• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

HALAMAN JUDUL

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR, SUBSIDEN DAN IKLIM TERHADAP EMISI CO2 DI LAHAN GAMBUT PADA

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENGHASILKAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agroteknologi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMBRANSYA ALI HARAHAP 177001033

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

HALAMAN PENGESAHAN

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Desember 2021

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.P Anggota : 1. Dr. Dra. Ir. Chairani Hanum, M.S

2. Dr. Mariani Sembiring, S.P, M.P

(5)

PERNYATAAN Judul Tesis

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR, SUBSIDEN DAN IKLIM TERHADAP EMISI CO2 DI LAHAN GAMBUT PADA PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT MENGHASILKAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Agroteknologi pada Program Studi Agroteknologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 30 Desember 2021 Penulis,

IMBRANSYA ALI HARAHAP

(6)

ABSTRAK

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR, SUBSIDEN DAN IKLIM TERHADAP EMISI CO2 DI LAHAN GAMBUT PADA PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT MENGHASILKAN Abstrak

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedalaman muka air gambut, laju subsiden, dan iklim terhadap nilai emisi CO2 di gambut pada perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di areal gambut pada salah satu perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia pada Juni 2019 sampai Juni 2021. Penelitian ini mengunakan metode analitik dan diuji dengan regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai emisi CO2 terendah terdapat pada kedalaman muka air tanah 0,3 – 0,4 m dan 0,4 – 0,6 m sebesar 31,09; 31,54 t/ha/th. Kedalaman muka air signifikan meningkatkan nilai emisi CO2 pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit (r2= 0,206). Pada penelitian ini faktor subsiden, curah hujan, suhu udara, dan radiasi cahaya matahari tidak nyata mempengaruhi emisi CO2 pada gambut di perkebunan kelapa sawit menghasilkan.

Kata kunci : Gambut, emisi CO2, kedalaman muka air, subsiden, iklim.

(7)

THE EFFECT OF WATER LEVELS, SUBSIDENCE AND CLIMATE ON CO2 EMISSIONS IN PEATLAND ON MATURE OIL PALM

ABSTRACT Abstract

Land clearing for oil palm plantations are considered contributors to the increasing concentration of carbondioxide (CO2) in the atmosphere. This study measured the influence of groundwater depth, subsidence rate, and climate on CO2 emissions value at the peatland in oil palm plantations. This study was conducted at the peatland of oil palm plantations in Siak District, Riau Province, Indonesia from June 2019 to June 2021. This study used an analytical method and was tested with linear regression. The results showed that the lowest values of CO2 emissions found in the groundwater depth 0,3-0,4 m and 0,4-0,6 m of 31,09;

31,54 ton ha-1 year-1. The groundwater depth significantly increases the value of CO2 emissions at the peatlands in oil palm plantations (r2= 0.206). The deeper of groundwater depthin peatlands then increased emissions of CO2 produced. In this study subsidence, precipitation, temperature, and solar radiation insignificantly affect the emissions of CO2 at the peatland in mature oil palm plantations.

Keywords : Peatland, CO2 emissions, groundwater depth, subsidence, climate

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah, karunia, rahmat, dan hidayah yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Prof. Ir. T. Sabrina, M.Agr.Sc., Ph.D selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan selaku ketua komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Luthfi Aziz Mahmud Siregar, SP., MSc., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Agroteknologi dan Ibu Dr. Mariani Sembiring, S.P, M.P selaku sekertaris Program Studi Magister Agroteknologi.

3. Bapak Dr. Ir. Mukhlis, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.P dan Ibu Dr. Dra. Ir. Chairani Hanum, M.S selaku Komisi Penguji, atas saran perbaikan yang diberikan.

5. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Imbalo Marisi Harahap, S.P dan Ibunda Hadijah Saragih, yang selalu mendorong, mendukung dan mendoakan penulis.

6. Adik-adik penulis, Ira Dwiyati Harahap, S.Psi. dan Ika Hidayani Harahap, S.I.P. yang dengan luar biasa selalu mendorong dan mendoakan penulis.

7. Istri penulis, Rachyuni Sari yang selalu mendoakan dan setia mendampingi

(9)

penulis hingga terselesaikannya tesis ini. Putra putri penulis, Maybe Laudya F, Izzan Alfarizqi Harahap dan Izzy Alfarizqi Harahap yang menjadi motivasi bagi penulis.

8. Tim Departemen Agronomy Research and Development di Kabupaten Siak, atas bantuan moril dan tenaga yang diberikan.

Penulis berharap, semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga Allah SWT memberkati kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 30 Desember 2021 Penulis

IMBRANSYA ALI HARAHAP

(10)

RIWAYAT HIDUP

Imbransya Ali Harahap, lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 13 Juli 1992, anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Ayahanda Imbalo Marisi Harahap S.P dan Ibunda Hadijah Saragih. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 164326 Tebing Tinggi, lulus tahun 2003, dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Tebing Tinggi, lulus tahun 2006, serta menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Tebing Tinggi, lulus tahun 2009.

Melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian STIPER Yogyakarta Jurusan Budidaya Pertanian, Minat Perkebunan Kelapa Sawit dan lulus pada 2013. Pada tahun 2017 melanjutkan pendidikan di Program Studi Agroteknologi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Medan, 30 Desember 2021 Penulis

IMBRANSYA ALI HARAHAP

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tanah Gambut ... 6

2.2 Pembentukan dan Klasifikasi Gambut... 7

2.3 Karakteristik dan Fungsi Gambut ... 9

2.4 Emisi pada Gambut dan Faktor Penyebabnya ... 11

BAB III. METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Jenis Penelitian ... 16

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.3 Variabel Pengamatan ... 16

3.4 Prosedur Penelitian ... 17

3.4.1 Pengukuran Emisi Atas Permukaan ... 17

3.4.2 Pengamatan Kedalaman Muka Air Gambut ... 19

3.4.3 Pengamatan Laju Subsiden ... 19

3.5 Analisa Data ... 21

(12)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Emisi CO2 ... 22

4.2 Hubungan Emisi CO2 dengan Kedalaman Muka Air Gambut ... 24

4.3 Hubungan Emisi CO2 dengan Curah Hujan ... 27

4.4 Hubungan Emisi CO2 dengan Subsiden ... 30

4.5 Hubungan Emisi CO2 dengan Suhu ... 31

4.6 Hubungan Emisi CO2 dengan Radiasi Cahaya Matahari ... 32

4.7 Pengaturan Air pada Lahan Gambut ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Nilai rata-rata emisi CO2 pada berbagai kedalaman muka air ... 24 Tabel 4.2 Perbedaan nilai rata-rata radiasi cahaya matahari ... 31

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Fluktuasi nilai emisi CO2 pada lokasi penelitian. ... 22

Gambar 4.2 Hubungan kedalaman muka air dengan emisi CO2 ... 24

Gambar 4.3 Fluktuasi kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 ... 25

Gambar 4.4 Fluktuasi curah hujan bulanan dan harian di lokasi penelitian ... 25

Gambar 4.6 Hubungan antara curah hujan bulanan dan kedalaman muka air ... 28

Gambar 4.7 Fluktuasi suhu dan emisi CO2 ... 30

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi penelitian. ... 41

Lampiran 2. Rekap data penelitian ... 43

Lampiran 3. Hasil uji statistik ... 44

Lampiran 4. Peta lokasi penelitian ... 47

(16)

BAB I.

PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14,9 juta hektar, yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim dunia.

Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti daun, ranting kayu dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang lama (ribuan tahun). Secara alami gambut berada pada lapisan atas, dan di bawahnya terdapat tanah aluvial dengan kedalaman yang bervariasi. Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) karbon (C) yang efisien dan penyimpan (sink) C penting (Rieley dan Page, 2008; Limpens et al., 2008).

Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan suatu keuntungan bagi lingkungan lahan sebagai cadangan C pada tanah. Namun apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan lahan, maka kehilangan C akan terjadi dan bahkan mampu menghabiskan cadangan C yang tersisa. Alih fungsi lahan dapat dengan cepat mengubah gambut menjadi sumber (source) emisi karbon dioksida (CO2) di atmosfer (Vasander dan Jauhiainen, 2008). Setiap peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar 450 ppm, menyebabkan peningkatan suhu sebesar 1 - 3,5 oC di permukaan bumi (Anonim, 2007).

Isu yang berkembang, bahwa konversi lahan gambut meningkatkan emisi gas rumah kaca dibandingkan konversi lahan non gambut. Bahkan dunia internasional menyatakan bahwa Indonesia berperan dalam kehancuran kelestarian gambut pada hutan primer. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dianggap

(17)

sebagai salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer.

Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, dianggap bertanggung jawab atas deforestasi hutan menjadi areal perkebunan, peningkatan emisi CO2, dan hilangnya keragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit adalah dampak dari meningkatnya perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan marjinal juga merupakan akibat terbatasnya lahan potensial yang dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit. Penelitian Wahyunto et al. (2013), menunjukan bahwa sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan adalah lahan terlantar yang tidak produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Istomo et al. (2007), menunjukan bahwa kerusakan hutan primer yang akhirnya menjadi hutan sekunder disebabkan oleh adanya HPH, dan illegal logging.

Pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk agroekosistem kelapa sawit merupakan salah satu upaya dalam mengembalikan sebagian C pada lahan gambut. Kemampuan tanaman kelapa sawit dalam menambat C hingga umur tanam 25 tahun adalah sebesar 35-55 t C/ha (IPCC, 2006; Agus, 2007; Carlson et al., 2012; Henson et al., 2012). Namun demikian selama kegiatan pengelolaan lahan dan tanaman kelapa sawit, proses kehilangan C juga terjadi dalam bentuk gas CO2 dan CH4. Kehilangan C terbesar pada agroekosistem kelapa sawit dapat terjadi sebagai akibat dari pembuatan saluran drainase (Hooijer et al., 2006), proses dekompisisi bahan organik (Chimner dan Cooper, 2003) dan respirasi vegetasi (Melling, 2007). Emisi dari lahan gambut tropis yang digunakan untuk budidaya tanaman perkebunan diperkirakan 48-86 t CO2/ha/th.

(18)

Nilai emisi pada lahan gambut dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berhubungan (Handayani, 2009). Faktor terbesar yang mempengaruhi nilai emisi dari lahan gambut adalah kedalaman muka air tanah yang dipengaruhi oleh drainase. Penurunan muka air tanah pada lahan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap emisi CO2. Hooijer et al. (2006) menyatakan bahwa, terdapat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Pada perkebunan kelapa sawit drainase harus dikendalikan sesuai dengan kebutuhan produktivitas kelapa sawit yang optimal. Tinggi muka air tanah merupakan faktor kunci dalam memahami siklus C. Dinamika yang tinggi pada muka air tanah dapat mengubah dan menciptakan efek umpan balik pada siklus C yang berdampak pada perubahan lingkungan, seperti pemanasan global, dan perubahan curah hujan (Szajdak dan Szatylowicz, 2010; Nuryani et al., 2009).

Faktor lainnya adalah tingkat dekomposisi gambut yang dinyatakan dengan kematangan gambut, penurunan permukaan gambut (subsiden) dan iklim. Selain drainase, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme merupakan penyumbang emisi CO2 terbesar kedua sebesar 9,17 t /ha/th, kemudian disusul oleh respirasi akar tanaman sebesar 4,25 t/ha/th (Melling et al., 2005).

Degradasi lahan gambut bisa terjadi bila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi GRK besar. Faktor iklim juga memiliki peran penting dalam proses pelepasan CO2 dari lahan gambut. Sylva et al. (2008) menyatakan bahwa suhu, kelembaban, potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam pengendalian dinamika gas dalam

(19)

ekosistem. Liu et al. (2008) menyatakan bahwa, emisi CO2 pada musim penghujan mempunyai rata-rata fluks CO2 sekitar 194,4 mg CO2/m2/ha.

Pembuktian bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu penyebab utama efek gas rumah kaca, harus dengan data dan analisa yang akurat serta penelitian secara berkala. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur nilai emisi CO2 pada kebun kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur nilai emisi CO2 pada beberapa kedalaman muka air gambut, laju subsiden, dan iklim. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran mengenai emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah, dengan mempertimbangkan kedalaman muka air gambut, laju subsiden, dan iklim apakah berpengaruh terhadap nilai emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit menghasilkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedalaman muka air tanah, laju subsiden, dan iklim terhadap nilai emisi CO2 pada gambut di perkebunan kelapa sawit menghasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meluruskan dan memberikan informasi yang jelas mengenali isu-isu yang beredar mengenai ketidakberlanjutan budidaya kelapa sawit, serta faktor yang mempengaruhi emisi CO2. Penelitian ini juga

(20)

diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam mengelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

(21)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Gambut

Lahan gambut memiliki lapisan tanah yang kaya bahan organik (C-organik >

18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Menurut Wahyunto et al. (2005), tanah gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan organik, berupa sisa – sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm, sehingga lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Dalam sistem taksonomi tanah, gambut tergolong sebagai Histosol.

Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik berupa sisa jaringan tumbuhan dan vegetasi alami, pada berbagai tingkat pelapukan (Subagyo et al., 2000). Kondisi lingkungan yang areob menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai sehingga timbunan bahan organik terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat. Menurut Hardjowigeno (1986), tanah gambut terbentuk melalui proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, sedangkan tanah mineral pada umumnya terbentuk melalui proses proses pedogenik. Bahan induk tanah di daerah lahan rawa gambut bervariasi menurut bahan asalnya yang berasal dari hulu sungai. Semakin jauh dari sungai, endapan gambut ini cenderung makin tebal dan membentuk kubah gambut (peat dome).

(22)

2.2 Pembentukan dan Klasifikasi Gambut

Pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman air tersebut kemudian mati, melapuk, dan membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan tanah mineral yang berada di dasarnya. Prosesnya terjadi berulang sehingga danau tersebut menjadi penuh.

Gambut yang terbentuk dari proses ini disebut dengan gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen relatif subur (eutrofik) terdapat pengaruh tanah mineral. Pada kondisi tertentu, misalnya terjadi banjir dan membawa sedimen tanah mineral sehingga dapat menambah kesuburan gambut.

Tumbuhan tertentu dapat tumbuh pada gambut topogen, dan hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang kemudian membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Tingkat kesuburan gambut ombrogen lebih rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak terdapat pengkayaan mineral.

Tanah gambut diklasifikasikan pada kelas organosol atau histosol yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm. Menurut Wahyunto et al. (2005), histosol merupakan tanah yang tidak memiliki sifat – sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau di antara pemukaan tanah

(23)

dan kontak densik, litik, paralitik, duripan, apabila lebih dangkal. Berdasarkan tingkat kematangannya gambut diklasifikasikan menjadi:

a. Gambut saprik (matang), adalah gambut yang telah mengalami dekomposisi lanjut dan bahan asalnya sudah tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan kandungan seratnya < 15%.

b. Gambut hemik (setengah matang), adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan kandungan seratnya 15 – 75%.

c. Gambut fibrik (mentah), adalah gambut yang belum mengalami pelapukan, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75%

seratnya masih tersisa.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

a. Gambut eutrofik, adalah gambut subur yang kaya bahan mineral, basa-basa dan hara lainnya karena dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.

b. Gambut mesotrofik, adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.

c. Gambut oligotrofik, adalah gambut yang tidak subur, miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.

Menurut Radjagukguk (1997), sebagian besar gambut di Indonesia tergolong kedalam gambut mesotrofik dan oligotrofik. Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan sepanjang jalur aliran sungai.

Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral, basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut.

(24)

Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik fisik serta kimianya. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam meliputi kadar air, berat isi/ bulk density (Bd), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan kering tidak balik (irriversible drying). Karakteristik kimia gambut ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (dasar gambut) dan tingkat dekomposisi gambut.

Tanah gambut mampu meyerap air 13 kali dari bobotnya, kadar air pada gambut berkisar antara 100 – 1.300 % dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991).

Kadar air yang tinggi menyebabkan Bd menjadi rendah dan daya menahan bebannya rendah. Penurunan permukaan tanah (subsiden) dapat terjadi apabila lahan gambut di drainase dan volume gambut menurun. Subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Laju subsiden pada gambut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.

Adanya subsiden bisa diamati secara langsung pada tumbuhan dengan adanya akar tanaman yang menggantung. Rendahnya Bd gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah, akibatnya gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat kering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100%, tidak dapat menyerap air kembali bila dibasahi.

2.3 Karakteristik dan Fungsi Gambut

Karakteristik atau sifat kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum dan tingkat

(25)

dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa- senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Tingkat kemasaman pada gambut relatif tinggi, dengan kisaran pH 3-5.

Gambut oligotropik, seperti yang banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) yang sangat rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) pada gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tanah gambut juga memiliki kandunganhara mikro rendah dan diikat kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman.

Lahan gambut memiliki beberapa fungsi penting bagi ekosistem, menurut Wahyunto et al. (2005), salah satu fungsi lahan gambut adalah sebagai cadangan C. Lahan gambut tropika mampu menyimpan C terestrial yang diperhitungkan dan diperkirakan sebesar 16 Gt. Vegetasi pada lahan gambut yang membentuk ekosistem hutan rawa gambut dapat mengikat CO2 dari atmosfer dan menambah daya simpan C pada ekosistemnya. Tetapi jika mengalami gangguan maka lahan gambut akan berubah menjadi sumber emisi C. Menurut Joosten (2007), sekitar 3% luas daratan di dunia merupakan lahan gambut dan mampu menyimpan 550 Gt C atau setara dengan 30% C tanah, 75% dari seluruh C pada atmosfer, setara dengan seluruh C yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan C semua hutan di seluruh dunia.

Kapasitas simpan C lahan gambut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

(26)

tanah mineral. Setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180- 600 mg C, sedangkan setiap satu gram tanah mineral hanya mengandung 5-80 mg C.

Menurut Parish et al., (2007), dalam kondisi alami simpanan C pada lahan gambut relatif stabil dan ketebalannya dapat bertambah sampai 3 mm per tahun. Apabila kondisi alami lahan gambut terganggu, maka akan terjadi percepatan proses pelapukan (dekomposisi), sehingga C yang tersimpan akan teremisi menjadi gas CO2 dan membentuk GRK, sebagai dampak dari dilakukannya proses drainase yang selalu dilakukan dalam pemanfaatan lahan gambut.

Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara vertikal maupun horizontal. Saluran drainase sangat menentukan kondisi muka air tanah.

Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu air. Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air tanah harus dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi gambut tetap lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut mengering. Pengendalian air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO2 yang terjadi.

2.4 Emisi pada Gambut dan Faktor Penyebabnya

Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan bahwa, laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Rieley dan Page (2005), menunjukkan hubungan linier antara kedalaman muka air tanah dengan emisi C bersifat spesifik lokasi. Agus et al. (2009), menunjukkan bahwa laju

(27)

emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman muka air tanah. Oleh karena mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang sangat efektif. Emisi karena proses dekomposisi terjadi relatif lambat dibanding proses kebakaran, namun kehilangan simpanan C melalui proses dekomposisi seringkali terlambat disadari, sehingga terlambat untuk ditanggulangi. Untuk menekan laju emisi melalui proses dekomposisi perlu dipelajari faktor - faktor yang mempengaruhinya. Pada prinsipnya, faktor yang berpengaruh terhadap laju emisi GRK identik dengan faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dekomposer bahan organik. Secara spesifik, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mineralisasi C pada tanah gambut adalah suhu, tinggi muka air tanah, kandungan mineral, pH, kation-kation, dan salinitas (Baldock dan Skjemstad, 2000; Blodau, 2002; dan Bertrand et al., 2007).

Proses emisi GRK dari lahan gambut berjalan cepat setelah lahan di drainase.

Hal ini berhubungan dengan perubahan tinggi muka air tanah, yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan dari kondisi anaerob menjadi aerob. Dalam kondisi aerob terjadi peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah. Hasil penelitian Moore dan Dalva (1993), di laboratorium dengan menggunakan kolom menunjukkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 0, 10, 20, 40 dan 60 cm, emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah, makin dalam muka air tanah emisi CO2 makin tinggi, sedangkan untuk methan berlaku sebaliknya. Hasil penelian Agus et al. (2010) di Kalimantan Tengah juga menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi CO2 pada lahan gambut. Sampai kedalaman <50 cm

(28)

emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah.

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, terutama pada tanaman tahunan memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan.

Sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut.

Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut.

Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran, untuk mengatur kedalaman muka air tanah pada lahan gambut. Kedalaman saluran drainase pada masing-masing tanaman tahunan berbeda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm.

Dekomposisi bahan organik pada gambut merupakan faktor lain yang menyebabkan penurunan permukaan tanah gambut. Laju subsiden dipengaruhi oleh faktor waktu, stabilitas laju subsiden (Hooijer et al., 2012) dan tipe tutupan lahan (Aswandi et al., 2016). Laju subsiden tertinggi terjadi pada lahan terbuka dan ditumbuhi semak belukar sekitar 5,6 cm/th, dan terendah pada hutan gambut primer dengan penurunan sebesar 1,4 cm/tahun. Kehilangan C berkorelasi positif terhadap laju subsiden, artinya bahwa semakin tinggi kehilangan C, maka laju subsiden akan semakin cepat. Kontribusi kehilangan C terhadap subsiden tertinggi pada lahan terbuka yang ditumbuhi semak belukar, diikuti dengan perkebunan kelapa sawit dan hutan gambut primer (Aswandi et al., 2016).

Iklim memiliki peran penting dalam proses pelepasan CO2 dari lahan gambut.

Sylva et al. (2008) menyatakan bahwa suhu, kelembaban, potensial redoks, dan

(29)

ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam pengendalian dinamika gas dalam ekosistem. Menurut Mohamed et al. (2004), tutupan awan, radiasi cahaya matahari, dan suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi emisi. Suhu merupakan faktor penting karena seluruh reaksi biologi terpengaruh oleh suhu. Menurut Zheng et al. (2009), peningkatan suhu tanah dapat memicu aktivitas mikroba dan perkembangan akar terjadi dengan cepat pada musim panas pada daerah beriklim sedang, namun pada ekosistem hutan tropika dan sub tropika pengaruh suhu terhadap perkembangan akar dan aktivitas mikroba dinilai rendah.

Faktor lain yang mempengaruhi flux CO2 adalah curah hujan, menurut Hashimoto et al., (2007), curah hujan dapat mempengaruhi kedalaman muka air tanah dan kelembaban tanah (Jaenicke et al. 2010). Jauhiainen et al., (2005);

Schedlbauer et al., (2010) melaporkan bahwa flux CO2 lebih tinggi pada musim kering dan rendah pada musim hujan. Selama musim kering kedalaman muka air tanah menjadi dalam jauh di bawah permukaan tanah dan kondisi ini umumnya meningkatkan emisi CO2. Namun, terdapat penelitian lain yang melaporkan bahwa kedalaman muka air tanah tidak mempengaruhi emisi CO2 (Berglund et al., 2011; Kechavarzi et al., 2007; Nieven et al., 2005).

Meningkatnya suhu secara langsung memacu proses dekomposisi dengan mempercepat aktivitas enzim dan reaksi - reaksi kimia. Peningkatan CO2 secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Suhu harian bervariasi menurut waktu, dan laju flux CO2 tidak sama sepanjang hari (Zhang et al., 2015).

Beberapa hasil penelitian tentang variasi flux CO2 harian menunjukkan bahwa flux CO2 tertinggi terjadi pada siang hari pukul 12.00 siang dan sepanjang siang (Parkin dan Kaspar, 2003; Zhang et al., 2015) dan minimum terjadi pada malam

(30)

hari ataupun dini hari (Maljanen et al., 2002; Parkin dan Kaspar, 2003; Zhang et al., 2015; Marwanto dan Agus, 2004). Menurut Davidson et al., (2000), variasi harian flux CO2 ditentukan oleh interaksi beberapa mekanisme, sehingga efek suhu terlihat lemah dan dan diimbangi oleh faktor lain yang tidak diamati.

(31)

BAB III.

METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan data primer hasil pengamatan emisi CO2, kedalaman muka air gambut, laju subsiden, iklim (suhu, curah hujan dan radiasi cahaya matahari). Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan secara sistematis untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai emisi CO2 pada areal gambut.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal gambut di salah satu perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak, Riau (Lat N 0o 40’ 3” Long E 1010 3”’). Penelitian dilakukan pada areal seluas 88,75 Ha. Penelitian ini dilakukan mulai dari Juni 2019 sampai dengan Juni 2021 pada perkebunan kelapa sawit menghasilkan berumur 15 tahun..

3.3 Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan yang digunakan pada penelitian ini adalah : a. Emisi CO2

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat LI-COR (LI-850) dengan menggunakan metode close chamber.

b. Kedalaman muka air gambut

Pengamatan kedalaman muka air gambut dilakukan dengan menggunakan alat piezometer.

(32)

c. Laju subsiden

Pengamatan subsiden dilakukan dengan mengamati nilai penurunan muka tanah gambut dengan menggunakan patok subsiden.

d. Iklim (Suhu, curah hujan, radiasi cahaya matahari)

Pengamatan suhu dilakukan langsung dengan mengukur suhu udara pada lokasi pengamatan dengan menggunakan termometer air raksa. Pengamatan curah hujan dengan menggunakan alat pada sistem Automatic weather station (AWS) dan radiasi cahaya matahari dilakukan menggunakan alat pada sistem AWS dan Lux meter (in situ).

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengukuran Emisi Atas Permukaan

Perhitungan emisi atas permukaan dilakukan dengan metode close chamber menggunakan alat LI-COR (LI-850).

Gambar 3.1 Alat ukur nilai emisi, LI-COR (LI-850)

Pengukuran emisi CO2 dilakukan setiap bulan pada ketiga lokasi penelitian.

Pada setiap lokasi penelitian terdapat 2 titik pemasangan lokasi dengan jarak 50 dan 150 m dari parit drainase. Pada setiap titik terdapat 6 chamber dengan ketentuan 2 chamber dipasang pada piringan pokok (1,5 m dari pangkal pokok), 2

(33)

chamber dipasang pada gawangan mati (4,5 m dari pangkal pokok) tanpa trenching dan 2 chamber dipasang pada gawangan mati (4,5 m dari pangkal pokok) dengan perlakuan trenching (menghilangkan akar yang terdapat pada chamber). Pada setiap lokasi penelitian terdapat 12 chamber dan total keseluruhan terdapat 36 chamber.

Gambar 3.2 Chamber yang digunakan dalam pengukuran emisi CO2

Chamber yang digunakan terbuat dari pipa PVC berukuran 10” yang dipotong setinggi 50 cm. Chamber yang digunakan ditanam 10 cm kedalam tanah dan 40 cm diatas tanah. Dan sungkup yang digunakan berukuran 10”.

Gambar 3.3 Sungkup Chamber

Pengamatan dilakukan setiap bulan secara rutin, pada jam 08.00 setiap periode pengamatan.

(34)

3.4.2 Pengamatan Kedalaman Muka Air Gambut

Pengukuran kedalaman muka air gambut dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan pengukuran emisi permukaan gambut. Pengukuran kedalaman muka air gambut dilakukan dengan menggunakan alat piezometer yang terbuat dari pipa PVC berukuran 4” sepanjang 1,5 m dan dipasang pada jarak 50, 150 dan 250 m dari saluran drainase.

Gambar 3.4 Piezometer

3.4.3 Pengamatan Laju Subsiden

Pengamatan laju subsiden dilakukan setiap minggu pada setiap lokasi pengamatan dengan menggunakan patok subsiden, dan diukur dengan menggunakan penggaris dari ring patok subsiden ke permukaan tanah gambut.

Gambar 3.5 Patok subsiden

(35)

3.4.4 Pengamatan Iklim

Faktor iklim yang diamati pada lokasi penelitian meliputi suhu, curah hujan, dan radiasi cahaya matahari. Suhu tanah dimonitor pada kedalaman 5 cm di luar sungkup, suhu udara dimonitor pada ketinggian 90 cm diatas permukaan tanah dan suhu dalam sungkup dimonitor dengan meletakkan termometer pada lubang sungkup. Pengamatan suhu dilakukan dengan menggunakan termometer setiap bulan bersamaan dengan pengamatan nilai emisi CO2.

Gambar 3.6 Termometer air raksa

Curah hujan dan radiasi cahaya matahari diamati dengan menggunakan alat pada sistem Automatic weather station (AWS) dan lux meter (in situ). Data yang terdapat pada sistem AWS tercatat secara real time. Alat tersebut terletak pada radius 1 km dari lokasi penelitian (cakupan alat 40 km2).

Gambar 3.7 Automatic Weather System (AWS)

(36)

3.5 Analisa Data

Data emisi yang diperoleh dianalisis berdasarkan kedalaman muka air, laju subsiden, dan iklim (suhu, curah hujan dan radiasi cahaya matahari). Data kedalaman muka air dikelompokkan menjadi 4 kategori (<30 cm, 30-40 cm, 40- 60 cm dan >60 cm), kemudian diuji beda rataan nilai emisi pada setiap kategori kedalaman muka air dan dilakukan uji regresi linier hubungan nilai emisi dengan parameter kedalaman muka air gambut. Uji regresi linier dilakukan untuk menguji hubungan nilai emisi dengan laju subsiden gambut, curah hujan, suhu dan radiasi cahaya matahari terhadap nilai emisi CO2.

(37)

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkebunan kelapa sawit yang menjadi lokasi penelitian memiliki luas 6.562 ha, yang terdiri dari lahan mineral seluas 3.843 ha (58,6%) dan lahan gambut seluas 2.719 ha (41,4%). Penelitian ini dilakukan di lahan gambut pada tanaman kelapa sawit menghasilkan berumur 15 tahun seluas 88,75 ha, tipe lokasi rawa belakang, dengan topografi wilayah datar agak cekung, dengan kelerengan 0-1%. Pada lokasi penelitian, gambut saprik ditemui pada lapisan tanah 0-30 cm dan gambut hemik pada lapisan tanah 30-60 dengan kedalaman gambut pada lokasi penelitian berkisar antara 2,25 – 4,60 m.

4.1 Emisi CO2

Nilai emisi CO2 yang diukur merupakan emisi total yang dihasilkan oleh respirasi akar dan dekomposisi bahan organik akibat aktivitas mikroorganisme.

Emisi akibat dekomposisi gambut adalah emisi senyawa gas rumah kaca (GRK) yaitu gas CO2, metana (CH4) dan dinitro oksida (N2O). Kadar emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 dan N2O. Penelitian yang dilakukan oleh Peterson et al. (2003), menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas perakaran merupakan tempat yang disukai oleh mikroba dibandingkan dengan bulk soil. Dengan meningkatnya populasi mikroba, maka aktivitas mikroba di sekitar perakaran juga meningkat. Handayani et al. (2010), menyatakan bahwa respirasi akar pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan emisi CO2 pada zona perakaran (rhizosphere) yang lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, sekitar 38% dari emisi gas CO merupakan hasil

(38)

respirasi akar. Menurut Dannoura et al. (2005), proses respirasi akar memiliki peran penting dalam siklus C biosfer.

Gambar 4.1 Fluktuasi nilai emisi CO2 pada lokasi penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai emisi CO2 bervariasi setiap bulan pengamatan, nilai emisi CO2 terendah terjadi pada pengamatan bulan Juni 2019 sebesar 22,40 t/ha/th, dan nilai emisi CO2 tertinggi pada pengamatan bulan Maret 2020 sebesar 44,33 t/ha/th (Gambar 4.1). Nilai rata-rata emisi CO2 tahunan pada penelitian ini sebesar 33,82 t/ha/th.

Nilai rata-rata emisi pada penelitian ini lebih rendah daripada nilai patokan (default value) emisi CO2 dari pertanian pada lahan gambut skala kecil yang terdrainase sebesar 40-73 t/ha/th (IPCC, 2014) dan lebih rendah dari nilai emisi pada hutan gambut tidak didrainase, hutan gambut yang terpengaruh drainase, hutan gambut sekunder (bekas tebang bersih) berturut-turut sebesar 38,9; 40,00;

34,00 t/ha/th (Jauhianen et al. dalam Rieley et al. 2008), serta jauh lebih rendah

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun

2019 2020 2021

Emisi CO2(t/ha/th)

Tanggal pengamatan Emisi CO2

(39)

dibandingkan dengan hasil estimasi emisi CO2 yang disampaikan oleh Hooijer et al., (2012), menggunakan metode subsiden sebesar 73 t/ha/th.

Hal tersebut disebabkan oleh pengelolaan kedalaman muka air pada lokasi penelitian yang baik sehingga dapat mengurang laju dekomposisi gambut yang dapat meningkatkan emisi CO2 dan kondisi tutupan lahan yang tinggi pada lokasi penelitian dengan tanaman kelapa sawit berumur 15 tahun dibandingkan dengan emisi yang terjadi akibat tutupan lahan yang rendah (tanpa cover crop) yang mencapai 63,49 t/ha/th (Yusuf et.al, 2017).

4.2 Hubungan Emisi CO2 dengan Kedalaman Muka Air Gambut

Dalam keadaan alami, lahan gambut cenderung selalu dalam kondisi tergenang air. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit harus disertai dengan pengelolaan kedalaman muka air yang baik, dengan menjaga kedalaman muka air tanah pada keadaan yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit (Lim et al. 2012). Sumber air pada perkebunan kelapa sawit sebagian besar berasal dari hujan dan aliran sungai pada areal perkebunan.

Menurut Munir (2015), pembuatan saluran drainase bertujuan untuk memperlancar proses oksidasi, humifikasi, menaikan pH tanah dan mengatur kedalaman muka air tanah. Proses emisi dari lahan gambut berlangsung cepat setelah lahan didrainase. Hal ini berhubungan dengan perubahan kedalaman muka air tanah, yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan dari kondisi anaerob menjadi aerob dan menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah. Hasil penelitian Moore dan Dalva (1993), di laboratorium dengan

(40)

menggunakan kolom menunjukkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 0, 10, 20, 40 dan 60 cm, emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah, yang berarti semakin dalam muka air tanah gambut maka emisi CO2

semakin meningkat. Hasil penelian Agus et al. (2010), di Kalimantan Tengah juga menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi CO2 pada lahan gambut. Pada penelitian ini, kedalaman muka air tanah dikelompokkan menjadi <0,3 m, 0,3 - <0,4, 0,4 - 0,6 m dan >0,6 m.

Tabel 4.1 Nilai rata - rata emisi CO2 pada berbagai kedalaman muka air

Gambar 4.2 Hubungan kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2

Tabel 4.1 menunjukkan rata-rata emisi CO2 tertinggi pada kedalaman muka air tanah >0,6 m yaitu 39,82 t/ha/th dan terendah pada kedalaman muka air tanah 0,3 m - <0,4 m yaitu 31,09t/ha/th. Hal serupa disampaikan Hirano et al. (2012)

Kedalaman Muka Air (m) Rata-Rata Emisi CO2 (t/ha/th)

<0,3 -

0,3 - <0,4 31,09

0,4 - 0,6 31,54

>0,6 39,82

y = 0.2771x + 19.338 R² = 0.2062

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0

Emisi CO2(t/ha/th)

Kedalaman muka air (m) Emisi CO2 Linear (Emisi CO2)

(41)

bahwa peningkatan kedalaman muka air 10 cm akan meningkatakan emisi CO2

sebesar 0,89 t/ha/th pada lahan gambut tropika di Palangkaraya.

Nilai emisi tertinggi pada bulan Maret 2020 sebesar 44,33 t/ha/th, pada kedalaman muka air berada pada level > 0,6 m (Gambar 4.3). kedalaman muka air pada level >0,6 m menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan dari kondisi anaerob menjadi aerob dan menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah dan emisi CO2. Nilai emisi CO2 terendah terjadi pada pengamatan bulan Juni 2019 sebesar 22,40 t/ha/th, pada kedalaman muka air berada pada level 0,4- 0,6 m. Kondisi kedalaman muka air tanah yang optimal menyebabkan emisi CO2

yang rendah.

Gambar 4.3 Fluktuasi kedalaman muka air tanah dan emisi CO2

Berdasarkan hasil analisis regresi liniear, menunjukkan bahwa kedalaman muka air berpengaruh nyata terhadap nilai emisi CO2 pada lahan gambut (p-value

= 0,022). Hasil analisis statistik juga menunjukkan hubungan korelasi positif antara emisi CO2 dan kedalaman muka air tanah (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan oleh kedalaman muka air yang dikelola dengan baik pada lokasi penelitian.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

-0.80 -0.70 -0.60 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun

2019 2020 2021

Emisi CO2(t/ha/th)

Kedalam muka air (m)

Kedalaman Muka Air Emisi CO2

(42)

Sistem drainase pada lokasi penelitian dikelola secara baik dengan menggunakan over flow/ pintu air untuk mengatur kedalaman muka air tanah sehingga kedalaman muka air tanah selalu berada pada level optimum (0,4 - 0,6 m). Laiho (2006) menekankan bahwa perilaku lahan gambut sangat kompleks akibat penurunan kedalaman muka air tanah, akibat adanya interaksi antara banyak faktor seperti waktu dan jenis tanah.

Chimner dan Cooper (2003) dalam Maswar (2011), menyatakan bahwa keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik, sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam akan meningkatkan kondisi aerobik dan juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut sehingga akan meningkatkan emisi CO2. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap nilai emisi CO2 juga dilaporkan Hooijer et al. (2010 dan 2012), menunjukkan hubungan yang positif antara emisi CO2 dan muka air tanah, artinya bahwa semakin dalam kedalaman muka air tanah akan meningkatkan emisi CO2.

4.3 Hubungan Emisi CO2 dengan Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah. Tanah gambut lebih bersifat aerobik pada saat curah hujan rendah dan mengakibatkan bahan organik tanah lebih cepat terdekomposisi dan melepaskan CO2. Lingkungan anaerobik terjadi bila curah hujan tinggi dan memungkinkan ekosistem gambut berfungsi sebagai sequester/ penyerap karbon.

Selama periode penelitian dari bulan Juni 2019 sampai bulan Juni 2021 curah hujan harian tertinggi terjadi pada bulan Maret 2020 sebesar 22,14 mm/hari dan terendah terjadi pada bulan Februari 2021 sebesar 1,63 mm/hari (Gambar 4.4).

(43)

Menurut Schmidt and Ferguson, Periode bulan kering (curah hujan kurang dari 60 mm/bulan) terjadi pada bulan Februari 2021. Periode bulan lembab (curah hujan 60 - 100 mm/bulan), terjadi pada bulan Juli, September dan Desember 2019, Februari dan Agustus 2020, serta Januari 2021. Periode bulan basah (curah hujan lebih dari 100 mm/bulan) terjadi pada Juni, Agustus, Oktober, dan November 2019, Januari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, September, Oktober, November, dan Desember 2020, serta Maret, April, Mei dan Juni 2021 (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Fluktuasi curah hujan bulanan dan harian di lokasi penelitian

Gambar 4.5 Fluktuasi curah hujan bulanan dan emisi CO2

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun

2019 2020 2021

Curah hujan (mm/hari)

Curah hujan (mm/bulan)

Tanggal pengamatan CH Bulanan CH Harian

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun

2019 2020 2021

Fluks CO2 (t/ha/th)

Curah hujan (mm/bulan)

CH Bulanan Emisi CO2

(44)

Pengamatan yang dilakukan pada bulan Juni 2019 sampai dengan Juni 2021 mewakili pengukuran pada bulan kering, lembab dan bulan basah. Nilai emisi CO2 tertinggi terjadi pada bulan Maret 2020 pada saat curah hujan tinggi (bulan basah) dan Nilai emisi terendah terjadi pada bulan Februari 2021, pada saat curah hujan rendah (bulan kering) (Gambar 4.5). Kondisi ini terjadi karena walaupun curah hujan tinggi, air tidak menggenangi lokasi penelitian, air hujan yang turun langsung terdrainase ke main drain sehingga lokasi penelitian tidak tergenang dan tidak mempengaruhi nilai emisi CO2. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Jauhiainen et al. (2005); Schedlbauer et al. (2010), bahwa flux CO2 lebih tinggi pada musim kering dan rendah pada musim hujan.

Berdasarkan hasil analisis regresi linear, curah hujan tidak nyata mempengaruhi nilai emisi CO2 (p-value = 0,468), hal ini disebabkan oleh sistem drainase pada lokasi penelitian yang dikelola secara baik, sehingga air di lokasi penelitian tetap tersedia pada level yang optimum.

Curah hujan pada lokasi penelitian nyata berpengaruh terhadap kedalaman muka air (p-value = 0,031). Namun, curah hujan tidak nyata berpengaruh terhadap nilai emisi CO2, karena sistem drainase yang baik sehingga dapat mendrainase air pada kondisi curah hujan tinggi dan menahan air pada level optimum pada curah hujan rendah. Menurut Hashimoto et al. (2007), kondisi hidrologi lahan gambut tropika dominan dipengaruhi oleh curah hujan, dan variasi flux CO2 berhubungan dengan variasi curah hujan, yang juga mempengaruhi kedalaman muka air tanah dan kelembaban tanah (Jaenicke et al. 2010).

Beberapa penelitian mengasumsikan bahwa jumlah curah hujan kumulatif berhubungan secara linear dengan ketinggian muka air tanah. Kenaikan muka air

(45)

tanah terhadap curah hujan merupakan fungsi kompleks permeabilitas terhadap tingkat air, evapotranspirasi, vegetasi, aliran air tanah lateral, dan volume curah hujan (van Gaalen et al. 2013 ).

Gambar 4.6 Hubungan antara curah hujan bulanan dengan kedalaman muka air

4.4 Hubungan Emisi CO2 dengan Subsiden

Lahan gambut yang di drainase akan mengeluarkan air dari tanah gambut, dan simpanan air tanah berkurang. Turunnya muka air tanah menyebabkan laju dekomposisi gambut meningkat. Peningkatan laju dekomposisi meningkatkan nilai subsiden sehingga pelepasan CO2 akan terjadi melalui proses dekomposisi.

Couwenberg (2009), menyatakan bahwa emisi CO2 lebih dominan disebabkan oleh terjadinya subsiden lahan gambut yang didrainase, akibat proses oksidasi atau mineralisasi bahan organik gambut. Namun, pada penelitian ini menunjukkan bahwa subsiden bukan merupakan faktor yang mempengaruhi emisi CO2.

Berdasarkan hasil analisis regresi liniear, nilai subsiden tidak nyata mempengaruhi nilai emisi CO2 (p-value = 0,505), disebabkan oleh nilai subsiden pada titik pengamatan tidak besar sehingga emisi CO2 dari dekomposisi gambut

y = 0.0006x - 0.6225 R² = 0.1844

-0.80 -0.70 -0.60 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

Kedalaman muka air (m)

Curah hujan bulanan (mm/bulan)

Kedalaman muka air Linear (Kedalaman muka air)

(46)

kecil akibat dari aktivitas mikroorganisme dekomposer. Pengelolaan air/ water management yang baik pada lokasi penelitian menyebabkan nilai subsiden menjadi sangat kecil. Berbeda dengan yang disampaikan oleh Hooijer et al.

(2006), yang telah membuat satu bentuk hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan CO2.

4.5 Hubungan Emisi CO2 dengan Suhu

Berdasarkan hasil analisis regresi linear, suhu tidak nyata mempengaruhi nilai emisi CO2 (p-value = 0,648), hal ini disebabkan oleh suhu tanah antar titik pengamatan tidak berbeda nyata pada setiap pengamatan (Gambar 4.7). Suhu tanah tertinggi selama penelitian adalah pada bulan Maret tahun 2021 dan suhu tanah terendah pada bulan Juli tahun 2019.

Gambar 4.7 Fluktuasi suhu dan emisi CO2

Hal serupa disampaikan oleh Agus et al. (2010), yang menyatakan bahwa suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi, hal

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apt Mei Jun

2019 2020 2021

Emisi CO2(ton/ha/tahun)

Suhu (oC)

Tanggal pengamatan

Suhu tanah Emisi CO2

(47)

ini bisa disebabkan saat pengukuran di lapangan, perbedaan suhu antar titik pengukuran tidak terlalu nyata.

Hal ini umum terjadi di daerah tropika, dimana kisaran suhu maksimum dan minimum tidak terlalu lebar. Suhu yang rendah dan tidak terlalu nyata pada tiap bulan pengamatan juga disebabkan oleh tutupan lahan oleh kanopi tanaman kelapa sawit yang berumur 15 tahun yang menyebabkan radiasi cahaya matahari tidak dapat secara langsung masuk ke permukaan tanah serta vegetasi alami pada lokasi penelitian yang juga berperan sebagai cover crop. Menurut Zheng et al.

(2009), peningkatan suhu tanah dapat memicu aktivitas mikroba dan perkembangan akar terjadi dengan cepat pada musim panas pada daerah beriklim sedang, namun pada ekosistem hutan tropika dan sub tropika pengaruh suhu terhadap perkembangan akar dan aktivitas mikroba dinilai rendah.

4.6 Hubungan Emisi CO2 dengan Radiasi Cahaya Matahari

Radiasi cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang dianggap dapat menyebabkan efek gas rumah kaca akibat peningkatan suhu bumi dan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer. Hal itu disebabkan oleh gas - gas di atmosfer memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, kemudian gas - gas tersebut memantulkan kembali radiasi matahari ke bumi sehingga bumi mengalami pemanasan.

Berdasarkan hasil analisis regresi liniear, radiasi cahaya matahari tidak nyata mempengaruhi nilai emisi CO2 (p-value = 0,727). Radiasi cahaya matahari tidak nyata berpengaruh terhadap nilai emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit, hal ini disebabkan oleh radiasi cahaya matahari tidak dapat secara total mencapai

(48)

permukaan areal gambut (Tabel 4.2) dan menyebabkan peningkatan suhu tanah serta nilai emisi CO2, hal tersebut disebabkan oleh tutupan lahan yang merata oleh pelepah tanaman kelapa sawit dan vegetasi alami pada lokasi penelitian. Rata - rata nilai leaf area indeks (LAI) pada lokasi penelitian adalah sebesar 6,39 – 9,09.

Energi radiasi yang dipancarkan matahari tidak seluruhnya mencapai permukaan tanah, dari 100% radiasi yang dipancarkan oleh matahari, hanya 48-50% yang sampai secara langsung ke permukaan tanah (NASA Earth Observatory, 2008).

Tabel 4.2 Perbedaan nilai rata-rata radiasi cahaya matahari

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebesar 65,19% radiasi cahaya matahari tidak dapat mencapai permukaan tanah akibat tutupan lahan. Intersepsi radiasi surya adalah selisih antara radiasi yang sampai di atas tajuk tanaman dengan radiasi yang ditransmisikan yaitu radiasi yang diteruskan sampai di bawah tajuk tanaman.

Nilai radiasi yang sampai pada tajuk tanaman akan mengalami reduksi pada setiap lapisan daun sehingga sebagian radiasi akan diintersepsi. Nilai intersepsi radiasi surya berfluktuasi mengikuti radiasi global yang ada di atas tajuk tanaman.

Intersepsi radisasi matahari tanaman dipengaruhi oleh sudut datang matahari, sifat spektral kanopi, indeks luas daun, ukuran daun, bentuk daun, angin, dan fototropisme. Intersepsi radiasi surya (Qint) oleh tajuk tanaman dipengaruh oleh nilai LAI. Peningkatan nilai LAI secara nyata diikuti oleh nilai Qint yang dihitung menggunakan persamaan hukum Beer. Semakin tinggi nilai LAI maka radiasi yang diredam juga semakin tinggi sehingga nilai radiasi transmisi menjadi

Rata-rata nilai radiasi cahaya matahari (FC)

Stasiun AWS In Situ Deviasi (%)

180,01 62,65 65,19

(49)

berkurang. Peningkatan intersepsi radiasi dan Radiation Use Efficiency (RUE) dipengaruhi oleh struktur kanopi, dimana semakin tinggi nilai LAI maka koefisien pemadaman tajuk juga semakin tinggi (Handoko et al., 2010; Ceotto et al., 2013).

4.7 Pengaturan Air pada Lahan Gambut

Gambut berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan, salah satunya adalah mencegah banjir saat musim hujan dan melepaskan uap air ke udara selama musim kemarau. Dalam siklus hidrologi, air hujan akan meresap ke dalam tanah dan terabsorbsi, yang selanjutnya akan tersimpan dalam tanah dan meningkatkan kelembapan tanah. Neraca air pada gambut Indonesia didominasi oleh limpasan permukaan dan evapotranspirasi. Hanya sebagian kecil yang merupakan ground water flow (aliran air tanah).

Pengaturan tata air pada lahan gambut berpengaruh terhadap beberapa karakteristik gambut, yaitu kemampuan gambut dalam menyerap air (bersifat hidrofilik) dan menolak air (hidrofobik). Menurut Sabiham (2000), kemampuan gambut dalam menyerap air berkaitan dengan menurunnya ketersediaan senyawa yang bersifat hidrofilik dalam gambut, yaitu karboksilat dan OH-fenolat. Kedua senyawa organik tersebut ditemukan pada gambut yang mempunyai kadar air tinggi, bila gambut dalam keadaan kering (akibat proses drainase yang berlebih), sifat hidrofilik dari tanah gambut menjadi tidak berfungsi.

Dimensi saluran (primer, sekunder, dan tersier) juga harus disesuaikan dengan luas kawasan dan komoditas yang dikembangkan (Subiksa et al., 2011).

Kondisi muka air tanah yang terlalu dangkal menyebabkan perakaran tidak bisa berkembang akibat kondisi aerasi yang buruk. Jika kandungan asam organik

Referensi

Dokumen terkait

Dan di Bulan Oktober dimana kita menyambut hari Reformasi, maka memulai suatu kegiatan baru yaitu mengajak dan menghimbau seluruh anggota jemaat yang sudah dan belum membaca

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

Produk biodiesel tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku serta pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut .Alkohol yang digunakan

Menurut Rukiyah (2009), Intranatal merupakan serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput

Sifat memperlakukan secara eksklusif oleh negara kepada calon peserta dan peserta pengampunan pajak dengan tidak melakukan pemeriksaan serta menangguhkan dugaan tindak

Presiden Joko Widodo menginginkan kegiatan karnaval Kemerdekaan menjadi agenda tahunan, Hal ini dikatakannya saat menghadiri karnaval dan pesta rakyat yang bertajuk

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, sebagaimana telah diubah beberapa