• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Dalam dokumen Universitas Sumatera Utara (Halaman 16-21)

PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14,9 juta hektar, yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim dunia.

Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti daun, ranting kayu dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang lama (ribuan tahun). Secara alami gambut berada pada lapisan atas, dan di bawahnya terdapat tanah aluvial dengan kedalaman yang bervariasi. Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) karbon (C) yang efisien dan penyimpan (sink) C penting (Rieley dan Page, 2008; Limpens et al., 2008).

Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan suatu keuntungan bagi lingkungan lahan sebagai cadangan C pada tanah. Namun apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan lahan, maka kehilangan C akan terjadi dan bahkan mampu menghabiskan cadangan C yang tersisa. Alih fungsi lahan dapat dengan cepat mengubah gambut menjadi sumber (source) emisi karbon dioksida (CO2) di atmosfer (Vasander dan Jauhiainen, 2008). Setiap peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar 450 ppm, menyebabkan peningkatan suhu sebesar 1 - 3,5 oC di permukaan bumi (Anonim, 2007).

Isu yang berkembang, bahwa konversi lahan gambut meningkatkan emisi gas rumah kaca dibandingkan konversi lahan non gambut. Bahkan dunia internasional menyatakan bahwa Indonesia berperan dalam kehancuran kelestarian gambut pada hutan primer. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dianggap

sebagai salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer.

Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, dianggap bertanggung jawab atas deforestasi hutan menjadi areal perkebunan, peningkatan emisi CO2, dan hilangnya keragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit adalah dampak dari meningkatnya perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan marjinal juga merupakan akibat terbatasnya lahan potensial yang dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit. Penelitian Wahyunto et al. (2013), menunjukan bahwa sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan adalah lahan terlantar yang tidak produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Istomo et al. (2007), menunjukan bahwa kerusakan hutan primer yang akhirnya menjadi hutan sekunder disebabkan oleh adanya HPH, dan illegal logging.

Pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk agroekosistem kelapa sawit merupakan salah satu upaya dalam mengembalikan sebagian C pada lahan gambut. Kemampuan tanaman kelapa sawit dalam menambat C hingga umur tanam 25 tahun adalah sebesar 35-55 t C/ha (IPCC, 2006; Agus, 2007; Carlson et al., 2012; Henson et al., 2012). Namun demikian selama kegiatan pengelolaan lahan dan tanaman kelapa sawit, proses kehilangan C juga terjadi dalam bentuk gas CO2 dan CH4. Kehilangan C terbesar pada agroekosistem kelapa sawit dapat terjadi sebagai akibat dari pembuatan saluran drainase (Hooijer et al., 2006), proses dekompisisi bahan organik (Chimner dan Cooper, 2003) dan respirasi vegetasi (Melling, 2007). Emisi dari lahan gambut tropis yang digunakan untuk budidaya tanaman perkebunan diperkirakan 48-86 t CO2/ha/th.

Nilai emisi pada lahan gambut dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berhubungan (Handayani, 2009). Faktor terbesar yang mempengaruhi nilai emisi dari lahan gambut adalah kedalaman muka air tanah yang dipengaruhi oleh drainase. Penurunan muka air tanah pada lahan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap emisi CO2. Hooijer et al. (2006) menyatakan bahwa, terdapat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Pada perkebunan kelapa sawit drainase harus dikendalikan sesuai dengan kebutuhan produktivitas kelapa sawit yang optimal. Tinggi muka air tanah merupakan faktor kunci dalam memahami siklus C. Dinamika yang tinggi pada muka air tanah dapat mengubah dan menciptakan efek umpan balik pada siklus C yang berdampak pada perubahan lingkungan, seperti pemanasan global, dan perubahan curah hujan (Szajdak dan Szatylowicz, 2010; Nuryani et al., 2009).

Faktor lainnya adalah tingkat dekomposisi gambut yang dinyatakan dengan kematangan gambut, penurunan permukaan gambut (subsiden) dan iklim. Selain drainase, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme merupakan penyumbang emisi CO2 terbesar kedua sebesar 9,17 t /ha/th, kemudian disusul oleh respirasi akar tanaman sebesar 4,25 t/ha/th (Melling et al., 2005).

Degradasi lahan gambut bisa terjadi bila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi GRK besar. Faktor iklim juga memiliki peran penting dalam proses pelepasan CO2 dari lahan gambut. Sylva et al. (2008) menyatakan bahwa suhu, kelembaban, potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam pengendalian dinamika gas dalam

ekosistem. Liu et al. (2008) menyatakan bahwa, emisi CO2 pada musim penghujan mempunyai rata-rata fluks CO2 sekitar 194,4 mg CO2/m2/ha.

Pembuktian bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu penyebab utama efek gas rumah kaca, harus dengan data dan analisa yang akurat serta penelitian secara berkala. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur nilai emisi CO2 pada kebun kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur nilai emisi CO2 pada beberapa kedalaman muka air gambut, laju subsiden, dan iklim. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran mengenai emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah, dengan mempertimbangkan kedalaman muka air gambut, laju subsiden, dan iklim apakah berpengaruh terhadap nilai emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit menghasilkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedalaman muka air tanah, laju subsiden, dan iklim terhadap nilai emisi CO2 pada gambut di perkebunan kelapa sawit menghasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meluruskan dan memberikan informasi yang jelas mengenali isu-isu yang beredar mengenai ketidakberlanjutan budidaya kelapa sawit, serta faktor yang mempengaruhi emisi CO2. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam mengelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Dalam dokumen Universitas Sumatera Utara (Halaman 16-21)

Dokumen terkait