• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUP PERADILAN MILITER (Perkara No. 16K/ MIL/ 2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUP PERADILAN MILITER (Perkara No. 16K/ MIL/ 2008)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Dwi Haska Kurniati

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG DILAKUKAN OLEH

ANGGOTA TNI DALAM LINGKUP PERADILAN MILITER (Perkara No. 16K/ MIL/ 2008)

Oleh

DWI HASKA KURNIATI

Tindak pidana pemalsuan surat dalam hal ini pemalsuan surat nikah. Tindak pidana pemalsuan surat bukan hanya dilakukan oleh masyarakat umum saja ternyata anggota TNI/ militer juga melakukan hal yang dapat mencoreng citra Kesatuan dan pribadinya. Di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 16K/ MIL/ 2008 terjadi suatu tindak pidana pemalsuan surat nikah yang dilakukan oleh anggota TNI/ militer (Achmad Darma Putra) adalah pelaku tindak pidana pemalsuan surat untuk mengurus akta kelahiran putranya oleh Oditur Militer pada Oditurat Militer III-12 Surabaya dituntut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan oleh Hakim Pengadilan Militer III-12 Surabaya terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan. Oditur Militer III-12 Surabaya mengajukan permohonan kasasi terhadap Mahkamah Agung karena menganggap bahwa putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh Hakim Pengadilan Militer III-12 Surabaya terdapat kekeliruan dalam mengambil keputusan, dan Hakim Mahkamah Agung tidak menerima permohonan kasasi dan tetap membebaskan terdakwa. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas terhadap tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI dalam lingkup peradilan militer (Perkara No. 16K/MIL/2008) serta bagaimanakah pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan responden 1 (satu) orang Oditur pada UPT Oditurat Militer I-04 Bandar Lampung dan 2 (dua) orang Polisi Militer pada Korem 043 Garuda Hitam Bandar Lampung.

(2)

Dwi Haska Kurniati dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut,dan Mahkamah Agung juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Militer dengan telah melampaui batas wewenangnya oleh karena itu permohonan kasasi Oditur Militer/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 tahun 1981 (KUHAP) tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, dengan demikian Mahkamah Agung tidak perlu mempertimbangkan lagi. (2) Pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer didasarkan pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya unsur – unsur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan surat, putusan pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung yang membebaskan Terdakwa dikarenakan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 263 yang dituntut oleh Oditur kepada Terdakwa.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.Negara Indonesia menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

Pasal 18 Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ada empat lingkup peradilan di Indonesia, yaitu lingkup Peradilan Umum, lingkup Peradilan Agama, lingkup Peradilan Militer, lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Empat lingkup peradilan tersebut, yang memeriksa perkara pidana adalah lingkup Peradilan Umum dan lingkup Peradilan Militer. Masing – masing badan peradilan tersebut memiliki tata cara pemeriksaan yang diatur tersendiri sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 1999. Pengadilan yang termasuk dalam lingkup Peradilan Umum memakai tata cara yang diatur dalam Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana sedangkan pengadilan dalam lingkup Peradilan Militer berpedoman pada Undang – undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

(4)

keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelengaraan pertahanan keamanan negara. Badan peradilan yang termasuk dalam lingkungan peradilan ini adalah Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana akan diproses dan diselesaikan perkaranya melalui Peradilan Militer.

Dalam hal memeriksa dan memutus suatu perkara, hukum pidana umum yang berlaku bagi setiap orang juga berlaku bagi setiap anggota militer. Namun terdapat ketentuan khusus apabila tindak pidana yang dilakukan tidak diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), maka yang berlaku adalah KUHP kecuali ada penyimpangan (Pasal 1 KUHPM) . Sebagaimana ketentuan Pasal 103 KUHP : “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI (Militer) dan tidak tercantum dalam KUHPM adalah tindak pidana pemalsuan surat. Tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI untuk memperoleh keuntungan pribadi atau golongan tertentu, sangat merugikan bangsa dan negara. Karena itu hukim harus menindaklanjuti tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan tertib hukum.

(5)

“(1) Barang siapa yang membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah – olah isinya benar atau tidak dipalsu, diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Penyelesaian terhadap tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI akan melibatkan banyak pihak antara lain Majelis Hakim, Oditur Militer, Penasehat Hukum, dan Panitera. Sedangkan penyidik dapat berasal dari penyidik militer dalam hal ini Corps Polisi Militer (CPM) atau Oditur Militer.

Sebagaimana yang tercantun dalam Pasal 25 ayat (4) Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –undangan,

Oditur Militer sebagai salah satu pihak yang berperan dalam penyelesaian tindak pidana pemalsuan surat tidak hanya terlibat dalam tahap persidangan saja, melainkan sejak munculnya perkara tersebut Oditur Militer dapat juga berperan dalam proses penyidikan dan penuntutan seperti yang diatur pada Pasal 47 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer bahwa Oditurat melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan TNI.

(6)

saksi-1 (Sdri. Yuyun Lestari Wilujeng) telah menjalin hubungan cinta dan sering melakukan hubungan persetubuhan sehingga saksi-1 pada bulan Februari 2005 telah melahirkan seorang anak laki – laki hasil hubungan persetubuhan diluar nikah antara Terdakwa dengan saksi-1. Terdakwa bersama keluarga dari saksi-1 telah bersepakat untuk mencari status telah nikah antara Terdakwa dan saksi-1 agar dapat memudahkan mengurus akta kelahiran putranya, walaupun sebenarnya antara Tedakwa dan saksi-1 tidak pernah melangsungkan pernikahan seperti yang tercantum dalam kutipan akta nikah yang diterbitkan oleh KUA.

(7)

Oditur Militer sebagai Pemohon Kasasi berpendapat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Militer III-12 surabaya tidak menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Majelis Hakim bukannya membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan akan tetapi seharusnya beramar lepas dari segala tuntutan hukum, oleh karena itu telah cukup alasan bagi Pemohon Kasasi untuk mengajukan Kasasi.

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas . Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon kasasi tidak dapat membuktikan putusan tersebut merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut. Permohonan kasasi Oditur Militer dinyatakan tidak dapat diterima dan Terdakwa tetap dibebaskan

Berdasarkan uraian di atas, terdapat kesenjangan terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa dengan Undang – Undang (KUHP) dimana ketentuan yang terdapat pada Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, maka dari hal tersebut Penulis tertarik untuk menyusunnya sebagai Penulisan Hukum dengan judul : “Analisis Yuridis Putusan Bebas Mahkamah Agung Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang Dilakukan oleh Anggota TNI dalam Lingkup Peradilan Militer (Perkara No. 16K/MIL/2008)”.

(8)

1. Permasalahan Penelitian

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasikan permasalahan yang diteliti serta membatasi adanya perluasan masalah dan pembahasan masalah yang tidak sesuai dengan persoalan agar dapat tercapai sasaran yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas No. 16K/ MIL/ 2008?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini membahas tentang dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas No. 16K/ MIL/ 2008 dan pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer, dengan wilayah hukum peradilan militer Bandar Lampung pada UPT Oditurat I-04 dan Korem 043 Garuda Hitam Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(9)

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis paparkan diatas, penulisan ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas terhadap tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan anggota TNI dalam lingkup peradilan militer Perkara No. 16K/ MIL/ 2008.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian hukum ini, adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum acara pidana pada umumnya dan untuk bidang Hukum Acara Pidana Militer pada khususnya serta memperluas wawasan penulis mengenai dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas terhadap tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan anggota TNI dalam lingkup peradilan militer Perkara No. 16K/ MIL/ 2008 dan pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer.

2. Kegunaan Praktis

(10)

pertanggungjawaban pidana terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai suatu kesatuan logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdul Kadir Muhammad, 2004 : 73 ).

Hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI sering kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan.

Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

(11)

pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Hakim dalam menjatuhkan putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dibandingkan pertimbangan non yuridis. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terdapat pada Pasal 8 ayat (2), yaitu:

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa:

“(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

(12)

melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana khususnya hukum acara militer.

Menurut Mackenzei (dalam Ahmad Rifai, 2010 : 106), ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan.

b. Teori pendekatan isi dan intuisi. c. Teori pendekatan keilmuan. d. Teori pendekatan pengalaman. e. Teori ratio decidenci.

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus dapat memutuskan perkara dengan “Rasa Keadilan Berdasarkan Pancasila” yaitu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatannya dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana. c. Keputusan mengenai pidananya apakah terdakwa memang dapat dipidana. (Soedarto,

1981:74)

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid

(13)

pidana dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang dilakukan.

Menurut Moeljatno (1993: 165), dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

(1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

(2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila tindak pidana yang dilakukan telah diatur dalam undang-undang. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Hukum pidana tidak hanya mengenal asas legalitas seperti yang disebutkan diatas, tetapi hukum pidana juga mengenal asas lain, seperti asas kesalahan, yaitu “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Geen Straf Zonder Schuld).Asas kesalahan tersebut tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) namun asas tersebut tetap berlaku dan memang harus diberlakukan.

Orang yangdapat dituntut di muka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan: “kesalahan”. Kesalahan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) unsur, yaitu:

(14)

2. Sengaja (Dolus/Opzet) dan Lalai (Culpa)

3. Tidak ada alasan pemaaf (dalam Tri Andrisman, 2009: 91)

Apabila berbicara tentang pertanggungjawaban pidana maka tidak terlepas dari ketiga unsur dari kesalahan tersebut.Unsur yang pertamayaitu mengenai kemampuan bertanggungjawab yang artinya keadaan jiwa pelaku tindak pidana haruslah normal atau keadaan batinnya sehat.

Setiap pelaku tindak pidana dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum namun dalam keadaan tertentu, pelaku tindak pidana tidak dapat dipidana. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, yaitu:

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Unsur dari kesalahan yang kedua yaitu sengaja (Dolus/Opzet) dan lalai (Culpa). Sengaja (Dolus/Opzet) dapat diartikan “menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan”. Ada dua teori mengenai kesengajaan yaitu Teori Kehendak (Wilstheorie) dan Teori Pengetahuan atau Membayangkan (Voorstellingtheorie). (dalam Tri Andrisman, 2009: 102).

(15)

Unsur kesalahan yang ketiga yaitu tidak ada alasan pemaaf.Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana.Alasan pemaaf ini tidak ada atau tidak berlaku untuk memenuhi unsur kesalahan.Sehingga pertanggungjawaban pidana harus memenuhi ketiga unsur dari kesalahan.

Unsur kesalahan tersebut harus terpenuhi pada setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang termasuk dalam kasus pemalsuan surat yang dilakukan oleh anggota TNI juga harus memperhatikan unsur-unsur dari kesalahan tersebut untuk menentukan dapat tidak di pidananya pelaku tindak pidana. Dalam kasus ini yang terjadi yaitu pemalsuan surat sehingga tindakan pelaku juga harus memenuhi unsur-unsur yang ada dalam KUHP khususnya dalam Pasal 263 tentang pemalsuan surat.

Pasal 263 KUHP, yaitu:

“(1) Barang siapa yang membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah – olah isinya benar atau tidak dipalsu, diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam tindak pidana pemalsuan surat antara lain yaitu sebagai berikut:

1. Membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal. 2. Memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan

(16)

3. Menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut

Seseorang dapat dipidana karena pemalsuan surat jika orang tersebut telah memenuhi unsur-unsur tentang tindak pidana pemalsuan surat tersebut.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai suatu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan (Abdul Kadir Muhammad, 2004 : 78 ).

Batasan pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya). (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003 : 43 ).

b. Putusan bebas adalah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

c. Tindak pidana adalah pelanggaran norma–norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk undang – undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2008 : 1).

(17)

e. Militer adalah orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma – norma atau kaidah– kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan ketat (Tri Andrisman, 2010 : 18).

f. Peradilan Militer adalah lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer(http:// www.google.co.id. wikipedia.org/wiki/Peradilan_militer-29k-html, diakses pada tanggal 21 November 2011).

g. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009, 2010 : 3 ).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab.

Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan suatu bab yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan denganPutusan Pengadilan, Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Dasar Pertimbangan Hakim, Teori-teori Pertanggungjawaban pidana, dan Mahkamah Agung.

III. METODE PENELITIAN

Bab metode penelitian menjelaskan mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian guna menyelesaikan skripsi ini yaitu menjelaskan mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang membahas mengenai Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memberikan Putusan Bebas terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang dilakukan oleh Anggota TNI (Perkara No. 16K/MIL/2008) dan pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer.

V. PENUTUP

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Bentukbentuk Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi–saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti.

Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang–undang hukum acara pidana (Rusli Muhammad, 2006 : 115).

Bentuk – bentuk putusan hakim dalam perkara pidana menurut dimensi teoritis dan praktis dibagi dalam 3 putusan, yaitu :

1. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)

(20)

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya menentukan putusan bebas/vrijspraakdapat terjadi apabila :

a. Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan

b. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum karena :

a. Tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang – undang secara negatif ( negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan tidak menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).

b. Majelis Hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang – undang telah terpenuhi, misalnya adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

c. Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrjispraak/acquittal) kepada terdakwa.

Dalam praktik peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim dijatuhi putusan vrijspraak, pada hakikatnya amar/ diktum putusannya haruslah berisikan :

(21)

2. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van Alle Rechtsvervolging)

Secara fundamental terhadap “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum “ atau onslag van alle rechtsvervolging diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) dirumuskan dengan redaksional bahwa :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari sega tuntutan hukum”.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal – hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada :

a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya; b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (over macht); c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri;

d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang–undang; e. Pasal 51 KUHP, melakukan perintah yang diberikan oleh atasan.

(22)

menghapus pidana secara khusus maupun secara umum, seperti tersebut diatas, tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti (Rusli Muhammad, 2006 : 117-119).

Apabila dikonklusikan dan dijabarkan lebih jauh, baik secara teoritis maupun praktik, pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van Alle Rechtsvervolging) terjadi jika :

a. Dari hasil pemeriksaan didepan sidang pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, adat, atau dagang.

b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitslulings-gronden/feit de’ axcuse) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond). (Lilik Mulyadi, 2010 : 186-187).

3. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Pada asasnya putusan pemidanaan atau “veroordeling” diatur dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP dengan redaksional bahwa :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

(23)

terdakwa tetap ditahan yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih atau jika pidana itu yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan terdapat alasan untuk itu.

Ada 3 sebab keputusan hakim, menurut keputusan hakim lain yaitu :

1. Karena keputusan itu mempunyai kekuasan lebih tinggi, terutama keputusan pengadilan tinggi Mahkamah Agung;

2. Karena pertimbangan praktis; 3. Karena sependapat.

Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh –sungguh tidak dapat dicapai maka ditempuh dua cara :

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;

b. Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Andi Hamzah, 2008 : 283).

Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal – hal yang memberatkan dan hal – hal yang meringankan terdakwa. Apabila terdakwa belum mencapai usia 16 tahun pada waktu dilakukan tindak pidana, hakim mempergunakan Pasal 45 KUHP yang memberikan beberapa kemungkinan, yakni menjatuhkan pidana, menyerahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun atau menyerahkan kembali terdakwa kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaan tanpa pidana apapun.

(24)

tersebut, terhadap setiap putusan yang mengandung penghukuman di mana terdakwa merasa tidak puas, dapat mengajukan pemeriksaan tingkat banding (Rusli Muhammad, 2006 : 120).

Putusan yang mengandung pemidanaan demikian pula putusan pengadilan lainnya hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan pada sidang terbuka untuk umum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 195 KUHAP yang berbunyi :

“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.

Selain putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat jenis-jenis lain, yaitu: a. Putusan yang bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa

tindakan hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada lembaga pendidikan khusus anak nakal dan lain-lainnya.

b. Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili oleh mahkamah militer.

c. Putusan yang bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal karena tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang, misalnya surat tuduhan tidak terang mengenai waktu dan tempat perbuatan dilakukan.

d. Putusan yang bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum, misalnya perkara jelas delik aduan tidak disertai surat pengaduan atau tidak diadukan oleh si korban/keluarganya.

Setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan pada: a. Surat dakwaan.

(25)

c. Segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti pada sidang pengadilan.

Selain itu, pengambilan putusan harus dengan melalui musyawarah bila hakim terdiri dari hakim mejelis.Menurut ketentuan Pasal 182 ayat (5) KUHAP, dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang muda sampai hakim yang tertua, sedangkan hakim ketua terakhir sekali memberikan pendapatnya.Semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasan-alasannya.

B. Istilah, Pengertian dan Unsurunsur Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang merupakan terjemahan bahasa Belanda yaitu Strafbaar Feit.Tindak Pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

normatif).Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkrit (Tri Andrisman, 2009 : 69-70).

Tindak pidana adalah pelanggaran norma – norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk undang – undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid). Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum (Wirjono Prodjodikoro, 2008 : 1).

Mengenai pengertian tindak pidana (straaf feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda, sebagai berikut :

(26)

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. (dalam Tri Andrisman, 2009 : 70 )

b. Wirjono Prodjodikoro :

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. (dalam Tri Andrisman, 2009 : 71 )

Dalam memberikan definisi mengenai tindak pidana, ada dua pandangan bertolak belakang yaitu :

a. Pandangan / Aliran Monistis, yang tidak memisahkan antara pengertian dan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

b. Pandangan / Aliran Dualistis, yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibilityataumens rea).

Berdasarkan KUHP, tindak pidana terdiri dari kejahatan dan pelanggaran tetapi dalam KUHP tidak diberikan syarat – syarat ketentuan untuk membedakan keduanya.KUHP menyatakan bahwa semua ketentuan yang dimuat dalam Buku II adalah delik – delik kejahatan, sedangkan yang terdapat dalam Buku III adalah delik pelanggaran.Kata kejahatan dan pelanggaran merupakan istilah dari terjemahanmisdrijvendanovertredingen.

Berkaitan antara perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, ada 2 (dua) pendapat mengenai pembedaan tersebut, yaitu :

(27)

1. Kejahatan adalah Rechtdelicten, artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan itu terlepas dari perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perundang – undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar – benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal : pembunuhan (338), pencurian (362). Delik – delik semacam itu disebut kejahatan (malaperse).

2. Pelanggaran adalah Wetsdelicten, artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang – undang menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita).

b. Perbedaan secara kuantitatif

Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan (Tri Andrisman, 2009 : 77-78).

Delik Materiil dan Delik Formil

Delik materiil (materiel delict) adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang (tidak dikehendaki) oleh undang – undang.Delik ini dikatakan selesai apabila akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki oleh undang – undang itu telah terjadi.Apabila perbuatan telah dilaksanakan, tetapi akibat yang dituju belum terjadi, maka tetap dapat dituntut melakukan tindak pidana, yaitu percobaan melakukan tindak pidana.Contohnya : Pembunuhan dan Pembakaran Rumah, Pasal 338 dan 187 KUHP (Tri Andrisman, 2009 : 5).

(28)

Delik Formil (formeel delict) adalah delik yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang oleh undang – undang. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam rumusan delik, tanpa mempersoalkan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Contohnya : Pencurian Biasa dan Pemalsuan Surat, Pasal 362 dan 263 KUHP (Tri Andrisman, 2009 : 6).

Definisi mengenai kejahatan pemalsuan surat yang didapat penulis dari berbagai referensi yang ada, pada dasarnya adalah kejahatan yang mana didalamnya mengandung ketidak benaran atau palsu (obyek), yang tampak dari luar seolah – olah benar, namun sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Tindak Pidana pemalsuan surat yang terdapat pada Pasal 263 KUHP yang rumusannya sebagai berikut :

“(1) Barang siapa yang membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah – olah isinya benar atau tidak dipalsu, diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 (dua) tindak pidana masing – masing dirumuskan pada ayat (1) dan (2).

Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur–unsur sebagai berikut : Unsur–unsur Obyektif :

1. Perbuatan :

(29)

b). Memalsu.

2. Obyeknya, yakni surat : yang dapat menimbulkan suatu hak, menimbulkan suatu perikatan, menimbulkan suatu pembebasan hutang, yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal; 3. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.

Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu.

Sedangkan rumusan pada ayat (2) mempunyai unsur–unsur sebagai berikut : Unsur–unsur Obyektif :

1. Perbuatan : memakai; 2. Obyeknya :

a). Surat palsu;

b). Surat yang dipalsukan;

Unsur–unsur Subyektif : dengan sengaja.

Pasal 263, 264 dan 266 KUHP adalah delik pemalsuan secara spesifik yang sangat penting dalam pergaulan masyarakat.Pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak tidak ada pidana perampasan.

Surat diartikan baik tulisan tangan maupun cetak termasuk dengan memakai mesin tulis. Tidak menjadi soal huruf, angka apa yang dipakai dengan tangan, dengan cetakan atau alat lain termasuk telegram. Pemalsuan surat harus ternyata :

(30)

2. Dibuat palsu

3. Pembuat mempunyai maksud untuk memakai sebagai asli dan tidak dipalsu atau menyuruh orang lain memakai.

4. Dengan pemikiran dengan itu dapat timbul kerugian (Andi Hamzah, 2010 : 136-137).

Perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.

Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu dan memalsu surat adalah bahwa sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan sudah ada sebuah surat yang disebut surat asli, kemudian surat yang asli ini terhadap isinya (termasuk tandatangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu (Adami Chazawi, 2005 :100-101).

(31)

benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak – tidaknya pada saat akan memulai suatu perbuatan itu. Pada unsur atau kalimat “seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna : (1) adanya orang –orang yang terperdaya dengan digunakan surat – surat yang demikian dan (2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, di mana orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang – orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu (militer).

Unsur lain daripada pemalsuan surat pada ayat (1), ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan pelaku tindak pidana, unsur ini terkandung pengertian bahwa : (1) pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat atau unsur itu dan (2) karena penggunaan surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dariadanya perkataan “dapat” (Adami Chazawi, 2005 : 105).

C. Hukum Militer sebagai Hukum Khusus

Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai kompetensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berstatus sebagai angggota militer atau yang dipersamakan dengan itu.

Berdasarkan pasal 12 undang-undang nomor 31 tahun 1997, kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer dilakukan oleh :

(32)

b. Pengadilan Militer Tinggi; c. Pengadilan Militer Utama; d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Jika kita perhatikan dalam sejarah, akan terlihat bahwa hukum militer itu merupakan suatu hukum yang khusus. Hal ini terlihat pada sifatnya yang keras, cepat dan prosedur-prosedur yang berbeda dan berlaku dalam hukum yang umum.

Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan).Pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.

Untuk menentukan perbuatan mana yang dikategorikan sebagai tindak pidana umum oleh seorang prajurit TNI, dapat dilihat dalam KUHP dan perundang-undangan lainnya.Pelanggaran terhadap ketentuan ini harus diadili di peradilan umum.Sedangkan perbuatan yang menyangkut kehormatan korps dan pelanggaran ketentuan pidana umum yang luar biasa, pelanggaran terhadap hukum perang diadili di peradilan Militer.

Hukum acara pidana militer, dalam pembenahannya merekonstruksi sub sistem peradilan pidana yang dapat mencakup semua unsur peradilan yang selama ini ada misalnya bagaimana menyatukan oditur dengan polisi militer, papera, dan ankum, otmil serta Pengadilan Militer dengan Mahkamah Militer (Mahmil).Tentu dengan sendirinya peradilan koneksitas tidak diperlukan lagi.

(33)

Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dikaitkan dengan Pasal 1 dan 2 KUHPM, maka Peradilan Militer mengadili tindak pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit (militer) atau yang dipersamakan.

Selama seseorang masih menjadi anggota TNI, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik tindak pidana militer (murni), seperti desersi, insubordinasi, dan lain-lain juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pemalsuan atau pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan psikotropika/sabu-sabu, narkotika, korupsi, dan lain-lain diadili di peradilan militer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas-tugas/jabatan kemiliteran.

Kompetensi peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.

D. Dasar Pertimbangan Hakim

(34)

Pasal 1 angka 11 KUHAP menjelaskan bahwa:

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemindahan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus bisa memutuskan perkara dengan “Rasa Keadilan Berdasarkan Pancasila” yaitu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwa, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumannya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apakah terdakwa memang dapat dipidana. (Soedarto, 1981:74)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab II menjelaskan mengenai Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yaitu Pasal 2-17. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan bahwa:

“(1)Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

(2)Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

(3)Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.

(4)Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

(35)

“(1)Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2)Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Hakim harus mempertimbangkan segala sesuatu sebelum memutuskan suatu perkara yang ditanganinya.Hakim harus benar-benar memperhatikan hukum dalam memutus suatu perkara agar keadilan dapat tercapai.

E. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada

orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1993: 1)

(36)

Mengenai subyek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai pelaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik disamping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab (Barda Nawawi Arief, 2002: 85).

Dengan adanya atau berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua atau belum tentu semua pelaku tindak pidana dapat dipidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Adapun unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa/alpa), serta unsur tidak ada alasan pemaaf.

Unsur-unsur kesalahan tersebut dijelaskan satu persatu sebagai berikut: 1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus terpenuhi untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat di pidana.Kemampuan bertanggung jawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana.

(37)

(1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

(2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak (Moeljatno, 1993: 165-166).

Berdasarkan undang-undang ada beberapa hal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggung jawab, misalnya masih di bawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, daya paksa, pembeban terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan-keadaan tersebut melekat pada pelaku tindak pidana, maka undang-undang memaafkan pelaku sehingga ia terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Beberapa jenis penyakit jiwa yang membuat seseorang tidak mampu untuk bertanggung jawab untuk sebagian dalam ilmu kedokteran jiwa antara lain yaitu:

a. Kleptomanieadalah penyakit jiwa yang berwujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang orang lain, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya di larang,

b. Pyromanie adalah penyakit jiwa berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali.

(38)

tidak ada hubungannya dengan penyakitnya maka ia dapat dipidana. Sedangkan dalam hal lain yaitu seseorang kurang mampu bertanggung jawab atau memiliki kekurangan kemampuan untuk bertanggung jawab, faktor tersebut digunakan untuk memberikan keringanan dalam pemidanaan. Cara menentukan kekurangan kemampuan untuk bertanggung jawab ini dinyatakan oleh psikiater berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan.

2. Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa)

Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa) merupakan unsur kedua dari kesalahan dimana keduanya merupakan hubungan batin antara pelaku tindak pidana dengan perbuatan yang dilakukan.Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), KUHP tidak memberikan pengertian.Pengertian kesengajaan (dolus/opzet) dapat diketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.

Hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus/opzet) yaitu: a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Teori Pengetahuan atau Membayangkan (Voorstellingtheorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.

Kesengajaan (dolus/opzet) memiliki 3 (tiga) bentuk corak batin yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus directus.

(39)

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet) ataudolus eventualis.

Kelalaian (culpa/alpa), meskipun pada umumnya setiap kejahatan diperlukan unsur kesengajaan untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana, walaupun unsur kesengajaan tidak terpenuhi dan yang terpenuhi adalah unsur kelalaian/kealpaan juga dapat dipidana. Misalnya Pasal 359 KUHP yaitu:

“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang di pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal lain yang mengatur hal yang sama antara lain Pasal 188, Pasal 360, dan Pasal 409 KUHP. Adapun alasan pembentuk undang-undang mengancam pidana peerbuatan yang mengandung unsur kealpaan dapat diketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yaitu:

“ada keadaan yang sedemikian membahayakan keamanan orang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehinggaundang-undang juga bertindak terhadap kekurangan penghatian, sikap sembrono (teledor), pendek kata terhadap kealpaan yang menyebabkan keadaan tersebut”.

Menurut Van Hamel (dalam Moeljatno, 1993: 201), kealpaan mengandung dua syarat yaitu: 1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

(40)

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yang bersifat subyektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat; dan (2) atas dasar pembenar (rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat (Adami Chazawi, 2007: 18).

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan (Tri Andrisman, 2009: 113).

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility.Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. (Teguh Prasetyo, 2011: 126-127)

Dalam kesalahan tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf terdapat dalam Pasal 44, Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP.

F. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung

(41)

undang-undang.Ketentuan mengenai Mahkamah Agung terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia yang merupakan Lembaga Tinggi Negara dan sekaligus juga Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan.

Tugas dan wewenang Mahkamah Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Mahkamah Agung memeriksa dan memutus peninjauan kembali, yang hanya dapat diajukan satu kali saja, pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengkaji secara meteriil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Dengan demikian maka undang-undang tidak dapat diganggu gugat.Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan pencabutan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

(42)

sepanjang yang menyangkut peradilan dan pemberian peringatan, tegoran dan petunjuk yang diperlukan.

Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dan pertimbangan dari pengadilan di semua lingkungan peradilan, Jaksa Agung dan pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana. Mahkamah Agung juga diberi wewenang untuk membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan.

Berdasarkan Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal 18 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pada Pasal 20 ayat (1) dikatakan bahwa Mahkamah Agung (MA) merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam empat lingkungan peradilan yaitu, peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

(43)
(44)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Selain itu juga, diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1986 : 43 ).

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan tersebut akan dijelaskan masing-masing sebagai berikut:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian yang menggunakan pendekatan normatif adalah penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dengan mencari data atau sumber yang bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, peraturan-peraturan, surat-surat keputusan dan dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

(45)

Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan 2 (dua) sumber data, yaitu sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan pada objek yang di teliti atau dapat pula diperoleh dengan wawancara kepada narasumber. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 57). Wawancara yang akan dilakukan untuk memperoleh data yaitu wawancara terhadap polisi militer pada Korem 043 Garuda Hitam dan Oditur Militer pada UPT Oditurat Militer I-04 Bandar Lampung yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam penelitian pembuatan skripsi ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas.

(46)

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 53). Bahan hukum sekunder tersebut meliputi, jurnal, literatur yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang berasal dari pendapat para sarjana yang berkaitan, seperti ; kamus hukum dan kamus bahasa indonesia.

C. Populasi dan Sampel

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986: 172). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan Polisi Militer dan Oditur Militer sebagai populasi.

(47)

Adapun dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) resonden, yaitu:

1. Polisi Militer Korem 043 Garuda Hitam : 2 (dua) orang 2. UPT Oditurat Militer I-04 Bandar Lampung : 1 (satu) orang

Jumlah Responden : 3 (tiga) orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Penulis menggunakan beberapa langkah untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menulis skripsi ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Data primer, yaitu data yang untuk mendapatkannya dilakukan dengan mengadakan studi lapangan. Adapun studi lapangan yang akan dilakukan oleh penulis yaitu pada Korem 043 Garuda Hitam Bandar Lampung dan Kantor Unit Pelayanan Teknis Oditurat Militer I-04 Bandar Lampung.

b. Data sekunder, yaitu data yang untuk mendapatkannya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari bahan-bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan;

2. Studi dokumentasi, yaitu dengan mempelajari bahan hukum tersier yang berhubungan dengan putusan bebas Mahkamah Agung terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat.

(48)

1. Pengamatan tidak terlibat (Non participant observation), yaitu dengan langkah melakukan pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti;

2. Wawancara atau interview yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada responden yang terdiri dari Polisi Militer Daerah Lampung (Korem 043 Garuda Hitam) dan Oditur Militer (UPT Oditurat Militer I-04 Bandar Lampung).

2. Metode Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh baik yang berupa data sekunder maupun data primer akan diolah melalui beberapa cara antara lain:

1. Editing (to edit artinya membetulkan) adalah memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 64).

2. Interpretasi, yaitu mengadakan penafsiran terhadap data yang dikumpulkan.

3. Klasifikasi, yaitu pengelompokkan sesuai dengan bidang pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisa data.

4. Sistematisasi Data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematisasi sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

(49)
(50)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan Putusan Bebas Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang dilakukan oleh Anggota TNI (Perkara No. 16K/MIL/2008) yaitu ; Majelis Hakim menganggap bahwa Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut,dan Mahkamah Agung juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Militer dengan telah melampaui batas wewenangnya oleh karena itu permohonan kasasi Oditur Militer/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 tahun 1981 (KUHAP) tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, dengan demikian Mahkamah Agung tidak perlu mempertimbangkan lagi.

2. Pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam lingkup peradilan militer didasarkan pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya unsur – unsur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan surat, putusan pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung yang membebaskan Terdakwa dikarenakan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 263 yang dituntut oleh Oditur kepada Terdakwa.

(51)

1. Aparat penegak hukum terutama seorang hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya semata – mata berdasarkan hukum, kebenaran, keadilan serta dengan tidak membeda – bedakan individu, serta hakim harus mempertimbangkan baik buruknya dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksanya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan, hal ini sesuai dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Oditur selaku penuntut dalam peradilan militer seharusnya lebih obyektif dan profesional lagi dalam menuntut suatu perkara yang dilakukan terhadap anggota TNI, jangan sampai terhadap perkara yang dilakukan terdakwa tidak memenuhi unsur – unsur yang dituntut berdasarkan pasal yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA

(52)

_____________. 2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta

_____________. 2009. Delik Khusus dalam KUHP.Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana : Bagian I. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi.Delikdelik tertentu (special delicten) di dalam KUHP.Sinar Grafika. Jakarta. 2010.

Hanitiju Soemitro, Roony. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harahap, yahya.2000.Pembahasa Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta Muhammad, Abdulkadir.Hukum dan Penelitian Hukum.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. Muhammad, Rusli. 2006.Potret Lembaga Pengadilan Indonesia.Raja Grafindo. Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2010. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2011.Hukum Pidana.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Prodjodikoro, Wiryono. Tindak tindak Pidana tertentu di Indonesia. PT. Rafika Aditama. Bandung. 2003.

Rifai, ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum.Penerbit Indonesia Press. Jakarta. Sunggono, Bambang. 1997.Metodologi Penelitian Hukum.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Kitab Undang – undang Hukum Pidana jis. Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

peraturan hukum pidana (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660).

Putusan. 2008. Nomor: 16 K/MIL/2008. Terhadap Achmad Darma Putra. Mahkamah Agung. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka–Jakarta.

(53)

Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5067.

Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713.

(54)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUP PERADILAN

MILITER (Perkara No. 16K/MIL/2008)

Oleh:

DWI HASKA KURNIATI

Skripsi

Sebagai salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(55)

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK

PIDANA PEMALSUAN SURAT YANG

DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUP PERADILAN MILITER (Perkara No. 16K/MIL/2008)

Nama Mahasiswa :Dwi Haska Kurniati No. Pokok Mahasiswa : 0812011158

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. NIP 196312171988032003 NIP 198011182008011008

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(56)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ……….

Sekertaris/ Anggota : Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. ……….

Penguji Utama : Eko Raharjo, S.H., M.H. ……….

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003

(57)

RIWAYAT HIDUP

(58)

MOTTO

Kepercayaan memberikan komunikasi lebih dari jiwa.

(Dwi Haska Kurniati)

Kemampuan menertawakan diri sendiri, pertanda awal

seseorang mampu melakukan introspeksi diri.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebelumnya yang menggunakan ZPT Rootone F diantaranya Darliana (2006) menunjukkan bahwa pemberiaan Rootone F dengan konsentrasi 100 mg/l air dapat

Penelitian ini membahas tentang hasil belajar pada pokok bahasan plantae dengan menggunakan model pembelajaran bercerita berpasangan dan bertukar pasangan. Model

komunitas juga sangat penting, karena komunitas menjadi sebuah wadah bagi setiap individu untuk belajar mulai dari menerima dirinya sendiri.Forum diskusi dan kegiatan

[r]

Kami mohon dengan hormat agar peserta yang sedang sakit berat/keras dan ibu-ibu hamil yang kehamilannya belum mencapai 5 (lima) bulan atau yang telah mendekati masa persalinan

Software Optimasi Desain Poros (dengan Beban Puntir dan Lentur) yang dibuat menggunakan Visual Basic dari program Microsoft Visual Studio 2010 Ultimate berjalan

Pada Gambar 37 yaitu penyimpanan pisang Mas Kirana pada suhu 15 °C yang menunjukkan bahwa pada hari ke-6, nilai kadar air daging buah pisang Mas Kirana terbesar ada

Tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kondisi optimum parameter yang diperkirakan mempengaruhi proses adsorpsi ion krom oleh tanah