• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Modernisasi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan jaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidupyang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Namun sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidanapun tidak dapat disangkal. Sebagaimana dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru dibidang ekonomi dan sosial

Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari sebagaimana yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang ataupun negara-negara yang maju dimana setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru di bidang ekonomi dan sosial. Hal ini dikarenakan kemajuan dari ekonomi ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali tidak sejalan dengan semangat kemanusiaan yang berakibat timbulnya faktor-faktor negatif yang merupakan perwujudan dari tindak pidana yang dapat menimbulkan gangguan ketentraman, keamanan dan terkadang mendatangkan kerugian materiil ataupun immaterial yang cukup besar baik terhadap masyarakat ataupun terhadap negara. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa tindak kejahatan akan semakin berkembang seiring dengan tingkat perkembangan dari peradaban manusia itu sendiri.

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana , khususnya penanggulangan tindak kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya unuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan unuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah atau alternative penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari “kebijakan kriminal”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).1

Dari berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan penggelapan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana penggelapan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan penggelapan yang semakin kompleks.

1

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal 2.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Tindak pidana penggelapan merupakan suatu suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah moral ataupun mental dan suatu kepercayaan atas kejujuran seseorang. Oleh karena itu tindak pidana ini bermula dari adanya suatu kepercayaan pihak yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana penggelapan tersebut. Tindak pidana penggelapan adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP). Tindak pidana pengelapan itu sendiri diatur di dalam buku kedua tentang kejahatan di dalam Pasal 372 – Pasal 377 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Seiring dengan perkembangan ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka hal ini menyebabkan peningkatan terhadap pembangunan nasional di segala bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat pula di dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu kegiatan usaha pihak swasta yang berkembang adalah perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di dalam bidang penjualan alat-alat transportasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat akan transportasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas dari kegiatan masyarakat seiring dengan kemajuan ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut pada umumnya melakukan penjualan baik yang dilakukan secara kredit ataupun kontan. Akan tetapi masyarakat pada umumnya lebih banyak melakukan pembayaran secara kredit, karena hanya dengan membayar uang muka sesuai

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

dengan kesepakatan maka masyarakat sudah dapat memiliki alat transportasi dengan membayar secara angsuran sisa dari pembayaran yang besarnya sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan dalam perjanjian dan selama waktu tertentu.

Akan tetapi sistem yang digunakan untuk memudahkan masyarakat untuk dapat memiliki alat transportasi secara kredit terkadang sering disalahgunakan oleh beberapa pihak tertentu untuk melakukan tindak pidana kejahatan berupa penggelapan yang dilakukan terhadap sisa angsuran pembayaran alat transportasi. Tindak penggelapan dapat dilakukan oleh pihak yang berada di dalam ataupun di luar lingkungan perusahan, namun pada umumnya dilakukan oleh pihak yang berada di dalam lingkungan perusahaan, karena biasanya pihak tersebut memahami mengenai pengendalian internal yang berada di dalam perusahan tempat ia bekerja sehingga bukanlah hal yang sulit untuk melakukan tindak penggelapan. Setiap perusahaan atau institusi apapun juga rentan akan terjadinya penggelapan, terlebih-lebih perusahaan. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang ditanggung oleh perusahaan ketika laba perusahaan lebih banyak menguap ditengah jalan. Hal inilah yang akhir-akhir ini dikhwatirkan oleh manajemen perusahaan-perusahan swasta atas timbulnya kecurangan di lingkungan perusahannya.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan di atas menjadi sebuah judul “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/ PN-Mdn).”

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang penulisan judul skripsi seperti yang diutarakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan juridis tindak pidana penggelapan dalam jabatan? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

penggelapan dalam jabatan dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn ?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam membahas dan menggunakan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong timbulnya tindak pidana penggelapan dalam jabatan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini merupakan suatu sumbangsih yang ditujukan kepada para pembaca untuk semakin memahami pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan tentang penggelapan dengan menggunakan jabatan pada khususnya.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana penggelapan dengan menggunakan jabatan.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN (Studi Putusan : No.3892/Pid.B/2008/PN-Mdn) penulis bertolak dari kejahatan yang dilakukan terhadap harta kekayaan khususnya kejahatan penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 – 377 KUHP.

Berpedoman pada hal diatas penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, maupun pemikiran secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di perpustakaan USU. Penulisan yang sama belum pernah dilakukan terhadap judul skripsi di atas, dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pemidanaan.

Ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa belanda, yaitu strafbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna sama. Delict diterjemahkan dengan delik saja, sedangkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat diantara para sarjana Indonesia mengenai alih bahasa. Ada yang menggunakan terjemahan : perbuatan pidana ( Moeljatno, dan Roeslan Saleh), peristiwa pidana (konstitusi RIS, UUDS 1950 Tresna serta Utrechet), tindak pidana ( Wirjono Prodjodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z Abidin dan Andi Hamzah). Namun dari berbagai salinan ke bahasa Indonesia tersebut yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut ialah strafbaar feit.2

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa belanda berarti “ sebahagian dari suatu kenyataan” sedang strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum

2

Martiman Prodjo Hamidjojo, Memahami Dasar – Dasar Hukum Pidana, P.T Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, Hal 15.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan.3

a. Menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Beberapa pakar hukum pidana memberikan definisi mengenai straafbaar feit antara lain : Menurut pompe pengertian strafbaar feit dibedakan :

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E. Jonkers yang telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian strafbaar feit adalah suau kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.4

3

P.A.F Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hal 181.

4

Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hal 91.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Simons mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Vos berpendapat bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang.5

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit mempunyai dua arti yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Pompe yang menyebutkan definisi menurut hukum positif dan menurut teori, sedangkan bagi Jonkers menyebutkan sebagai definisi pendek dan definisi panjang. Bagi Vos lebih menjurus kepada pengertian strafbaar feit dalam arti menurut hukum positif atau definisi pendek, hal ini akan berbeda dengan Simons yang memberikan pengertian strafbaar feit dalam arti menurut teori atau definisi yang panjang.6

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahan tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh

5

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, Hal 15-16.

6

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ‘dapat dicela’ maka di sini pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.7

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana, dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana dan pemidanaan itu.8

Peletak dasar retributivism adalah Kant. Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya, paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya dijelaskan dengan teori pembalasan atau retributive.

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Sekalipun kedua pandangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangkan dalam tradisi masing-masing, tetapi baik Negara-negara yang menganut common law system maupun civil law system, menjadikan kedua pandangan ini sebagai pangkal tolak penentuan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan.

9

7

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 125. 8

Ibid, Hal 127.

9

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 128.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana, hal ini berarti setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana terhadap pelanggar. Oleh karena itu maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.10

Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini terutama menentukan bahwa, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu, dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat (teori manfaat atau teori tujuan). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan.

11

Pada pokoknya menurut teori pembalasan tujuan pengenaan pidana adalah membalas atas tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat, sedangkan menurut Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan dilakukannya tindak pidana. Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat, maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin melakukan tindak pidana tersebut.

10

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, Hal 31.

11

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

teori manfaat, tujuan tersebut terutama adalah mencegah pembuat mengulangi dan masyarakat melakukan tindak pidana tersebut. Kedua tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan tersebut oleh para ahli hukum pidana kerap kali ditempatkan secara berhadap-hadapan. Hal ini menyebabkan seolah-olah keduanya saling bertentangan

Dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit. Namun demikian, Rancangan KUHP sebaliknya. Dalam hal ini, tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan, baik bersifat pembalasan maupun pencegahan, dirumuskan secara lebih gamblang. Mengenai tujuan pencegahan dirumuskan secara eksplisit. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 51 Ayat (1) huruf a dan b. Pemidanaan bertujuan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Sementara itu, tujuan pembalasan dirumuskan lebih secara implisit.”Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat’, adalah tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan yang dapat dilakukan dengan menjatuhkan (membalas) pidana terhadap pembuat suatu tindak pidana.12

Kemudian timbul golongan selanjutnya yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan merupakan gabungan dari teori pembalasan dan teori tujuan. Penganut dari teori ini antara lain adalah Binding. Dikatakan bahwa teori Teori ini sering disebut dengan teori tujuan.

12

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

pembalasan dan tujuan masing-masing menpunyai kelemahan-kelemahan yang dikemukakan sebagai berikut :

Terhadap teori pembalasan :

a. Sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran pembalasan tidak jelas.

b. Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan. c. Hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. Terhadap teori tujuan :

a. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah, sehingga dijatuhkan pidana yang berat baaik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus. b. Jika ternyata kejahatan itu ringan maka penjatuhan pidana yang berat tidak

akan memenuhi rasa keadilan.

c. Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan, tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.13

Maka oleh karena itu, tidak hanya mempertimbangkan masa lalu, tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan.

13

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, Hal 62.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pasal 36 RUU KUHP tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Dengan diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, maka lahirlah pertanggungjawaban pidana.14

Moeljatno mengatakan ,”orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah ..melakukannya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang

14

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Liberty, Yokyakarta, 1987, Hal 75.

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

dapat dimintai pertanggungjawaban.15

Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yakni sedemikian rupa sehingga orang itu dapat cela melakukan perbuatan tersebut.

Artinya bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.

Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.Dasar adanya tindak pidana adalah azas legalitas yang dalam peraturan perundang-undangan ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”.

Sedangkan dasar dari dipidananya pembuat adalah azas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, yang dirumuskan pula dalam Pasal 28 peraturan perundang-undangan ini.

16

15

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 19.

16

Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal 76-77.

Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada

Dokumen terkait