• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN

MENGGUNAKAN JABATAN

(Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn)

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM SUMATERA UTARA UNTUK MELENGKAPI TUGAS – TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT – SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM

RIO FERNANDO MANIK

050200239

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009

(2)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN (studi putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn)

ABSTRAKSI

* Rio Fernando Manik ** Nurmalawati. SH, M.Hum *** Rafiqoh Lubis. SH, M.Hum

Penggelapan (verduistering) diatur dalam bab XXIV (buku II) KUHP Pasal 372-377. Pengertian yuridis mengenai penggelapan itu sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUHP. Pengertian dari penggelapan itu sendiri tidak dirumuskan secara khusus dalam KUHP. Penggelapan bukan berarti membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, namun memiliki pengertian yang lebih luas. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai begaimanakah ketentuan yuridis tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn.

Dalam penelitian skripsi ini metode yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu suatu metode yang berdasarkan atas studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan materi yang diperlukan.

Ada beberapa bentuk tindak pidana penggelapan, baik dalam penggelapan dalam bentuk pokok yang diatur dalam Pasal 372 KUHP yang merupakan ketentuan yuridis dari tindak pidana penggelapan itu sendiri, penggelapan ringan yang diatur dalam Pasal 373 KUHP, penggelapan dalam bentuk pemberatan dimana ada ketentuan khusus yang menyebabkan tindak pidananya dijadikan alasan pemberatan yang diatur dalam Pasal 374 dan 375 KUHP dan tindak pidana penggelapan dalam keluarga yang diatur dalam Pasal 376 KUHP. Tindak pidana penggelapan dalam jabatan itu sendiri terdiri dari unsur-unsur objektif berupa perbuatan memiliki, objek kejahatan sebuah benda, sebagian atau seluruhnya milik orang lain dan dimana benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dan unsur-unsur subjektif berupa kesengajaan dan melawan hukum. Selain itu ada beberapa unsur khusus yang digunakan terhadap tindak pidana penggelapan dalam jabatan yaitu karena adanya hubungan kerja, jabatan, dan mendapat upah khusus. Dari penelitian yang dilakukan penulis berdasarkan putusan yang dijatuhkan hakim dalam penanganan kasus penggelapan dalam jabatan dalam putusan No.3892/Pid.B/2008/PN-Mdn maka penulis menyimpulkan bahwa penjatuhan sanksi pidana yang dilakukan hakim terhadap terdakwa atas tuntutan penuntut umum terhadap Pasal 374 KUHP yaitu penggelapan dengan pemberatan adalah tepat karena unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan yuridis mengenai penggelapan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 372 KUHP sudah terpenuhi, baik unsur objektif maupun subjekifnya. Selain itu ketentuan khusus yang memberatkan dalam hal ini terdakwa menggunakan jabatan yang dimilikinya untuk melakukan penggelapan juga sudah terpenuhi.

(3)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi karunia berupa kesehatan dan kemampuan untuk berpikir kepada penulis sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul : “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN ( studi putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn )”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH. MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH. M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

5. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawati, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat banyak dan penuh kesabaran untuk membimbing dan mengarahkan penulis di dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah sangat banyak dan penuh kesabaran untuk membimbing dan mengarahkan penulis di dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak/Ibu para Dosen dan seluruh staf adminisrtrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana penulis menimba ilmu selama ini.

9. Terima kasih ananda ucapkan kepada papa dan mama terkasih yang merupakan panutan dalam hidup saya. Puji dan syukur sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menitipkan saya kepada orangtua yang sangat mencintai anak-anaknya. Motivasi, didikan dan bantuan baik berupa materi dan doa yang dipanjatkan Puji Tuhan tidak pernah berkekurangan saya terima dari papa dan mama. Papa yang keras dalam mendidik saya namun terarah dan penuh kasih, mama yang tak pernah mengeluh dalam menghadapi saya. Tuhan memberkati papa dan mama, amin.

10. Terima kasih juga saya ucapkan untuk kakanda Esa Lona Ani Lena Manik, SE atas bimbingan dan semangat yang diberikan, serta kedua adinda Lucky Anggina Manik dan Dara Mayang Manik buat doa dan semangatnya. Abang

(5)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

doakan biar kalian segera menyelesaikan pendidikan kalian juga yah. Tuhan memberkati, amin.

11. Terima kasih juga untuk keluarga besar Ginting Manik dan Silaen atas doa dan motivasinya, kasih Tuhan selalu beserta kita, amin.

12. Terima kasih juga saya ucapkan buat sahabat serta teman-teman dalam menjalani hidup ini, Bayu, Vici, Nasan, Qodri, Randi, Ipho, Inal. SH, Yunus. SH, Yoseph. SH, Nisa. SH, Fika. SE, Rene. SE, Hani. SE, Lidya. SE, Ester. S.Sos, Dewi. SH, Deus. SH, Fanie. S.Sos, Budi. S.Sos, Bang Cris, Abeth. S.Sos, Nelda. S.Sos, Helena. SH, Elfrida. SH, Andina. SH, Lisma. SH, Prisnok. SH, teman-teman semasa sekolah, teman-teman Cadaver FC dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Buat teman-teman yang sudah terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya saya doakan semoga sukses dalam dunia kerja, buat teman-teman yang masih menjadi mahasiswa saya doakan semoga segera menyusul teman-teman yang lebih dahulu menyelesaikan pendidikannya. Tuhan memberkati kita semua, amin.

13. Terima kasih juga saya ucapkan untuk abang dan kakak senior dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas arahan, motivasi dan pengalaman yang dibagi.

14. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman segerakan dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, terima kasih untuk doa dan semangatnya.

(6)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

15. Dalam kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih secara khusus buat seorang teman dan sahabat yang terkasih, Sarah Ursula Vivany Simanjuntak. S.Sos atas doa dan dukungan serta bantuan yang tidak pernah berhenti mengalir kepada saya selama pengerjaan skripsi ini. Terima kasih ya la sudah mau menemani, menjaga, membantu saya. Semoga usaha yang sampai saat ini kita jalani dapat berakhir dengan indah, amin.

Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Desember 2009 Penulis

(7)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010. DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... v BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1.Pengertian Tindak Pidana dan Pemidanaan ... 7

2. Pertanggungjawaban Pidana ... 13

3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan ... 19

(8)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : KETENTUAN JURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN ... 23

A. Faktor - faktor Penyebab Timbulnya Tindak Pidana Penggelapan .... 23

B. Bentuk – bentuk Tindak Pidana Penggelapan ... 30

C. Unsur - unsur Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan ... 35

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN DALAM PUTUSAN PN NOMOR : 3892/Pid.B/2008/PN-MEDAN ... 45 A. Kasus ... 45 1. Kronologis ... 45 2. Dakwaan ... 47 3. Fakta Hukum ... 48 4. Tuntutan ... 65 5. Pertimbangan Hakim ... 66 6. Putusan ... 69

(9)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

B. Analisis Kasus ... 70

1. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan ... 70

2. Pemidanaan Hakim Dalam Kaitannya Dengan Penanggulangan Kejahatan... 76

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA

(10)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Modernisasi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan jaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidupyang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Namun sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidanapun tidak dapat disangkal. Sebagaimana dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru dibidang ekonomi dan sosial

Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan

(11)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari sebagaimana yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang ataupun negara-negara yang maju dimana setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru di bidang ekonomi dan sosial. Hal ini dikarenakan kemajuan dari ekonomi ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali tidak sejalan dengan semangat kemanusiaan yang berakibat timbulnya faktor-faktor negatif yang merupakan perwujudan dari tindak pidana yang dapat menimbulkan gangguan ketentraman, keamanan dan terkadang mendatangkan kerugian materiil ataupun immaterial yang cukup besar baik terhadap masyarakat ataupun terhadap negara. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa tindak kejahatan akan semakin berkembang seiring dengan tingkat perkembangan dari peradaban manusia itu sendiri.

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena

(12)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana , khususnya penanggulangan tindak kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya unuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan unuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah atau alternative penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari “kebijakan kriminal”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).1

Dari berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan penggelapan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana penggelapan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan penggelapan yang semakin kompleks.

1

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal 2.

(13)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Tindak pidana penggelapan merupakan suatu suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah moral ataupun mental dan suatu kepercayaan atas kejujuran seseorang. Oleh karena itu tindak pidana ini bermula dari adanya suatu kepercayaan pihak yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana penggelapan tersebut. Tindak pidana penggelapan adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP). Tindak pidana pengelapan itu sendiri diatur di dalam buku kedua tentang kejahatan di dalam Pasal 372 – Pasal 377 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Seiring dengan perkembangan ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka hal ini menyebabkan peningkatan terhadap pembangunan nasional di segala bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat pula di dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu kegiatan usaha pihak swasta yang berkembang adalah perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di dalam bidang penjualan alat-alat transportasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat akan transportasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas dari kegiatan masyarakat seiring dengan kemajuan ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut pada umumnya melakukan penjualan baik yang dilakukan secara kredit ataupun kontan. Akan tetapi masyarakat pada umumnya lebih banyak melakukan pembayaran secara kredit, karena hanya dengan membayar uang muka sesuai

(14)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

dengan kesepakatan maka masyarakat sudah dapat memiliki alat transportasi dengan membayar secara angsuran sisa dari pembayaran yang besarnya sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan dalam perjanjian dan selama waktu tertentu.

Akan tetapi sistem yang digunakan untuk memudahkan masyarakat untuk dapat memiliki alat transportasi secara kredit terkadang sering disalahgunakan oleh beberapa pihak tertentu untuk melakukan tindak pidana kejahatan berupa penggelapan yang dilakukan terhadap sisa angsuran pembayaran alat transportasi. Tindak penggelapan dapat dilakukan oleh pihak yang berada di dalam ataupun di luar lingkungan perusahan, namun pada umumnya dilakukan oleh pihak yang berada di dalam lingkungan perusahaan, karena biasanya pihak tersebut memahami mengenai pengendalian internal yang berada di dalam perusahan tempat ia bekerja sehingga bukanlah hal yang sulit untuk melakukan tindak penggelapan. Setiap perusahaan atau institusi apapun juga rentan akan terjadinya penggelapan, terlebih-lebih perusahaan. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang ditanggung oleh perusahaan ketika laba perusahaan lebih banyak menguap ditengah jalan. Hal inilah yang akhir-akhir ini dikhwatirkan oleh manajemen perusahaan-perusahan swasta atas timbulnya kecurangan di lingkungan perusahannya.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan di atas menjadi sebuah judul “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/ PN-Mdn).”

(15)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang penulisan judul skripsi seperti yang diutarakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan juridis tindak pidana penggelapan dalam jabatan? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

penggelapan dalam jabatan dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn ?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam membahas dan menggunakan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong timbulnya tindak pidana penggelapan dalam jabatan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn.

(16)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini merupakan suatu sumbangsih yang ditujukan kepada para pembaca untuk semakin memahami pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan tentang penggelapan dengan menggunakan jabatan pada khususnya.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana penggelapan dengan menggunakan jabatan.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN MENGGUNAKAN JABATAN (Studi Putusan : No.3892/Pid.B/2008/PN-Mdn) penulis bertolak dari kejahatan yang dilakukan terhadap harta kekayaan khususnya kejahatan penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 – 377 KUHP.

Berpedoman pada hal diatas penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, maupun pemikiran secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di perpustakaan USU. Penulisan yang sama belum pernah dilakukan terhadap judul skripsi di atas, dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

(17)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pemidanaan.

Ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa belanda, yaitu strafbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna sama. Delict diterjemahkan dengan delik saja, sedangkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat diantara para sarjana Indonesia mengenai alih bahasa. Ada yang menggunakan terjemahan : perbuatan pidana ( Moeljatno, dan Roeslan Saleh), peristiwa pidana (konstitusi RIS, UUDS 1950 Tresna serta Utrechet), tindak pidana ( Wirjono Prodjodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z Abidin dan Andi Hamzah). Namun dari berbagai salinan ke bahasa Indonesia tersebut yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut ialah strafbaar feit.2

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa belanda berarti “ sebahagian dari suatu kenyataan” sedang strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum

2

Martiman Prodjo Hamidjojo, Memahami Dasar – Dasar Hukum Pidana, P.T Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, Hal 15.

(18)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan.3

a. Menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Beberapa pakar hukum pidana memberikan definisi mengenai straafbaar feit antara lain : Menurut pompe pengertian strafbaar feit dibedakan :

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E. Jonkers yang telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian strafbaar feit adalah suau kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.4

3

P.A.F Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hal 181.

4

Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hal 91.

(19)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Simons mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Vos berpendapat bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang.5

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit mempunyai dua arti yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Pompe yang menyebutkan definisi menurut hukum positif dan menurut teori, sedangkan bagi Jonkers menyebutkan sebagai definisi pendek dan definisi panjang. Bagi Vos lebih menjurus kepada pengertian strafbaar feit dalam arti menurut hukum positif atau definisi pendek, hal ini akan berbeda dengan Simons yang memberikan pengertian strafbaar feit dalam arti menurut teori atau definisi yang panjang.6

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahan tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh

5

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, Hal 15-16.

6

(20)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ‘dapat dicela’ maka di sini pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.7

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana, dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana dan pemidanaan itu.8

Peletak dasar retributivism adalah Kant. Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya, paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya dijelaskan dengan teori pembalasan atau retributive.

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Sekalipun kedua pandangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangkan dalam tradisi masing-masing, tetapi baik Negara-negara yang menganut common law system maupun civil law system, menjadikan kedua pandangan ini sebagai pangkal tolak penentuan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan.

9

7

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 125. 8

Ibid, Hal 127.

9

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 128.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu

(21)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana, hal ini berarti setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana terhadap pelanggar. Oleh karena itu maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.10

Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini terutama menentukan bahwa, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu, dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat (teori manfaat atau teori tujuan). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan.

11

Pada pokoknya menurut teori pembalasan tujuan pengenaan pidana adalah membalas atas tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat, sedangkan menurut Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan dilakukannya tindak pidana. Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat, maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin melakukan tindak pidana tersebut.

10

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, Hal 31.

11

(22)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

teori manfaat, tujuan tersebut terutama adalah mencegah pembuat mengulangi dan masyarakat melakukan tindak pidana tersebut. Kedua tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan tersebut oleh para ahli hukum pidana kerap kali ditempatkan secara berhadap-hadapan. Hal ini menyebabkan seolah-olah keduanya saling bertentangan

Dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit. Namun demikian, Rancangan KUHP sebaliknya. Dalam hal ini, tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan, baik bersifat pembalasan maupun pencegahan, dirumuskan secara lebih gamblang. Mengenai tujuan pencegahan dirumuskan secara eksplisit. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 51 Ayat (1) huruf a dan b. Pemidanaan bertujuan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Sementara itu, tujuan pembalasan dirumuskan lebih secara implisit.”Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat’, adalah tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan yang dapat dilakukan dengan menjatuhkan (membalas) pidana terhadap pembuat suatu tindak pidana.12

Kemudian timbul golongan selanjutnya yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan merupakan gabungan dari teori pembalasan dan teori tujuan. Penganut dari teori ini antara lain adalah Binding. Dikatakan bahwa teori Teori ini sering disebut dengan teori tujuan.

12

(23)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

pembalasan dan tujuan masing-masing menpunyai kelemahan-kelemahan yang dikemukakan sebagai berikut :

Terhadap teori pembalasan :

a. Sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran pembalasan tidak jelas.

b. Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan. c. Hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. Terhadap teori tujuan :

a. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah, sehingga dijatuhkan pidana yang berat baaik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus. b. Jika ternyata kejahatan itu ringan maka penjatuhan pidana yang berat tidak

akan memenuhi rasa keadilan.

c. Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan, tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.13

Maka oleh karena itu, tidak hanya mempertimbangkan masa lalu, tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan.

13

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, Hal 62.

(24)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pasal 36 RUU KUHP tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Dengan diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, maka lahirlah pertanggungjawaban pidana.14

Moeljatno mengatakan ,”orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah ..melakukannya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang

14

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Liberty, Yokyakarta, 1987, Hal 75.

(25)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

dapat dimintai pertanggungjawaban.15

Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yakni sedemikian rupa sehingga orang itu dapat cela melakukan perbuatan tersebut.

Artinya bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.

Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.Dasar adanya tindak pidana adalah azas legalitas yang dalam peraturan perundang-undangan ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”.

Sedangkan dasar dari dipidananya pembuat adalah azas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, yang dirumuskan pula dalam Pasal 28 peraturan perundang-undangan ini.

16

15

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 19.

16

Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal 76-77.

Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat keadaan batin yang normal. Keadaan batin yang normal sebagai syarat kesalahan, bukan terletak pada kenormalan “fungsi”. Jadi

(26)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

bukan terletak pada kehendaknya. Akan tetapi kenormalan ‘keadaan’ batin itu sendiri, sehingga lebih merupakan keadaan akalnya. Fungsi batin akan dengan sendirinya normal jika keadaan akalnya adalah normal. Fungsi batin dapat saja tidak normal jika ada unsur eksternal yang menekannya. Dengan demikian, keadaan batinnya normal, tetapi tidak dapat berfungsi secara normal. Moeljatno mengatakan, “hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik oleh masyarakat”.17

17

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 88.

Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat azas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan‘, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggung jawab, merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan.

(27)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Mampu bertanggung jawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggung jawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.

Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab selalu dianggap dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan.18 Jadi untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan bathin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan bathin dengan perbuatan) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan. Di luar dua bentuk ini, KUHP kita (dan kira-kira juga lain-lain Negara) tidak mengenal macam kesalahan lain.19

Untuk membuktikan kesengajaan dapat ditempuh dua jalan, yaitu dengan membuktikan adanya hubungan sebab akibat dalam pikiran terdakwa antara motif dan tujuannya, atau membuktikannya adanya penginsyafan atau membuktikan adanya pengertian terhadap apa yang dilakukan serta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Dalam keadaan-keadaan-keadaan-keadaan tertentu, pembuat tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Dalam kejadian tersebut, tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk tetap

18

Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal 79.

19

(28)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

pada jalur yang telah ditetapkan hukum. Dengan kata lainnya, terjadinya tindak pidana adakalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.

Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat alasan-alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain, selain melakukan perbuatan tersebut.20

20

Chairul Huda, Op. Cit, Hal 118-119.

Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama. Alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada “tekanan” dari luar yang ditujukan kepada kehendak bebas pelaku, sehingga ‘memaksanya’ melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku inilah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal. Kondisi tersebut menekan bathin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan terhadapnya. Namun demikian, hampir sulit menentukan apakah alasan penghapus kesalahan juga berlaku terhadap pembuat yang melakukan tindak pidana karena kealpaan.

(29)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun fungsi represif hukum pidana. Dapat dicelanya pembuat mempunyai pengertian baik dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana maupun dapat dijatuhi pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana.21

a. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan pembuat.

Di atas telah dikatakan, bahwa pemisahan antara keadaan bathin dengan hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatannya, sesungguhnya tidak mungkin. Kiranya sekarang menjadi lebih jelas kebenaran ucapan tersebut, sebab kesengajaan tak dapat dipikirkan kalau tidak ada kemampuan bertanggung jawab. Begitu pula kesengajaan dan kealpaan. Juga adanya alasan pemaaf tidak mungkin, kalau orang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak mempunyai salah satu bentuk kesalahan. Selanjutnya disamping itu jangan dilupakan pula, bahwa semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan. Dengan demikian ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terhadap konsepsi pertanggungjawaban pidana, yaitu :

b. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. c. Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab.

21

(30)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

d. Tidak ada alasan pemaaf.22

3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering),yang terdiri dari 6 Pasal (Pasal 372 s/d Pasal 377). Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam Pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,00”

Rumusan itu disebut atau diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.

Sebagai contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati

22

(31)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.23

1. Jenis Penelitian

Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan dengan pencurian yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada ditangan pencuri dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu memilikinya barang itu sudah ada ditangan sipembuat tidak dengan jalan kejahatan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis dimana penelitian dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan lainnya.

2. Data dan Sumber Data

Di dalam penyusunan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari :

23

(32)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 372-377 mengenai penggelapan dan peraturan perundang-undangan lain yang mengikat.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat sarjana, dan kasus yang berhubungan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan ( Library Research ). Penelitian kepustakaan merupakan suatu metode yang berdasarkan atas studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan materi yang diperlukan. Data yang diperoleh diambil melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, internet, pendapat sarjana maupun literatur lain.

(33)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Dalam penulisan ini analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif, yaitu apa yang diperoleh dari penelitian lapangan secara tertulis dan lisan dipelajari secara utuh dan menyeluruh.

G. Sistematika Penulisan

- BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang masalah yang diangkat, perumusan masalah yang dibahas, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

- BAB II KETENTUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN

Dalam bab II ini penulis menguraikan mengenai faktor penyebab timbulnya tindak pidana penggelapan dalam jabatan, bentuk tindak pidana penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan.

- BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PUTUSAN PN No : 3892/ Pid. B/ 2008/ PN-Mdn.

Dalam bab III ini akan diuraikan mengenai kronologis, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim, putusan serta pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penggelapan dan pemidanaan hakim dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan.

(34)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

- BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang diidentifikasikan.

(35)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

KETENTUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN

A. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Tindak Pidana Penggelapan

Kejahatan penggelapan dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung. Seperti yang diketahui, bahwa penggelapan adalah termasuk di dalam bagian kejahatan yang diatur di dalam KUHP (buku dua) Pasal 372-377. Penggelapan termasuk di dalam jenis kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat menjadi fenomena yang terus menjadi sorotan.

Berbicara tentang timbulnya penggelapan, maka tidak terlepas dari sebab-sebab timbulnya kejahatan itu sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa penggelapan seperti yang diuraikan sebelumnya adalah merupakan bagian dari kejahatan yang diatur di dalam KUHP. Oleh karena itu faktor penyebab timbulnya tindak pidana penggelapan tidak dapat dilepaskan dari teori-teori dalam kriminologi tentang timbulnya kejahatan atau sebab-sebab yang mendorong seseorang melakukan kejahatan pada umumnya, yaitu :

1. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi

Antropologi berarti ilmu tentang manusia dan merupakan istilah yang sangat tua. Dahulu istilah ini dipergunakan dalam arti lain, yaitu ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia. Dalam pandangan kriminologi yang mempelajari sebab-sebab

(36)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

terjadinya kejahatan dengan cara mempelajari bentuk tubuhseseorang. Mazhab Antropologi ini berkembang sekitar tahun 1830-1870 yang dipelopori oleh Gall dan Spurzheim. Menurut Yoseph Gall bahwa bakat dan watak manusia ditentukan oleh otak dan sebaliknya otak memberi pengaruh pula pada bentuk tengkorak. Oleh karena itu, tengkorak dapat diperhatikan dan diukur, maka pembawaan, watak dan bakat manusia dapat dipelajari secara ilmiah24

Lambroso menyatakan bahwa sebab atau faktor lain yang menyatakan bahwa sebab atau faktor yang mendorong seseorang melakukan kejahatan adalah melekat pada pribadi seseorang itu sendiri seperti keturunan, merosotnya sifat atau menderita penyakit (cacat) dengan kata lain faktor yang mendorong seseorang melakukan kejahatan adalah bersifat intern, datang dari pribadi masing-masing baik karena keturunan maupun ciri-ciri badaniah tertentu

.

25

a. Antropologi penjahat : pengertian pada umumnya dipandang dari segi antropologi merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home delinguenes), seperti halnya negro, mereka dilahirkan demikian. Mereka tidak merupakan predis posisi untuk kejahatan tetapi suatu prodistinasi dan tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merubahnya, sifat batin sejak lahir dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat dikenal.

24

H.M. Ridwan & Ediwarman. S, Azas-Azas Kriminologi, USU Press, Medan, 1994, Hal 65.

25

Romli Kartasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Surabaya, 1992, Hal 42.

(37)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

b. Hipothese atavisme : persoalannya adalah bagaimana menerangkan terjadinya makhluk yang abnormal itu (penjahat sejak lahir), dalam memecahkan persoalan tersebut menggunakan hypothese yang sangat cerdik, diterima bahwa orang masih sederhana peradabannya sifatnya adalah amoral, kemudian dengan berjalannya waktu dapat memperoleh sifat-sifat asusila (moral), maka seorang penjahat merupakan gejala atavistis artinya ia dengan sekonyong-konyong dapat kembali menerima sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki nenek moyangnya yang terdekat tetapi dimiliki nenek moyangnya yang lebih jauh (yang dinamakan pewarisan sifat secara jauh kembali).

c. Hipothese pathologi : menyatakan penjahat adalah seorang penderita epilepsy. d. Tipe penjahat : ciri-ciri yang dikemukakan oleh Lambroso terlihat pada

penjahat, sedemikian sifatnya sehingga dapat dikatakan tipe penjahat, para penjahat dipandang dari tipe mempunyai tanda tertentu, umpamanya isi tengkorak (pencuri) kurang bila dibandingkan dengan orang lain dan kelainan-kelainan pada tengkorak, dalam otaknya terdapat keganjilan yang seakan-akan mengingatkan pada otak-otak hewan, biarpun tidak dapat ditunjukan, adanya kelainan penjahat yang khusus, roman mukanya juga lain dari pada orang biasa (tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melengkung kebelakang, kurang perasaannya dan suka tatto), seperti halnya pada orang yang masih sederhana peradapannya26

2. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan .

26

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal 43.

(38)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Tokoh yang terkemuka dari mazhab ini yaitu A. Lacassagne (1843-1924). Beliau menolak hipothesa atavisme yang dikemukakan oleh Lambroso. Ia merumuskan Mazhab Lingkungan sebagai berikut :

“Yang terpenting adalah keadaan sosial sekeliling kita. Keadaan sosial sekeliling kita adalah suatu pembenihan untuk kejahatan; kuman adalah si penjahat, suatu unsur yang baru mempunyai arti apabila menemukan pembenihan yang membuatnya berkembang”. Dengan kata lain, keadaan sekelilingnya menjadi penyebab kejahatan, oleh karena itu apabila terjadi kejahatan, maka yang dihukum adalah lingkungan itu dengan cara mengubah dan membebaninya menjadi lingkungan yang baik.

Tokoh penting lainnya dalam mazhab lingkungan ialah Gabriel Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi. Sejak semula ia menentang ajaran antropologi, menurutnya kejahatan bukan suatu gejala yang antropologi, tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh peniruan. Menurutnya, kejahatan adalah hasil peniruan. Semua perbuatan penting dalam kehidupan sosial dilakukan di bawah kekuasaan. Dalam kenyataannya kita mengakui bahwa peniruan dalam masyarakat memang mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali. Walaupun kehidupan manusia bersifat khas sekali dapat dipahami bahwa banyak orang dalam kebiasaan oleh keadaan sekelilingnya27

Menurut mazhab lingkungan ekonomi yang mulai berpengaruh pada abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 menganggap bahwa keadaan ekonomi yang

.

27

(39)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

menyebabkan timbulnya perbuatan jahat. Menurut F. Turati ia menyatakan tidak hanya kekurangan dan kesengsaraan saja yang dapat menimbulkan kejahatan tetapi juga didorong oleh nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat dengan sistem ekonomi pada waktu sekarang yang mendorong kejahatan ekonomi. Menurut N. Collajani, menunjukan bahwa timbulnya kejahatan ekonomi dengan gejala patologis sosial yang berasal dari kejahatan politik mempunyai hubungan dengan keadaan kritis. Ia menekankan bahwa antara sistim ekonomi dan faktor-faktor umum dalam kejahatan hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri yang mendekatkan pada kejahatan28

3. Mazhab Bio-Sosiologis

.

Mazhab ini dipelopori oleh E. Ferri yang mengatakan bahwa rumusan setiap kejahatan dalam hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik, sedangkan unsur tetap yang paling penting menurutnya adalah individu29

a. Keadaan yang mempengaruhi individu dari lahirnya hingga pada saat melakukan perbuatan tersebut

.

Yang dimaksud dengan unsur-unsur yang terdapat dalam individu ialah unsur-unsur seperti apa yang diterangkan oleh Lambroso, yaitu :

b. Bakatnya yang terdapat dalam individu30

28

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, P.T. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal 95.

29

Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Hal 17.

30

W.A. Bonger, Op. Cit, Hal 97.

(40)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Dalam mazhab Bio-Sosiologis ini Ferri memberikan rumusan bahwa tiap-tiap kejahatan = (keadaan sekelilingnya + bakat) dengan keadaan sekelilingnya. Jadi keadaan sekeliling manusia berpengaruh dua kali, yang terdiri dari keadaan yang mempengaruhi individu dari lahirnya sehingga pada saat melakukan perbuatan jahat dan dengan bakatnya terdapat diri individu. Hal ini berarti bahwa keadaan sekeliling individu atau lingkungan kerap kali merupakan unsur yang menentukan.

4. Mazhab Spritualis

Mazhab ini mengaitkan antara kejahatan dengan kepercayaan pada agama. Dimana tingkah laku manusia erat sekali hubungannya dengan kepercayaan. Orang yang beragama akan mempunyai tingkah laku yang baik dibandingkan dengan orang yang tidak beragama. F.A.K. Krauss beranggapan demikian : makin meluasnya pandangan lapisan bawah masyarakat, pengasingan diri terhadap Tuhan serta pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia yang menjadi dasar sama sekali kosong dalam hal dorongan-dorongan moral, adalah merupakan dasar yang hitam dimana kebusukan dan kejahatan berkembang dengan subur31

5. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono

.

Menurut Mr. Paul Moedikno Moeliono sebab-musabab kejahatan dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Golongan salahmu sendiri

31

(41)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Golongan ini berpendapat bahwa perbuatan jahat merupakan perwujudan dari kehendak dari pelaku sendiri. Tegasnya apabila kamu melakukan kejahatan maka kejahatan itu adalah salahmu sendiri karena terlepas dari tanggung jawab masyarakat dan pihak-pihak lain.

b. Golongan tiada yang salah

Mengemukakan bahwa herediter biologi kultural lingkungan, bakat + fisik, perasaan keagaaman merupakan faktor terjadinya kejahatan.

c. Golongan salah lingkungan

Aliran ini mengatakan bahwa lingkungan yang salah dapat menimbulkan terjadinya kejahatan.

d. Golongan kombinasi

Golongan ini menyatakan timbulnya kejahatan karena adanya kombinasi pada diri manusia yaitu ide, ego, dan super ego.

e. Golongan dialog

Golongan ini menyatakan manusia senantiasa berdialog dengan lingkungan. Karena manusia berdialog dengan lingkungan, maka ia dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan. Mempengaruhi lingkungan maksudnya memberi struktur pada lingkungan sedangkan dipengaruhi lingkungan maksudnya manusia yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.32

32

(42)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan berdasarkan data yang diperoleh secara umum adalah :

1. Mentalitas pegawai merupakan salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya tindak pidana penggelapan. Pegawai yang tidak kuat mentalnya maka akan mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat pegawai sebagai petugas. Sebaliknya pegawai yang bermental kuat tidak dapat dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau peluang melakukan penggelapan. Pegawai yang mendasarkan diri pada pengabdian menganggap bahwa jabatan adalah amanah sehingga tidak akan melakukan penggelapan walaupun ada kesempatan.

2. Faktor pemenuhan kebutuhan hidup yaitu adanya tekanan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup dan karena pengaruh gaya hidup yang konsumtif bisa mendorong seseorang untuk melakukan pengeluaran anggaran yang melebihi batas kemampuannya.

3. Adanya niat dan kesempatan.

Niat dan kesempatan merupakan faktor pendorong timbulnya tindak pidana penggelapan yang disepakati oleh sebahagian dari informan objek penelitian. Betapapun besarnya niat jika tidak ada kesempatan, penggelapan tidak dapat dilakukan, dan sebaliknya jika tidak ada niat melakukan penggelapan dikarenakan mentalitas yang baik namun ada kesempatan maka penggelapan tidak dapat dilakukan.

(43)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

4. Sifat tamak dari manusia, dimana kemungkinan orang melakukan tindak pidana penggelapan bukan karena orang tersebut miskin atau penghasilannya tidak cukup. Kemungkinan orang yang kaya akan tetapi masih punya keinginan untuk memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak pidana pengelapan seperti itu datang dari dirinya sendiri.33

B. Bentuk Tindak Pidana Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan yang terdiri dari 6 Pasal yaitu Pasal 372 – 377. Dengan melihat cara perbuatan yang dilakukan, maka kejahatan penggelapan terbagi atas beberapa bentuk, yaitu :

1. Penggelapan dalam bentuk pokok

Kejahatan penggelapan ini diatur dalam Pasal 372 KUHP sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Benda yang menjadi objek kejahatan ini tidak ditentukan jumlah atau harganya.

Pasal 372 KUHP menyatakan“ Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesutu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-“

Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

a. Unsur-unsur objektif, adalah :

33

www. Balitbangjateng. go. id/ kegiatan/ penelitian 2008/ b1_kkn.pdf, diakses tanggal

(44)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

- Perbuatan memiliki. - Sesuatu benda.

- Yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain.

- Yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. b. Unsur-unsur subjektif, adalah :

- Dengan sengaja. - Dan melawan hukum.34

2. Penggelapan ringan ( Lichte Verduistering )

Dikatakan penggelapan ringan, bila objek dari kejahatan bukan dari hewan atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp 250,-. Besarnya ketentuan harga ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian dalam praktek disesuaikan dengan kondisi sekarang dan tergantung pada pertimbangan hakim. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 373 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-.

Pasal 373 KUHP menentukan bahwa “ Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, jika yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari Rp 250,-, dihukum, karena penggelapn ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-“

Berdasarkan uraian di atas, maka yang merupakan unsur-unsur untuk memenuhi penggelapan yang dimaksud dalam Pasal 373 adalah :

a. Unsur-unsur penggelapan dalam Pasal 372. b. Unsur-unsur yang meringankan, yaitu :

- Bukan ternak.

34

(45)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

- Harga tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.35

Penggelapan ini menjadi ringan, terletak dari objeknya bukan ternak dan nilainya tidak lebih dari Rp 250,00. Dengan demikian terhadap ternak tidak mungkin terjadi penggelapan ringan. Di dalam Pasal 101 KUHP dinyatakan

“yang dikatakan hewan, yaitu binatang yang berkuku satu, binatang yang memamah biak dan babi”

Binatang yang berkuku satu misalnya kuda, keledai dan sebagainya sedang binatang yang memamah biak misalnya sapi, kerbau, kambing dan lain sebagainya. Harimau, anjing, kucing bukan termasuk golongan hewan karena tidak berkuku satu dan juga bukan binatang yang memamah biak.36

3. Penggelapan dengan pemberatan ( Gequaliviceerde Verduistlring )

Mengenai nilai yang tidak lebih dari Rp 250,00 itu adalah nilai menurut umumnya, bukan menurut korban atau menurut petindak atau orang tertentu.

Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat. Bentuk-bentuk penggelapan yang diperberat diatur dalam Pasal 374 dan 375 KUHP. Faktor yang menyebabkan lebih berat dari bentuk pokoknya, disandarkan pada lebih besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai benda yang digelapkan.37

35

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1980, Hal 40.

36

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1993, Hal 105.

37

Adami Chazawi, Op. Cit, Hal 85.

Pasal 374 mengatakan bahwa“ Penggelapan dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”

(46)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

a. Semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok ( Pasal 372)

b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh :

- Karena ada hubungan kerja. - Karena mata pencaharian.

- Karena mendapatkan upah untuk itu.

Beradanya benda di tangan seseorang yang disebabkan oleh ketiga hal di atas, adalah hubungan yang sedemikian rupa antara orang yang menguasai dengan benda, menunjukan kepercayaan yang lebih besar pada orang itu. Seharusnya dengan kepercayaan yang lebih besar, ia lebih memperhatikan keselamatan dan pengurusannya bukan menyalahgunakan kepercayaan yang besar itu.38

38

Adami Chazawi, Op. Cit, Hal 86.

Bentuk kedua dari penggelapan yang diperberat terdapat dalam rumusan Pasal 375 KUHP “penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu, atau wali, curator, pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau pengurus balai derma, tentang sesuatu barang yang ada dalam tangannya karena jabatannya yang tersebut, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”

Apabila rumusan di atas dirinci, maka unsur-unsur yang memenuhi pasal tersebut adalah :

(47)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

a. Unsur-unsur penggelapan dalam Pasal 372 b. Unsur-unsur yang memberatkan, yaitu :

- Oleh orang yang kepadanya terpaksa barang itu diberikan untuk disimpan. - Terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan mereka sebagai

wali, pengampu, pengurus yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan.39

4. Penggelapan dikalangan keluarga

Penggelapan dalam keluarga diatur dalam pasal 376 KUHP. Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi:

1. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya ( Pasal 376 ayat 1 KUHP).

2. Tindak pidana aduan, tanpa adanya pengaduan baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya maka tidak dapat dilakukan penuntutan (Pasal 376 ayat 2 KUHP)40

Penggelapan dalam keluarga diatur dalam pasal 367 KUHP, dimana dimaksudkan dengan penggelapan dalam keluarga itu adalah jika pelaku atau pembantu salah satu kejahatan adalah suami atau istri atau keluarga karena perkawinan, baik dalam garis keturunan yang lurus maupun keturunan yang menyamping dari derajat kedua dari orang yang terkena kejahatan itu. Di dalam

.

39

H.A.K Moch. Anwar, Op. Cit, Hal 38.

40

(48)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

hal ini apabila pelaku atau pembantu kejahatan ini adalah suami atau istri yang belum bercerai maka pelaku pembantu ini tidak dapat dituntut. Apabila diantaranya telah bercerai, maka bagi pelaku atau pembantu kejahatan ini hanya dapat dilakukan penuntutan bila ada pengaduan dari orang lain yang dikenakan kejahatan itu

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan

Tindak pidana penggelapan seperti yang telah diuraikan sebelumnya diatur di dalam KUHP Pasal 372-377. Rumusan tentang tindak pidana penggelapan dengan menggunakan jabatan merupakan rumusan tindak pidana penggelapan dalam bentuk yang diperberat yang terdapat di dalam Pasal 374 KUHP. Oleh karena itu, di dalam membahas rumusan unsur-unsur tindak pidana penggelapan dengan menggunakan jabatan maka tidak terlepas dari unsur-unsur tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang terdapat di dalam Pasal 372 KUHP. Di atas telah diuraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok, oleh karena itu sebelum membahas unsur-unsur tindak pidana penggelapan dengan jabatan, akan dibahas terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana dalam bentuk pokok. Unsur-unsur-unsur tindak pidana dalam bentuk pokok yang terdapat di dalam Pasal 372 KUHP terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur Objektif, terdiri dari : a. Perbuatan memiliki

(49)

Rio Fernando Manik : Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan Nomor : 3892/Pid.B/2008/PN-Mdn), 2010.

Memiliki adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang atau lebih tegas lagi setiap tindakan yang mewujudkan suatu kehendak untuk melakukan kekuasaan yang nyata dan mutlak atas barang itu, hingga tindakan itu merupakan perbuatan sebagai pemilik atas barang itu.41 Dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 372 menerangkan bahwa memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia pemilik benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam kekuasaanya adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum, hanya pemilik sajalah yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda miliknya.42

Pemilikan itu pada umumnya terdiri atas setiap perbuatan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh kembali barang itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara seperti menghabiskan, atau memindah tangankan barang itu, seperti memakan, memakai, menjual, menghadiahkan, menukar. Dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali barang itu seperti pinjam-meminjam, menjual dengan hak membeli kembali termasuk juga dalam pengertian memiliki, bahkan menolak pengembalian atau menahan barang itu dengan menyembunyikan sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan memiliki.43

41

H.A.K. Moch. Anwar, Op. Cit, Hal 35.

42

Adami Chazawi, Op. Cit, Hal 72.

43

H.A.K. Moch. Anwar, Op. Cit, Hal 35.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: Pertama pertanggungjawaban pidana bahwa pelaku terbukti melanggar pasal 374 KUHP maka majelis hakim menjatuhkan pidana

Berdasarkan uraian di atas, terdapat kesenjangan terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa dengan Undang – Undang (KUHP) dimana ketentuan yang terdapat

Dalam perkara ini Terdakwa melanggar Pasal 372 KUHP dan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun karena Terdakwa telah melakukan tindak pidana

Pada tindak pidana penggelapan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dalam pasal 372, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum

Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam dakwaan Pasal 170 ayat (2) Ke-1 KUHP telah terpenuhi, maka para terdakwa haruslah dinyatakan terbukti secara.. sah dan meyakinkan

Dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan Pasal 374 KUHP terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi sesuai dengan teori pendekatan seni dan intuisi,

Majelis Hakim telah menerapkan unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 365 ayat (2) ke-1 dan ke-2 KUHP,

Perbuatan terdakwa tidak menurut Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru tidak memenuhi unsur Pasal 56 KUHP sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam