• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN SBY-JK

C. Pendapat Para Tokoh Terhadap Perundingan Helsink

Proses perundingan untuk menyelesaikan konflik Aceh yang hampir dua tahun tertutup, kembali dibuka setelah wilayah itu dilanda tsunami 26 Desember 2004 lalu. Harapan damai yang hampir hilang

sebaik pemerintah menetapkan Aceh dalam darurat militer kembali muncul seiring dengan mengalirnya perhatian luar wilayah itu.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI terpilih pada tahun 2004 mengatakan bahwa beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan solusi damai atas konflik separatisme di propinsi Aceh. Konflik Aceh garus diselesaikan dengan cara yang adil dan sedamai mungkin. Maka dicetuskanlah perundingan perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Seluruh elemen masyarakat menyambut penuh harapan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Banyak sekali pendapat-pendapat baik itu dari tokoh atau masyarakat Aceh sendiri dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat lain dalam menyikapi perundingan Helsinki. Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Aliansi BEM se-NAD, Zirhan, bahwa masyarakat Aceh mendukung sepenuhnya proses perdamaian secara permanen. Namun, perdamaian harus diakui dengan implementasi bentuk-bentuk perdamaian secara konkret di lapangan, yakni kelompok GAM bersedia menyerahkan seluruh senjatanya kepada Pemerintah RI. Sementara Pemerintah memulihkan dan mengembalikan seluruh hak-hak politik kelompok GAM, seperti masyarakat sipil biasa dan menarik pasukan TNI non-organik yang dilakukan secara bertahap.

Sementara itu, DPP-Ittihadiyah, menyatakan dengan ditekennya kesepakatan damai, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama pilihan langsung rakyat memulai meletakkan nilai-nilai peradaban bagi

bangsa Indonesia dengan membuka pintu damai secara ikhlas, jujur dan berani. “Melalui perdamaian tentu Indonesia bisa menuju pembangunan suatu bangsa yang beradab lahir dan batin dengan menguburkan dendam yang berkepanjangan,” ujar Wakil Sekjen DPP AL-Ittihadiyah, H. Muchlis Arsyad Suhada Al-Singkily yang juga ketua Yayasan Syiah Kuala.

Menurut dia, peristiwa bersejarah itu merupakan rahmat Allah SWT dalam memelihara keutuhan integritas NKRI serta sebuah hadiah yang sangat berharga bagi ibu pertiwi dalam memperingati HUT kemerdekaan yang ke-60. dukungan perdamaian juga datang dari DPP PAN. Menurut Sutrisno Bachir, ketua Umum DPP PAN, partainya menginginkan sepenuhnya perdamaian di NAD. Rakyat Aceh sendiri juga sudah sangat menginginkan berhentinya segala konflik yang selama puluhan tahun telah menimpanya.

“Kami mendukung sepenuhnya penyelesaian damai di Helsinki. Segala sengketa melalui konflik senjata telah mengorbankan banyak nyawa, terutama orang Aceh, karena itu harus dihentikan. Penyelesaian damai itu adalah cara yang terbaik, kata Sutrisno Bachir di sela Muswil PAN Propinsi Banten, pada hari Sabtu 13 Agustus 2004.

Selain itu dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) menyatakan mendukung penuh proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru saja selesai dibicarakan di Helsinki, Finlandia. “Semoga perjanjian itu benar-benar dapat dilaksanakan secara jujur dan terbuka, tidak ada propaganda atau

provokasi yang bertujuan untuk menggagalkan pengimplementasiannya dilapangan,” demikian diungkapkan Dewan Presidium SIRA Nasruddin Abubakar dalam siaran persnya kepada SM Cybernews, Rabu 19 Agustus 2005.

Dengan demikian, Nasruddin Abubakar meminta kepada seluruh rakyat Aceh termasuk anggota-anggota GAM di lapangan untuk bersikap damai pasca perjanjian Helsinki. “Berakhirnya perundingan antara pemerintah RI dan GAM putaran ke-V di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, telah menghasilkan beberapa poin penting penyelesaian konflik politik Aceh secara bermartabat, yang telah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun lamanya.”

Menurut SIRA, pelaksanaan perjanjian Helsinki akan menjadi kenyataan dari harapan rakyat Aceh untuk membawa perubahan dan kemajuan yang sangat signifikan terhadap kehidupan rakyat yang telah lama hidup dalam penderitaan dan kekerasan militer Indonesia.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejak awal kemerdekaan, Aceh adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumbangan tokoh-tokoh dan rakyat kita di Aceh dalam menegakkan kedaulatan Negara di zaman revolusi, tidak mungkin kita lupakan untuk selama-lamanya. Ketika sebagian besar wilayah negara kita diduduki oleh pasukan Sekutu dan Belanda, kita menjadikan Aceh sebagai “daerah modal”.

Berbagai peristiwa telah terjadi di masa lalu, sehingga terjadilah pergolakan dan pemberontakan, yang baru dapat diatasi pada akhir dekade 1950. situasi tenang di Aceh tidak berlangsung lama. Berbagai ketimpangan yang ada, telah mendorong timbulnya gerakan pemisahan diri, sejak tahun 1976. sejak itu hampir tiga dekade lamanya konflik bersenjata terjadi di Aceh. Berbagai kebijakan penanganan telah dicoba untuk dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Betapa sedih dan duka hati kita, dalam 60 tahun usia kemerdekaan bangsa kita, hanya beberapa tahun saja rakyat kita di Aceh menikmati kehidupan yang damai. Kesedihan itu semakin bertambah, ketika gempa bumi yang dahsyat dan gelombang tsunami melanda Aceh. Hampir dua ratus ribu jiwa menjadi korban dalam waktu sekejap. Dalam suasana duka seperti itu, pemerintah bertekad untuk segera menyelesaikan persoalan di

Aceh secara damai, adil dan bermartabat sesuai amanat ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002.

Dari masa Soekarno sampai Megawati proses penyelesaian konflik di Aceh yang terlihat lebih dominan dilakukan adalah proses dialog dan perundingan walaupun disela-sela proses penyelesaian tersebut ada kebijakan- kebijakan lain seperti diberlakukannya Daerah Operasi Militer pada masa Soeharto dari tahun 1989-1998, yang banyak sekali terjadinya pelanggaran HAM dan korban jiwa.

Kemudian pada masa Habibie status DOM tersebut dicabut, tetapi tetap saja tidak berubah masih saja banyak pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi. Pada akhirnya muncullah isu referendum yang dipelopori pada saat Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang menghasilkan dua buah solusi, yang berlanjut pada 9 janji program kebijakan pembangunan untuk Aceh dalam rangka mencari format penyelesaian konflik yang berkepanjangan.

Selain itu banyak sekali perundingan-perundingan perdamaian yang dilakukan oleh Gusdur dan Megawati dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan di Aceh demi terwujudnya Aceh yang damai dan sejahtera. Namun banyak sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh mereka. Sehingga sampai pada akhir jabatan, mereka belum dapat menyelesaikan konflik tersebut.

Secara konseptual, penandatanganan JoU Jeda Kemanusiaan merupakan momentum paling penting dalam rentang waktu 10 tahun terakhir

untuk meredakan ketegangan bersenjata, akibat terikatnya pihak yang bertikai pada peraturan bersama yang disepakati sebelumnya. Kehadiran jeda kemanusiaan sangat wajar jika disambut antusias oleh masyarakat Aceh. mereka menaruh harapan besar agar ketegangan dan kekerasan yang terjadi dapat segera diakhiri dan diganti dengan suasana yang kondusif, aman, damai serta sejahtera lahir bathin.

Pada tataran ide dan konsep, banyak pihak berkeinginan dan menaruh harapan besar agar jeda kemanusiaan menjadi rahmat bagi masyarakat Aceh yang dilanda konflik. apalagi dengan mendasarkan pada teori hirarki kebutuhan masa lalu yang menyebutkan bahwa rasa aman dan hidup dalam suasana kondusif merupakan substansi dari kebutuhan manusia.50

Akan tetapi, jeda kemanusiaan yang relatif mencerminkan penghargaan tinggi terhadap HAM, ternyata telah menimbulkan persoalan lain. Pada tingkat operasional, kesepakatan-kesepakatan yang telah ditandatangani bersama tidak dilakukan secara konsisten, apalagi taat hukum. Berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang mengiringi pelaksanaan JoU telah melahirkan fenomena baru dalam masyarakat berupa wabah kecemasan sehingga aplikasi JoU mengalami kendala psikologis pada level implementasi dan sosialisasi. Pasca penandatanganan JoU memang ada kecenderungan penurunan tensi kekerasan, akan tetapi ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa realisasi jeda kemanusiaan telah berjalan secara

50

sinergis, sebab tujuan utama penyaluran bantuan kemanusiaan tidak terlaksana secara optimal.

Sejak bulan Januari 2005, Presiden SBY banyak melakukan pembicaraan informal dengan tokoh-tokoh GAM di Helsinki, Finlandia. Pembicaraan itu telah membuahkan hasil, dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman tanggal 15 Agustus 2005. Dengan kesepahaman ini, GAM mengakhiri kegiatannya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah meminta pertimbangan DPR untuk memberikan amnesty dan abolisi kepada mantan aktivis GAM. Semua agenda yang tertera dalam Memorandum Kesepahaman haruslah dilaksanakan dengan konsisten.

B. Saran-saran

Banyak sudah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Aceh di mulai dari presiden pertama Soekarno sampai pada presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan-kebijakan yang berbeda.

Kalau bisa kita lihat dari masa lalu, yang sekarang jadi persoalan adalah peta persoalan akibat dari semua proses yang terjadi di Aceh sejak 1989 itu belum terekam dengan baik. Kalau memang pemerintah beritikad baik menyelesaikan kasus di Aceh, secara optimis mereka memiliki kewajiban membangun ruang rasa aman bagi masyarakat agar memberikan informasi. Situasi dan kondisi Aceh yang masih dalam kekerasan membuat masyarakat

trauma dan shock, sehingga kita akan menghadapi banyak hambatan- hambatan proses pertanggungjawaban, seperti pencabutan Daerah Operasi Militer masih terlalu formil untuk dinilai sebagai suatu keputusan politik yang berarti, sebelum situasi itu diikuti dengan perbaikan kondisi masyarakat Aceh.51

Analisa ini hanyalah sebagai salah satu untuk lebih mengetahui banyak hal yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Mungkin bagi sebagian orang konflik yang terjadi di Aceh dan upaya-upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hal yang menarik untuk dikaji, namun bukan berarti ini harus disepelekan, karena bagaimanapun konflik ini harus dicari solusinya demi terciptanya rakyat Aceh yang damai dengan penyelesaian yang adil dan bermartabat.

Pada akhirnya penulis ingin memaparkan bahwa segala sesuatu itu butuh analisa dan kritikan, oleh karena itu teruslah menganalisa dan mengkritik agar benar-benar sampai pada kesimpulan yang valid, khususnya dalam persepsi pribadi. Akhirnya penulis meyadari bahwa dalam karya ini, minimnya pengetahuan dan khasanah keilmuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna kelanjutan skripsi ini di masa yang akan datang dan penulis memgucapkan terima kasih atas kesediaannya membaca karya ini.

51

Irfan S. Awwas, ed., Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta : WIHDAH PRESS, Cet. V, 15 April 2000), h. 168.

Dokumen terkait