslah kebenaran universal, yang berlaku

di manapun dan kapanpun.4

Hal ini bisa dipahami karena hidup dimasa perang, suatu masa saat seluruh

masyarakat termasuk dituntut untuk mengabadi di masyarakat pada Negara.

Dengan kata lain, kaum intelektual ikut berperan dalam peperangan, ikut menebar

kebencian, mendukung bahkan melibatkan diri dalam bertambahnya penderitaan

yang di alami umat manusia. Tanggungjawab yang dimiliki oleh para intelektual,

adalah tanggungjawab yang mendorong adanya perdamaian bukan justru

sebaliknya. Kaum intelektual harus mendamaikan umat manusia, kaum intelektual

harus berkonflik dengan masyarakat kebanyakan yang pada dasarnya lebih

menyukai konflik. Oleh karena itu, agar kaum intelektual yang memiliki

kejernihan pikiran seharusnya memisahkan diri dari semangat masyarakat umum

yang kental dengan gairah politik.5

Kehidupan tanpa kebencian disebabkan oleh adanya „gairah politik‟ yang

menginfeksi kesadaran kaum intelektual. Dalam hal ini gairah politik ada tiga

komponen gairah, yaitu gairah nasionalisme, gairah ras, dan gairah kelas. Gairah

ras adalah gairah adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada berbedaan

ras. Gairah nasionalisme adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada

perbedaan batas-batas nasionalis atau bangsa. Sedangkan gairah kelas adalah

4 Julien Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, Terj. Winarsih P. Arifin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 27-51.

(26)

17

suatu kesadaran kolektif yang di dasarkan pada perbedan kepemilikan modal dan

alat produksi. 6

Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu

dan merebaknya kebodohan…” Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses

ilmu dan teknologi yang bersifat berusak, para intelektual dapat dipilah ke dalam

2 golongan pendapat. Yaitu (1) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus

bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.

Dalam hal ini ilmuwan hanya menentukan pengetahuan dan terserah kepada orang

lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang lain

untuk mempergunakannnya, apakah akan digunakan untuk tujuan yag baik

ataukah untuk tujuan yang buruk, (2) golongan yang berpendapat bahwa

netralisasi ilmu hanya terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam

penggunaannya harus dilandaskan nilai-nilai moral.7

B. Jenis Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral Bangsa

intelektual setidaknya ada dalam tiga kategori yang saling berhubungan:

intelektual yang berkomitmen atau berserah diri, intelektual yang berpihak pada

kepentingan anggota masyarakat dan intelektual sebagai mediator atau penengah.8

Pertama intelektual yang berkomitmen. Ide intelektual yang berkomitmen untuk

mempertanyakan, mengkritisi dan menantang praktek-praktek ketidakadilan.

Menurut filsuf Prancis Jean Paul Sartre, tugas seorang intelektual adalah

6Ibid. 7

M. Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2010), 231.

8

Nasar Meer, menggunakan istilah „commintted intelektuals‟, intervering intellectuals‟ dan „mediating intellectuals‟, lihat Meer, N (2006), „ Get off your Kness‟, Print Media Public Intellectuals and Muslims in Britain‟, dalam Journaliusm Studies, Vol. 7(1): 35-59.

(27)

18

mengkritisi dan menolak segala bentuk ketidakadilan.9 Atau dalam bahasa

Edward W. Said, intelektual publik. yang berkomitmen memiliki panggilan untuk

menyuarakan kebenaran di hadapan penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun

ungkapan Said bisa dianggap klise seperti diutarakan Christopher Hitchens, frase

abstrak itu bisa memuat di dalamnya hal penting bahwa intelektual adalah agen

keadilan. Keadilan biasanya di pahami dalam arti distribusi sumber daya dan

kekayaan secara merata. Tetapi dalam hubungan dengan fungsi sosial intelektual

distribusi keadilan bisa kita pahami lebih luas untuk merangkum juga hubungan

antara ide dan tindakan.10 Artinya, intelektual yang berkomitmen tidak hanya

melahirkan tetapi membuka juga ruang agar kata menjadi aksi.

Kedua, intelektual yang berpihak. Bagi Michel Foucault, komitmen

intelektual untuk mempertanyakan ketidakadilan dan menyuarakan yang benar

saja sebetulnya tidak cukup. Intelektual mesti mengambil langkah lanjut dengan

berpihak pada korban ketidakadilan dan memainkan peran sebagai suara dari yang

tak bersuara serta harapan dari yang tak memiliki harapan di hadapan kekuasaan

yang mengungkung.11 Intelektual karena itu memiliki peran khusus untuk

melakukan intervensi bukan saja ketika kekuasaan disalahgunakan tetapi

melanjutkan intervensi itu dengan pilihan jelas yakni keberpihakan pada yang

menderi dan menjadi korban. Ide yang sama dikemukakan juga oleh Edward W.

Said dalam diskusinya seputar wacana dan kekuasaan. Bagi Said, intelektual ada

9

Sartre, J.P. The Writings of Jean-Paul Sartre, dalam M. Contat dan M. Rybalka (Eds), (Evanston: Northweterh University Press, 1974), 76-79.

10 Fuller, S. (2006), “The Public Intellectual as Agent of Justice: in Search for a Regine”,

dalam Philosophy and Rhetoric, Vol. 39(2): 147-156.

11

Foucanlt, M, Language, Counter-memory, Practice, (Ithaca: Cornell Universty Press, 1977), 167-170.

(28)

19

bukan untuk dirinya sendiri. Dia menulis dan berbicara atas nama suara publik

khususnya mereka yang menderita. Dalam salah satu wawancaranya dengan

Chistopher Lydon di tahun 2000, ia tidak ragu mengakui bahwa dirinya adalah

seorang intelektual militan: “…my tongue is very sharp.. I give and trade blows

with people…who disagree with me, I mean that‟s part of the deal”12

. Kata-kata

Said tidaklah berlebihan melihat keberpihakannya yang tegas atas hak-hak orang

Palestina di satu pihak dan kritiknya yang tajam atas berbagai bentuk

anti-Semitisme di pihak lain.

Ketiga, intelektual sebagai mediator atau penengah. Thomas Osborne dan

Gregor McLennan, guru besar di Universitas Bristol di Inggris, adalah dua

pemikir yang membahas fungsi ini dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak

gagasan “The Third Way” diluncurkan Anthony Giddens.13 Bagi Osbone dan

McLennan, kita tidak lagi hidup dalam sebuah dunia yang dikendalikan oleh ide

yang tampak jelas di depan mata atau yang masih merupakan teka-teki misterius.

Kita sebenarnya ada dalam sebuah dunia di mana ide tampak bergerak seperti

layaknya sebuah kendaraan. Dalam dunia sepreti ini, pesan, berbagai gambar dan

konsep “menyangkut” kita hanya untuk jarak tertentu dari A ke B untuk tujuan

tertentu. Itulah sebabnya ada begitu banyak „isme‟ atau aliran pemikiran yang

tumpang tindih seperti multikulturalisme dan kosmopolitanisme. Di satu pihak,

12 Singh, A. & Johnson, B.G. eds, Interviews with Edward W. Said, (Missisippi: The University Press of Mississppi, 2004), Xiii.

13

McLennan, G. & Osborne, T. (2004) Contemporary „Vehicularity‟ and „romanticism‟. Debating the status of ideals and intellectuals”, dalam Critical Riview of International Sosial and Political Philosophy, Vol. 6(4): 51-66; Osborne, T. (2004), On Mediators Intellectuals and the ideals trade in the knowledge society‟, Economu and Society, Vol. 33(4): 430-447; McLennan, G. (2004), “Travelling with vehicular ideals the case of the Third Way”, dalam Economy and Sociery, Vol. 33(4): 484-499.

(29)

20

aliran pemikiran ini mempunyai kekuatan untuk menggerakkkan dan merangsang

nalar tetapi di lain pihak sangat sulit untuk kita telaah nilai analitis dan normatif

yang menjadi sendi bangunan aliran-aliran pemikiran ini. Dalam konteks ini,

intelektual memainkan peran dalam memilih secara ktiris konsep tepat yang bisa

dipakai untuk bangunan sosial masyarakat, termasuk fungsi kritis atas hukum dan

penataan serta pelaksanaan. Ini menghantarkan kita pada konsep „legislator‟ dan

„interpreter‟ yang dibahas Zygmunt Bauman dalam Legislators and Interpreters:

On Modernity, Post-Modernity and Intellectuals.14 Dalam peran „legislator‟,

intelektual mengamati secara kritis alasan dan rasionalisasi hukum dan sistem

perundangan yang mangatur hidup masyarakat. Peran ini tidak berhenti di sini.

Intelektual juga memainkan peran sebagai „interpreter‟ yakni menafsirkan sistem

ini dan menghantarnya ke masyarakat luas dalam bahasa yang bisa dipahami.

Singkatnya intelektual adalah mediator antara sistem dan anggota masyarakat.

Memperhatikan fungsi-fungsi seperti telah dipaparkan, kiprah intelektual

berhubungan sangat erat dengan ide civil society yang sehat. Konsep civil society

mengambil tempat antara keluarga dan Negara. Bila keluarga menempati ruang,

hidup individual dan hidup sosial, kepentingan pribadi dan etika, urusan pribadi

dan kehendak.15 Untuk sederhananya dan dalam konteks paparan tulisan ini, arena

civil society yang dipaparkan G.W.F. Hegel bisa dipertimbangkan di sini.16 Bagi

Hegel, civil society mengambil tempat antara keluarga dan Negara. Bila keluarga

14 Bauman, Z, Legislators and Interpreters: On Modernity, Post-Modernity and Intellectuals, (Cambridge: Polity, 1987), 35.

15

Selligman, A, The Idea of Civil Society, (New York: The Fre Press, 1992), 5. 16

Hegel, G.W.F, (1995) Lectures on Natural Right and Political Science: The First Philosophy of Right, di terjemahkan dari bahasa Jerman oleh J.M. Stewart & P.C. Hodgson, London: University of California Press, khususnya bagian III.

(30)

21

menempati ruang privasi dan wilayah Negara meliputi ruang politik, maka civil

society menempati ruang. Ruang yang merupakan wilayah civil society ini di

topang oleh ide tukar menukar pikiran guna menemukan jalan bersama untuk

mencapai kehendak dan kepentingan kolektif melalui komunikasi aktif dan

transparan dari semua aktor yang terlibat dalam seluruh proses berbagai ide dan

pendapat.17 Itu berarti civil society yang sehat di satu pihak kritis terhadap

kekerasan Negara dan menyangkalan/ pelecehan hak-hak individual dan di pihak

lain menantang dan melawan tirani berpikir yang dibangun atas dasar-dasar

primordial seperti urusan atau hubungan keluarga, suku, agama atau golongan.

Civil society yang sehat menjadi lebih mungkin bukan saja ketika ruang terbuka

bagi intelektual tetapi ketika intelektual mengambil peran sebagai pengemudi civil

society lewat komunikasi aktif para anggotanya dalam ruang.

C. Dampak Tanggaungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa

Tanggungjawab intelektual bila di laksanakan dengan benar. Maka akan

menghasilkan generasi penerus bangsa yang sangat produktif, sangat berharga dan

sangat bernilai, sehingga perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar

berkualitas menjadi manusia yang bermoral, manusia yang cerdas, dan manusia

yang kompetitif. moral menentukan kualitas moral dan arah dari setiap generasi

dan arah dari setiap generasi dalam mengambil keputusan dan tingkah laku.

Karena moral merupakan bagian integritas yang harus dibangun, agar generasi

sebagai harapan bangsa, sebagai penerus bangsa yang akan menentukan masa

17

Salvatore, A, The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism, Islam, (Basingstoke: Palgrave Mnmillan, 2007), 7.

(31)

22

depan harus memiliki sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh

dan benar dalam upaya membangun bangsa.18

Kecerdasan yang mampu memanipulasi unsur-unsur kondisi yang

dihadapi untuk sukses mecapai tujuan. Kemampuan yaitu karakter diri individu

yang ditampilkan dalam bentuk perilaku untuk memenuhi kebutuhan/ tuntutan

tertentu. Manipulasi yaitu perilaku aktif dan disengaja untuk melihat dan

mengorganisasikan dalam membentuk hubungan antar unsur yang ada dalam

suatu kondisi.19 Unsur-unsur yaitu hasil penilaian/ pemisahan atas bagian-bagian

dari suatu kesatuan tertentu. Tujuan yaitu kondisi yang diharapkan terjadi melalui

penampilan kemampuan dalam bentuk usaha. Sukses adalah kondisi yang

unsur-unsurnya sesuia dengan kriteria yang diharapkan.

Kemampuan kompetitif mampu mencapai keunggulan, memiliki daya

saing dengan bangsa-bangsa lain, dan akan menunjukkkan tinggi harkat dan

martabat bangsa. Akan menjadi bangsa dan Negara yang besar dan kuat disegani

dan dihormati keberadaannya di tengah-tengah bangsa di dunia. Ini akan menjadi

perwujudan cita-cita bangsa.20

Para intelektual sebagai penerus bangsa yang akan menentukan masa

depan bangsa. Intelektual adalah seseorang yang mampu memandang masa depan

diri dan bansganya. Merupakan hal yang pertama dan utama. Intelektual adalah

seseorang yang penuh optimis dan gairah unutk maju dengan sikap dan pola pikir

yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Intelektual adalah seseorang

18

Erest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), 45.

19 Ibid. 20

(32)

23

dengan visi ke depan yang cemerlang, kompetitif yang memadai, dan dengan

karakter yang kokoh, kecerdasan yang tinggi, dan kompetitif merupakan produksi

yang di idam-idamkan.21

Dengan adanya tanggungjawab intelektual menjadi manusia yang

bermoral yaitu:

Manusia berkarakteradalah manusia yang memiliki sifat yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai

dan moral yang tinggi. Manusia yang memiliki sikap dan pola pikir yang

berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Indikator karakter yang terwujud

dalam perilaku manusia berkarakter adalah iman dan taqwa, pengendalian diri,

sabar, disiplin, kerja keras, ulet, bertanggungjawab, jujur, membela kebenaran,

kepatuhan, kesopanan, kesantunan, taat pada peraturan, loyal, demokratis, sikap

kebersamaan, musyawarah, gotong royong, toleran, tertib, damai, anti kekerasan,

hemat, konsisten. Manusia yang berperilaku berkarakter hendaknya disertai

tindakan yang cerdas dan perilaku cerdas hendaknya pula di isi upaya yang

cerdas. Karakter dan kecerdasan dipersatukan dalam perilaku yang berbudaya.

Kehidupan yang berkarakter tanpa diserta kehidupan yang cerdas akan

menimbulkan berbagai kesenjangan dan penyimpangan serta ketidak efesien.22

Manusia cerdas adalah manusia yang cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual,

cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual , dan cerdas kinestetis. Cerdas

spiritual yaitu beraktualisasi diri melalui olah hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan

21

Yudi Latif, intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2007), 67-69.

(33)

24

memperkuat keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur

dan kepribadian unggul. Cerdas emosional, yaitu beraktualisasi diri melalui olah

rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiativitas akan keharusan dan

keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.23

Cerdas sosial, yaitu beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang (i) Membina

dan memupuk hubungan timbal balik, (ii) Demokratis, (iii) Empatik dan simpatik,

(iv) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, (v) Ceria dan percaya diri, (vi)

menghargai kesatuan dalam masyarakat dan bernegara, (vii) Berwawasan

kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara. Cerdas

intelektual yaitu beraktualisasi diri melalui olah pikiran untuk memperoleh

kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, aktualisasi

manusia intelektual yang kritis, kreatif, inovatif dan imajinatif. Cerdas kinerstetik

yaitu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan manusia sehat,

bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan cekatan; serta aktualisasi manusia

adiguna.

Manusia kompetitif adalah manusia yang berkepribadian unggul dan senang akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah,

pembangun dan Pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif, dan

menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar

sepanjang hayat, dan menjadi rahmat bagi semesta alam.24

23

ibid 24

Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Terj. Amin Rais, (Jakarta: Srigunting, 2001), 134.

(34)

25

D. Peran intelektual terhadap pembentukan moral bangsa

Intelektual memiliki peran yang strategis dalam pembentukan moral bagi

bangsa. Baik buruknya suatu bangsa, dapat di lihat dari kualitas intelektualnya,

karena mereka adalah generasi penerus yang harus mempunyai moral baik untuk

membangun bangsanya, memiliki kepribadian tinggi, semangangat nasionalisme,

mampu memahami pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global.

Intelektual juga perlu memperhatikan bahwa mereka mempunyai fungsi sebagai

kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan sehingga fungsi tersebut dapat

berguna bagi masyarakat.25

Intelektual harus berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan

agen perubahan dalam segala aspek pembangunan bangsa. Peran aktif pemuda

sebagai kekuatan moral diwujudkan dengan menumbuhkembangkan aspek etik

dan moralitas dalam bertindak pada setiap dimesi kehidupan keintelektualan,

memperkuat iman dan taqwa serta ketahanan mental-spirital, dan meningkatkan

kesadaran hukum.26

Sebagai kontrol moral bangsa diwujudkan dengan memperkuat wawasan

kebangsaan, membangkitkan kesadaran atas tanggungjawab, hak, dan kewajiban

sebagai warga Negara. Sebagai agen perubahan diwujudkan dengan

mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi, sumberdaya ekonomi,

kepedulian terhadap masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan

25

Smith, Antony D, Nasionalisme: Teori, Ideologi, dan Sejarah, terj.Fans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2003), 56.

(35)

26

budaya, kepedulian terhadap lingkungan hidup, pendidikan kewirausahaan, serta

kepemimpinan dan kepeloporan intelektual.27

Semangat para intelektual jangan sampai luntur tergerus globalisasi.

Intelektual harus dapat mengorbankan semangat cinta Negara dan bangsa.

Intelektual harus menunjukkan potensinya untuk lebih kritis dan mengubah

mental moral bangsa.28

Intelektual sebagai seseorang penerus bangsa mempunyai peran penting

dalam upaya pembangunan moral bangsa, yaitu sebagai:

a. Pembangunan Kembali Moral bangsa yang positif. Esensi peran ini adalah adanya

kemauan keras dan komitmen dari intelektual untuk menjunjung tinggi nilai-nilai

moral di atas kepentingan-kepentingan sesat sekaligus upaya kolektif untuk

mengintegrasikannya pada kegiatan dan aktivitasnya sehari-hari.

b. Pemberdayaan moral. Pembangunan kembali moral bangsa tentunya tidak akan

cukup jika tidak dilakukan pemberdayaaan secara terus-menerus sehinggga

intelektual yang merupakan seseorang juga dituntut unutk mengambil peran

sebagai pemberdayaaan moral. Bentuknya praktisnya adalah kemauan dan hasrat

yang kuat dari intelektual untuk menjadi peran model dari pengembangan karakter

bangsa yang positif.29

Perekayasa Moral sejalan dengan perlunya ada aktifitas daya saing untuk

memperkuat ketahanan bangsa. Peran ini menuntut intelektual sebagai intelektual

penerus bangsa untuk terus melakukan pembelajaran.

27

Soedarsono, Soemarno, Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang, (Jakartaa; kompas Gramedia, 2009), 113.

28 Ibid. 29

(36)

BAB III

ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA

DALAM PERSPEKTIF AL-

QUR’AN

A. Peran Intelektual dalam Pembentukan Moral Bangsa

1. Ayat-ayat tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa

a. Surat al-Mujadalah ayat 11













Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat.(al-Mujaadalah: 11)

b. Surat al-Fathir ayat 39





Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.

(Faathir:39)

c. Surat ar-Ra’d ayat 11

(37)

28

Sesungguhnya Allah tidak merebah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra’d:

11)

2. Penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat peran intelektual dalam membentuk

moral

a. Sayyid Quthb

1) Surat al-Mujadalah ayat 11

Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa

Allah menjanjikan kedudukan yang tinggi bagi orang yang menaati

perintah. Itulah balasan atas ketawadhuan dan kepatuhan terhadap

perintah Rasul.1

Konteks di atas ialah konteks kedekatan dengan Rasulullah guna

menerima ilmu di majelisnya. Ayat di atas mengajarkan kepada mereka

bahwa keimananlah yang mendorong mereka menaati perintah. Ilmulah

yang membina jiwa, lalu dia bermurah hati dan taat, kemudian iman dan

ilmu itu mengantarkan seseorang kepada derajat yang tinggi di sisi Allah.

Derajat ini merupakan imbalan atas tempat yang diberikannya dengan

suka hati dan atas kepatuhan kepada Rasulullah.2

2) Surat al-Fathir ayat 39

Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menjelaskan berganti-ganti generasi

dan datangnya generasi lain, serta satu generasi mewarisi generasi

1

Sayyid Quthb, Fi Shilalil Qur‟an, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid II, 194.

(38)

29

sebelumnya, juga runtuhnya satu Negara dan berdirinya Negara lain dan

matinya satu suluh serta hidupnya suluh yang lain, kepergian dan

kedatangan yang saling silih berganti-ganti sepanjang masa ini. Jika kita

memperhatikan gerakan yang selalu berputar ini, niscaya kita akan dapati

dalam hati kita satu pelajaran dan nasihat. Orang-orang yang ada saat ini

akan merasakan bahwa mereka setelah ini juga akan merasakan bahwa

mereka setelah ini juga akan mati. Kemudian orang-orang setelah mereka

akan memperhatikan bekas-bekas keberadaaan mereka dan mencari-cari

berita tentang mereka, sebagaimana mereka saat ini memperhatikan

bekas-bekas keberadaan orang-orang sebelumnya dan mencari-cari berita

tentang mereka.3

Maka, hal itu seyogianya membangkitkan orang-orang yang lalai,

dan mendorongnya untuk memperhatikan tangan yang mengatur semua

umur makhluk. Juga menggerakkan perjalanan waktu, memperhatikan

kedudukan, mewariskan kerajaan, dan menjadikan satu generasi sebagai

pengganti generasi sebelumnya. Segala hal berjalan, kemudian berhenti

dan hilang. Allahlah semata yang tetap ada selamanya, yang tak pernah

hilang dan berubah.4

Orang yang akan berakhir dan hilang, tentunya tidak akan kekal

dan abadi. Orang itu seperti turis dalam sebuah perjalanan yang sudah

ditentukan rentang waktunya. Nantinya ia akan digantikan oleh

orang-orang setelahnya yang akan melihat apa yang ia tinggalkan daN apa yang

3 Ibid. 4

(39)

30

ia telah perbuat. Ia akan berpulang kepada Zat yang akan menghisabnya

atas apa yang telah ia katakan dan yang ia perbuat. Orang yang seperti ini

keadaannya, amat layak untuk memperbaiki sejarah hidupnya yang

sedikit, meninggalkan kenangan yang indah di belakangnya, dan saat ini

melakukan apa yang bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat nanti.5

Ini adalah beberapa refleksi yang hadir dalam hati, ketika di depan

matanya ditampilkan pemandangan kepergian dan kedatangan, terbit dan

tenggelam, kedudukan yang lenyap, kehidupan yang lenyap, dan

pewarisan yang selalu berlangsung dari satu generasi ke generasi yang

lain. 6

3) Surat ar-Ra’d ayat 11

Dalam tafsir Fi Zilalil Qur’an, Sayyid Qutb menjalaskan Allah

selalu mengikuti mereka dengan memerintahkan malaikat-malaikat

penjaga untuk mengawasi apa saja yang dilakukan manusia untuk

mengubah kondisi mereka, yang nantinya Allah akan mengubah kondisi

mereka itu. sebab, Allah tidak akan mengubah nikmat atau bencana,

kemuliaan atau kerendahan, kedudukan, atau kehinaan. Kecuali jika

orang-orang itu mau mengubah perasaan, perbuatan, dan kenyataan

hidup mereka. Maka, Allah akan mengubah keadaan diri mereka sesuai

dengan perubahan yang terjadi dalam diri dan perbuatan mereka sendiri.

Meskipun Allah mengetahui apa yang bakal terjadi atas diri mereka itu

5 Ibid. 6

(40)

31

adalah sebagai akibat dari apa yang timbul dari mereka. Sejalan dengan

perubahan yang terjadi pada diri mereka.7

Ini merupakan hakikat yang mengandung konsekuensi berat

yang dihadapi manusia. Maka, berlakulah kehendak dan sunnah Allah

bahwa sunnah-Nya pada manusia itu berlaku sesuai dengan sikap dan

perbuatan manusia itu sendiri, dan berlakunya sunnah-Nya pada mereka

itu didasarkan pada bagaimana perilaku mereka dalam menyikapi

sunnah ini. Nash mengenai masalah ini sangat jelas dan tidak

memerlukan takwil. Di samping konsekuensi ini, maka nash ini juga

sebagai dalil yang menunjukkan betapa Allah telah menghormati

makhluk yang berlaku padanya kehendak-Nya bahwa dia dengan

amalannya itu sebagai sasaran pelaksanaan kehendak-Nya.8

Sesudah menetapkan prinsip ini, maka susunan redaksional ayat

ini membicarakan bagaimana Allah mengubah keadaan kaum itu

kepada yang buruk. Karena mereka (sesuai dengan mafhum ayat

tersebut) mengubah keadaan diri mereka kepada yang lebih buruk,

maka Allah pun menghendaki keburukan bagi mereka.9

b. Quraisy Shihab

1) Surat al-Mujadalah ayat 11

Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan

meninggikan derajat seorang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa

7 Ibid. 8

Ibid. 9

(41)

32

mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang

sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggalkan itu, sebagai

isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan

besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari

faktor di luar ilmu itu.10

Tentu saja yang dimaksud dengan ( علا ا ت أ ني لا) alladzina utu

al-ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan

menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas

membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama

sekadar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan

beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini

menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandarkannya,

tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan,

atau tulisan maupun dengan keteladanan.11

Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama,

tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. Fathir (35): 27-28

Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi, dan fenomena alam,

lalu ayat tersebut di tutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan

kagum kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini

menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan ilmu

agama. Di sisi lain itu juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah

10

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 14, 19.

(42)

33

menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang

pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya

serta menanfaatkannya untuk kepentingn makhluk. Rasul saw, sering

kali berdoa: “Alla>humma inni a’u>dzu bika min „ilm(in) la yanfa‟ (Aku

berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).”12

2) Surat al-Fatir ayat 39

Kelompok ayat ini kembali berbicara tentang bukti-bukti

keesaan Allah swt. Di sisi lain, ayat ini mengukuhkan juga pernyataan

sebelumnya yang menyatakan: “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui

segala isi hati.” Ini karena siapa yang menciptakan sesuatu, pastilah dia

paling mengetahui tentang ciptaannya, dan semakin teliti serta indah

ciptaan itu, semakin besar pula bukti kemampuan dan kuasanya. Dari

sini untuk membuktikan kuasa Allah bahkan keesaan-Nya, serta

pengetahuan-Nya tentang ciptaan-Nya yang antara lain adalah manusia,

ayat di atas menegaskan bahwa: Dialah khalifah-khalifah yakni

pengganti-pengganti generasi yang lain di bumi. Itu adalah satu nikmat

sekaligus bukti keesaan dan kekuasaan-Nya yang harus kamu syukuri,

bukannya kamu hadapi dengan kekufuran. Karena itu barang siapa

yang kafir, maka atas dirinya sendiri jatuh akibat kekafirannya. Allah

sedikit pun tidak akan disentuh oleh kekufuran makhluk-Nya. Dan

tidaklah menambah bagi orang-orang kafir – yang mantap

kedurhakaanya - kekafiran mereka yakni kesinambungan mereka dalam

12

Ibid.

(43)

34

kekufuran – tidaklah menambah kesinambungan itu di sisi Tuhan

mereka kecuali kerugian belaka, baik di dunia maupun di akhirat.13

Kata (فئاخ) khala>‟if adalah bentuk jama dari kata ( في خ)

khali>fah. Kata ini terambil dari kata (ف خ) khalf yang berarti belakang.

Dari sini kata khali>fah sering kali diartikan yang mengantikan atau yang

datang di belakang (sesudah) siapa yang datang sebelumnya.14

Ketika menafsirkan QS. al-An’am (6) :165, penulis antara lain

mengemukakan bahwa bentuk jamak yang digunakan al-Qur’an untuk

kata khali>fah adalah khala‟if dan khu>lafa. Setelah memperhatikan

konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk jamak itu, penulis

berkesimpulan bahwa bila kata kh>ulafa digunakan al-Qur’an, maka itu

mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola

wilayah, sedang bila menggunakan bentuk jamak khla‟if, maka

kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam maknanya. Rujuklah ke sana

untuk memperoleh informasi tambahan!15

Dengan demikian, penulis tidak sependapat dengan Ibn „Anyur

yang menjadikan ayat ini sebagai berita gembira kepada Nabi

Muhammad saw, tentang akan berkuasanya umat Islam setelah sekian

banyak umat/ Negara sebelumnya yang hancur.16

Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap orang bertugas

membangun dunia ini dan memakmurkannya sesuai petunjuk Allah,

13Ibid. 14

Ibid. 15

Ibid. 16

(44)

35

apapun fungsi dan kedudukan orang itu, baik sebagai penguasa maupun

rakyat biasa. Allah telah menganugerahkan kepada setiap insan sejak

Adam as. Hingga kini, potensi untuk mengelola dan memakmurkan

bumi sesuai dengan kadar masing-masing. Dia menganugerahkan hal

tersebut untuk menguji manusia, atau dalam bahsa QS. Al-A’raf (7):

129 17

Meenjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan

melihat bagaimana kamu bekerja.”18

Tidak digunakannya bentuk tunggal oleh ayat ini dan dalam

makna yang tersebut di atas, mengesankan bahwa sukses melaksanakan

tugas kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat

terlaksana dengan baik, kecuali dengan bantuan dan kerjasama dengan

orang lain.19

Thaba>tha>ba>’I memahami kata khali>fah sebagai pengganti yang

menggantikan orang-orang sebelumnya. Yakni menggantikan dalam hal

kemampuan mengelola dan manarik manfaat dari bumi, sebagaimana

halnya generasi yang lain. Mereka memperoleh keistimewaan itu,

melalui pengembangbiakan dan kelahiran. Dengan demikian,

kekhalifahan itu berkaitan dengan pengaturan dan penciptaan Allah.

Atas dasar itu, maka ayat ini membutuhkan keesaan dan

17 Ibid. 18

Ibid. 19

(45)

36

Nya, karena Dialah satu-satunya Pencipta dan Dia pula Pengatur dan

Pengendali semua makhluk.20

3) Surat ar-Ra’d ayat 11

Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan Allah

menjadikan para mu‟aqibat itu melakukan apa yang ditugaskan

kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas

karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaaan

suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri

mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah

kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman

menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni‟mat

(nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan,

kebahagiaan menjadi kesengsaraan dan seterusnya. Ini adalah satu

ketetapan pasti yang kait mengaitkan. Demikian lebih kurang

Thaba>tha>ba>’i.21



22

Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum,” secara

panjang lebar pennulis uraikan dalam buku Secercah Cahaya Ilahi. Di

sana antara lain penulis kemukakan bahwa paling tidak ada dua ayat

20 Ibid. 21

Ibid. 22

(46)

37

dalam al-Qur’an yang sering diungkap dalam konteks perubahan sosial,

yaitu firman-Nya









23

“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali

tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya

kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada

diri mereka” dan ayat yang kedua adalah ayat yang sedang ditafsirkan

ini.

Kedua ayat di atas berbicara tentang perubahan, tetapi ayat

pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedangkan ayat kedua

yang menggunakan kata (ا ) ma>/ apa berbicara tentang perubahan apa

pun, yakni baik dari ni‟mat atau sesuatu yang positif menuju ke ni‟mat/

murka Ilahi atau sesuatu yang negatif, maupun sebaliknya dari negatif

ke positif.24

Ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi menyangkut kedua

ayat di atas.

Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial,

bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata ( ق)

qaum/ masyarakat pada kedua ayat tersebut. Selanjutnya dari sana

23

Al-Qur’an, 8: 53. 24

(47)

38

dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan moral tidak dapat dilakukan

oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari

seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan

ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Di sini ia

bermula dari pribadi dan barakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap

perorangan itu “menular” kepada masyarakat luas, lalu sedikit demi

sedikit “mewabah” kepada masyarakat luas.25

Kedua, penggunaan kata “qaum”, juga menunjukkan bahwa

hukum ke-masyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslim atau

satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di

mana pun mereka berada. Selanjutnya karena ayat karena ayat tersebut

berbicara tentang kaum, maka ini berarti sunnatullah yang dibicarakan

ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi.

Pertanggungjawaban peribadi baru akan terjadi di akhirat kelak,26

berdasarkna firman-Nya:







27

Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat

dengan sendiri-sendiri.

Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua perilaku

perubahan. Pelaku yang pertama adalah Allah swt, yang mengubah

25 Ibid. 26

Ibid. 27

(48)

39

nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat atau apa saja

yang dialami oleh suatu masyarakat, atau katakanlah sisi luar/ lahiriah

masyarakat. Sedang perilaku kedua adalah manusia, dalam hal ini

masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau

dalam istilah kedua ayat di atas ( سفنأب ا ) ma> bi „anfusihim/ apa yang

terdapat dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur

tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan ( قب ا ) ma>

bi qawmin menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan,

kesehatan dan penyakit, kemuliaan atau kehinaan, persatuan atau

perpecahan dan lain-lain yang berkaitan denan masyarakat secara

umum, bukan secara individu. Sehingga bisa saja ada di antara

anggotanya yang kaya, tetapi jika mayoritasnya miskin, maka

masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya.28

Keempat, kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan

yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang

dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa

perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh

saja terjadi perubahan penguasaan atau bahkan sistem, tetapi jika sisi

dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan

sebagaimana sediakala. Jika demikian, sekali lagi perlu ditegaskan

bahwa dalam pandangan al-Qur’an yang paling pokok guna

keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia,

(49)

40

karena sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif

maupun negatif, dan bentuk, sifat serta corak

Referensi

Dokumen terkait

GUSNAR HASIBUAN selaku KPA pada kegiatan pengadaan 2 (dua) unit truk sampah dan 1 (satu) unit mobil bus Pemda pada Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan

Pada saat truk keluar menuju gate RFID reader akan kembali membaca ID truk, dan system akan mem-validasi apabila truk tersebut belum mengembalikan pallet atau membawa pallet

Maka dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VII SMP N 3 Teras Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali tahun pelajaran 20112012 rata-rata memiliki tingkat kesegaran jasmani

Algortima pencarian brute-force atau pencarian naif/uninformed menggunakan metode yang sederhana dan sangat intuitif pada ruang pencarian, sedangkan algoritma pencarian

BDMS berasal dari limpasan air hujan yang bercampur dengan tanah overburden (penutup) sehingga menjadi lumpur yang bersifat koloid dan susah mengendap.. Sludge atau

Namun demikian, jumlah tercatat bagi penurunan nilai adalah kerugian kumulatif yang diukur sebagai selisih antara biaya perolehan diamortisasi dan nilai wajar

Dari hasil eksperimen tersebut menunjukan bahwa semua beban kritis (Pcr ) berada dibawah beban kritis maksimum (Pcrmaks) (281, 629 kN) dan apabila dibandingkan dengan kolom

Pada Portal Pustaka Ristek terdapat sepuluh database ilmiah internasional, yaitu: ScinceDirect, Ebsco, Cengange Learning, IHS The Source, IGI Global, Ebrary,