• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MAKNA FILOSOFIS SAWERAN PENGANTIN

C. Pendapat Masyarakat Tentang Saweran Pengantin

Menurut Syamsuddin’ sawer itu artinya air hujan yang masuk ke dalam rumah karena terhembus sama angin. Karena saweran diambil dari kata sawer atau awer yah artinya seperti itu.21 Sedangkan menurut Haetami’ saweran pengantin yaitu tradisi suku sunda tentang adat pernikahan, saweran itu mempunyai arti memberikan nasihat kepada para pengantin laki-laki dan perempuan, nasihatnya itu tentang berkeluarga nanti biar menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan

rohmah.22

Tradisi perkawinan yang berada di Kecamatan Cikupa merupakan bentuk komunikasi, dengan tradisi tersebut tanpa disadari informasi tersebut disampaikan secara turun temurun salah satunya dengan

saweran pengantin. Sebab saweran pengantin merupakan bagian

bentuk komunikasi yang disampaikan dengan menggunakan syair yang mempunyai makna untuk membina rumah tangga. Saweran pengantin inipun bisa dijadikan sebagai rasa bentuk syukur kita dan warga karena ada tradisi seperti ini.23 Kemudian diketahui juga

20 Aep S. Hamidin, Buku Pintar Perkawinan Adat Nusantara, (Joogjakarta: Diva Press, 2012), h. 89-93.

21 Syamsuddin, Wiraswasta, Interview Pribadi, Tangerang, 28 April 2018.

22 Haetami, Wiraswasta, Interview Pribadi, Tangerang, 8 April 2018.

23 Siti Maswah, Kasubag Umum dan Kepegawaian Kecamatan Cikupa, Interview Pribadi, Tangerang, 12 April 2018.

bilamana ibu atau bapak mempunyai nadzhar, maka anaknya akan di

sawer, jadi di sawer merupakan bentuk nadzhar.24

Tradisi adat saweran pengantin ini dilakukan sejak zaman dari nenek moyang sampai dengan zaman sekarang, namun di waktu sekarang sudah mulai jarang dipraktikan dan dilakukan.25

Makna benda-benda saweran jelas mengandung makna, seperti permen, karena permen itu manis harapannya atau tandanya yaitu supaya keluarga itu dalam menjalani kehidupan rumah tangganya selalu manis dan bagi orang yang melihatnya pun ikut senang, beras itu mempunyai tanda sebagai bahan makanan pokok orang Indonesia, maksudnya yaitu supaya kebutuhan makanannya supaya terpenuhi dan tidak kekurangan, kunyit menyerupai warna seperti emas maksudnya agar makmur, uang koin atau receh mempunyai makna agar hartanya selalu tercukupi.26 Bahan-bahan untuk menyawer adalah uang logam, beras, irisan kunyit tipis dan permen, tentu saja bahan-bahan tersebut tidak lepas dari simbol yang memiliki tujuan. Beras memiliki simbol kemakmuran, artinya merupakan doa orang tua kepada anaknya agar dalam mengarungi kehidupan berumah tangga dapat hidup makmur dan kebutuhan pangannya terpenuhi, uang receh atau logam simbol dalam perjalanan berumah tangga kelak mendapatkan kemakmuran dan rizki yang berlimpah dan keluarga tersebut harus ikhlas berbagi dengan fakir miskin dan anak yatim, permen memiliki makna agar dalam membangun rumah tangga dapat merasakan manisnya hidup berumah tangga, kunyit merupakan simbol kejayaan, maksdunya agar dalam hidup berumah tangga pasangan bisa meraih kejayaan.27

2. Praktik Saweran

24 Aja Sarja, Tokoh Adat/Tukang sawer, Interview Pribadi, Tangerang, 13 Maret 2018.

25 Siti Maswah, Kasubag Umum dan Kepegawaian Kecamatan Cikupa, Interview Pribadi, Tangerang, 12 April 2018.

26 Siti Hamamah, Tukang Sawer, Interview Pribadi, Tangerang, 23 Maret 2018.

27 Aep S. Hamidin, Buku Pintar Perkawinan Adat Nusantara, (Joogjakarta: Diva Press, 2012), h. 90.

Praktiknya ketika setelah akad nikah, ketika acara resepsi pernikahan yang dihadiri oleh para tamu undangan serta besan dari pihak mempelai laki-laki, pihak keluarga perempuan menyiapkan uang receh, permen, beras, dan kunyit, kalau kunyit dicampur dengan beras agar berasnya berubah warna supaya jadi warna kuning yang tandanya emas. Kemudian tukang sawer yang menaburkan atau mengawerkan atau dari dari pihak keluarga yang mengawerkan ke arah pengantin. Pada saat mengawerkannya menunggu tanda dari tukang sawer dengan tanda sapun atau sawer, kalau uang recehnya sudah habis, maka prosesi saweran telah selesai.28 Kemudian besaran uang saweran sama sekali tidak ada batas minimal dan maksimal, semampunya kedua keluarga tersebut, kalau orang tersebut mampu mungkin lebih besar.29

Tujuan dari saweran itu sendiri ya untuk memberikan nasihat atau petuah-petuah untuk pengantin laki-laki dan perempuan bagaimana cara membangun rumah tangga yang baik, sakinah, mawaddah dan

rohmah seperti kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad SAW,

disamping untuk nasihat juga memberikan kebahagiaan untuk pengantin dan masyarakat yang hadir, keluarga bisa memberikan manfaat untuk masyarakat dan sekaligus melestarikan adat sunda.30 3. Sikap Masyarakat Terhadap Saweran Pengantin

Tradisi saweran pengantin ini memang harus tetap dilaksanakan dan dilestarikan, lagipula tradisi macam hal ini tidak memberatkan pihak keluarga karena pastinya mereka sudah meniatkan untuk melakukan saweran ini, saya setuju bila ada kerabat yang melaksanakan saweran karena saya pribadi dulu melaksanakan hal itu. Apalagi kita kan suku sunda jadi harus melaksanakan. Karena dengan adanya saweran ini kan kita kembali ke zaman dulu sehingga untuk

28 Haetami, Wiraswasta, Interview Pribadi, Tangerang, 8 April 2018.

29 Lia Rosnawati, Ibu Rumah Tangga, Interview Pribadi, Tangerang, 10 Maret 2018.

melestarikan lagipula kan banyak pesan moral yang di sampaikan dalam proses saweran pengantin ini.31

Menurut Haetami’ ketika saweran pengantin tetap dilaksanakan merupakan kebanggaan, karena masih dipraktikan dari dulu sampai sekarang, harapannya adalah pernikahan di Cikupa ini selalu mempraktikan saweran pengantin di dalam acara pernikahannya agar tidak punah nantinya dan agar generasi mudanya agar mengetahui

saweran adalah adat sunda. Kalau dilihat dari isinya saweran banyak

mengandung nilai-nilai positif apalagi nasihat dari syair tersebut.32

31 Saepul Hupad, Penghulu KUA Kecamatan CIkupa, Interview Pribadi, Tangerang, 11 April 2018.

70

Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk semua kalangan, untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Mengenai masyarakat, dalam fiqih tidak detail membahas tentang cara bermasyarakat. Namun itulah fungsi manusia diberikan akal supaya dapat berfikir penyelesaian bermasyarakat dengan cara yang Islami.1

Begitupun hukum adat di Indonesia. Seperti halnya dengan semua sistem hukum dibagian lain dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum adat tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya: bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.2

Fiqih memang tidak menjelaskan mengenai tradisi saweran pengantin perkawinan, karena memang itu merupakan hukum adat sunda. Pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara prinsip. Bahkan di dalam fiqih menyebutkan,

ٌﺔَﻤﱠﻜَُﳏ ُة َد ﺎَﻌْﻟَا

“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”

1 Muhamad Ilman, “Tradisi Pembayaran Uang Pelangkah Dalam Perkawinan” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h., 57.

2 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013, Cet. Keempat belas), h., 3-4.

Ulama sepakat dalam menerima adat yang dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharatnya atau unsur manfaatnya lebih banyak dibanding mudharatnya serta adat yang pada prinsipnya secara subtansial mengandung unsur maslahat, namun di dalam pelaksanaanya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk itu dikelompokan kepada adat atau ‘urf yang shahih.3

‘Urf itu sendiri adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat.

Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin pula dapat dikategorikan ke jaiz (mubah) agaknya adat dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tidak bertentangan dengan akidah Islam. Melihat hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Menurut “T.M Hasbi Ash-Shiddieqy seperti dikutip Mohammad Daud Ali, hukum yang dibina atas dasar ‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam”.4

Adapun dasar hukum yang menjadi rujukan untuk ‘urf sebagai berikut:

فاﺮﻋﻷا

:

١٩٩

( ) َﲔِﻠِﻫﺎَْﳉا ِﻦ َﻋ ْضِﺮْﻋَأَو ِفْﺮُﻌْﻟِ# ْﺮُﻣْأَو َﻮْﻔَﻌْﻟا ِﺬُﺧ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-‘Araf: 199).5

3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), h., 395.

4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h., 229.

، ٍﺶْﻴَـﺒُﺣ ِﻦْﺑ ِّرِز ْﻦَﻋ ،ٌﻢِﺻﺎَﻋ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ،ٍﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ِﻦْﺑ ِﷲ ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ

َلﺎَﻗ ،ٍدﻮُﻌْﺴَﻣ

:

ُﱠ=ا ﻰﱠﻠَﺻ ٍﺪﱠﻤَُﳏ َﺐْﻠَـﻗ َﺪَﺟَﻮَـﻓ ،ِدﺎَﺒِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُـﻗ ِﰲ َﺮَﻈَﻧ َﱠ=ا ﱠنِإ

َﺮَﻈَﻧ ﱠُﰒ ،ِﻪِﺘَﻟﺎَﺳِﺮِﺑ ُﻪَﺜَﻌَـﺘْـﺑﺎَﻓ ،ِﻪِﺴْﻔَـﻨِﻟ ُﻩﺎَﻔَﻄْﺻﺎَﻓ ،ِدﺎَﺒِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُـﻗ َْﲑَﺧ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ

ِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُـﻗ ِﰲ

ِبﻮُﻠُـﻗ َْﲑَﺧ ِﻪِﺑﺎَﺤْﺻَأ َبﻮُﻠُـﻗ َﺪَﺟَﻮَـﻓ ،ٍﺪﱠﻤَُﳏ ِﺐْﻠَـﻗ َﺪْﻌَـﺑ ِدﺎَﺒ

َنﻮُﻤِﻠْﺴُﻤْﻟا ىَأَر ﺎَﻤَﻓ ،ِﻪِﻨﻳِد ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻠِﺗﺎَﻘُـﻳ ،ِﻪِّﻴِﺒَﻧ َءاَرَزُو ْﻢُﻬَﻠَﻌَﺠَﻓ ،ِدﺎَﺒِﻌْﻟا

َﺳ ِﷲ َﺪْﻨِﻋ َﻮُﻬَـﻓ ﺎًﺌِّﻴَﺳ اْوَأَر ﺎَﻣَو ،ٌﻦَﺴَﺣ ِﷲ َﺪْﻨِﻋ َﻮُﻬَـﻓ،ﺎًﻨَﺴَﺣ

.ٌﺊِّﻴ

ُﻩاَوَر)

ْﺪَْﲪَا

(

6

“Abu Bakar telah menceritakan kami, Asim telah menceritakan kami, dari Djir bin khubais, dari Abdullah bin Masud, beliau berkata: sesungguhnya Allah melihat kehati para manusia, lalu Allah mendapati bahwa hatinya Nabi Muhammad adalah sepaling bagusnya hati para hamba, lalu Allah mensucikan hatinya untuk-Nya, lalu Allah mengutusnya dengan risalah-Nya, kemudian Allah melihat ke hati para hamba setelah hati Nabi Muhammad, lalu Alah mendapati hati para sahabat itu sepaling bagus hati para hamba, lalu Allah menjadikan mereka para penjaga Nabi, mereka berperang membela agamanya, maka apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”.(HR. Ahmad).

Hadist lain menerangkan;

6 Musnad Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Beirut: ‘Alim al-Kutub (1998 M) Jld. 1, H. 379.

َلﺎَﻗ ، ٍﺐْﻳَﺮُﻛ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣَو

:

ْﻦَﻋ ،ُﻞﻴِﻋﺎَْﲰِإ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ :َلﺎَﻗ ، َﺔَﻳِوﺎَﻌُﻣ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

، ٍﺲْﻴَـﻗ

ْﻦِﻣ ٌﺔَﻔِﺋﺎَﻃ ُلاَﺰَـﺗ َﻻ :َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﱠ=ا ﻰﱠﻠَﺻ ِِّﱯﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ،ٍﺪْﻌَﺳ ْﻦَﻋ

.ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟا ِمْﻮَـﻳ َﱃِإ َﻦﻳِﺮِﻫﺎَﻇ ِّﻖَْﳊا ﻰَﻠَﻋ ِﱵﱠﻣُأ

)

ُﻩاَوَر

(ْرَزﺎَﺒْﻟَا

7

“Abu Kuraib telah menceritakan kami, beliau berkata, Abu Muawiyah telah menceritakan kami, beliau berkata: Ismail telah menceritakan kami dari Qais, dari As’ad, dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wassalam berkata: akan tetap ada sekelompok umatku dalam kebenaran mereka jelas sampai datang ketentuan Allah (kiamat)”. (HR. Al-Bazar).

Kadiah menerangkan: 8

ْﺖَﺒَﻠَﻏ ْوَا ْتَدَﺮَﻄْﺿا اَذِا ُةَد َﺎﻌﻟا َُﱪَﺘْﻌُـﺗ َﺎﱠﳕا

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah

adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”

9

ِﺺﱠﻨﻟِ# ِْﲔِﻴْﻌﱠـﺘﻟَﺎﻛ ِفْﺮُﻌْﻟِ# ُْﲔِﻴْﻌﱠـﺘﻟا

“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan Nash”10

Berdasarkan pemahaman dari kaidah ini bahwa kedudukan ‘urf jika telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi sebuah dasar hukum. Maka posisinya sama ada dengan hukum berdasarkan Nash.11

Agar dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. “Menurut Sobhi Mahmassani seperti dikutip Mohammad Daud Ali, syarat-syarat tersebut adalah:

1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum.

7 Musnad al- Bazzar, Ahmad bin Amr al-Bazzar, Madinah: Maktabah al-Ulum wa al- Hukm, (2009 M) Jld. 4, h. 54

8 Abul Kalam Syafiq Qosimi Mazohiri, Qoidah Fiqhiyyah

Al-Mahmudah, Mesir: Maktabah Zakariya, h. 69.

9 Abul Kalam Syafiq Al-Qosimi Al-Mazohiri, h. 72.

10 Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengelanan Awal. h, 230.

2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan.

4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak. 5. Tidak bertentangan dengan nash.12

Di dalam pembahasan lain ada beberapa persaratan lain. 1. Adat itu bernilai maslahat.

2. Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tertentu.

3. Adat itu berlaku sebelum kasus yang di tetapkan hukumnya. 4. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.13

Dari beberapa syarat di atas menunjukkan bahwa tradisi saweran pengantin perkawinan suku Sunda masih dapat diterima menjadi suatu hukum adat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam karena memenuhi persayaratan ‘urf.

Penulis menganalisis mengenai pengertian saweran pengantin perkawinan tersebut bahwa dalam praktik saweran tersebut banyak nilai, pesan, dan moral yang sangat baik yang terkandung di dalam isi teks

saweran pengantin, karena tujuan dari saweran pengantin perkawinan

tersebut memberikan nasihat kepada para pasangan pengantin bagaimana membangun rumah tangga yang bahagia, tentram, dan penuh dengan kasih sayang.

Selain metode ‘urf dalam menentukan tradisi saweran pengantin perkawinan ini, penulis menggunakan metode lainnya yaitu maslahah

al-mursalah. Al-Maslahah al-Mursalah perpaduan dua kata menjadi “Maslahah Mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang

dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam, juga dapat berarti suatu

12 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, h., 230.

perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).14

Secara bahasa maslahah ialah manfaat, faedah, bagus, baik.15 Kemudian secara istilah maslahah adalah sebuah gambaran perbuatan yang bermanfaat yang dimaksudkan oleh syara’ (Allah) untuk setiap hambanya dalam memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda secara teratur.16 Sementara “Imam Abu Zahrah seperti dikutip Ahmad Mukri Aji, bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara”.17

Persyaratan untuk menggunakan maslahah mursalah sebagai hukum terdapat beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi, syarat itu ialah sebagai berikut:

1. Bahwa maslahah tersebut dapat diterima oleh akal, bahwa semua kriterianya sesuai dan dapat diterima oleh akal yang normal. Karena pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah yang dapat mendatangkan kemanfaatan dan menolak mudharat.

2. Bahwa maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh kepada semua orang. Artinya tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk sekelompok orang saja.

3. Bahwa maslahah itu harus dengan tujuan syara’. Artinya tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang sudah qath’i.18

Penulis akan menganalisis dengan menggunakan metode maslahah

mursalah, dari beberapa syarat maslahah mursalah dalam menetapkan

hukum. Pertama, saweran pengantin masih dapat diterima oleh ajaran agama Islam. Sebab di dalam praktik saweran pengantin perkawinan tidak ada dalil yang menolak maupun mengakuinya, karena saweran merupakan

14 Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 165.

15 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah 2011), h. 128.

16 Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengelanan Awal. h. 210.

17 Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, h. 165.

hukum adat perkawinan suku Sunda. Kedua, saweran bukan perbuatan yang samar-samar maupun rekayasa belaka, melainkan jelas praktinya dan dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Ketiga kemaslahatan saweran bersifat umum artinya kemanfaatan yang terkait dengan kepentingan orang banyak, karena pada praktiknya melibatkan masyarakat dan para keluarga dari pasangan pengantin untuk memeriahkan proses saweran pengantin, bagi masyarakat bisa bersilaturahim dengan keluarga dari pasangan pengantin dan bahan-bahan saweran pengantin yang berupa uang logam yang telah di pungut oleh masyarakat dan keluarga pada proses saweran bisa di dimanfaatkan oleh mereka untuk keperluan yang lain.

B. Pendapat Tokoh Agama Tentang Saweran Pengantin

1. Pendapat Tokoh Agama Tentang Tradisi Saweran Pengantin

Saweran pengantin mempunyai beberapa pengertian, seperti

pendapat dari Ahyani salah seorang tokoh agama, “saweran merupakan hukum adat sunda, prosesnya dengan cara diawerkan ada pula yang diberikan dengan menggunakan amplop kepada tukang

sawer dan keluarganya.”19

Menurut Abdul Halip tokoh agama “saweran merupakan adat sunda yang sudah ada sejak zaman dulu. Bahan yang digunakan dalam prosesi saweran menggunakan koin, beras, kunyit dan permen yang nantinya di awerkan ke pengantin. Pada umumnya praktik saweran sama dengan di daerah Tangerang lainnya, yaitu ditempat kediaman pengantin perempuan.”20

2. Pendapat Tokoh Agama Tentang Hukum Saweran Pengantin

Salah satu tokoh agama Endang Nasrudin mengungkapkan bahwa “Hukum adat dalam ajaran agama Islam memang diakakui asalkan tidak keluar dari ajaran agama Islam dan tidak melanggar syariat.

19 Ahyani, Tokoh Agama, Interview Pribadi, Tangerang, 12 Maret 2018.

Saweran pengantin boleh dan sah saja selama tidak bertentangan dan

melanggar ajaran agama Islam, lagipula saweran mendatangkan kebahagian bagi pengantin, keluarga dan masyarakat yang hadir.”21 Sedangkan menurut pendapat Abdul Halip “adat istiadat selalu ada dalam lingkungan msyarakat, contohnya setiap panen padi masyarakat selalu melaksanakan acara syukuran, hal itu merupakan suatu adat istiadat asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam”.22

Menurut Ahyani “Saweran pengantin menggunakan benda-benda diperbolehkan. Masalah tersebut di dalam Islam itu disebut tafa’ul.

Tafa’ul itu sendiri yaitu mengharapkan sesuatu dari yang sama atau

dari yang lain agar mempunyai sifat yang sama dari apa yang ditafaulinya. Contohnya seorang anak diberi nama dengan menyerupai nama seorang ulama, harapannya anak tersebut sifat dan perilakunya sama seperti ulama yang di tafaulinya, Saweran juga seperti itu, tafa’ul dengan menggunakan beras, agar kehidupan rumah tangganya tercukupi semua kebutuhan pangannya.”23

3. Sikap Tokoh Agama Terhadap Saweran Pengantin

Menurut Kholiluddin tokoh agama “bahwa saweran pengantin apabila terus dilaksanakan maka sah-sah saja karena saweran pengantin tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak masalah bila ada keluarga yang melakukan praktik saweran pengantin.”24 Sedangkan respon dari Ahyani “Tidak masalah, karena saweran berdasarkan hukum tafa’ul yaitu menyerupai atau meniru,

walaupun tetap dilaksanakan maka boleh, karena berdasarkan hukum menyerupai dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Saweran

21 Endang Nasrudin, Tokoh Agama, Interview Pribadi, Tangerang, 11 April 2018.

22 Abdul Halip, Tokoh Agama, Interview Pribadi, Tangerang, 11 April 2018.

23 Ahyani, Tokoh Agama, Interview Pribadi, Tangerang, 12 Maret 2018.

juga merupakan salah satu bentuk kesenangan dan kebahagiaan dan rasa syukur.”25

79

Berdasarkan pembahasan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:

1. Tradisi saweran pengantin merupakan pemberian nasihat kepada pasangan pengantin yang baru menikah melalui sebuah rangkaian acara adat yang dipimpin oleh tukang sawer dengan cara ditembangkan atau dilagukan, dimana pada saat prosesi upacara

saweran menggunakan benda-benda sebagai simbol tertentu untuk

dilemparkan ke arah pasangan pengantin. Adapun benda-benda untuk

saweran yaitu uang logam atau koin, permen, beras, dan irisan kunyit.

Bahan-bahan tersebut nantinya dicampurkan dan dimasukkan ke dalam baskom.

2. Pelaksanaan saweran pengantin dalam perkawinan masyarakat kecamatan Cikupa adalah keinginan pribadi dari setiap masyarakatnya dan tanpa ada paksaan dari siapapun. Tradisi saweran pengantin merupakan karya sastra dan sebagai media komunikasi antar generasi. Dan syair saweran pengantin yang dilantunkan oleh tukang sawer di Kecamatan Cikupa merupakan hasil turun temurun dari keluarganya. 3. Tradisi saweran pengantin ini tidak bertentangan dengan syariat Islam

karena di anggap membawa kemaslahatan bagi masyarakat banyak yang sesuai dengan syarat maslahah mursalah dan sesuai juga dengan

‘urf yang shahih sebab keberadannya tidak membatalkan yang wajib

dan tidak meninggalkan yang haram.

4. Dalam hal ini, tembang sawer dapat dikatakan sebagai sarana dalam mempertahankan nilai-nilai adat Sunda sebab salah satu karakter budaya adalah berupaya mempertahankan eksistensi nilai-nilai dan norma-normanya dengan cara mewariskannya dari generasi ke

generasi. Dari segi pelaksanaannya, sawer biasanya dilakukan dihalaman rumah, sebab bagian halaman rumah ini sering disebut dengan istilah panyaweran.

B. Saran-saran

Setelah melihat dan mempelajari pembahasan-pembahasan diatas, maka penulis memberikan saran kepada masyarakat, pemerintah Kabupaten Tangerang, dan teman-teman yang tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang tradisi saweran pengantin. Saran penulis antara lain:

1. Kepada masyarakat Kecamatan Cikupa bagi yang mampu melaksanakan saweran agar tetap melestarikan karena dengan tradisi tersebut maka komunikasi antar generasi tidak terputus, kekayaan budaya lokal akan tetap terjaga dan bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.

2. Untuk pemerintah Kabupaten Tangerang khususnya Kecamatan Cikupa, agar lebih mengoptimalkan dalam hal pendokumentasian budaya dan tradisi masyarakatnya khususnya tradisi saweran pengantin, dan ikut mendukung secara aktif dalam hal mengangkat dan memperkenalkan tradisi lokal kepada masyarakat nasional.

3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema tradisi saweran pengantin yang ada dalam perkawinan masyarakat Kecamatan Cikupa penulis menyarankan agar memperluas wilayah penelitian dan membuat analisis perbandingan dari setiap daerah yang melaksanakan tradisi saweran pengantin.

81

Agoes, Artati, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Sunda, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Aji, Ahmad Mukr, Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran

Hukum Islam, Cet. Kedua, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah 2011.

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa, Upacara Perkawinan Adat Sunda, Jakarta: Sinar Harapan, 1990.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Cet. Sembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.

Hamidin, Aep S, Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara, Joogjakarta: Diva Press, 2012.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.

Khalaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih, Cet. Ketujuh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Kurdi, Muliadi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengelanan Awal, Aceh: 2015.

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Cet. Keempat belas, Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013.

Musnad Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Jilid 1, Beirut: ‘Alim al-Kutub,1998 M.

Mazohiri, Abul Kalam Syafiq Al-Qosimi, Al- Qoidah Fiqhiyyah Al-Mahmudah, Mesir: Maktabah Zakariya.

Dokumen terkait